- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 13:55
anasabila memberi reputasi
1
35.5K
Kutip
295
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#110
Spoiler for Gelembung 11: Lik Tik:
Jauh sebelum reformasi bergulir, waktu itu, bulan Agustus lima puluh dua tahun yang lalu, seorang dukun bayi di pelosok Jember digegerkan oleh kedatangan sepasang suami istri didepan rumahnya. Mbah Suro. Begitu orang-orang memanggil bidan tradisional itu. Di tempat tinggal yang sekaligus menjadi tempat praktik kerjanya itu, konon pernah lahir pejuang-pejuang kemerdekaan Jember.
Mbah Suro tidak sembarang menerima pasien. Pernah suatu hari ada seorang lelaki yang datang tiba-tiba meminta bantuan Mbah Suro untuk membantu persalinan seorang jabang bayi istrinya, beliau menolaknya mentah-mentah. Lain waktu, pasangan lain tengah malam menggedor-gedor pintu rumah Mbah Suro karena anak dalam kandungannya sudah terasa akan keluar, tak sedikitpun Mbah Suro bergeming. Dibiarkannya anak itu keluar dari rahim ibunya dengan sendirinnya di beranda rumah Mbah Suro.
Weton, menjadi satu-satunya alasan Mbah Suro memilih-milih bayi yang akan dikeluarkannya.
Sayang seribu sayang, pasangan suami istri yang datang malam itu bertepatan dengan weton yang menjadi pantangan bagi Mbah Suro. Dan seperti pasangan-pasangan lain yang kebetulan apes, mereka berdua terduduk pasrah di beranda rumah Mbah Suro. Ditambah lagi angin yang menemani hujan semakin menambah cekam suasana malam itu.
Namun, sebuah keajaiban terjadi. Pertama kali sepanjang karir Mbah Suro, nenek sepuh itu menyuruh sepasang suami istri itu masuk ke dalam rumahnya. Dengan perasaan bahagia bercampur terkejut, sang suami membopong istrinya untuk rebahan di sebuah dipan tua yang terbuat dari bambu.
Lalu, dua setengah jam berikutnya adalah sebuah pengalaman kesekian kalinya bagi calon bapak si jabang bayi dan pengalaman pertama bagi Mbah Suro. Keduanya sama-sama berkeringat, sama-sama memiliki jantung yang berdebar semakin cepat. Ini adalah persalinan ketiga yang telah dijalani kedua sejoli itu. Dan ini adalah kali pertama Mbah Suro melakukan praktik dengan melanggar pakem yang ia pegang selama ini.
“Yang sabar, hidup anak ini akan diwarnai banyak kesialan,” ucap Mbah Suro pelan saat menyerahkan bayi pada sang suami.
Lelaki itu hanya diam, memandangi sejenak anak ketiganya dengan tatapan sayu. Lalu sebuah adzan dan iqomah dikumandangkannya di kanan dan kiri telinga bayi barunya itu.
“Terimakasih, Mbah.”
Mbah Suro tidak menjawab. Hanya sebuah senyum kecut yang ia lontarkan pada pasangan suami istri tersebut.
Menurut cerita yang beredar, setelah suami istri itu pergi, Mbah Suro menghilang. Ada yang bilang Mbah Suro pergi menuju pantai selatan untuk mengabdi pada penguasa laut selatan. Ada yang bilang Mbah Suro bertapa di sebuah petilasan raja Majapahit di daerah barat. Sebagian lagi, yang tahu Mbah Suro melakukan praktik saat weton pantangannya, beranggapan bahwa Mbah Suro kualat oleh kesialan yang dibawa oleh bayi itu sehingga kemampuan yang ia miliki hilang dan pergi dari desa itu. Cerita ketiga lebih populer dan telah turun temurun diceritakan.
Tak terima dijuluki anak pembawa sial, sepasang suami istri tersebut membawa ketiga anaknya pindah dari desa itu. Sayangnya, di setiap desa yang mereka ingin singgahi mereka selalu mendapat penolakan. Takut se desa terkena sial. Setelah puluhan kali mencoba dan puluhan kali ditolak, keluarga itu memutuskan untuk tinggal di pinggir hutan, jauh dari peradaban.
