- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#1095
PART 54
Entah disengaja atau tidak, hingga saat ini Masayu masih belum memberi jawaban ke gue. Gue hitung-hitung ini sudah memasuki menit ke enam ratus enam puluh delapan, kurang lebih sekitar sebelas jam sudah berlalu. Gue enggak tahu, apakah ini gue yang enggak bisa sabar atau ini memang efek dari menyatakan cinta seperti yang orang bilang. Tapi kalo emang bener kayak kata orang-orang, kenapa gue makan tetap enak? tidur tetap pulas? dunia tetap berjalan normal? Buktinya tadi pagi gue terlambat bangun kuliah.
Kesiangan kuliah lagi? Iya, entah kenapa gue jadi susah bangun pagi. Pagi ini gue cuma duduk-duduk doang didepan tv ruang tamu. Hari ini gue diajakin sama Inah buat jalan, tapi sebelumnya gue diminta buat mengantar Emil terlebih dahulu agar gue bisa pake mobilnya.
“Buruan mandi sih!” Emil menggusur tempat gue dari sofa.
Gue bertahan dari sofa, “Bentar, ini masih asik.”
“Ini kan acara musik yang kamu enggak suka, gimana ceritanya bisa asik?” ucap Emil heran.
Gue hanya meletakkan telunjuk di bibir.
“DAWI...! EMIL...!” teriak Sintia memasuki rumah kos. “Coba deh perhatiin aku!”
“Kenapa sih? Emang kokoh kurang perhatian? Sampe minta diperhatiin segala,” ucap gue.
“Liat dulu makanya!” dia muter-muterin tubuhnya.
Emil memperhatikan dengan seksama, “Baju baru?”
Sintia menggeleng, “Bukanlaaaah… tebak lagi.”
Gue dan Emil saling menggeleng, kita berdua enggak menemukan perubahan dari penampilan Sintia.
“Kalian ini gimana sih! Nggak liat apa perut aku besar gini?!” keluh Sintia.
“Oh iya, agak gedean,” kata gue.
“Makannya banyakin makan buah, biar nggak sembelit gitu,” sambung Emil.
“Hah? Sembelit?” Sintia kaget.
“Iya, kalo banyak makan serat kan bisa bikin BAB lancar,” tambah Emil.
“Aku tuh hamil…!”
Gue ketawa ngakak, serius. Yang bener aja Emil mengira kalo Sintia lagi sembelit, dia kan calon dokter, masa iya diagnosanya bisa melenceng jauh banget kayak gitu. Bayangin aja kalo Emil besok kedatangan pasien penderita sakit jantung, bisa-bisa dia malah mendiagnosa sakit radang paru-paru terus perlu obat perontok dahak, bukannya dahak yang keluar, jantungnya yang rontok.
Kalo diagnosa gue sebagai calon notaris nih ya, dia memang lagi hamil. Darimana gue bisa tahu? Intuisi seorang ahli hukum, semua hal-hal kecil harus diperhatikan dan dibuat kesimpulan. Hal pertama yang gue lihat adalah wajah bahagia Sintia, enggak mungkin orang sembelit bakalan sebahagia itu, yang ada malah murung. Yang kedua, Sintia menggunakan pakaian yang bisa dikatakan agak longgar, dia pasti sedang mencari kenyaman dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru, contohnya ada bayi di perutnya. Dan yang ketiga dia baru saja datang entah darimana, biasanya dia jam segini hanya mengurusi online shop milik koh Wahyu sambil baca-baca majalah fashion. Pasti ada sesuatu yang sangat penting hingga dia keluar jam segini, contohnya visit dokter. Masuk akal? Jelas, gue calon ahli hukum.
Koh Wahyu, usia dia sama gue hanya berbeda dua tahun, tapi masalah nasib percintaan kita berdua beda jauh banget. Sebentar lagi dia bakalan jadi bapak, sedangkan gue? Diterima Masayu juga belum tentu.
Tiga belas jam berlalu setelah gue meminta Masayu buat jadi pacar gue, hasilnya, nihil. Gue udah dandan rapi sesuai permintaan Emil sama Inah. Gue dan Inah ke kampus Emil buat mengantar dia. Jujur, gue akuin si Emil baik banget sama gue, dia sampe mau-maunya menawarkan meminjamkan mobilnya, jelas aja enggak gue tolak.
“Dek, nanti temenin aku di kantin bentar ya, berangkatnya kepagian,” kata Emil yang duduk di kursi depan.
Inah mengacungkan jempolnya, “Beres deh kak pokoknya.”
“Lhah, gue enggak diajakin?” tanya gue
“Enggak,” jawab Emil dan Inah bersamaan.
