- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 20:55
anasabila memberi reputasi
1
35.8K
Kutip
295
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#142
Spoiler for Gelembung 14: Pengakuan:
“Jadi mau kamu apa?” tanyanya setengah menahan tangis. Aku masih membisu, masih tersenyum pada tetesan air hujan itu. Aku tak mengerti apa yang wanita itu pikirkan. Yang aku tahu, saat ini aku sedang mengabaikannya.
Hujan tak kunjung berhenti sejak aku memasuki sebuah kafe di Jalan Kalimantan. Tak ada jalan untukku pulang karena hujan selalu saja mempermainkan kami.
Tempat nongkrong ini didesain semi outdoor. Hanya ada sebuah ruangan kecil berisi stuff untuk kasir dan ruangan tempat meracik menu yang dibatasi oleh sebuah sekat kayu. Sisanya, meja-meja kecil tertata rapi di bawah payung-payung besar dan beberapa gazebo bertingkat untuk para pengunjung yang datang.
Tidak terlalu banyak orang yang datang malam itu. Maklum, minggu malam adalah malam persiapan. Orang-orang di sini lebih banyak menghabiskan minggu malam untuk beristirahat agar lebih segar menyambit senin pagi. Akupun begitu. Hanya saja, ada hal yang harus segera diselesaikan sehingga membuatku beranjak dari rumah.
Dinginnya angin malam semakin menusuk saat hujan makin deras. Aku sedikit menggigil kedinginan. Jaket biru yang ku kenakan sedikit ku eratkan. Naya menyadarinya. Ia kemudian memberikan sebuah syal merah muda yang dikalungkannya sejak tadi kepadaku. Aku mengerti ia sangat memperdulikanku. Dan kini aku sadar, bahwa aku yang mengabaikannya.
“Ji? Kamu masih marah?”
Aku terdiam dan memalingkan muka. Aku tak ingin menjawab pertanyaannya.
“Ji?” ia bertanya. Aku menoleh padanya lagi, dan sorot matanya yang ramah menarik sesuatu dalam kalbuku.
“Biasa aja,” jawabku sekenanya. Sebuah latte hangat ku genggam agar dingin sedikit pergi.
Naya menghela nafas yang cukup berat. Tangannya mencoba meraih jemariku. Namun aku reflek menghindarinya.
“Kenapa?” tanyanya dengan nada bergetar. Aku tidak menjawab. Tatapanku kosong pada segelas latte yang sempat menghangatkanku tadi.
“Nggak papa,” kataku seraya menggelengkan kepala. Sekilas kulihat Naya sedikit murung setelah mendengar jawabku barusan.
Lalu, keheningan kembali menyelimuti udara di sekitar kami. Masih belum terlihat tanda-tanda hujan akan mereda. Cipratannya yang melompat masuk di tempat kami duduk membuatku semakin tidak karuan. Sabar, ini belum berakhir. Sepertinya malam masih panjang untuk ku lewati.
“Bagas apa kabar?” aku mulai membuka suara. Sengaja aku memulainya dengan sebuah pertanyaan yang mungkin akan membuatnya mengerti perubahan sikapku sejak tadi.
Dan benar saja, kamu sedikit terkejut mendengarnya. “Ba, baik kok. Kenapa emangnya?”
“Dia tau kamu ke sini?” aku bertanya lagi.
Matanya melirik ke arah tetesan hujan untuk beberapa saat, “Enggak, dia nggak tau.”
Alisku mengerut, sebuah perasaan gusar perlahan merayap di dadaku, “Kamu bohong ke Bagas?”
“Enggak!” jawabnya tegas, “Di nggak tau aku ke sini karena aku nggak ngasih tau dia aku ke sini. Itu beda sama yang namanya bohong.”
“Seperti kamu nggak ngasih tau gimana sebenernya perasaanmu ke dia bukan?”
Kamu kembali terdiam, seakan-akan teerbungkam oleh pertanyaanku. Di tengah dinginnya malam aku masih bisa melihat dengan jelas wajahmu yang sedikit terpukul. Benar atau tidak bukan jadi masalah. Yang jelas ia sedang berpikir, entah apa yang dipikirkannya.
“Apa namanya kalo nggak bohong? Kamu pergi, hilang nggak ngasih kabar. Keesokan harinya kamu tiba-tiba muncul sama dia, ngumbar kemesraan di depan temen-temen, di sekolah. Di depan aku.