Tik. Begitu orang-orang memanggil lelaki itu. Sedikit yang tahu bahwa nama aslinya adalah Soetikno. Dan hanya segelintir orang yang tahu sejarah mengapa nama itu dipilih oleh ayahnya.
17 Agustus 1964, entah bagaimana ceritanya ayah Tik berada di barisan peserta upacara kemerdekaan dengan Bung Karno sebagai pembina upacara. Di tengah rasa kagum dan letih menahan panas, telinga ayah Tik tergerak setelah Bung Karno menyebutkan beberapa perbendaharaan kata yang asing menurutnya. Romantic-perdjoangan, Romantiknja Revolusi, ah manis sekali katanya. Romantic romantic romantic. Beberapa kali bapak proklamator menyebutkan kata itu. Ayah Tik yang waktu itu sudah jatuh cinta namun belum tahu maknanya, memutuskan nama jabang bayinya yang akan lahir harus bernuansa “tic”. Dan akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang dengan istri yang sama-sama penggemar presiden pertama republik ini, menggabungkan Soekarno dengan nuansa “tic” yang diidamkan sang suami.
Aku mengenal Lik (paman) Tik sebagai pria pekerja keras. Kalau saja ada award untuk kepala rumah tangga teladan, mungkin Lik Tik akan menerima penghargaan Life Time Achievment untuk kategori itu. Lik Tik adalah orang yang paling tidak “neko-neko” yang pernah ku kenal. Hidupnya berpegang teguh pada Islam, berlandaskan nilai-nilai Pancasila, dan menjunjung tinggi Dasa Dharma Pramuka. Tidak heran bila lelaki beranak empat ini jarang sekali menjadi topik ghibah ibu-ibu saat mangkal di tukang sayur pagi hari. Suami siaga: siap, antar, jaga, kalau kata iklan-iklan di televisi.
Namun seperti yang dikatakan Mbah Suro, kesialan akan terus mewarnai kisah hidup lelaki yang berprofesi sebagai satpam ini. Tak hanya sekali dua kali, berbagai kesialan yang belum selesai dilaluinya sering berujung pada komplikasi layaknya batu karang yang tiada henti diterjang ombak. Lalu hari itu, sebuah kesialan semakin membuat rumah tangga Lik Tik gonjang ganjing. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat sendiri kedua air mata kepala rumah tangga favoritku berlinang air mata.
***
Pria itu menatap tubuh yang tengkurap di hadapannya layaknya macan hendak menerkam mangsa. Kerutan di sekujur muka dan kulitnya menegaskan seberapa berpengalamannya ia menghadapi situasi seperti ini. Urat-urat di lengannya menjadi simbol kejayaannya di masa lalu, dan belum memudar hingga sekarang. Kesan angker semakin terasa ketika cincin-cincin seukuran kerikil dilepas dari jemariny. Meski tak lagi muda, aku bisa merasakan aura trengginas dari sudut kelopak matanya.
“Pegang!” begitu ujarnya. Sejak awal aku sudah memprediksi jalan ceritaku sejam kemudian. Semangat memberontakku tak lagi membuatnya gentar. Tak pernah sedikitpun terhadap pria ini.
Hampir tiga puluh tahun telah berselang dari hari ini ia melihatku. “Dasar bedebah, akan ku tumbangkan kau dalam waktu singkat,” begitu sorot matanya yang terbaca olehku.
Aaaaaaaaaaaaarrrgghhhh, teriakanku menggema di setiap sudut ruang itu.
“Bungkam mulutnya!” kembali pria tua itu memberi perintah. Seorang lelaki di samping kananku dengan sigap membenamkan segumpal kain dalam mulutku. Di antara keringat yang sedari tadi bercucuran dan kelu yang kian menusuk ulu hati, aku mendengar lelaki di sampingku cekikikan sambil tersenyum. Setan!
