- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 20:55
anasabila memberi reputasi
1
35.8K
Kutip
295
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#118
Spoiler for Gelembung 12: Begundal:
Sinar mentari pagi yang menembus titik embun di atas rimbun semak mengantarkan kehangatan sembari mengusir ara dingin yang dibawa sisa hujan semalam. Aku sangat menikmati bahagia yang kian hari kian terbangun megah di hatiku, semua karena Naya. Sepanjang waktu, selasar, dan jalan yang aku lewati tadi, mulutku terus bernyanyi kecil dengan riang, meskipun tak satupun lirik lagu yang dapat aku dendangkan dengan benar. Segala tingkahku pagi ini ternyata membuat Rama mengernyitkan dahi.
“Kumat kamu Ji?”
Aku hanya menjawab pertanyaan Rama dengan sebuah senyuman.
“Gendeng! Ini pasti efek keserempet kemaren,” katanya sambil menggelengkan kepala. Aku tak terlalu menanggapi teman sebangkuku ini, hati berbunga-bunga ternyata sangat dahsyat efeknya.
Tanaya Syauqia Haq. Yap, seperti yang sudah-sudah, gadis putih pemilik hidung mancung paling lucu dan lesung pipi paling manis itulah penyebabnya. Dia telah membuat hari-hariku menjadi penuh warna. Cintaku sepertinya memang ridak salah alamat. Rasa sayang ini hinggap di tempat yang sangat-sangat tepat. Dia teman ngobrol yang sangat menyenangkan, dari resep rawon merah khas madura hingga sepak terjang calon presiden pemilu kemarin, dia mengikutinya. Apalagi kami juga sama-sama penyuka novel romance. Kosakata jenuh seketika hilang ketika aku berada didekatnya. Singkatnya, perempuan scorpio ini sangatlah istimewa, dan aku adalah orang yang paling beruntung memiliki kesempatan menjalani hari dengan segenap perhatiannya.
Jam 4 ya, jangan telat.Begitu bunyi pesan singkatnya yang baru saja aku terima.
Sore itu kami akan pergi ke toko buku. Memperbaharui kosakata, kata Naya. Dengan mengendarai motornya, kami berpacu dengan rintik hujan menuju Jalan Trunojoyo, tempat toko buku terbesar di sini.
“Basah nggak?” tanyanya saat kami berjalan menuju pintu masuk.
“Cuma jaketnya kok,” kataku sambil melepas jaket yang lumayan basah, lalu menitipkannya di bagian penitipan barang.
Ada dua lantai di sini. Lantai satu merupakan tempat banyak hal. Mulai dari alat tulis kantor, alat musik, berbagai jenis kado, tas, jam, dan lain-lain. Sedangkan lantai dua khusus tempat berbagai macam buku berada. Itulah tujuan kami.
Sesampainya di atas, Naya langsung berkeliling di antara banyak rak buku, meninggalkanku yang sedang berdiri di depan tumpukan buku dengan sebuah papan di atasnya bertuliskan Best Seller. Mungkin matanya sudah terlalu haus akan ribuan kata-kata, karena sore ini adalah kali pertama Naya mampir kemari sejak tiga bulan yang lalu. Ku tatap beberapa judul buku di hadapanku. Ketika Cinta Bertasbih, 5 cm, New Moon, ah tidak ada yang menarik perhatianku. Ku lirik ke arah Naya pergi, tidak ada. Biarlah, biar dia melepaas rindu dengan terbenam di antara rak-rak buku.
Aku menuju bagian novel terjemahan, mencari-cari sesuatu yang dapat menggugah hati ini untuk membaca. Yah, lagi-lagi tidak ada satupu dari deretan novel yang menarik perhatianku. Kulirik Naya, dia sedang di rak Filosofi. Sebuah buku berada digenggamannya, ia tersenyum sambil berbincang dengan seseorang di sampingnya.
Tunggu dulu. Naya ke sini bersamaku, dan aku tidak melihat satu teman sekolahku di sekitar sini. Aku mencari posisi terbaik untuk mendapat penglihatan siapa yang sedang berbicara dengan Naya. Ku coba menenangkan diri, mungkin dia karyawan yang sedang dimintai tolong Naya untuk mencari buku.