Gue enggak tahu dari kapan Emil sama Inah jadi deket, yang gue tahu setelah jutaan rahasia gue terbongkar dikamar gue sendiri banyak hal yang mendadak berubah. Sintya hamil, ya itu bukan terjadi di kamar gue, tapi setelah itu dia hamil. Mas Roni masih belum pulang, dan masih enggak ada kabar sama sekali dari dia, bahkan mbak Irma juga enggak tahu. Perubahan dari mbak Irma? dia jadi lebih baik ke gue, sering bawain makan atau sekedar jajanin gue. Masayu? Hubungan kita berdua makin intens, kalo Emil, kayaknya enggak ada, cuma sekarang lebih deket aja sama Inah.
Saat gue markirkan mobil, Inah dan Emil turun meninggalkan gue dan berjalan ke arah kantin. Hari ini cuaca sedikit mendung, hawanya paling enak buat tidur. Apalagi ditambah parfum mobil Emil yang bikin rileks, gila, rasanya gue pengin banget jatuhin diri dikasur. Setelah memarkirkan mobil gue menghampiri Emil dan Inah yang sudah lebih dulu jalan menuju kantin di kampus Emil. Satu kata untuk mendeskripsikan kantin kampus kedokteran, bening. Iya, banyak banget cewek yang bening disini.
“Mil, kenapa lo enggak pernah cerita cewek di kampus lo bening-bening?”
Emil menatap gue tajam, “Nanti sainganku bertam—”
“Kak Ros!” potong Inah.
“Saingan? Apaan?” tanya gue penasaran.
“Kak, Tamansari masih jauh enggak sih dari sini?” tanya Inah.
Gue menatap Emil dengan tajam, “Paling juga dua puluh menit sampe.”
Gue yakin banget, pasti ada sesuatu yang disembunyiin Emil sama Inah. Meskipun gue enggak tahu apa-apa masalah kode cewek satu ke cewek lain, yang pasti gue tahu kalo Inah lagi berusaha membantu Emil menutupi sebuah rahasia.
“Lo nyembunyiin apa dari gue? Jawab gue Mil.”
“Kaka—”
“Lo diem dulu Nah!” gue bentak Inah. “Apa maksud kata saingan barusan?”
Emil terdiam dan sekarang kepalanya tertunduk. Inah meninggalkan kita berdua, begitu juga pengunjung kantin lainnya.
“Jawab gue Mil.”
“Aku … suka sama kamu! Dan aku enggak mau nambah saingan lagi tau!”
“Eh?”
Serius, gue bener-bener kaget dengan jawaban Emil. Emil suka sama gue? Terus senior yang tempo hari apa kabar? Emil berdiri dari tempat duduknya dan pindah ke belakang gue, dia memeluk gue dari belakang dengan sangat erat. Jelas aja gue panik, di tempat umum kayak gini Emil malah jadi kayak gini. Bisa-bisa kita berdua diseret ke pos satpam gara-gara kejadian ini.
Dalam kepanikan ada sepasang mata yang membuat kepanikan gue makin memuncak, Masayu. Sejak kapan dia disini?!
“Kemarin kamu bilang mau aku jadi pacarmu! Sekarang malah kayak gini!” bentak Masayu.
Gue memberontak dari pelukan Emil, “Mil, lepasin gue … please Mil.”
“Aku hamil Wi,” bisik Emil lirih.
“Kamu denger dia? Tanggung jawab kamu!” bentak Masayu.
Keringat gue mengucur deras, “Gu … gue enggak ngapa-ngapain dia, serius!”
Tiba-tiba banyak cewek di sisi kantin menghampiri kita bertiga sambil berteriak, “Aku hamil! Aku hamil! Aku hamil!”
Perut mereka semua perlahan mulai membesar seperti ibu hamil, belum selesai mata gue merespon semua kejanggalan ini tiba-tiba Inah datang sambil mennyiram air es ke muka gue, “Kak bangun!”
Gue gelagapan, dalam mobil, dan basah kuyup. Emil, Masayu dan mbak-mbak di kantin menghilang. Jurus teleportasi? Gue teleportasi dari kantin ke mobil, gila hebat banget.
Inah menutup pintu mobil disebelah gue, “Kakak ni kenapa? Ayo buruan jalan.”
“Em … emil? mana?”
“Udah masuk ke kelas.”
Satu hal yang baru gue sadari, barusan gue ketiduran. Emil suka sama gue, Masayu mergokin gue pelukan sama cewek, ratusan cewek hamil mengepung. Gila, gue enggak siap dengan semua kejadian itu, untungnya semua cuma mimpi.
