- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 20:55
anasabila memberi reputasi
1
35.8K
Kutip
295
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#121
Spoiler for Gelembung 13: Cemburu:
Suasana selepas bel sekolah berbunyi kembali merayuku untuk segera berdiri di samping Pak Pur berada, tempat favoritku. Pria yang tak pernah bosan tersenyum ini sesekali sibuk membantu mengeluarkan motor beberapa murid lain. Langit sedikit gelap, mengisyaratkan rintik akan kembali membasahi bumi. Entah mengapa sejak tengah hari tadi aku seperti meronta ingin datang kemari.
Di tempat seramai ini, aku justru merasa sendiri. Seperti ada bagian yang hilang dari diriku. Sudah setengah jam aku berdiri di tengah kebisingan motor yang Cumiakkan telinga. Aku juga belum tahu persis mengapa sejak tadi yang ku lakukan hanya berdiri diam dan menatap lurus ke arah pintu masuk parkiran. Aku sangat berharap kamu datang agar aku bisa berbicara kembali dengamu meski hanya sebentar. Tapi mana mungkin kamu masih sudi? Sejak tiga hari yang lalu kamu tak lagi memberi kabar. Tak sebuah pesan, tak satupun penggilan.
Aku menebarkan pandangan, takut kamu terlewat dari tatapanku sedari tadi. Masih tak ada. Lesung pipimu belum bersinar di antara senyuman yang berlalu lalang. Ini bukan hal baru bagiku, berdiri menunggu lama sembari merasakan degub jantung yang selalu menemani saat langkahmu perlahan menuju motor kesayanganmu itu. Sepi dan hampa sudah silih berganti sejak tadi, dan aku tetap memandangi pintu masuk, mencoba tak terlalu pedulikan keadaan.
Nah, itu dia. Kamu akhirnya datang.Aku sempat tersenyum sebelum menghela napas panjang. Meski baru tigaa hari, rasanya seperti sudah lama sekali aku tidak bercengkrama denganmu. Senyuman itu masih tetap sama, ramah dan selalu mendamaikan. Aku sangat merindukan tatapanmu, tatapan mata coklat teduh itulah yang selama ini memberiku kenyamanan.
Tapi sayang, senyum dan tatapan manis itu kini bukan untukku lagi. Ada orang lain yang mungkin kini telah menggantikanku. Ya, seperti tiga hari sebelumnya, kamu tak berjalan sendiri. Tidak pula ditemani Nafla sahabatmu. Seorang lelaki sedang berjalan di sandingmu, lelaki yang pernah kita temui di toko buku kemarin.
Aku tahu kamu sempat melirik ke arahku di tengah gelak candamu dengannya. Yang aku lakukan hanya menatapmu dalam, mencoba menembus lapisan kaca helm serta lensa kacamatamu, berusaha mencari kebenaran di dalam mata coklat yang penuh dengan keteduhan itu. Tidak berapa lama kemudian kamu pergi bersamanya, tanpa melirikku, tanpa pernah menganggap keberadaanku di sini.
Pak Pur sedikit peka. Tangannya menepuk pundakku. Aku memaksakan senyum untuk terpampang di wajah ini meskipun hatiku kini berkeping-keping. Mungkin ini saatnya aku melupakan Naya.
***
Malam ini aku tak akan bicara banyak, atau bercerita tentang banyak hal yang sudah tentu kamu tahu. Hanya sebuah cerita sederhana yang mungkin tak lagi menjadi dongeng tidurmu. Atau mungkin, malam ini telah ada suara lelaki di ujung telepon yang dengan sabar menunggu kantukmu tiba. Entahlah, aku hanya bisa menerka-nerka.
Aku sering merasa seperti senja yang menemani malam datang. Terkadang aku merasa seperti hujan yang dengan sabar membasahi bumi. Dan di lain waktu aku merasa seperti gemintang yang bersinar menghiasi malam bersama rembulan
Kamu sudah tentu tahu, jarak yang membentang antara senja dan malam, hujan dan bumi, atau bintang dan bulan tak begitu jauh. Sangat dekat malah. Seperti aku dan kamu bukan? Dibatasi jarak yang sangat dekat dan aku tak pernah memiliki upaya untuk menggapaimu. Terutama sejak dia datang. Seakan jarak terjauh tercipta karenanya.