Aku mengernyitkan dahi, seorang lelaki, seorang lelaki menatapku dari jauh saat Naya mengarahkan tangannya ke arahku.
Itu bukan karyawan! Seratus persen bukan. Itu adalah seorang cowok asing yang sedang menemani Naya dengan santainya sambil memasang senyuman konyol. Aku tersentak kaget, lalu dengan penuh keraguan berjalan menuju ke tempat mereka berada.
“Ji, udah dapet bukunya?” tanya Naya saat melihatku datang menghampiri. Aku tersenyum getir sambil melirik lelaki yang asyik memandangi Naya daripada memperhatikan keberadaanku.
“Oiya, ini Bagas. Temen satu kelompokku dulu waktu MOS.”
“Bagas,” pria putih berkacamata agak lebar itu menyodorkan telapak tangannya kepadaku.
“Aji,” jawabku sambil menggenggam tangannya mantap. Wajah pria didepanku ini familiar, aku sepertinya pernah bertemu dengannya.
“Baru nyampe? Kok baru keliatan?” tanyaku basa basi.
“Oh, iya. Kebetulan lewat sih abis nganterin Ibu tadi,” ucapnya tanpa sedikitpun memandang wajahku. Sial, siapa sih nih anak? Dari tadi ngeliatin Naya sambil senyum-senyum.
“Kebetulan juga Naya sms kalo dia lagi di sini, yaudah deh sekalian meet up udah lama ga ketemu soalnya,” katanya menambahkan, membuatku terperangah.
Aku menarik napas, berusaha menahan emosi. Memang sih tak ada salahnya, tapi kenapa harus pria yang satu ini yang Naya sms? Bagas, Bagas, Bagas. Ah, itu dia. Lelaki yang harus ku akui lebih ganteng daripada aku ini sempat jadi idola waktu penutupan MOS kemarin. Ia terpilih menjadi pemenang nominasi siswa terganteng pilihan panitia.
“Kamu masih suka Habibie, Nay?” tanya Bagas membuyarkan lamunanku.
“Suka banget, eh, kok kamu tau aku suka Habibie?”
Bagas tersenyum, begitu pula Naya. Aku mencoba menyibukkan diri dengan membaca judul buku apa saja di hadapanku.
“Tau lah, kan waktu itu kamu cerita pas sesi kenalan di depan kelas.”
“Ooooh iyaaa, kok kamu inget sih?” ucap Naya girang.
Aku semakin panas, percakapan dua orang di sampingku ini benar-benar membakar api cemburu.
“Tahun depan buku Habibie Ainun terbit, Nay.”
“Oiya? Serius? Kok kamu tau sih Gas? Waaaah aku harus wajib beli tuh.”
“Masih lama kok, sekitar bulan November keluarnya kalo ga salah.”
Argggh, apa-apaan ini sih? Siapa Bagas? Kenapa mereka sudah seperti dekat sejak lama? Apa aku yang kurang mencari tahu siapa saja lelaki yang mendekati Naya?
“Aku duluan ya, Nay. Ibu tiba-tiba sms nih minta dijemput,” katanya sambil mengecek handphone di tangannya.
“Yaudah, kamu ati-ati ya Gas,” ucap Naya sambil tersenyum. Ah Naya, kenapa senyum itu yang kamu kasih?
“Duluan sob,” Bagas menepuk pundakku lalu ngeluyur pergi.
Bodo amat deh, mau duluan mau enggak, Pergi yang jauh sana!
“Ji?” tanya Naya mengagetkanku.
“Udah dapet bukunya belum?”
“Emm belum. Lagi ga ada yang pengen aku baca nih.”
“Kamu kenapa, Ji? Mukamu kok bete gitu?”
Sial, ketahuan juga, “Enggak kok, ngapain juga bete?” ucapku sambil mencoba tersenyum manis.
“Ga usah bohong. Kamu ga bisa bohong di depan aku Ji.”