Tiga hari kemarin kamu berubah jadi orang yang ga aku kenal, Nay.”
Aku tak berani menatap matanya, takut bulir-bulir air mata yang ku tahan sejak tadi keluar bila mata coklat itu bertemu dengan milikku.
“Tiga hari, Nay, tiga hari. Aku selalu nungguin saat-saat kamu lagi sendiri, berharap aku bisa bertanya seperti sekarang ini.
Tapi apa? Nggak sedetikpun kamu jauh dari dia. Kemanapun kamu pergi selalu ada dia.”
“Ji..”
“Terus tiba-tiba kamu semalem sms pengen telfonan, tiba-tiba bilang kangen, maksudnya apa Nay? Apa?” tanyaku setengah membentak.
Naya kembali diam. Aku yakin ia sudah kehabisan kata-kata. Ia menundukkan kepala seperti pesakitan yang hendak menjalani hukuman gantung.
“Setelah semua yang kita lewati bersama, aku masih nggak habis pikir kenapa dia begitu mudahnya masuk di hidupmu.
Ya, memang, dia lebih pinter, lebih ganteng, lebih jago main basket, jago main musik, lebih kaya pula. Seperti katamu waktu itu, perfect!”
“Aji, udah..”
“Udah apa?” aku memotong setengah membentak, “Aku capek Nay, capek. Aku nggak ngerti maumu gimana. Nggak habis pikir bisa-bisanya kamu ngebangga-banggain dia di depan aku. Iya aku tau dia lebih segala-galanya dari aku. Tapi emang kamu mau kalo aku ngebangga-banggain cewek lain di depan kamu? Mau?”
Naya menggelengkan kepalanya pelan. Aku sudah mulai kalap. Ingin rasanya menahan namun emosi yang sejak kemarin kupendam sudah terlalu memuncak.
“Aku sayang kamu Ji,” ucapnya setengah berbisik.
Aku tersenyum sinis, “Sayang? Setelah semua yang kamu lakuin ke aku, kamu bilang sayang?”
“Iya!” lagi-lagi Naya menjawab pertanyaanku dengan tegas. Kepalanya perlahan terangkat, matanya menatapku dalam,
“Aku bisa aja pergi ninggalin kamu, terus memulai hubungan yang baru, entah itu sama dia atau sama orang lain.
Iya, Ji. Dia jauh lebih segalanya dari kamu, lebih sempurna dari kamu. Aku nggak menyangkal itu.
Tapi aku nggak butuh itu semua, aku cuma butuh kamu.”
Mendadak aku ingin muntah mendengar kata-kata Naya. Tidak ku sangka dia bisa sebercanda ini denganku.
“Bener kan, kamu bohong. Ucapanmu barusan ga ada buktinya Nay.”
“Bukti? Perlu bukti apa lagi? Masih kurang aku di sini di depanmu sekarang?” Aku mengerutkan dahi, kata-kata Naya mulai tidak aku mengerti.
“Kamu juga masih sayang aku Ji,” ucapnya sambil tersenyum.
“Tau dari mana?”
“Kamu di sini sekarang udah jauh lebih cukup buat aku tau kalo kamu masih sayang aku. Kalo enggak, kamu ga akan mau aku ajakin buat hujan-hujanan ketemu di sini. Iya kan?”
Ia kembali tersenyum. Sial, dia di atas angin sekarang. Harusnya aku yang marah karena kelakuannya belakangan ini. Namun lagi-lagi, senyuman Naya kembali membuatku mati kutu.
“Aku kira, kamu sama kaya cowok lainnya Ji. Lebih mentingin ego, keras, suka ngedepanin logika. Tapi ternyata, kamu jauh dari hal-hal itu.”
Apa-apaan ini? Kenapa aku diam saja mendengar penilaian Naya terhadapku?
“Beruntung ya aku kenal kamu. Kamu lebih lembut dari yang aku duga.
Tenang aja, aku nggak tersinggung kok kamu marah-marah tadi. Nggak peduli malah hehe.
Biasanya, kalo ada cowok yang tau ceweknya lagi dideketin, dia pasti langsung kalap, atau nyari orang itu biar ngejauhin ceweknya. Sesuai sama jalan pikiran cowok kebanyakan. Tapi kamu, kamu malah diem ternyata.”
