“Ya ampun rif… gue nggak ada apa apa sama Bayu…”Gua berusaha menjelaskan ke Arif waktu dia bertanya perihal pesan dari Bayu yang isinya ‘ngajak’ nonton.

Memang, si Bayu ‘ngajak’ gua nonton. Tapi, ini nggak seperti yang Arif bayangkan, gua nggak cuma berduaan dengan Bayu nonton ke bioskop. Dan, sepertinya sangat sulit menjelaskan duduk perkaranya ke Arif.

“Ini acara kantor, rif.. beneran.. acaranya emang nonton bareng..” Gua kembali menjelaskan ke Arif.

Dan seperti biasa, Arif hanya diam. Dia memanga seperti itu, lebih banyak diam jika sedang kesal atau marah. Atau cemburu seperti sekarang ini. Kadang ekspresi cemburu-nya bikin gua sedikit ‘Gede Rasa’, yang mana jarang banget gua rasakan. Tapi, kalau kondisi-nya sudah seperti ini, gua jadi agak jengkel. Ini seperti tuduhan tak beralasan, gua bagai seorang tertuduh maling ayam yang sedang berhadapan dengan pak polisi. Pak polisi yang diam saja, enggan bicara.

“Rif..?” gua menyebut namanya.

Sementara yang disebut masih diam berdiri mematung, bersandar pada dinding basement parkiran motor. Saat ini wajahnya terpasang tanpa ekspresi, datar. Sesekali dia memainkan bola matanya naik turun. Gua mendekat dan bersandar pada bahunya; “Yaudah, kalo lo nggak setuju gue jalan nonton bareng temen-temen kantor, gue nggak usah ikut..”

“Nggak gitu juga, cel..” Arif akhirnya membuka suara.

“Lah, ya terus gue harus gimana?” Gua bicara sambil mendongak ke arah wajahnya.

“Ya.. gimana ya…?” Arif balik bertanya, sementara tangannya menggaruk kepala.

“Hayooo.. bingung kan?”

“Gua tuh cuma nggak setuju kalo si Bayu itu sms ato chatting2an sama lu, cel.. perkara lu mau jalan bareng temen-temen kantor yang laen sih nggak masalah..”

“Serius?”

“Iya..”

“Berarti gue boleh dong ikut nonton?” Gua bertanya lagi ke Arif. Kali ini kami bicara sambil berjalan pelan menuju ke arah sepeda motor Arif yang terparkir di sudut basement.

“Si Bayu ikut?” Arif bertanya lagi, kali ini dia menghentikan langkahnya dan memandang ke arah gua.

“Ya, kayaknya si ikut… kan dia udah ngajak gue bareng..” Gua menjawab lirih, sementara mata ini nggak mampu membalas tatapannya.

Arif lalu menghela nafas, kemudian melanjutkan langkahnya. Gua berjalan cepat menyusulnya.

“Yaudah deh, gue nggak usah ngikut.. ribet banget cuma mau nonton doang..” Gua meninggikan nada bicara. Arif hanya menoleh sebentar kearah gua, nggak menjawab dan sama sekali nggak memberikan respon apa-apa.

Dalam hati gua membulatkan tekad untuk nggak ikut acara nonton bareng temen-temen kantor. Mengabaikan keinginan gua untuk ‘having fun’, menyingkirkan kesempatan bersosialisasi dengan orang lain yang bukan Arif. Entahlah, gua hanya nggak bisa membiarkan Arif terluka, terluka hati dan perasaannya gara-gara cemburu. Gua nggak bisa melihat Arif terbebani, sangat nggak bisa. Kalau memang harus gua yang berkorban, maka biarlah itu terjadi.

Kami berdua lalu larut dalam diam. Arif nggak banyak bicara setelah itu, sementara gua sudah kehabisan topik untuk diperbincangkan. Karena biasanya, dalam situasi seperti ini, topik apapun yang naik ke permukaan nanti di akhirnya bakal jadi sebuah perdebatan dan disusul sebuah pertengkaran. Gua nggak mau terjadi pertengkaran, bahkan perdebatan.
---

Gua turun dari boncengan sepeda motor, sementara Arif nggak mematikan mesin motornya, bahkan dia sama sekali nggak membuka helm yang menutupi kepalanya.

“Nggak mau mampir dulu?” Gua bertanya.

Arif membuka kaca helm-nya, memandang gua nanar kemudian menggeleng.

“Ati-ati ya, rif.. nanti kalo udah sampe rumah kabarin..” Gua menambahkan. Arif lalu mengangguk pelan kemudian berjalan pergi, menghilang dibalik tikungan gang kecil.

Nggak seberapa lama waktu berlalu, samar gua mendengar suara motor Arif dari kamar gua di lantai atas. Setengah berlari gua bergegas turun. Saat membuka pintu depan, sosok Arif sudah berdiri dihadapan gua, rambutnya acak-acakan bekas terkurung helm, sementara tanganya menenteng sebuah bungkusan putih yang kemudian disodorkan ke arah gua.

“Nih…”

Gua meraih bungkusan itu dari tangannya, masih kebingungan, gua bertanya; “Balik lagi, ada yang ketinggalan..?”

Arif mengangguk pelan sambil melangkah masuk kedalam rumah dan duduk di bangku rotan.

“Apaan yang ketinggalan?” Gua bertanya penasaran.

“Nggak tau.. kalo gua pulang dari sini, gua selalu ngerasa ada yang tertinggal…” Arif bicara, wajahnya terlihat serius atau mungkin lebih tepat disebut sengaja dibuat tampak serius.

“Apaan?” Gua kembali bertanya, sambil mengendus aroma bercanda dari ekspresi wajahnya.