“Emmm. Abis ini mau kemana? Mau langsung pulang atau gimana?” kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Beli Strawberry float yuk. Udah lama ga beli itu,” ucapnya girang. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakan keinginannya itu.
Sekitar jam 5 sore kami meninggalkan toko buku tanpa membeli apa-apa. Aku dan Naya sama-sama sedang kurang ada gairah membaca ternyata. Hujan mulai mereda, tinggal titik-titik kecil yang berjatuhan dari atas sana. Rintik, begitu para pujangga menyebutnya.
Aku tidak tahu apa rencana Tuhan padaku hari ini, selalu saja ada rahasia demi sebuah tujuan baik, meskipun pahit terkadang manjadi bumbu yang tak diinginkan.
“Ga mau pesen apa-apa lagi, Nay?”
“Enggak kok, aku pengen Stawberry float aja,” katanya lalu meninggalkanku mencari sebuah meja.
Restoran cepat saji itu sedikit ramai dari biasanya. Hujan membuat para pelanggan berdiam diri sejenak. Aku berdiri mengantri untuk memesan pesanan Naya, ku samakan dengan pesananku tentunya. Sedikit bising di telinga, ada yang sedang merayakan ulang tahun di sana.
“Ini dia pesanannya..” ujarku sambil menirukan pramusaji dengan sedikit hiperbola.
“Oh, iya. Makasih Aji,” Naya mengambil gelas dari nampan plastik yang baru ku letakkan di atas meja tanpa memalingkan matanya dari handphone yang ia genggam.
“Serius amat, dari siapa Nay?”
“Oh, ini. Enggak ini si Agas barusan sms.”
“Agas?”
“Bagas Ji, Bagas. Aku suka manggil dia Agas.”
Aku kembali mengernyitkan dahi. Wow, orang yang baru aku temui tadi sudah mempunyai panggilan spesial rupanya.
“Tau nggak, Ji, jadi Agas itu punya band, nah bulan depan mereka mau jadi band pembuka konser salah satu band gede di Surabaya. Keren nggak sih?
Waktu itu aku pernah ikut dia kan ya latian gitu di studio, yaampun keren banget Ji. Jago banget Agas main gitarnya. Ya meskipun dia sebenernya megang bass sih kalo lagi manggung.
Kamu bisa main gitar nggak Ji?”
Aku tersentak, tenggorokanku hampir tersedak float berry, aku menggelangkan kepala cepat, namun wanita didepanku tak melihat jawabanku. Perhatiannya kembali pada pesan singkat dari basis band yang namanya saja aku tak tahu.
“Kamu tau lukisan di sebelah pintu TU Ji? Itu lukisan si Agas loh. Dari banyak lukisan yang dikumpulin buat tugas kesenian, lukisannya jadi salah satu yang dipajang di sekolah. Nggak ngerti lagi sama itu anak, apa aja bisa.
Oiya, Bu Ira sering cerita-cerita si Agas kalo di kelasku. Yang ini lah, itu lah. Dielu-elukan banget deh. Ntar mau diikutin OSN kimia katanya.
Tapi sayang dia gamau gabung tim basket sekolah. Padahal kalo masuk pasti jadi kapten tuh. Sering aku liat dia main basket sama temen-temennya di alun-alun kalo lagi jogging. Was wus was wus, suka pamer skill gitu kalo lagi main hehe.”
Ya ya ya. Agas agas agas. Siapa sih sebenarnya dia? Kenapa Naya tahu banyak tentang Agas?
Ku coba meredakan hati dengan memperhatikan keramaian di sekelilingku. Sial, tetap saja celoteh Naya terasa Cumiakkan telinga. Suara bising masih mampu diredamnya.
Lalu sejenak pandanganku tertuju pada sebuah lukisan di atas pompa saus yang dikerubungi banyak anak kecil itu. Sebuah panorama tersusun indah dalam sebuah bingkai kayu. Senja. Ya, aku merindukannya. Pemandangan senja membuatku ingin kembali menikmati hamparan langit dan lautan yang terhubung oleh sebuah cakrawala. Hanya di bibir pantai keduanya terlihat bertemu. Dan ketika kita mencoba mencari titik temu di antara keduanya, hanya ruang kosong yang kita dapatkan. Ah, dalam sekali filosofi itu.