Tentu saja, kamu tak merasakan apa yang aku rasakan, mungkin juga tak memiliki rindu yang tiap malam membelenggu. Sejak kamu menghilang, sejak perhatianmu tak lagi menemani siang malamku, sejak tiga hari yang lalu, aku sengaja mengubur dalam perasaan itu, agar aku tak terkesan mengganggu. Seolah-olah aku tak lagi peduli, seakan-akan aku tak ingin tahu dan tak lagi memberimu perhatian. Benar begini bukan, yang selalu kamu mau? Cukup seperti ini, hanya ada aku dan kamu, tanpa kata kita.
Aku masih buta akan rencanaNya. Masih terlalu pagi untuk meraba-raba seperti apa jalan yang sudah Ia gariskan untukku. Pelangi yang kukira sudah siap kugenggam, tiba-tiba hilang dari pandangan. Sejak pertemuan itu, aku melihat kembali sorot mata saat pertama kali kamu mengenalku. Cerita tentang lelaki berhidung mancung itu membuatku terpana. yang. Kamu selalu membangga-banggakannya, begitu sempurna dirinya dimatamu, begitu berharganya dia dihidupmu, dan aku tahu itu.
Setidaknya, dalam tiga hari ini aku sudah berusaha melanjutkan hidupku, sepertinya segalanya berhasil dan berjalan sesuai rencana. Tapi, tanpa kuduga di malam-malam seperti ini kamu kembali membayangi, berlalu lalang. Otakku bersikeras menjadikanmu sebagi topik utama, dan perasaanku masih betah membiarkanmu berlama-lama di sana.
Tetapi, semua ternyata bertepuk sebelah tangan bukan? Tuan Putri pujaan hati, pemilik senyum menawan dan lesung pipi paling manis itu lebih memilih pergi bersama pangeran tampan dari negeri antah berantah. Tiga hari ini aku melihatmu berjalan berdua di setiap sudut sekolah. Tiga hari ini aku terpukul saat tahu di setiap datang dan pulang sekolah kamu berboncengan di belakang punggungnya. Bahkan, foto profinya facebooknya kini sudah berganti menjadi wajahmu. Entahlah bagaimana rasanya, yang pasti aku tahu semua terasa begitu sakit. Kenyataan bahwa aku terpuruk setelah sempat kau terbangkan tak akan pernah membuat kamu mengerti bagaimana rasanya.
Sering aku menggapaimu keluh kesahmu dan segenap panca indraku menjadi siap menampung segala ceritamu. Senyum manja, canda tawa, gelak tawa, semua terasa madu. Kamu adalah mawar, namun durimu kini menancap kuat dihatiku. Membekas, dan tak mampu ku obati sendiri.
Aku lupa persisnya, entah sekarang sudah minggu ke berapa. Hari berganti hari, kita semakin dekat, selalu bertukar cerita melalui pesan singkat ataupun bertemu langsung sambil malu-mali. Terkadang di sekolah diam-diam aku menatapmu, dari sudut yang tak pernah kamu ketahui. Terkadang dirumah aku menatap layar handphone berharap pesan singkatmu mampir atau sekedar nyasar. Aku benar-benar tidak tahu, apa ini rasa cinta atau sekedar rasa nyaman yang kuanggap terlalu berlebihan? Apakah ini jatuh cinta atau hanya ketertarikan sesaat? Aku bahkan tidak lagi mengerti mengapa namamu ada dalam bait-bait doa yang ku rapal setiap malam.
Lucunya, semua candamu selalu mengundang tawa. Dan semua perhatiamu selalu membuatku melayang tinggi. Semakin lama semakin kita dekat, aku semakin tak memahami rasa apa yang sebenarnya sedang mendekapku. Rasa yang begitu aneh namun nyata dan inilah yang aku rasakan.
Sampai aku lupa, bahwa segala hal ada batasnya. Aku sudah bersauh terlalu jauh, lupa arah di mana dermagaku berasal. Kamu menerbangkanku terlalu tinggi, tak mempertimbangkan sisa oksigen yang semakin menipis, atau sinar mentari yang mulai terasa menyengat. Lalu tahu-tahu, aku sudah karam di dasar samudra, setelah sebelumnya hampir mati tercekik atmosfer dan terbakar sinar surya. Sementara kamu sembunyi tangan sambil tersenyum mesra bersama orang lain dengan tanpa merasa bersalah.
Aku masih di sini. Aku terdiam mencoba untuk tidak mengusikmu, bukan berhenti mempedulikanmu. Aku masih belum lupa semua kenangan dan perasaan yang sempat singgah begitu lama. Ya, singgah, persinggahan lebih tepatnya.
