- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#997
PART 47
Tamu adalah raja, bukan, dalam kasus gue ini tamu adalah ratu. Malam ini Inah mulai menikmati tidurnya di kamar gue dan sedangkan gue malan ini mulai menikmati tidur di sofa ruang tamu. Sebenernya nggak ada nikmat-nikmatnya tidur di sofa, malah banyak nggak enaknya, tapi kenapa mas Roni betah tidur di ruang tamu? Mungkin dia sadar kalo kasurnya yang bisa meledak sewaktu-waktu itu juga berbahaya bagi dirinya.
Kalo gue tidur di sofa, mas Roni tidur dimana? Di hotel, bintang lima, sama cewek-cewek cakep! Udah kayak mafia bener itu orangtua. Enggak, gue bohong, dia lagi ada tugas yang perlu menginap gitu. Tugas menginap, gue jadi penasaran, tugas kayak apaan? Mas Roni itu sebenernya kerjaannya apaan?
Fakta pertama, dia itu berangkat kerja nggak menenetu, kadang subuh udah berangkat, kadang jam sepuluh baru berangkat, dan kadang dia nggak berangkat kerja sama sekali, karena waktu itu hari minggu. Fakta kedua, dia berangkat kerja bawa koper segede gaban walaupun malam harinya dia juga pulang ke kosan, jadi bisa dipastikan isi kopernya itu bukan pakaian. Mungkin semacam barang-barang kantor, bisa juga pistol atau barang berbahaya lainnya. Fakta nomor tiga, mas Roni sering bahas-bahas barang ilegal sama koh Wahyu, bisa jadi itu kerjaan mas Roni nggak jauh dari situ, mungkin penjual barang illegal. Fakta keempat, dia kerja jarang pakai kemeja, lebih sering pake kaos polo dan celana jeans, mirip kayak orang mau pergi jalan-jalan gitu. Nah, jadi apa pekerjaan mas Roni?
“DAAWWIIIII…!” teriak suara Emil.
“Ha? Apaan?” Gue masih asik menerawang pekerjaan mas Roni, “Jangan ganggu gue dulu.”
“Tadi abis nimbang naik dua ons masa,” ucap Emil megangin pipi.
“Diet kek apa olahraga gitu,” usul gue sambil masih menerawang. “Kayaknya gue kemarin nyimpen selebaran tempat gym, lo coba cari aja di tumpukan di kamar.”
Emil berlari ke lantai atas lagi, mencari tumpukan selebaran diskon gue. Nggak begitu lama dia turun dari tangga sambil menelepon selebaran yang dia bawa.
“Itu siapa Wi?” cewek mana lagi?” tanya Emil.
“Adek gue.”
“Adek? Sister? Kok nggak mirip?” tanya Emil lagi. “Namanya siapa?”
“Nanyanya satu-satu aja kenapa? Iya, dia adek gue, namanya Inah.”
“Inah? Serius? Masa sih namanya Inah? Nama lengkapnya siapa?”
“Sebenernya sih Mut mainah, cuma gue udah biasa manggil dia Inah.” Gue menuju ke dapur, “Kalo dirumah sih dipanggilnya Imut.”
“Mmmhh, kalo gitu—”
“Kalo gitu apa? Lo mau ikutan gue kasih nama panggilan lain?”
“Kok tau? Bagusnya dipanggil apa ya Wi?”
“Oi, nama panggilan tuh nggak bisa milih sendiri, aneh lo.”
“Jadi kamu mau manggil aku apa?” Emil bersemangat.
Gue menuang air minum ke dalam gelas, “Sayang.”
Emil kelihatan serius, “Boleh, boleh deh dipanggil gitu.”
Gue tersedak, “Yang bener aja lo?!”
Emil kelihatan serius dan nggak ada tanda-tanda bercanda, tapi gue yakin dia pasti lagi bercanda. Nggak mungkinlah gue panggil dia kayak gitu, yang ada malah bikin nggak nyaman nantinya.
“Lo mau mie nggak?” gue menyalakan kompor, “gue mau masak nih.”
Emil menggeleng sambil terus menonton tv di ruang tamu.
Gue tuang air ke dalam panci, gue tunggu sampe mendidih, gue masukan mie instan, aduk pelan, tiriskan. Mie gue udah jadi, setelah gue campur dengan bumbu, gue bawa ke ruang tamu dan makan disamping Emil.
Baru gue makan sebagian, bel kosan bunyi. Gue senggol Emil memberi kode buat bukain pintu, tapi dia malah senggol gue balik. Gue segera keluar memeriksa pintu depan. Pengantar pizza?! Siapa yang malem-malem gini delivery pizza? Bukannya koh Wahyu sama Sintya lagi keluar nyari roti bakar? Apa jangan-jangan mbak Irma? Tapi dia kan belum pulang.
“Oi, ini siapa yang delivery pizza turun, udah ditungguin!” teriak gue.
Terdengar langkah kaki dari ruang tamu, “Iya, tunggu.”
“Lo yang pesen Mil?”
“Iya, aku yang delivery tadi,” ucap Emil sambil membayar pizza.
“Bukannya lo lagi diet?
“Ini semua gara-gara kamu!” bentaknya sambil melempar kertas selebaran ke gue. “Gara-gara kamu, aku jadi nemu gituan!”
Waktu gue buka ternyata selebaran diskon pizza. Gue nggak kaget, kelakuan Emil memang nggak bisa ditebak.