“Di sekolah aku jarang keliatan si Agas loh, kamu juga kan Ji?. Ternyata dia lucu banget tau orangnya. Padahal kalo di sekolah gayanya minta ampun, sok cool banget. Si Nanda sama Mira aja klepek-klepek kalo dia lewat.
Banyak tau Ji yang suka sama Agas, mbak-mbak panitia MOS kemarin sampe sekarang ada yang ngejar-ngejar dia. Wajar sih ya, udah baik, ganteng, pinter, anak band, pinter main basket, anak orang kaya pula. Perfect banget lah.”
Yap, perfect. Sebuah kata dalam bahasa inggris yang menyimpulkan sesosok pria dari negeri antah berantah yang saat ini tengah dipuja tuan putriku. Aku mengehala nafas, kembali menahan telinga yang mulai memerah.
“Ji?”
“Iyaa,” aku tersadar dari lamunanku tentang senja.
“Kok ngelamun sih?”
“Eh, nggak kok gapapa.”
Naya tersenyum lalu kembali mendongeng sambil sesekali menikmati minuman kesukaannya.
Entah mengapa, hari ini Naya tiba-tiba bercerita tentang Bagas seakan-akan dia lelaki paling baik yang pernah dia temui, seperti baru menyadari ada seorang pangeran tampan pujaan hati wanita yang akan siap mewarnai hari-harinya. Aku jadi bingung sendiri, apa aku harus bersedih, karena ada lelaki yang ternyata segalanya jauh lebih baik daripada diriku? Apa aku harus berbahagia, karena kini secara tak sengaja Naya menyadari betapa berharganya Bagas untuknya?
Aku ingin bertanya padanya tentang hari kemarin saat Naya memelukku, mencium keningku, atau berbisik kata mesra di telingaku, apakah Naya melakukan hal yang sama kepadanya?
Sore itu aku kembali termenung, di tengah rintik hujan, di antara ocehan Naya yang tak berhenti menyelipkan namanya, ternyata aku masih menjadi lautan dan Naya masih tetap menjadi langit. Sebuah cakrawala yang terlihat menyatukan keduanya, tak benar-benar nyata bukan? Ya, seperti aku dan Naya saat ini, tak benar-benar bersatu.
Gelembung 13: Cemburu
“Kumat kamu Ji?”
Aku hanya menjawab pertanyaan Rama dengan sebuah senyuman.
“Gendeng! Ini pasti efek keserempet kemaren,” katanya sambil menggelengkan kepala. Aku tak terlalu menanggapi teman sebangkuku ini, hati berbunga-bunga ternyata sangat dahsyat efeknya.
Tanaya Syauqia Haq. Yap, seperti yang sudah-sudah, gadis putih pemilik hidung mancung paling lucu dan lesung pipi paling manis itulah penyebabnya. Dia telah membuat hari-hariku menjadi penuh warna. Cintaku sepertinya memang ridak salah alamat. Rasa sayang ini hinggap di tempat yang sangat-sangat tepat. Dia teman ngobrol yang sangat menyenangkan, dari resep rawon merah khas madura hingga sepak terjang calon presiden pemilu kemarin, dia mengikutinya. Apalagi kami juga sama-sama penyuka novel romance. Kosakata jenuh seketika hilang ketika aku berada didekatnya. Singkatnya, perempuan scorpio ini sangatlah istimewa, dan aku adalah orang yang paling beruntung memiliki kesempatan menjalani hari dengan segenap perhatiannya.
Jam 4 ya, jangan telat.Begitu bunyi pesan singkatnya yang baru saja aku terima.
Sore itu kami akan pergi ke toko buku. Memperbaharui kosakata, kata Naya. Dengan mengendarai motornya, kami berpacu dengan rintik hujan menuju Jalan Trunojoyo, tempat toko buku terbesar di sini.
“Basah nggak?” tanyanya saat kami berjalan menuju pintu masuk.
“Cuma jaketnya kok,” kataku sambil melepas jaket yang lumayan basah, lalu menitipkannya di bagian penitipan barang.