Tangan kiriku digenggam oleh seorang wanita, kaki tangan bajingan tua itu sepertinya. Tak seperti pria yang satunya, wanita ini diam tanpa ekspresi. Genggamannya tak terlalu erat, namun tanganku seakan tak punya daya melepasnya. Sesekali ia melirik ke arahku, masih dengan tanpa ekspresi.
Mmmmmmmpppphhh, teriakanku terhenti pada kain di rongga mulutku. Sakit ini tak tertahankan. Sejuta peluru terasa menembus dari telapak kaki hingga pusat otak. Pria itu kembali tersenyum saat rekannya mendaratkan tangannya ke tubuhku.
“Mau berontak? Percuma!” katanya tajam dan mendesis. Seluruh tenagamu akan terkuras pada saatnya nanti. Tak usah sok melawan. Kau cuma cacing yang menjijikkan. Aku bisa menyakitimu kapanpun aku mau. Aku tinggal begini saja,” katanya sambil menekan telunjuknya. Entah nyata entah tidak, ucapan itu masih terasa samar di telingaku.
Sekarang, dia yang pegang kendali.
Semakin pria itu menjamahku, semakin aku meronta dan mengakui bahwa dia amat sangat berkuasa. “Kau masih beruntung, kau tak akan percaya bila ku ceritakan apa yang telah ku lakukan pada orang-orang sebelummu.”
Aku melepas nafas panjang. Kupejamkan mata untuk sedikit mengalihkan perhatianku dari suaranya. Ingin sekali aku melihatnya pingsan lalu mati begitu saja. Aku dengan senang membayangkan pria tak tahu diri ini tergeletak tak berdaya di lantai penuh darah, lalu aku tertawa menemaninya sampai dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, bersama pria di samping kananku tentunya.
Tak ku sangka, wajah wanita di samping kiriku mendadak pucat pasi. Akhirnya dia mengerti. Dia tahu betul apa yang ku rasakan. Wanita itu mencoba melepaskan diri dari sorot mataku. Perlahan ia memalingkan pandangan. Ku ikuti terus gerakannya. Dia tak bisa menghindarinya. Dia tampak tak berdaya.
Tak lama, tiba-tiba pandangan di sekitarku menjadi kabur. Kepalaku seperti berdenyut-denyut memberikan rasa sakit. Aku hanya diam dan melihat raut muka wanita itu yang semakin memelas. Tangannya menggenggam erat tanganku sambil menahan sakit, tapi tubuhku semakin lama semakin terasa nyaman. Sakit di sekujur tubuhku tak terasa kembali.
Aku tak sadarkan diri.
Beberapa waktu kemudian, dalam sisa kesadaranku, aku mendengar dua pria itu berbicara satu sama lain. Sedangkan si wanita ku rasakan tangannya memperbaiki posisi tidurku menjadi terlentang. Tubuhku masih lemas, namun rasa sakit tak sedikitpun kembali terasa. Baru sekali ini aku merasa seluruh ototku sangat ringan, lentur tanpa kaku satupun.
“Hai, udah bangun ya?” ucap Naya melihatku sedikit membuka mata. “Bentar, aku ambilin minum ya,” ia tersenyum lalu meninggalkan ruanganku berada.
Aku terkesiap. Otakku mulai berputar mencari-cari apapun kepingan ingatanku beberapa saat yang lalu. Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin bermimpi! Seluruh syaraf otakku menegang. Kedua bola mataku mengamati keadaan sekeliling. Ah, tidak ada yang berubah. Tubuhku pun masih terbalut selimut yang sama. Di penghujung kebingunganku seseorang membuka pintu. Naya. Senyumnya masih sama, segelas air putih digenggam menujuku.
Belum sempat aku meneguk air putih dari Naya, dua orang pria masuk dari pintu yang sama. Aku terkejut. Ada lubang hitam yang menarikku menuju sebuah dimensi bernama deja vu. Dia pria dalam mimpiku tadi! Kerut wajahnya, cincin jemarinya, otot lengannya, semuanya sama persis! Aku menatapnya tajam, sedangkan ia tersenyum kepadaku.