Perkataan Naya sengaja tak aku gubris. Dua bola mata ini kutujukan pada awan mendung di luar sana. Kupasang wajah sedemikian rupa agar ia tahu aku sedang marah.
Melihatku tak bergeming, Naya kembali terdiam. Dari sini aku bisa melihat bahwa ia sedang berpikir. Mencari cara untuk merangkai kata-kata agar hatiku tersentuh. Namun kata-kata itu tak kunjung datang, memberi kesempatan pada keheningan untuk diam-diam merayap lalu membekap kami berdua.
Sebenarnya, aku merindukanmu, merindukan percakapan kita sampai larut malam. Aku rindu diriku yang rela menantimu menyelesaikan tugas atau sekedar menunggu kantuk tiba. Aku rindu memandang handphoneku hanya untuk membaca semua pesanmu. Aku rindu perhatian kecil yang selalu menemani hari-hariku, sebuah kebahagiaan yang sangat sulit untuk ku terjemahkan. Hingga segala kebahagiaan itu lenyap seketika, hilang, musnah, tak membekas, hanya dalam waktu tiga hari.
Dan selama tiga hari itu pula, aku mencoba menepis dan melawan keinginanku sendiri untuk tidak merindukanmu. Karena bagaimanapun aku menangis, mengeluh, atau apapun itu, tak akan membuatmu mengerti. Kamu tidak akan pernah tahu betapa aku lemas melihatmu bersanding dengannya setiap waktu. Ah, benar, aku paham, Aji-mu ini terlalu melankolis, terlalu mengedepankan perasaan. Kini aku mengerti aku bukanlah kriteriamu, lelaki sepertiku tak akan pernah cocok berdiri di samping wanita secerdas kamu.
Mungkin aku tak berhak marah, karena aku masih bukan menjadi siapa-siapamu. Namun, dengan secerca harapan yang kamu beri, dengan berjuta mimpi yang kamu tanam, tidak bolehkah aku cemburu-melihat lelaki lain yang begitu mudahnya berdiri di antara kita? Tidak bolehkah?
Matanya mulai berkaca-kaca. Naya menengadahkan mukanya ke atas. “Jadi mau kamu apa?” tanyanya setengah menahan tangis. Aku masih membisu, masih tersenyum pada tetesan air hujan itu. Memandangmu saat ini, perasaan takut kembali mencengeram hatiku. Aku tak ingin kamu pergi, namun aku tak bisa melihatnya bersamamu. Pikiranku terlalu kalut, sementara perasaanku terlalu rapuh. Aku tak mengerti harus mengorbankan yang mana. Hingga akhirnya aku memilih diam dan meletakkan segala keputusan berada di tanganmu.
Naya tersenyum lalu berusaha menghapus setitik air yang mulai mengalir di sudut matanya. Matanya masih tak berhenti menatapku, sementara kedua tangannya menggenggam tanganku erat. Maaf karena telah membuatmu menangis malam ini. Aku tidak menyangka akan begini akhirnya. Seandainya aku bisa, bertahan adalah hal yang paling ingin aku lakukan. Namun aku hanya manusia biasa, sabarku ada batasnya. Aku akan menunggu, namun tidak dengan cara seperti ini. Bila jiwamu lebih nyaman pada hati selain diriku, aku bisa apa? Kubalas genggaman tangannya seakan-akan berkata “Semua akan baik-baik saja, dengan atau tanpaku, kebahagiaanmu masih tetap sama.”
Di tengah guyur hujan yang masih belum mereda, samar-samar aku mendengar suara langkah kaki menaiki tangga, menuju tempatku dan Naya berada. Tapi siapa? Kami tidak memesan makanan lagi dan pengunjung di bawah kami sudah pulang sejak tadi. Semakin lama, suara itu semakin memecah keheningan di antara aku dan Naya. Aku mencoba tidak peduli, mencoba merasakan detik demi detik tangan Naya menggenggam tanganku, yang mungkin untuk terakhir kali.
Namun, hal tak terduga terjadi malam itu. Langkah kaki yang tadi sempat mengganggu sudah tak terdengar, hilang entah kemana. Sedetik kemudian, pandangan Naya beralih pada seseorang di belakangku. Ya, seseorang. Untuk beberapa saat aku merasakan kehadiran seseorang tepat di belakang tempatku berada.