Ada dua lantai di sini. Lantai satu merupakan tempat banyak hal. Mulai dari alat tulis kantor, alat musik, berbagai jenis kado, tas, jam, dan lain-lain. Sedangkan lantai dua khusus tempat berbagai macam buku berada. Itulah tujuan kami.
Sesampainya di atas, Naya langsung berkeliling di antara banyak rak buku, meninggalkanku yang sedang berdiri di depan tumpukan buku dengan sebuah papan di atasnya bertuliskan Best Seller. Mungkin matanya sudah terlalu haus akan ribuan kata-kata, karena sore ini adalah kali pertama Naya mampir kemari sejak tiga bulan yang lalu. Ku tatap beberapa judul buku di hadapanku. Ketika Cinta Bertasbih, 5 cm, New Moon, ah tidak ada yang menarik perhatianku. Ku lirik ke arah Naya pergi, tidak ada. Biarlah, biar dia melepaas rindu dengan terbenam di antara rak-rak buku.
Aku menuju bagian novel terjemahan, mencari-cari sesuatu yang dapat menggugah hati ini untuk membaca. Yah, lagi-lagi tidak ada satupu dari deretan novel yang menarik perhatianku. Kulirik Naya, dia sedang di rak Filosofi. Sebuah buku berada digenggamannya, ia tersenyum sambil berbincang dengan seseorang di sampingnya.
Tunggu dulu. Naya ke sini bersamaku, dan aku tidak melihat satu teman sekolahku di sekitar sini. Aku mencari posisi terbaik untuk mendapat penglihatan siapa yang sedang berbicara dengan Naya. Ku coba menenangkan diri, mungkin dia karyawan yang sedang dimintai tolong Naya untuk mencari buku.
Aku mengernyitkan dahi, seorang lelaki, seorang lelaki menatapku dari jauh saat Naya mengarahkan tangannya ke arahku.
Itu bukan karyawan! Seratus persen bukan. Itu adalah seorang cowok asing yang sedang menemani Naya dengan santainya sambil memasang senyuman konyol. Aku tersentak kaget, lalu dengan penuh keraguan berjalan menuju ke tempat mereka berada.
“Ji, udah dapet bukunya?” tanya Naya saat melihatku datang menghampiri. Aku tersenyum getir sambil melirik lelaki yang asyik memandangi Naya daripada memperhatikan keberadaanku.
“Oiya, ini Bagas. Temen satu kelompokku dulu waktu MOS.”
“Bagas,” pria putih berkacamata agak lebar itu menyodorkan telapak tangannya kepadaku.
“Aji,” jawabku sambil menggenggam tangannya mantap. Wajah pria didepanku ini familiar, aku sepertinya pernah bertemu dengannya.
“Baru nyampe? Kok baru keliatan?” tanyaku basa basi.
“Oh, iya. Kebetulan lewat sih abis nganterin Ibu tadi,” ucapnya tanpa sedikitpun memandang wajahku. Sial, siapa sih nih anak? Dari tadi ngeliatin Naya sambil senyum-senyum.
“Kebetulan juga Naya sms kalo dia lagi di sini, yaudah deh sekalian meet up udah lama ga ketemu soalnya,” katanya menambahkan, membuatku terperangah.
Aku menarik napas, berusaha menahan emosi. Memang sih tak ada salahnya, tapi kenapa harus pria yang satu ini yang Naya sms? Bagas, Bagas, Bagas. Ah, itu dia. Lelaki yang harus ku akui lebih ganteng daripada aku ini sempat jadi idola waktu penutupan MOS kemarin. Ia terpilih menjadi pemenang nominasi siswa terganteng pilihan panitia.
“Kamu masih suka Habibie, Nay?” tanya Bagas membuyarkan lamunanku.
“Suka banget, eh, kok kamu tau aku suka Habibie?”
Bagas tersenyum, begitu pula Naya. Aku mencoba menyibukkan diri dengan membaca judul buku apa saja di hadapanku.
“Tau lah, kan waktu itu kamu cerita pas sesi kenalan di depan kelas.”