Entah disengaja atau tidak, hingga saat ini Masayu masih belum memberi jawaban ke gue. Gue hitung-hitung ini sudah memasuki menit ke enam ratus enam puluh delapan, kurang lebih sekitar sebelas jam sudah berlalu. Gue enggak tahu, apakah ini gue yang enggak bisa sabar atau ini memang efek dari menyatakan cinta seperti yang orang bilang. Tapi kalo emang bener kayak kata orang-orang, kenapa gue makan tetap enak? tidur tetap pulas? dunia tetap berjalan normal? Buktinya tadi pagi gue terlambat bangun kuliah.
Kesiangan kuliah lagi? Iya, entah kenapa gue jadi susah bangun pagi. Pagi ini gue cuma duduk-duduk doang didepan tv ruang tamu. Hari ini gue diajakin sama Inah buat jalan, tapi sebelumnya gue diminta buat mengantar Emil terlebih dahulu agar gue bisa pake mobilnya.
“Buruan mandi sih!” Emil menggusur tempat gue dari sofa.
Gue bertahan dari sofa, “Bentar, ini masih asik.”
“Ini kan acara musik yang kamu enggak suka, gimana ceritanya bisa asik?” ucap Emil heran.
Gue hanya meletakkan telunjuk di bibir.
“DAWI...! EMIL...!” teriak Sintia memasuki rumah kos. “Coba deh perhatiin aku!”
“Kenapa sih? Emang kokoh kurang perhatian? Sampe minta diperhatiin segala,” ucap gue.
“Liat dulu makanya!” dia muter-muterin tubuhnya.
Emil memperhatikan dengan seksama, “Baju baru?”
Sintia menggeleng, “Bukanlaaaah… tebak lagi.”
Gue dan Emil saling menggeleng, kita berdua enggak menemukan perubahan dari penampilan Sintia.
“Kalian ini gimana sih! Nggak liat apa perut aku besar gini?!” keluh Sintia.
“Oh iya, agak gedean,” kata gue.
“Makannya banyakin makan buah, biar nggak sembelit gitu,” sambung Emil.
“Hah? Sembelit?” Sintia kaget.
“Iya, kalo banyak makan serat kan bisa bikin BAB lancar,” tambah Emil.
“Aku tuh hamil…!”
Gue ketawa ngakak, serius. Yang bener aja Emil mengira kalo Sintia lagi sembelit, dia kan calon dokter, masa iya diagnosanya bisa melenceng jauh banget kayak gitu. Bayangin aja kalo Emil besok kedatangan pasien penderita sakit jantung, bisa-bisa dia malah mendiagnosa sakit radang paru-paru terus perlu obat perontok dahak, bukannya dahak yang keluar, jantungnya yang rontok.
Kalo diagnosa gue sebagai calon notaris nih ya, dia memang lagi hamil. Darimana gue bisa tahu? Intuisi seorang ahli hukum, semua hal-hal kecil harus diperhatikan dan dibuat kesimpulan. Hal pertama yang gue lihat adalah wajah bahagia Sintia, enggak mungkin orang sembelit bakalan sebahagia itu, yang ada malah murung. Yang kedua, Sintia menggunakan pakaian yang bisa dikatakan agak longgar, dia pasti sedang mencari kenyaman dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru, contohnya ada bayi di perutnya. Dan yang ketiga dia baru saja datang entah darimana, biasanya dia jam segini hanya mengurusi online shop milik koh Wahyu sambil baca-baca majalah fashion. Pasti ada sesuatu yang sangat penting hingga dia keluar jam segini, contohnya visit dokter. Masuk akal? Jelas, gue calon ahli hukum.
Koh Wahyu, usia dia sama gue hanya berbeda dua tahun, tapi masalah nasib percintaan kita berdua beda jauh banget. Sebentar lagi dia bakalan jadi bapak, sedangkan gue? Diterima Masayu juga belum tentu.
Tiga belas jam berlalu setelah gue meminta Masayu buat jadi pacar gue, hasilnya, nihil. Gue udah dandan rapi sesuai permintaan Emil sama Inah. Gue dan Inah ke kampus Emil buat mengantar dia. Jujur, gue akuin si Emil baik banget sama gue, dia sampe mau-maunya menawarkan meminjamkan mobilnya, jelas aja enggak gue tolak.
“Dek, nanti temenin aku di kantin bentar ya, berangkatnya kepagian,” kata Emil yang duduk di kursi depan.
Inah mengacungkan jempolnya, “Beres deh kak pokoknya.”
“Lhah, gue enggak diajakin?” tanya gue
“Enggak,” jawab Emil dan Inah bersamaan.