Betapa terkejutnya aku saat menoleh ke belakang untuk mencari tahu. Astaga, Bagas berdiri dengan santainya. Ia tersenyum, tapi senyumannya terlihat seperti senyuman iblis di mataku. Lalu tiba-tiba, amarah mulai memenuhi rongga dadaku. Kepalaku mulai geram melihat pria penyebab hancurnya kedekatan kami berdiri seperti tanpa dosa setengah meter di belakangku. Kepalaku mendidih, dan tanpa sadar nafasku mulai memburu.
Aku menatap Naya seolah-olah meminta penjelasan apa yang terjadi sebenarnya, apa yang ia rencanakan, dan mengapa bedebah ini ada di sini. Namun Naya hanya menjawab dengan genggaman tangannya yang semakin erat, entah apa artinya aku tidak mengerti.
Sedetik kemudian aku mendengar langkah kaki lain dengan cepat menaiki tangga.
Rama? Kok?
Aku semakin bingung. Ada apa ini sebenarnya. Tiga manusia yang berpengaruh dalam hidupku beberapa waktu belakangan ini mengelilingiku di tengah hujan malam ini. Kepalaku semakin terasa berat, amarah yang sedari tadi memuncak seketika dihantam oleh sebuah rasa penasaran. Rama muncul sambil menenangkan nafas yang terengah-engah, lalu sebuah senyum menyeruak dari bibir anehnya. Tunggu, tangannya menopang sesuatu, aku kurang terlalu memperhatikan karena mataku segera kualihkan pada Naya. Yang ku lihat ada sebuah cahaya berpendar dari permukaan barang yang Rama bawa.
Cup.
Naya mengecup keningku. Aku tertegun, tak percaya apa yang baru saja aku alami. Semua berjalan begitu cepat, membuat dadaku menjadi sesak dan jantungku berdetak hebat. Ah, iya, lilin. Cahaya itu berasal dari sebuah lilih. Bukan, bukan satu. Dua, dua buah lilin. Dua buah lilin berbentuk angka yang berpendar ditopang Rama.
Naya tersenyum, lebih teduh dari sebelumnya. Lagi-lagi senyuman itu tak bisa mencegah hatiku menghangat setiap kali bibirnya melengkung hingga dua lubang kecil di pipinya tercetak. Kedua lesung itu pula yang membuat segala gundahku mereda kala itu.
Aku menghela nafas, tanpa bisa ku bendung lagi, air mataku mengalir.
“Selamat ulang tahun, Aji.”
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Hujan tak kunjung berhenti sejak aku memasuki sebuah kafe di Jalan Kalimantan. Tak ada jalan untukku pulang karena hujan selalu saja mempermainkan kami.
Tempat nongkrong ini didesain semi outdoor. Hanya ada sebuah ruangan kecil berisi stuff untuk kasir dan ruangan tempat meracik menu yang dibatasi oleh sebuah sekat kayu. Sisanya, meja-meja kecil tertata rapi di bawah payung-payung besar dan beberapa gazebo bertingkat untuk para pengunjung yang datang.
Tidak terlalu banyak orang yang datang malam itu. Maklum, minggu malam adalah malam persiapan. Orang-orang di sini lebih banyak menghabiskan minggu malam untuk beristirahat agar lebih segar menyambit senin pagi. Akupun begitu. Hanya saja, ada hal yang harus segera diselesaikan sehingga membuatku beranjak dari rumah.
Dinginnya angin malam semakin menusuk saat hujan makin deras. Aku sedikit menggigil kedinginan. Jaket biru yang ku kenakan sedikit ku eratkan. Naya menyadarinya. Ia kemudian memberikan sebuah syal merah muda yang dikalungkannya sejak tadi kepadaku. Aku mengerti ia sangat memperdulikanku. Dan kini aku sadar, bahwa aku yang mengabaikannya.
“Ji? Kamu masih marah?”
Aku terdiam dan memalingkan muka. Aku tak ingin menjawab pertanyaannya.
“Ji?” ia bertanya. Aku menoleh padanya lagi, dan sorot matanya yang ramah menarik sesuatu dalam kalbuku.
“Biasa aja,” jawabku sekenanya. Sebuah latte hangat ku genggam agar dingin sedikit pergi.
Naya menghela nafas yang cukup berat. Tangannya mencoba meraih jemariku. Namun aku reflek menghindarinya.
“Kenapa?” tanyanya dengan nada bergetar. Aku tidak menjawab. Tatapanku kosong pada segelas latte yang sempat menghangatkanku tadi.