“Ooooh iyaaa, kok kamu inget sih?” ucap Naya girang.
Aku semakin panas, percakapan dua orang di sampingku ini benar-benar membakar api cemburu.
“Tahun depan buku Habibie Ainun terbit, Nay.”
“Oiya? Serius? Kok kamu tau sih Gas? Waaaah aku harus wajib beli tuh.”
“Masih lama kok, sekitar bulan November keluarnya kalo ga salah.”
Argggh, apa-apaan ini sih? Siapa Bagas? Kenapa mereka sudah seperti dekat sejak lama? Apa aku yang kurang mencari tahu siapa saja lelaki yang mendekati Naya?
“Aku duluan ya, Nay. Ibu tiba-tiba sms nih minta dijemput,” katanya sambil mengecek handphone di tangannya.
“Yaudah, kamu ati-ati ya Gas,” ucap Naya sambil tersenyum. Ah Naya, kenapa senyum itu yang kamu kasih?
“Duluan sob,” Bagas menepuk pundakku lalu ngeluyur pergi.
Bodo amat deh, mau duluan mau enggak, Pergi yang jauh sana!
“Ji?” tanya Naya mengagetkanku.
“Udah dapet bukunya belum?”
“Emm belum. Lagi ga ada yang pengen aku baca nih.”
“Kamu kenapa, Ji? Mukamu kok bete gitu?”
Sial, ketahuan juga, “Enggak kok, ngapain juga bete?” ucapku sambil mencoba tersenyum manis.
“Ga usah bohong. Kamu ga bisa bohong di depan aku Ji.”
“Emmm. Abis ini mau kemana? Mau langsung pulang atau gimana?” kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Beli Strawberry float yuk. Udah lama ga beli itu,” ucapnya girang. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakan keinginannya itu.
Sekitar jam 5 sore kami meninggalkan toko buku tanpa membeli apa-apa. Aku dan Naya sama-sama sedang kurang ada gairah membaca ternyata. Hujan mulai mereda, tinggal titik-titik kecil yang berjatuhan dari atas sana. Rintik, begitu para pujangga menyebutnya.
Aku tidak tahu apa rencana Tuhan padaku hari ini, selalu saja ada rahasia demi sebuah tujuan baik, meskipun pahit terkadang manjadi bumbu yang tak diinginkan.
“Ga mau pesen apa-apa lagi, Nay?”
“Enggak kok, aku pengen Stawberry float aja,” katanya lalu meninggalkanku mencari sebuah meja.
Restoran cepat saji itu sedikit ramai dari biasanya. Hujan membuat para pelanggan berdiam diri sejenak. Aku berdiri mengantri untuk memesan pesanan Naya, ku samakan dengan pesananku tentunya. Sedikit bising di telinga, ada yang sedang merayakan ulang tahun di sana.
“Ini dia pesanannya..” ujarku sambil menirukan pramusaji dengan sedikit hiperbola.
“Oh, iya. Makasih Aji,” Naya mengambil gelas dari nampan plastik yang baru ku letakkan di atas meja tanpa memalingkan matanya dari handphone yang ia genggam.
“Serius amat, dari siapa Nay?”
“Oh, ini. Enggak ini si Agas barusan sms.”
“Agas?”
“Bagas Ji, Bagas. Aku suka manggil dia Agas.”
Aku kembali mengernyitkan dahi. Wow, orang yang baru aku temui tadi sudah mempunyai panggilan spesial rupanya.
“Tau nggak, Ji, jadi Agas itu punya band, nah bulan depan mereka mau jadi band pembuka konser salah satu band gede di Surabaya. Keren nggak sih?
Waktu itu aku pernah ikut dia kan ya latian gitu di studio, yaampun keren banget Ji. Jago banget Agas main gitarnya. Ya meskipun dia sebenernya megang bass sih kalo lagi manggung.
Kamu bisa main gitar nggak Ji?”
Aku tersentak, tenggorokanku hampir tersedak float berry, aku menggelangkan kepala cepat, namun wanita didepanku tak melihat jawabanku. Perhatiannya kembali pada pesan singkat dari basis band yang namanya saja aku tak tahu.