“Sudah enakan belum? Pahanya masih sakit?”
Aku masih tertegun, dari mana orang ini tahu pahaku sakit? Tanganku bergerak perlahan menuju paha sebelah kiri bekas terserempet motor semalam. Hah? Kok? Raut mukaku terperanjat, lalu kepalaku menggeleng menjawab pertanyaan pria di depanku.
“Alhamdulillah,” ucap pria itu sambil menangkupkan kedua telapak tangan di wajahnya. Ia melangkahkan kaki menuju ke arahku. Di tepi ranjang ia berhenti. Sebuah tangan penuh cincin seukuran batu krikil di jemarinya menyentuh kakiku, “Semoga lekas sembuh, ya.” Aku mengangguk pelan. Pria itu membalas dengan senyuman lalu pergi meninggalkan kamar. Pria satu lagi menyusul kepergiannya sambil tertawa cekikikan. Ya, itu suara tawa pria yang memegang tangan kananku tadi. Dasar setan, Rama rupanya.
“Udah enakan kan? Mau makan sekarang?” aku agak membungkukkan badanku ke depan untuk mendengar pertanyaannya. Tidak jelas, tapi sepertinya Naya bertanya sesuatu dengan suara pelan. Ia memiringkannya ke satu sisi, memeriksa setiap jengkal wajahku yang belum tersentuh setetes airpun sejak semalam.
“Nanti aja kalo gitu,” sedikit demi sedikit kepalaku lunglai ke depan ketika suara paraunya membuatku terkejut dan mencoba menegakkan pandanganku. “Setiap dari kita pasti akan naik kelas, Ji,” katanya pelan. “Akan ada saatnya, aku, kamu, dan semua orang di dunia ini merasakan sakit, merasakan jatuh, merasakan..” Kalimatnya terputus. Kedua matanya berkaca-kaca, seperti ingin meluapkan banjir air mata seketika itu juga.
Tanpa sedikitpun berpaling, aku bisa merasakan Naya sedang berusaha menahan diri agar tetap tegar. Aku sadar bahwa pemilik lesung pipi nomor satu ini tak inin terlihat lembek di hadapanku. “Beberapa menganggap hal itu sebagai hukuman, yang lain berbahagia karena menganggapnya sebagai peringatan Tuhan yang sayang pada mereka.”
Aku mengangguk pelan. Kedua tangan Naya diletakkannya di atas tanganku yang bersembunyi di balik selimut. “Hukuman maupun peringatan, akan menjadi samar bila hatimu justru membenci kehendakNya.” Aku memandangnya sedemikian rupa, ingin bertanya ini itu tentang kalimatnya yang bersayap. Di titik ini, Naya telah menjelma menjadi seorang Ibu yang sedang memberi wejangan pada anak kesayangannya.
“Kamu naik kelas, Ji. Sakitmu bukan sebuah kebetulan. Orang hebat tidak dibesarkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan. Mereka dibentuk oleh kesukaran, tantangan, dan air mata,” ucapnya lirih. Mendengar kata-kata itu aku sontak tersenyum seraya menjawab, “Dahlan Iskan.”
“Ssshh,” tiba-tiba Naya mendekapku, satu tangannya berada di atas ubun-ubun, tangan lain mendesak masuk di antara leher dan bantal tempatku bersandar. “jangan dijawab dulu,” katanya pelan. “Tutup matamu, lalu dengarkan ucapanku. Ya. Tenang. Tarik napas perlahan. Benar, begitu,” bisik Naya dengan nada yang menenangkan. Dekapannya semakin membuat diriku nyaman. “Nah, gitu lebih baik. Keluarkan tanganmu, Ji, peluk tubuhku. Aku ada di sini sayang. Aku nggak akan ninggalin kamu.”
Aku menuruti setiap sugesti Naya. Kupejamkan mataku. Kedua tanganku telah melingkar di badannya. Rasanya hangat sekali. Damai.