“Nggak papa,” kataku seraya menggelengkan kepala. Sekilas kulihat Naya sedikit murung setelah mendengar jawabku barusan.
Lalu, keheningan kembali menyelimuti udara di sekitar kami. Masih belum terlihat tanda-tanda hujan akan mereda. Cipratannya yang melompat masuk di tempat kami duduk membuatku semakin tidak karuan. Sabar, ini belum berakhir. Sepertinya malam masih panjang untuk ku lewati.
“Bagas apa kabar?” aku mulai membuka suara. Sengaja aku memulainya dengan sebuah pertanyaan yang mungkin akan membuatnya mengerti perubahan sikapku sejak tadi.
Dan benar saja, kamu sedikit terkejut mendengarnya. “Ba, baik kok. Kenapa emangnya?”
“Dia tau kamu ke sini?” aku bertanya lagi.
Matanya melirik ke arah tetesan hujan untuk beberapa saat, “Enggak, dia nggak tau.”
Alisku mengerut, sebuah perasaan gusar perlahan merayap di dadaku, “Kamu bohong ke Bagas?”
“Enggak!” jawabnya tegas, “Di nggak tau aku ke sini karena aku nggak ngasih tau dia aku ke sini. Itu beda sama yang namanya bohong.”
“Seperti kamu nggak ngasih tau gimana sebenernya perasaanmu ke dia bukan?”
Kamu kembali terdiam, seakan-akan teerbungkam oleh pertanyaanku. Di tengah dinginnya malam aku masih bisa melihat dengan jelas wajahmu yang sedikit terpukul. Benar atau tidak bukan jadi masalah. Yang jelas ia sedang berpikir, entah apa yang dipikirkannya.
“Apa namanya kalo nggak bohong? Kamu pergi, hilang nggak ngasih kabar. Keesokan harinya kamu tiba-tiba muncul sama dia, ngumbar kemesraan di depan temen-temen, di sekolah. Di depan aku.
Tiga hari kemarin kamu berubah jadi orang yang ga aku kenal, Nay.”
Aku tak berani menatap matanya, takut bulir-bulir air mata yang ku tahan sejak tadi keluar bila mata coklat itu bertemu dengan milikku.
“Tiga hari, Nay, tiga hari. Aku selalu nungguin saat-saat kamu lagi sendiri, berharap aku bisa bertanya seperti sekarang ini.
Tapi apa? Nggak sedetikpun kamu jauh dari dia. Kemanapun kamu pergi selalu ada dia.”
“Ji..”
“Terus tiba-tiba kamu semalem sms pengen telfonan, tiba-tiba bilang kangen, maksudnya apa Nay? Apa?” tanyaku setengah membentak.
Naya kembali diam. Aku yakin ia sudah kehabisan kata-kata. Ia menundukkan kepala seperti pesakitan yang hendak menjalani hukuman gantung.
“Setelah semua yang kita lewati bersama, aku masih nggak habis pikir kenapa dia begitu mudahnya masuk di hidupmu.
Ya, memang, dia lebih pinter, lebih ganteng, lebih jago main basket, jago main musik, lebih kaya pula. Seperti katamu waktu itu, perfect!”
“Aji, udah..”
“Udah apa?” aku memotong setengah membentak, “Aku capek Nay, capek. Aku nggak ngerti maumu gimana. Nggak habis pikir bisa-bisanya kamu ngebangga-banggain dia di depan aku. Iya aku tau dia lebih segala-galanya dari aku. Tapi emang kamu mau kalo aku ngebangga-banggain cewek lain di depan kamu? Mau?”
Naya menggelengkan kepalanya pelan. Aku sudah mulai kalap. Ingin rasanya menahan namun emosi yang sejak kemarin kupendam sudah terlalu memuncak.
“Aku sayang kamu Ji,” ucapnya setengah berbisik.
Aku tersenyum sinis, “Sayang? Setelah semua yang kamu lakuin ke aku, kamu bilang sayang?”
“Iya!” lagi-lagi Naya menjawab pertanyaanku dengan tegas. Kepalanya perlahan terangkat, matanya menatapku dalam,
“Aku bisa aja pergi ninggalin kamu, terus memulai hubungan yang baru, entah itu sama dia atau sama orang lain.
Iya, Ji. Dia jauh lebih segalanya dari kamu, lebih sempurna dari kamu. Aku nggak menyangkal itu.