Tamu adalah raja, bukan, dalam kasus gue ini tamu adalah ratu. Malam ini Inah mulai menikmati tidurnya di kamar gue dan sedangkan gue malan ini mulai menikmati tidur di sofa ruang tamu. Sebenernya nggak ada nikmat-nikmatnya tidur di sofa, malah banyak nggak enaknya, tapi kenapa mas Roni betah tidur di ruang tamu? Mungkin dia sadar kalo kasurnya yang bisa meledak sewaktu-waktu itu juga berbahaya bagi dirinya.
Kalo gue tidur di sofa, mas Roni tidur dimana? Di hotel, bintang lima, sama cewek-cewek cakep! Udah kayak mafia bener itu orangtua. Enggak, gue bohong, dia lagi ada tugas yang perlu menginap gitu. Tugas menginap, gue jadi penasaran, tugas kayak apaan? Mas Roni itu sebenernya kerjaannya apaan?
Fakta pertama, dia itu berangkat kerja nggak menenetu, kadang subuh udah berangkat, kadang jam sepuluh baru berangkat, dan kadang dia nggak berangkat kerja sama sekali, karena waktu itu hari minggu. Fakta kedua, dia berangkat kerja bawa koper segede gaban walaupun malam harinya dia juga pulang ke kosan, jadi bisa dipastikan isi kopernya itu bukan pakaian. Mungkin semacam barang-barang kantor, bisa juga pistol atau barang berbahaya lainnya. Fakta nomor tiga, mas Roni sering bahas-bahas barang ilegal sama koh Wahyu, bisa jadi itu kerjaan mas Roni nggak jauh dari situ, mungkin penjual barang illegal. Fakta keempat, dia kerja jarang pakai kemeja, lebih sering pake kaos polo dan celana jeans, mirip kayak orang mau pergi jalan-jalan gitu. Nah, jadi apa pekerjaan mas Roni?
“DAAWWIIIII…!” teriak suara Emil.
“Ha? Apaan?” Gue masih asik menerawang pekerjaan mas Roni, “Jangan ganggu gue dulu.”
“Tadi abis nimbang naik dua ons masa,” ucap Emil megangin pipi.
“Diet kek apa olahraga gitu,” usul gue sambil masih menerawang. “Kayaknya gue kemarin nyimpen selebaran tempat gym, lo coba cari aja di tumpukan di kamar.”
Emil berlari ke lantai atas lagi, mencari tumpukan selebaran diskon gue. Nggak begitu lama dia turun dari tangga sambil menelepon selebaran yang dia bawa.
“Itu siapa Wi?” cewek mana lagi?” tanya Emil.
“Adek gue.”
“Adek? Sister? Kok nggak mirip?” tanya Emil lagi. “Namanya siapa?”
“Nanyanya satu-satu aja kenapa? Iya, dia adek gue, namanya Inah.”
“Inah? Serius? Masa sih namanya Inah? Nama lengkapnya siapa?”
“Sebenernya sih Mut mainah, cuma gue udah biasa manggil dia Inah.” Gue menuju ke dapur, “Kalo dirumah sih dipanggilnya Imut.”
“Mmmhh, kalo gitu—”
“Kalo gitu apa? Lo mau ikutan gue kasih nama panggilan lain?”
“Kok tau? Bagusnya dipanggil apa ya Wi?”
“Oi, nama panggilan tuh nggak bisa milih sendiri, aneh lo.”
“Jadi kamu mau manggil aku apa?” Emil bersemangat.
Gue menuang air minum ke dalam gelas, “Sayang.”
Emil kelihatan serius, “Boleh, boleh deh dipanggil gitu.”
Gue tersedak, “Yang bener aja lo?!”
Emil kelihatan serius dan nggak ada tanda-tanda bercanda, tapi gue yakin dia pasti lagi bercanda. Nggak mungkinlah gue panggil dia kayak gitu, yang ada malah bikin nggak nyaman nantinya.
“Lo mau mie nggak?” gue menyalakan kompor, “gue mau masak nih.”
Emil menggeleng sambil terus menonton tv di ruang tamu.
Gue tuang air ke dalam panci, gue tunggu sampe mendidih, gue masukan mie instan, aduk pelan, tiriskan. Mie gue udah jadi, setelah gue campur dengan bumbu, gue bawa ke ruang tamu dan makan disamping Emil.
Baru gue makan sebagian, bel kosan bunyi. Gue senggol Emil memberi kode buat bukain pintu, tapi dia malah senggol gue balik. Gue segera keluar memeriksa pintu depan. Pengantar pizza?! Siapa yang malem-malem gini delivery pizza? Bukannya koh Wahyu sama Sintya lagi keluar nyari roti bakar? Apa jangan-jangan mbak Irma? Tapi dia kan belum pulang.
“Oi, ini siapa yang delivery pizza turun, udah ditungguin!” teriak gue.
Terdengar langkah kaki dari ruang tamu, “Iya, tunggu.”
“Lo yang pesen Mil?”
“Iya, aku yang delivery tadi,” ucap Emil sambil membayar pizza.
“Bukannya lo lagi diet?
“Ini semua gara-gara kamu!” bentaknya sambil melempar kertas selebaran ke gue. “Gara-gara kamu, aku jadi nemu gituan!”
Waktu gue buka ternyata selebaran diskon pizza. Gue nggak kaget, kelakuan Emil memang nggak bisa ditebak.
Diubah oleh dasadharma10 12-03-2016 23:40
JabLai cOY memberi reputasi
1