“Lain kali, hati-hati ya. Nggak mau aku datengin tukang pijet lagi kan?” Aku kembali tersenyum, bukan barang aneh bila Naya tahu tukang pijat adalah musuh besarku. Aku mengangguk pelan, kubiarkan hembusan napas Naya mengantarkanku tenggelam dalam ketidaksadaran. Terima kasih, Naya.
Gelembung 12: Begundal
Mbah Suro tidak sembarang menerima pasien. Pernah suatu hari ada seorang lelaki yang datang tiba-tiba meminta bantuan Mbah Suro untuk membantu persalinan seorang jabang bayi istrinya, beliau menolaknya mentah-mentah. Lain waktu, pasangan lain tengah malam menggedor-gedor pintu rumah Mbah Suro karena anak dalam kandungannya sudah terasa akan keluar, tak sedikitpun Mbah Suro bergeming. Dibiarkannya anak itu keluar dari rahim ibunya dengan sendirinnya di beranda rumah Mbah Suro.
Weton, menjadi satu-satunya alasan Mbah Suro memilih-milih bayi yang akan dikeluarkannya.
Sayang seribu sayang, pasangan suami istri yang datang malam itu bertepatan dengan weton yang menjadi pantangan bagi Mbah Suro. Dan seperti pasangan-pasangan lain yang kebetulan apes, mereka berdua terduduk pasrah di beranda rumah Mbah Suro. Ditambah lagi angin yang menemani hujan semakin menambah cekam suasana malam itu.
Namun, sebuah keajaiban terjadi. Pertama kali sepanjang karir Mbah Suro, nenek sepuh itu menyuruh sepasang suami istri itu masuk ke dalam rumahnya. Dengan perasaan bahagia bercampur terkejut, sang suami membopong istrinya untuk rebahan di sebuah dipan tua yang terbuat dari bambu.
Lalu, dua setengah jam berikutnya adalah sebuah pengalaman kesekian kalinya bagi calon bapak si jabang bayi dan pengalaman pertama bagi Mbah Suro. Keduanya sama-sama berkeringat, sama-sama memiliki jantung yang berdebar semakin cepat. Ini adalah persalinan ketiga yang telah dijalani kedua sejoli itu. Dan ini adalah kali pertama Mbah Suro melakukan praktik dengan melanggar pakem yang ia pegang selama ini.
“Yang sabar, hidup anak ini akan diwarnai banyak kesialan,” ucap Mbah Suro pelan saat menyerahkan bayi pada sang suami.
Lelaki itu hanya diam, memandangi sejenak anak ketiganya dengan tatapan sayu. Lalu sebuah adzan dan iqomah dikumandangkannya di kanan dan kiri telinga bayi barunya itu.
“Terimakasih, Mbah.”
Mbah Suro tidak menjawab. Hanya sebuah senyum kecut yang ia lontarkan pada pasangan suami istri tersebut.
Menurut cerita yang beredar, setelah suami istri itu pergi, Mbah Suro menghilang. Ada yang bilang Mbah Suro pergi menuju pantai selatan untuk mengabdi pada penguasa laut selatan. Ada yang bilang Mbah Suro bertapa di sebuah petilasan raja Majapahit di daerah barat. Sebagian lagi, yang tahu Mbah Suro melakukan praktik saat weton pantangannya, beranggapan bahwa Mbah Suro kualat oleh kesialan yang dibawa oleh bayi itu sehingga kemampuan yang ia miliki hilang dan pergi dari desa itu. Cerita ketiga lebih populer dan telah turun temurun diceritakan.
Tak terima dijuluki anak pembawa sial, sepasang suami istri tersebut membawa ketiga anaknya pindah dari desa itu. Sayangnya, di setiap desa yang mereka ingin singgahi mereka selalu mendapat penolakan. Takut se desa terkena sial. Setelah puluhan kali mencoba dan puluhan kali ditolak, keluarga itu memutuskan untuk tinggal di pinggir hutan, jauh dari peradaban.
Tik. Begitu orang-orang memanggil lelaki itu. Sedikit yang tahu bahwa nama aslinya adalah Soetikno. Dan hanya segelintir orang yang tahu sejarah mengapa nama itu dipilih oleh ayahnya.