Tapi aku nggak butuh itu semua, aku cuma butuh kamu.”
Mendadak aku ingin muntah mendengar kata-kata Naya. Tidak ku sangka dia bisa sebercanda ini denganku.
“Bener kan, kamu bohong. Ucapanmu barusan ga ada buktinya Nay.”
“Bukti? Perlu bukti apa lagi? Masih kurang aku di sini di depanmu sekarang?” Aku mengerutkan dahi, kata-kata Naya mulai tidak aku mengerti.
“Kamu juga masih sayang aku Ji,” ucapnya sambil tersenyum.
“Tau dari mana?”
“Kamu di sini sekarang udah jauh lebih cukup buat aku tau kalo kamu masih sayang aku. Kalo enggak, kamu ga akan mau aku ajakin buat hujan-hujanan ketemu di sini. Iya kan?”
Ia kembali tersenyum. Sial, dia di atas angin sekarang. Harusnya aku yang marah karena kelakuannya belakangan ini. Namun lagi-lagi, senyuman Naya kembali membuatku mati kutu.
“Aku kira, kamu sama kaya cowok lainnya Ji. Lebih mentingin ego, keras, suka ngedepanin logika. Tapi ternyata, kamu jauh dari hal-hal itu.”
Apa-apaan ini? Kenapa aku diam saja mendengar penilaian Naya terhadapku?
“Beruntung ya aku kenal kamu. Kamu lebih lembut dari yang aku duga.
Tenang aja, aku nggak tersinggung kok kamu marah-marah tadi. Nggak peduli malah hehe.
Biasanya, kalo ada cowok yang tau ceweknya lagi dideketin, dia pasti langsung kalap, atau nyari orang itu biar ngejauhin ceweknya. Sesuai sama jalan pikiran cowok kebanyakan. Tapi kamu, kamu malah diem ternyata.”
Perkataan Naya sengaja tak aku gubris. Dua bola mata ini kutujukan pada awan mendung di luar sana. Kupasang wajah sedemikian rupa agar ia tahu aku sedang marah.
Melihatku tak bergeming, Naya kembali terdiam. Dari sini aku bisa melihat bahwa ia sedang berpikir. Mencari cara untuk merangkai kata-kata agar hatiku tersentuh. Namun kata-kata itu tak kunjung datang, memberi kesempatan pada keheningan untuk diam-diam merayap lalu membekap kami berdua.
Sebenarnya, aku merindukanmu, merindukan percakapan kita sampai larut malam. Aku rindu diriku yang rela menantimu menyelesaikan tugas atau sekedar menunggu kantuk tiba. Aku rindu memandang handphoneku hanya untuk membaca semua pesanmu. Aku rindu perhatian kecil yang selalu menemani hari-hariku, sebuah kebahagiaan yang sangat sulit untuk ku terjemahkan. Hingga segala kebahagiaan itu lenyap seketika, hilang, musnah, tak membekas, hanya dalam waktu tiga hari.
Dan selama tiga hari itu pula, aku mencoba menepis dan melawan keinginanku sendiri untuk tidak merindukanmu. Karena bagaimanapun aku menangis, mengeluh, atau apapun itu, tak akan membuatmu mengerti. Kamu tidak akan pernah tahu betapa aku lemas melihatmu bersanding dengannya setiap waktu. Ah, benar, aku paham, Aji-mu ini terlalu melankolis, terlalu mengedepankan perasaan. Kini aku mengerti aku bukanlah kriteriamu, lelaki sepertiku tak akan pernah cocok berdiri di samping wanita secerdas kamu.
Mungkin aku tak berhak marah, karena aku masih bukan menjadi siapa-siapamu. Namun, dengan secerca harapan yang kamu beri, dengan berjuta mimpi yang kamu tanam, tidak bolehkah aku cemburu-melihat lelaki lain yang begitu mudahnya berdiri di antara kita? Tidak bolehkah?
Matanya mulai berkaca-kaca. Naya menengadahkan mukanya ke atas. “Jadi mau kamu apa?” tanyanya setengah menahan tangis. Aku masih membisu, masih tersenyum pada tetesan air hujan itu. Memandangmu saat ini, perasaan takut kembali mencengeram hatiku. Aku tak ingin kamu pergi, namun aku tak bisa melihatnya bersamamu. Pikiranku terlalu kalut, sementara perasaanku terlalu rapuh. Aku tak mengerti harus mengorbankan yang mana. Hingga akhirnya aku memilih diam dan meletakkan segala keputusan berada di tanganmu.