Ingin sekali rasanya mengatakan segalanya. Segala yang ku rasakan tentangmu. Bahwa disini, seseorang yang senantiasa menampung ceritamu ini, memiliki rasa tulus dan begitu dalam untukmu. Namun, tak ada yang bisa ku lakukan. Aku terpuruk akan rasa takut kehilanganmu.
Kini, tak perlulah kita saling menyesalkan dan menyalahkan, yang sudah terjadi biarlah terjadi. Buat apa saling menyalahkan? Memang dulu kita pernah sepakat saling menyatukan. Nyatanya, kita sama-sama gagal membuat semuanya menjadi indah. Bagaimanapun, kamu pernah memelukku, kamu pernah mengecup keningku, dan menggenggam erat kedua tanganku. Kita hanya perlu saling menerima takdir dan jalan hidup yang sudah dituliskan.
Kamu, kamu adalah wanita yang sempat menjadi seseorang yang sangat aku rindukan, seseorang yang begitu aku inginkan, seseorang yang selalu ku nanti, meski kini aku menyadari kamu tak lagi tersenyum di sisiku.
Akhirnya, memang pada akhirnya tak ada yang akan terulang, jarum jam tak bisa diputar ke kiri. Aku masih bukan siapa-siapa. Bukan seseorang yang kamu sayangi saat ini. Namun aku adalah orang yang setia di sini. Setia menemanimu menunggu kantuk datang. Setia mendengarkanmu bercerita tentang dia yang bahkan itu begitu menyakitkan. Setia tersenyum melihatmu bahagia dengannya.
Jika benar kamu memiliki rasa padanya, kurelakan kamu untuk pergi. Ku izinkan kamu berbahagia bersamanya. Jangan pernah berpikir aku akan melupakanmu, tidak. Seperti bisikanmu saat itu, aku akan naik kelas. Aku akan menjadi lebih baik karena ada bagian dirimu yang tertinggal di sini. Maka dari itu aku sangat berterima kasih dan akan sangat berbahagia belajar untuk menerima kenyataan bahwa kita tak lagi bersama.
Terima kasih, bahagia yang berakhir lara, tetaplah hal yang membuatku mengerti banyak hal. Sebab, cinta terkadang adalah cara belajar dari hal-hal yang gagal.
Kring!
Aji? Masih bangun kah? Telfonan yuk.
Gelembung 14: Pengakuan
Di tempat seramai ini, aku justru merasa sendiri. Seperti ada bagian yang hilang dari diriku. Sudah setengah jam aku berdiri di tengah kebisingan motor yang Cumiakkan telinga. Aku juga belum tahu persis mengapa sejak tadi yang ku lakukan hanya berdiri diam dan menatap lurus ke arah pintu masuk parkiran. Aku sangat berharap kamu datang agar aku bisa berbicara kembali dengamu meski hanya sebentar. Tapi mana mungkin kamu masih sudi? Sejak tiga hari yang lalu kamu tak lagi memberi kabar. Tak sebuah pesan, tak satupun penggilan.
Aku menebarkan pandangan, takut kamu terlewat dari tatapanku sedari tadi. Masih tak ada. Lesung pipimu belum bersinar di antara senyuman yang berlalu lalang. Ini bukan hal baru bagiku, berdiri menunggu lama sembari merasakan degub jantung yang selalu menemani saat langkahmu perlahan menuju motor kesayanganmu itu. Sepi dan hampa sudah silih berganti sejak tadi, dan aku tetap memandangi pintu masuk, mencoba tak terlalu pedulikan keadaan.
Nah, itu dia. Kamu akhirnya datang.Aku sempat tersenyum sebelum menghela napas panjang. Meski baru tigaa hari, rasanya seperti sudah lama sekali aku tidak bercengkrama denganmu. Senyuman itu masih tetap sama, ramah dan selalu mendamaikan. Aku sangat merindukan tatapanmu, tatapan mata coklat teduh itulah yang selama ini memberiku kenyamanan.
Tapi sayang, senyum dan tatapan manis itu kini bukan untukku lagi. Ada orang lain yang mungkin kini telah menggantikanku. Ya, seperti tiga hari sebelumnya, kamu tak berjalan sendiri. Tidak pula ditemani Nafla sahabatmu. Seorang lelaki sedang berjalan di sandingmu, lelaki yang pernah kita temui di toko buku kemarin.