Arif nggak langsung menjawab, dia mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum.

“Kayaknya hati gua tertinggal disini..” Arif lalu menjawab sambil tertawa.

“Aaahhh.. ayiiiipppp….” Gua lalu menghampiri dan duduk disebelahnya, kembali bersandar pada bahunya. Sementara bungkusan yang tadi diserahkan Arif masih berada dalam genggaman gua, entah apa isinya, gua nggal lagi pedulikan.

“Yee.. itu martabak-nya beresin dulu…” Arif bicara sambil menghindar dari bungkusan putih hangat yang bergoyang mengenai lengannya.

“Ntar dulu ah..” Gua menjawab santai, enggan beranjak dari bahu-nya. Enggan pergi dari masa-masa seperti ini.

“Nyender aja kayak cakwe…”
Gua lalu bangun, memasang tampang cemberut lalu bergegas ke dapur. Waktu berjalan saat nggak terlihat olehnya, gua menyunggingkan senyum. Gua bahagia.
---

Gua menyempatkan diri menengok Opa yang sudah tertidur dikamarnya, kemudian kembali ke ruang tamu sambil membawa piring berisi martabak. Sementara Arif terlihat mengernyitkan dahi memandang ke arah layar smartphone-nya, gua duduk disebelahnya dan mulai ‘kepo’ dengan apa yang sedang Arif lakukan. Dilayar smartphone-nya terpampang sebuah pesan dengan huruf yang besar, bahkan kelwat besar sampai mungkin bisa dibaca dari jarak 10 meter.

“Bisa balik ke kantor nggak rif, ada foto session dadakan nih..” Gua membantu Arif mendikte-kan isi pesan tersebut.

Arif, menghela nafas, kemudian perlahan mengetik balasan pesan tersebut; “OK!” kemudian memasukkan smartphone-nya kembali kedalam saku celananya.

“Mau balik ke kantor?” gua bertanya.
“Ho-oh..” Arif menjawab singkat, kemudian meraih jaket yang belum lama dilepasnya.
“Makan dulu ya..”
“Nggak deh, nanti aja dikantor.. belom laper..”
“Yaah, ntar masuk angin..”
“Nggak apa-apa, daripada masuk penjara.. ntar lu sedih..” Arif menjawab asal.

Gua berdiri lalu memeluknya. Arif yang masih mengenakan jaket lalu berhenti, terdiam.

“Gue baru seneng sebentar, lo udah mau pergi..”

“Cel…” Tangannya mengangkat dagu gua menghadap ke arahnya. Kami saling pandang.

“Besok lu kalo mau jalan nonton bareng sama temen-temen kantor, pergi aja, gua nggak apa-apa kok..” Arif bicara pelan.

“Serius?” Gua bertanya, mencoba meyakinkan lagi. Sementara Arif menjawab dengan sebuah anggukan.

“Pun si Bayu ikut?”

Arif kembali mengangguk sambil tersenyum.

“Bertahun-tahun lu nunggu gua tanpa sekalipun terfikir untuk selingkuh. Lalu kenapa sekarang gua harus takut kalo lu bakal selingkuh. Gua bener-bener egois kalo nggak nge-bolehin lu untuk pergi..” Arif bicara dengan nada serius, walapun sambil tersenyum.

“Ayiiippppp…” Gua memeluknya semakin erat. Dari balik pelukannya nggak terasa air mata gua menetes perlahan. Gua menangis, menangis bahagia.

Setelah nyaris nggak punya siapa-siapa untuk mengerti gua, nggak punya sesuatu untuk dibanggakan, nggak punya apa-apa yang bisa bikin gua benar-benar bahagia. Arif selalu ada untuk gua, untuk mengerti gua, untuk membesarkan hati gua, untuk membahagiakan gua, bahkan untuk menerima semua kekurangan gua.

Lagu High and Dry-nya Radio Head menggema diseisi ruangan. Membuyarkan sebuah pelukan yang seakan terasa untuk selamanya.
Arif merogoh saku celannya dan mengeluarkan smartphone yang masih berteriak lantang menggaungkan suara rendah melengkingnya Thom Yorke. Dari layar smartphone-nya terpampang nama “Ilham”.

“Kenapa boy?” Arif menjawab panggilan telepon dari Ilham dengan mode loudspeaker.

“Dimana lu? Modelnya udah nungguin ini…” Suara Ilham terdengan melalui speaker.

“Tunggu bentar, model bisa menunggu.. sementara cinta gua nggak punya waktu untuk menunggu..” Arif menjawab sambil cengengesan.

Gua tertawa mendengar jawabannya.

“Eh, suara siapa tuh? Cella yak?” Ilham bertanya.

“Halooo… Kak Ilhaaaaam…” Gua menyapa Ilham setengah berteriak.

“Halooo, cellaaaaa…. Arif-nya gua pinjem dulu yaaaa.. pacarannya dilanjut nanti ya, masih ada hari esok kok.. ini model-nya keburu kering nungguin Arif…” suara Ilham menggema diujung sana

“Iya, tapi nanti kasih Arif-nya jangan lupa dikasih makan yaaaaa…”

“Iyaaaa…”

Arif lalu mengakhiri panggilan. Dia kembali melanjutkan mengenakan jaketnya. Dan tanpa disangka, dia berbisik
"You're my butterfly, baby.." secepat kilat dia mengecup dahi gua, kemudian buru-buru pergi meninggalkan ruangan. Sementara gua hanya bisa berdiri mematung, nggak percaya akan kecupan yang baru saja gua dapatkan darinya.

“Gua jalan ya…bye..” Arif bicara sambil melambai. Dan gua masih terdiam, nggak mampu berkata apa-apa.