“Kamu tau lukisan di sebelah pintu TU Ji? Itu lukisan si Agas loh. Dari banyak lukisan yang dikumpulin buat tugas kesenian, lukisannya jadi salah satu yang dipajang di sekolah. Nggak ngerti lagi sama itu anak, apa aja bisa.
Oiya, Bu Ira sering cerita-cerita si Agas kalo di kelasku. Yang ini lah, itu lah. Dielu-elukan banget deh. Ntar mau diikutin OSN kimia katanya.
Tapi sayang dia gamau gabung tim basket sekolah. Padahal kalo masuk pasti jadi kapten tuh. Sering aku liat dia main basket sama temen-temennya di alun-alun kalo lagi jogging. Was wus was wus, suka pamer skill gitu kalo lagi main hehe.”
Ya ya ya. Agas agas agas. Siapa sih sebenarnya dia? Kenapa Naya tahu banyak tentang Agas?
Ku coba meredakan hati dengan memperhatikan keramaian di sekelilingku. Sial, tetap saja celoteh Naya terasa Cumiakkan telinga. Suara bising masih mampu diredamnya.
Lalu sejenak pandanganku tertuju pada sebuah lukisan di atas pompa saus yang dikerubungi banyak anak kecil itu. Sebuah panorama tersusun indah dalam sebuah bingkai kayu. Senja. Ya, aku merindukannya. Pemandangan senja membuatku ingin kembali menikmati hamparan langit dan lautan yang terhubung oleh sebuah cakrawala. Hanya di bibir pantai keduanya terlihat bertemu. Dan ketika kita mencoba mencari titik temu di antara keduanya, hanya ruang kosong yang kita dapatkan. Ah, dalam sekali filosofi itu.
“Di sekolah aku jarang keliatan si Agas loh, kamu juga kan Ji?. Ternyata dia lucu banget tau orangnya. Padahal kalo di sekolah gayanya minta ampun, sok cool banget. Si Nanda sama Mira aja klepek-klepek kalo dia lewat.
Banyak tau Ji yang suka sama Agas, mbak-mbak panitia MOS kemarin sampe sekarang ada yang ngejar-ngejar dia. Wajar sih ya, udah baik, ganteng, pinter, anak band, pinter main basket, anak orang kaya pula. Perfect banget lah.”
Yap, perfect. Sebuah kata dalam bahasa inggris yang menyimpulkan sesosok pria dari negeri antah berantah yang saat ini tengah dipuja tuan putriku. Aku mengehala nafas, kembali menahan telinga yang mulai memerah.
“Ji?”
“Iyaa,” aku tersadar dari lamunanku tentang senja.
“Kok ngelamun sih?”
“Eh, nggak kok gapapa.”
Naya tersenyum lalu kembali mendongeng sambil sesekali menikmati minuman kesukaannya.
Entah mengapa, hari ini Naya tiba-tiba bercerita tentang Bagas seakan-akan dia lelaki paling baik yang pernah dia temui, seperti baru menyadari ada seorang pangeran tampan pujaan hati wanita yang akan siap mewarnai hari-harinya. Aku jadi bingung sendiri, apa aku harus bersedih, karena ada lelaki yang ternyata segalanya jauh lebih baik daripada diriku? Apa aku harus berbahagia, karena kini secara tak sengaja Naya menyadari betapa berharganya Bagas untuknya?
Aku ingin bertanya padanya tentang hari kemarin saat Naya memelukku, mencium keningku, atau berbisik kata mesra di telingaku, apakah Naya melakukan hal yang sama kepadanya?
Sore itu aku kembali termenung, di tengah rintik hujan, di antara ocehan Naya yang tak berhenti menyelipkan namanya, ternyata aku masih menjadi lautan dan Naya masih tetap menjadi langit. Sebuah cakrawala yang terlihat menyatukan keduanya, tak benar-benar nyata bukan? Ya, seperti aku dan Naya saat ini, tak benar-benar bersatu.
Gelembung 13: Cemburu
Diubah oleh chocolavacake 01-08-2016 10:36
0
Kutip
Balas