Aku tahu kamu sempat melirik ke arahku di tengah gelak candamu dengannya. Yang aku lakukan hanya menatapmu dalam, mencoba menembus lapisan kaca helm serta lensa kacamatamu, berusaha mencari kebenaran di dalam mata coklat yang penuh dengan keteduhan itu. Tidak berapa lama kemudian kamu pergi bersamanya, tanpa melirikku, tanpa pernah menganggap keberadaanku di sini.
Pak Pur sedikit peka. Tangannya menepuk pundakku. Aku memaksakan senyum untuk terpampang di wajah ini meskipun hatiku kini berkeping-keping. Mungkin ini saatnya aku melupakan Naya.
***
Malam ini aku tak akan bicara banyak, atau bercerita tentang banyak hal yang sudah tentu kamu tahu. Hanya sebuah cerita sederhana yang mungkin tak lagi menjadi dongeng tidurmu. Atau mungkin, malam ini telah ada suara lelaki di ujung telepon yang dengan sabar menunggu kantukmu tiba. Entahlah, aku hanya bisa menerka-nerka.
Aku sering merasa seperti senja yang menemani malam datang. Terkadang aku merasa seperti hujan yang dengan sabar membasahi bumi. Dan di lain waktu aku merasa seperti gemintang yang bersinar menghiasi malam bersama rembulan
Kamu sudah tentu tahu, jarak yang membentang antara senja dan malam, hujan dan bumi, atau bintang dan bulan tak begitu jauh. Sangat dekat malah. Seperti aku dan kamu bukan? Dibatasi jarak yang sangat dekat dan aku tak pernah memiliki upaya untuk menggapaimu. Terutama sejak dia datang. Seakan jarak terjauh tercipta karenanya.
Tentu saja, kamu tak merasakan apa yang aku rasakan, mungkin juga tak memiliki rindu yang tiap malam membelenggu. Sejak kamu menghilang, sejak perhatianmu tak lagi menemani siang malamku, sejak tiga hari yang lalu, aku sengaja mengubur dalam perasaan itu, agar aku tak terkesan mengganggu. Seolah-olah aku tak lagi peduli, seakan-akan aku tak ingin tahu dan tak lagi memberimu perhatian. Benar begini bukan, yang selalu kamu mau? Cukup seperti ini, hanya ada aku dan kamu, tanpa kata kita.
Aku masih buta akan rencanaNya. Masih terlalu pagi untuk meraba-raba seperti apa jalan yang sudah Ia gariskan untukku. Pelangi yang kukira sudah siap kugenggam, tiba-tiba hilang dari pandangan. Sejak pertemuan itu, aku melihat kembali sorot mata saat pertama kali kamu mengenalku. Cerita tentang lelaki berhidung mancung itu membuatku terpana. yang. Kamu selalu membangga-banggakannya, begitu sempurna dirinya dimatamu, begitu berharganya dia dihidupmu, dan aku tahu itu.
Setidaknya, dalam tiga hari ini aku sudah berusaha melanjutkan hidupku, sepertinya segalanya berhasil dan berjalan sesuai rencana. Tapi, tanpa kuduga di malam-malam seperti ini kamu kembali membayangi, berlalu lalang. Otakku bersikeras menjadikanmu sebagi topik utama, dan perasaanku masih betah membiarkanmu berlama-lama di sana.
Tetapi, semua ternyata bertepuk sebelah tangan bukan? Tuan Putri pujaan hati, pemilik senyum menawan dan lesung pipi paling manis itu lebih memilih pergi bersama pangeran tampan dari negeri antah berantah. Tiga hari ini aku melihatmu berjalan berdua di setiap sudut sekolah. Tiga hari ini aku terpukul saat tahu di setiap datang dan pulang sekolah kamu berboncengan di belakang punggungnya. Bahkan, foto profinya facebooknya kini sudah berganti menjadi wajahmu. Entahlah bagaimana rasanya, yang pasti aku tahu semua terasa begitu sakit. Kenyataan bahwa aku terpuruk setelah sempat kau terbangkan tak akan pernah membuat kamu mengerti bagaimana rasanya.
Sering aku menggapaimu keluh kesahmu dan segenap panca indraku menjadi siap menampung segala ceritamu. Senyum manja, canda tawa, gelak tawa, semua terasa madu. Kamu adalah mawar, namun durimu kini menancap kuat dihatiku. Membekas, dan tak mampu ku obati sendiri.