Gue enggak tahu dari kapan Emil sama Inah jadi deket, yang gue tahu setelah jutaan rahasia gue terbongkar dikamar gue sendiri banyak hal yang mendadak berubah. Sintya hamil, ya itu bukan terjadi di kamar gue, tapi setelah itu dia hamil. Mas Roni masih belum pulang, dan masih enggak ada kabar sama sekali dari dia, bahkan mbak Irma juga enggak tahu. Perubahan dari mbak Irma? dia jadi lebih baik ke gue, sering bawain makan atau sekedar jajanin gue. Masayu? Hubungan kita berdua makin intens, kalo Emil, kayaknya enggak ada, cuma sekarang lebih deket aja sama Inah.
Saat gue markirkan mobil, Inah dan Emil turun meninggalkan gue dan berjalan ke arah kantin. Hari ini cuaca sedikit mendung, hawanya paling enak buat tidur. Apalagi ditambah parfum mobil Emil yang bikin rileks, gila, rasanya gue pengin banget jatuhin diri dikasur. Setelah memarkirkan mobil gue menghampiri Emil dan Inah yang sudah lebih dulu jalan menuju kantin di kampus Emil. Satu kata untuk mendeskripsikan kantin kampus kedokteran, bening. Iya, banyak banget cewek yang bening disini.
“Mil, kenapa lo enggak pernah cerita cewek di kampus lo bening-bening?”
Emil menatap gue tajam, “Nanti sainganku bertam—”
“Kak Ros!” potong Inah.
“Saingan? Apaan?” tanya gue penasaran.
“Kak, Tamansari masih jauh enggak sih dari sini?” tanya Inah.
Gue menatap Emil dengan tajam, “Paling juga dua puluh menit sampe.”
Gue yakin banget, pasti ada sesuatu yang disembunyiin Emil sama Inah. Meskipun gue enggak tahu apa-apa masalah kode cewek satu ke cewek lain, yang pasti gue tahu kalo Inah lagi berusaha membantu Emil menutupi sebuah rahasia.
“Lo nyembunyiin apa dari gue? Jawab gue Mil.”
“Kaka—”
“Lo diem dulu Nah!” gue bentak Inah. “Apa maksud kata saingan barusan?”
Emil terdiam dan sekarang kepalanya tertunduk. Inah meninggalkan kita berdua, begitu juga pengunjung kantin lainnya.
“Jawab gue Mil.”
“Aku … suka sama kamu! Dan aku enggak mau nambah saingan lagi tau!”
“Eh?”
Serius, gue bener-bener kaget dengan jawaban Emil. Emil suka sama gue? Terus senior yang tempo hari apa kabar? Emil berdiri dari tempat duduknya dan pindah ke belakang gue, dia memeluk gue dari belakang dengan sangat erat. Jelas aja gue panik, di tempat umum kayak gini Emil malah jadi kayak gini. Bisa-bisa kita berdua diseret ke pos satpam gara-gara kejadian ini.
Dalam kepanikan ada sepasang mata yang membuat kepanikan gue makin memuncak, Masayu. Sejak kapan dia disini?!
“Kemarin kamu bilang mau aku jadi pacarmu! Sekarang malah kayak gini!” bentak Masayu.
Gue memberontak dari pelukan Emil, “Mil, lepasin gue … please Mil.”
“Aku hamil Wi,” bisik Emil lirih.
“Kamu denger dia? Tanggung jawab kamu!” bentak Masayu.
Keringat gue mengucur deras, “Gu … gue enggak ngapa-ngapain dia, serius!”
Tiba-tiba banyak cewek di sisi kantin menghampiri kita bertiga sambil berteriak, “Aku hamil! Aku hamil! Aku hamil!”
Perut mereka semua perlahan mulai membesar seperti ibu hamil, belum selesai mata gue merespon semua kejanggalan ini tiba-tiba Inah datang sambil mennyiram air es ke muka gue, “Kak bangun!”
Gue gelagapan, dalam mobil, dan basah kuyup. Emil, Masayu dan mbak-mbak di kantin menghilang. Jurus teleportasi? Gue teleportasi dari kantin ke mobil, gila hebat banget.
Inah menutup pintu mobil disebelah gue, “Kakak ni kenapa? Ayo buruan jalan.”
“Em … emil? mana?”
“Udah masuk ke kelas.”
Satu hal yang baru gue sadari, barusan gue ketiduran. Emil suka sama gue, Masayu mergokin gue pelukan sama cewek, ratusan cewek hamil mengepung. Gila, gue enggak siap dengan semua kejadian itu, untungnya semua cuma mimpi.
Diubah oleh dasadharma10 17-03-2016 18:39
JabLai cOY memberi reputasi
1