17 Agustus 1964, entah bagaimana ceritanya ayah Tik berada di barisan peserta upacara kemerdekaan dengan Bung Karno sebagai pembina upacara. Di tengah rasa kagum dan letih menahan panas, telinga ayah Tik tergerak setelah Bung Karno menyebutkan beberapa perbendaharaan kata yang asing menurutnya. Romantic-perdjoangan, Romantiknja Revolusi, ah manis sekali katanya. Romantic romantic romantic. Beberapa kali bapak proklamator menyebutkan kata itu. Ayah Tik yang waktu itu sudah jatuh cinta namun belum tahu maknanya, memutuskan nama jabang bayinya yang akan lahir harus bernuansa “tic”. Dan akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang dengan istri yang sama-sama penggemar presiden pertama republik ini, menggabungkan Soekarno dengan nuansa “tic” yang diidamkan sang suami.
Aku mengenal Lik (paman) Tik sebagai pria pekerja keras. Kalau saja ada award untuk kepala rumah tangga teladan, mungkin Lik Tik akan menerima penghargaan Life Time Achievment untuk kategori itu. Lik Tik adalah orang yang paling tidak “neko-neko” yang pernah ku kenal. Hidupnya berpegang teguh pada Islam, berlandaskan nilai-nilai Pancasila, dan menjunjung tinggi Dasa Dharma Pramuka. Tidak heran bila lelaki beranak empat ini jarang sekali menjadi topik ghibah ibu-ibu saat mangkal di tukang sayur pagi hari. Suami siaga: siap, antar, jaga, kalau kata iklan-iklan di televisi.
Namun seperti yang dikatakan Mbah Suro, kesialan akan terus mewarnai kisah hidup lelaki yang berprofesi sebagai satpam ini. Tak hanya sekali dua kali, berbagai kesialan yang belum selesai dilaluinya sering berujung pada komplikasi layaknya batu karang yang tiada henti diterjang ombak. Lalu hari itu, sebuah kesialan semakin membuat rumah tangga Lik Tik gonjang ganjing. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat sendiri kedua air mata kepala rumah tangga favoritku berlinang air mata.
***
Pria itu menatap tubuh yang tengkurap di hadapannya layaknya macan hendak menerkam mangsa. Kerutan di sekujur muka dan kulitnya menegaskan seberapa berpengalamannya ia menghadapi situasi seperti ini. Urat-urat di lengannya menjadi simbol kejayaannya di masa lalu, dan belum memudar hingga sekarang. Kesan angker semakin terasa ketika cincin-cincin seukuran kerikil dilepas dari jemariny. Meski tak lagi muda, aku bisa merasakan aura trengginas dari sudut kelopak matanya.
“Pegang!” begitu ujarnya. Sejak awal aku sudah memprediksi jalan ceritaku sejam kemudian. Semangat memberontakku tak lagi membuatnya gentar. Tak pernah sedikitpun terhadap pria ini.
Hampir tiga puluh tahun telah berselang dari hari ini ia melihatku. “Dasar bedebah, akan ku tumbangkan kau dalam waktu singkat,” begitu sorot matanya yang terbaca olehku.
Aaaaaaaaaaaaarrrgghhhh, teriakanku menggema di setiap sudut ruang itu.
“Bungkam mulutnya!” kembali pria tua itu memberi perintah. Seorang lelaki di samping kananku dengan sigap membenamkan segumpal kain dalam mulutku. Di antara keringat yang sedari tadi bercucuran dan kelu yang kian menusuk ulu hati, aku mendengar lelaki di sampingku cekikikan sambil tersenyum. Setan!
Tangan kiriku digenggam oleh seorang wanita, kaki tangan bajingan tua itu sepertinya. Tak seperti pria yang satunya, wanita ini diam tanpa ekspresi. Genggamannya tak terlalu erat, namun tanganku seakan tak punya daya melepasnya. Sesekali ia melirik ke arahku, masih dengan tanpa ekspresi.