Naya tersenyum lalu berusaha menghapus setitik air yang mulai mengalir di sudut matanya. Matanya masih tak berhenti menatapku, sementara kedua tangannya menggenggam tanganku erat. Maaf karena telah membuatmu menangis malam ini. Aku tidak menyangka akan begini akhirnya. Seandainya aku bisa, bertahan adalah hal yang paling ingin aku lakukan. Namun aku hanya manusia biasa, sabarku ada batasnya. Aku akan menunggu, namun tidak dengan cara seperti ini. Bila jiwamu lebih nyaman pada hati selain diriku, aku bisa apa? Kubalas genggaman tangannya seakan-akan berkata “Semua akan baik-baik saja, dengan atau tanpaku, kebahagiaanmu masih tetap sama.”
Di tengah guyur hujan yang masih belum mereda, samar-samar aku mendengar suara langkah kaki menaiki tangga, menuju tempatku dan Naya berada. Tapi siapa? Kami tidak memesan makanan lagi dan pengunjung di bawah kami sudah pulang sejak tadi. Semakin lama, suara itu semakin memecah keheningan di antara aku dan Naya. Aku mencoba tidak peduli, mencoba merasakan detik demi detik tangan Naya menggenggam tanganku, yang mungkin untuk terakhir kali.
Namun, hal tak terduga terjadi malam itu. Langkah kaki yang tadi sempat mengganggu sudah tak terdengar, hilang entah kemana. Sedetik kemudian, pandangan Naya beralih pada seseorang di belakangku. Ya, seseorang. Untuk beberapa saat aku merasakan kehadiran seseorang tepat di belakang tempatku berada.
Betapa terkejutnya aku saat menoleh ke belakang untuk mencari tahu. Astaga, Bagas berdiri dengan santainya. Ia tersenyum, tapi senyumannya terlihat seperti senyuman iblis di mataku. Lalu tiba-tiba, amarah mulai memenuhi rongga dadaku. Kepalaku mulai geram melihat pria penyebab hancurnya kedekatan kami berdiri seperti tanpa dosa setengah meter di belakangku. Kepalaku mendidih, dan tanpa sadar nafasku mulai memburu.
Aku menatap Naya seolah-olah meminta penjelasan apa yang terjadi sebenarnya, apa yang ia rencanakan, dan mengapa bedebah ini ada di sini. Namun Naya hanya menjawab dengan genggaman tangannya yang semakin erat, entah apa artinya aku tidak mengerti.
Sedetik kemudian aku mendengar langkah kaki lain dengan cepat menaiki tangga.
Rama? Kok?
Aku semakin bingung. Ada apa ini sebenarnya. Tiga manusia yang berpengaruh dalam hidupku beberapa waktu belakangan ini mengelilingiku di tengah hujan malam ini. Kepalaku semakin terasa berat, amarah yang sedari tadi memuncak seketika dihantam oleh sebuah rasa penasaran. Rama muncul sambil menenangkan nafas yang terengah-engah, lalu sebuah senyum menyeruak dari bibir anehnya. Tunggu, tangannya menopang sesuatu, aku kurang terlalu memperhatikan karena mataku segera kualihkan pada Naya. Yang ku lihat ada sebuah cahaya berpendar dari permukaan barang yang Rama bawa.
Cup.
Naya mengecup keningku. Aku tertegun, tak percaya apa yang baru saja aku alami. Semua berjalan begitu cepat, membuat dadaku menjadi sesak dan jantungku berdetak hebat. Ah, iya, lilin. Cahaya itu berasal dari sebuah lilih. Bukan, bukan satu. Dua, dua buah lilin. Dua buah lilin berbentuk angka yang berpendar ditopang Rama.
Naya tersenyum, lebih teduh dari sebelumnya. Lagi-lagi senyuman itu tak bisa mencegah hatiku menghangat setiap kali bibirnya melengkung hingga dua lubang kecil di pipinya tercetak. Kedua lesung itu pula yang membuat segala gundahku mereda kala itu.
Aku menghela nafas, tanpa bisa ku bendung lagi, air mataku mengalir.
“Selamat ulang tahun, Aji.”
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Diubah oleh chocolavacake 01-08-2016 10:39
0
Kutip
Balas