Aku lupa persisnya, entah sekarang sudah minggu ke berapa. Hari berganti hari, kita semakin dekat, selalu bertukar cerita melalui pesan singkat ataupun bertemu langsung sambil malu-mali. Terkadang di sekolah diam-diam aku menatapmu, dari sudut yang tak pernah kamu ketahui. Terkadang dirumah aku menatap layar handphone berharap pesan singkatmu mampir atau sekedar nyasar. Aku benar-benar tidak tahu, apa ini rasa cinta atau sekedar rasa nyaman yang kuanggap terlalu berlebihan? Apakah ini jatuh cinta atau hanya ketertarikan sesaat? Aku bahkan tidak lagi mengerti mengapa namamu ada dalam bait-bait doa yang ku rapal setiap malam.
Lucunya, semua candamu selalu mengundang tawa. Dan semua perhatiamu selalu membuatku melayang tinggi. Semakin lama semakin kita dekat, aku semakin tak memahami rasa apa yang sebenarnya sedang mendekapku. Rasa yang begitu aneh namun nyata dan inilah yang aku rasakan.
Sampai aku lupa, bahwa segala hal ada batasnya. Aku sudah bersauh terlalu jauh, lupa arah di mana dermagaku berasal. Kamu menerbangkanku terlalu tinggi, tak mempertimbangkan sisa oksigen yang semakin menipis, atau sinar mentari yang mulai terasa menyengat. Lalu tahu-tahu, aku sudah karam di dasar samudra, setelah sebelumnya hampir mati tercekik atmosfer dan terbakar sinar surya. Sementara kamu sembunyi tangan sambil tersenyum mesra bersama orang lain dengan tanpa merasa bersalah.
Aku masih di sini. Aku terdiam mencoba untuk tidak mengusikmu, bukan berhenti mempedulikanmu. Aku masih belum lupa semua kenangan dan perasaan yang sempat singgah begitu lama. Ya, singgah, persinggahan lebih tepatnya.
Ingin sekali rasanya mengatakan segalanya. Segala yang ku rasakan tentangmu. Bahwa disini, seseorang yang senantiasa menampung ceritamu ini, memiliki rasa tulus dan begitu dalam untukmu. Namun, tak ada yang bisa ku lakukan. Aku terpuruk akan rasa takut kehilanganmu.
Kini, tak perlulah kita saling menyesalkan dan menyalahkan, yang sudah terjadi biarlah terjadi. Buat apa saling menyalahkan? Memang dulu kita pernah sepakat saling menyatukan. Nyatanya, kita sama-sama gagal membuat semuanya menjadi indah. Bagaimanapun, kamu pernah memelukku, kamu pernah mengecup keningku, dan menggenggam erat kedua tanganku. Kita hanya perlu saling menerima takdir dan jalan hidup yang sudah dituliskan.
Kamu, kamu adalah wanita yang sempat menjadi seseorang yang sangat aku rindukan, seseorang yang begitu aku inginkan, seseorang yang selalu ku nanti, meski kini aku menyadari kamu tak lagi tersenyum di sisiku.
Akhirnya, memang pada akhirnya tak ada yang akan terulang, jarum jam tak bisa diputar ke kiri. Aku masih bukan siapa-siapa. Bukan seseorang yang kamu sayangi saat ini. Namun aku adalah orang yang setia di sini. Setia menemanimu menunggu kantuk datang. Setia mendengarkanmu bercerita tentang dia yang bahkan itu begitu menyakitkan. Setia tersenyum melihatmu bahagia dengannya.
Jika benar kamu memiliki rasa padanya, kurelakan kamu untuk pergi. Ku izinkan kamu berbahagia bersamanya. Jangan pernah berpikir aku akan melupakanmu, tidak. Seperti bisikanmu saat itu, aku akan naik kelas. Aku akan menjadi lebih baik karena ada bagian dirimu yang tertinggal di sini. Maka dari itu aku sangat berterima kasih dan akan sangat berbahagia belajar untuk menerima kenyataan bahwa kita tak lagi bersama.
Terima kasih, bahagia yang berakhir lara, tetaplah hal yang membuatku mengerti banyak hal. Sebab, cinta terkadang adalah cara belajar dari hal-hal yang gagal.
Kring!
Aji? Masih bangun kah? Telfonan yuk.

Gelembung 14: Pengakuan
Diubah oleh chocolavacake 01-08-2016 10:38
0
Kutip
Balas