Mmmmmmmpppphhh, teriakanku terhenti pada kain di rongga mulutku. Sakit ini tak tertahankan. Sejuta peluru terasa menembus dari telapak kaki hingga pusat otak. Pria itu kembali tersenyum saat rekannya mendaratkan tangannya ke tubuhku.
“Mau berontak? Percuma!” katanya tajam dan mendesis. Seluruh tenagamu akan terkuras pada saatnya nanti. Tak usah sok melawan. Kau cuma cacing yang menjijikkan. Aku bisa menyakitimu kapanpun aku mau. Aku tinggal begini saja,” katanya sambil menekan telunjuknya. Entah nyata entah tidak, ucapan itu masih terasa samar di telingaku.
Sekarang, dia yang pegang kendali.
Semakin pria itu menjamahku, semakin aku meronta dan mengakui bahwa dia amat sangat berkuasa. “Kau masih beruntung, kau tak akan percaya bila ku ceritakan apa yang telah ku lakukan pada orang-orang sebelummu.”
Aku melepas nafas panjang. Kupejamkan mata untuk sedikit mengalihkan perhatianku dari suaranya. Ingin sekali aku melihatnya pingsan lalu mati begitu saja. Aku dengan senang membayangkan pria tak tahu diri ini tergeletak tak berdaya di lantai penuh darah, lalu aku tertawa menemaninya sampai dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, bersama pria di samping kananku tentunya.
Tak ku sangka, wajah wanita di samping kiriku mendadak pucat pasi. Akhirnya dia mengerti. Dia tahu betul apa yang ku rasakan. Wanita itu mencoba melepaskan diri dari sorot mataku. Perlahan ia memalingkan pandangan. Ku ikuti terus gerakannya. Dia tak bisa menghindarinya. Dia tampak tak berdaya.
Tak lama, tiba-tiba pandangan di sekitarku menjadi kabur. Kepalaku seperti berdenyut-denyut memberikan rasa sakit. Aku hanya diam dan melihat raut muka wanita itu yang semakin memelas. Tangannya menggenggam erat tanganku sambil menahan sakit, tapi tubuhku semakin lama semakin terasa nyaman. Sakit di sekujur tubuhku tak terasa kembali.
Aku tak sadarkan diri.
Beberapa waktu kemudian, dalam sisa kesadaranku, aku mendengar dua pria itu berbicara satu sama lain. Sedangkan si wanita ku rasakan tangannya memperbaiki posisi tidurku menjadi terlentang. Tubuhku masih lemas, namun rasa sakit tak sedikitpun kembali terasa. Baru sekali ini aku merasa seluruh ototku sangat ringan, lentur tanpa kaku satupun.
“Hai, udah bangun ya?” ucap Naya melihatku sedikit membuka mata. “Bentar, aku ambilin minum ya,” ia tersenyum lalu meninggalkan ruanganku berada.
Aku terkesiap. Otakku mulai berputar mencari-cari apapun kepingan ingatanku beberapa saat yang lalu. Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin bermimpi! Seluruh syaraf otakku menegang. Kedua bola mataku mengamati keadaan sekeliling. Ah, tidak ada yang berubah. Tubuhku pun masih terbalut selimut yang sama. Di penghujung kebingunganku seseorang membuka pintu. Naya. Senyumnya masih sama, segelas air putih digenggam menujuku.
Belum sempat aku meneguk air putih dari Naya, dua orang pria masuk dari pintu yang sama. Aku terkejut. Ada lubang hitam yang menarikku menuju sebuah dimensi bernama deja vu. Dia pria dalam mimpiku tadi! Kerut wajahnya, cincin jemarinya, otot lengannya, semuanya sama persis! Aku menatapnya tajam, sedangkan ia tersenyum kepadaku.
“Sudah enakan belum? Pahanya masih sakit?”
Aku masih tertegun, dari mana orang ini tahu pahaku sakit? Tanganku bergerak perlahan menuju paha sebelah kiri bekas terserempet motor semalam. Hah? Kok? Raut mukaku terperanjat, lalu kepalaku menggeleng menjawab pertanyaan pria di depanku.
“Alhamdulillah,” ucap pria itu sambil menangkupkan kedua telapak tangan di wajahnya. Ia melangkahkan kaki menuju ke arahku. Di tepi ranjang ia berhenti. Sebuah tangan penuh cincin seukuran batu krikil di jemarinya menyentuh kakiku, “Semoga lekas sembuh, ya.” Aku mengangguk pelan. Pria itu membalas dengan senyuman lalu pergi meninggalkan kamar. Pria satu lagi menyusul kepergiannya sambil tertawa cekikikan. Ya, itu suara tawa pria yang memegang tangan kananku tadi. Dasar setan, Rama rupanya.
“Udah enakan kan? Mau makan sekarang?” aku agak membungkukkan badanku ke depan untuk mendengar pertanyaannya. Tidak jelas, tapi sepertinya Naya bertanya sesuatu dengan suara pelan. Ia memiringkannya ke satu sisi, memeriksa setiap jengkal wajahku yang belum tersentuh setetes airpun sejak semalam.
“Nanti aja kalo gitu,” sedikit demi sedikit kepalaku lunglai ke depan ketika suara paraunya membuatku terkejut dan mencoba menegakkan pandanganku. “Setiap dari kita pasti akan naik kelas, Ji,” katanya pelan. “Akan ada saatnya, aku, kamu, dan semua orang di dunia ini merasakan sakit, merasakan jatuh, merasakan..” Kalimatnya terputus. Kedua matanya berkaca-kaca, seperti ingin meluapkan banjir air mata seketika itu juga.
Tanpa sedikitpun berpaling, aku bisa merasakan Naya sedang berusaha menahan diri agar tetap tegar. Aku sadar bahwa pemilik lesung pipi nomor satu ini tak inin terlihat lembek di hadapanku. “Beberapa menganggap hal itu sebagai hukuman, yang lain berbahagia karena menganggapnya sebagai peringatan Tuhan yang sayang pada mereka.”
Aku mengangguk pelan. Kedua tangan Naya diletakkannya di atas tanganku yang bersembunyi di balik selimut. “Hukuman maupun peringatan, akan menjadi samar bila hatimu justru membenci kehendakNya.” Aku memandangnya sedemikian rupa, ingin bertanya ini itu tentang kalimatnya yang bersayap. Di titik ini, Naya telah menjelma menjadi seorang Ibu yang sedang memberi wejangan pada anak kesayangannya.
“Kamu naik kelas, Ji. Sakitmu bukan sebuah kebetulan. Orang hebat tidak dibesarkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan. Mereka dibentuk oleh kesukaran, tantangan, dan air mata,” ucapnya lirih. Mendengar kata-kata itu aku sontak tersenyum seraya menjawab, “Dahlan Iskan.”
“Ssshh,” tiba-tiba Naya mendekapku, satu tangannya berada di atas ubun-ubun, tangan lain mendesak masuk di antara leher dan bantal tempatku bersandar. “jangan dijawab dulu,” katanya pelan. “Tutup matamu, lalu dengarkan ucapanku. Ya. Tenang. Tarik napas perlahan. Benar, begitu,” bisik Naya dengan nada yang menenangkan. Dekapannya semakin membuat diriku nyaman. “Nah, gitu lebih baik. Keluarkan tanganmu, Ji, peluk tubuhku. Aku ada di sini sayang. Aku nggak akan ninggalin kamu.”
Aku menuruti setiap sugesti Naya. Kupejamkan mataku. Kedua tanganku telah melingkar di badannya. Rasanya hangat sekali. Damai.
“Lain kali, hati-hati ya. Nggak mau aku datengin tukang pijet lagi kan?” Aku kembali tersenyum, bukan barang aneh bila Naya tahu tukang pijat adalah musuh besarku. Aku mengangguk pelan, kubiarkan hembusan napas Naya mengantarkanku tenggelam dalam ketidaksadaran. Terima kasih, Naya.
Gelembung 12: Begundal
Diubah oleh chocolavacake 01-08-2016 03:35
0
Kutip
Balas