- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#722
PART 45
Jemput jam tujuh enam tepat! Kata-kata itu yang menyesaki pikiran gue sore ini. Gue aja kuliah jam delapan empat lima masih sering telat bangun dan akhirnya titip absen, nah ini gue harus jemput jam enam pagi, mana gue sanggup.
“Nggak keluar Wi?” tanya mas Roni membuyarkan lamunan gue.
“Ah, enggak mas,” jawab gue.
Mas Roni mengedipkan sebelah mata, “Keluar yuk, cari yang enak-enak, minum dikit.”
“Minum? Mas ngajakin minum?!” gue tengok jam dinding. “Ini baru jam setengah tujuh mas!”
“Buruan ganti baju sana biar gantengan, aku manasin mobil dulu.”
Sengklek memang orang tua itu, baru juga jam segini udah ngajakin minum. Bukannya kalo agak maleman gue mau diajakin minum, tapi ini masih terlalu dini. Ibarat bayi, belum jadi pembuahan udah dilahirin. Ibarat lomba lari, peluit belum jadi dibunyiin udah diumumin siapa pemenang lombanya. Itu tuh nggak seharusnya terjadi.
Tapi apa mau dikata, jika pria tua itu sudah mengajak, preman satu komplek juga nggak bakalan bisa mencegahnya. Gue segera berganti pakaian terus keluar ke teras.
“Pake sendal ajalah Wi,” kata mas Roni.
“Heh?! Sandal?” seriusan?” ucap gue.
Mas Roni menunjukkan kakinya, “Nih, aku juga cuma sendalan.”
Gue lepas sepatu gue, “Yaudahlah, terserah.”
Jadilah sore itu gue jalan sama mas Roni. Gue sih sebenernya sedikit bingung, mas Roni ngajakin minum yang tentunya masuk ke club tapi cuma pake sandal, kan aneh. Tapi yaudahlah, kenapa harus dipikirin. Semisal nanti diusir sekuriti, mas Roni bisa dor kepala itu sekuriti, gue mah aman deket-deket sama mas Roni.
Entah gue yang bego, apa mas Roni yang salah kasih penjelasan. Bukannya berhenti di club malam, mas Roni malah berhenti di sebuah kafe kopi. Minum? Yak, tepat sekali! Minum yang dimaksud sama mas Roni bukanlah minum-minuman keras tapi minum kopi.
Gue mengangkat cangkir kopi gue, “Mas … kopi?”
“Iya, kopi,” ucapnya enteng. “Disini enak kopinya.”
“Kenapa nggak bilang daritadi? Tau gini aku nolak.”
“Kamu nggak suka kopi?”
“Bukannya nggak suka, besok musti ke stasiun pagi-pagi,” gue menyeruput kopi. “Kalo kayak gini, gimana bisa tidur cepet biar bisa bangun pagi?!”
“Nggak usah tidur aja sekalian, gampang.”
Kenapa gue nggak kepikiran buat begadang sekalian?! Kayaknya gue memang ditakdirkan sebagai pemikir yang cetek. Gue putuskan buat begadang sekalian, dan gue segera memanggil waiter.
“Mau ngapain?” mas Roni menunjuk tulisan toilet. “Toiletnya disebelah sana tuh, nggak perlu panggil waiter.”
“Hah?! Apa sih? Bukan nyari toilet.”
“Nah terus?”
“Mau nambah kopi, biar sekalian melek sampe pagi.”
“Oh … pesen expresso aja sekalian … biar bener-bener melek!” saran mas Roni.
Entah mas Roni yang memang murni usil, apa gue yang terlalu cemen buat minum kopi. Gue muntah minum expresso. Rasa pahitnya sampe ke lambung gue, bahkan sampe ke kisah asmara gue. Oke, gue ngaku, kisah asmara gue jauh lebih dulu pahit dari sebelum gue kenal expresso.
“Ini kenapa rasanya pahit gini?!”
“Expresso emang kayak gitu,” mas Roni meminum latte miliknya. “Yang ini baru enak.”
Pulang dari kafe kopi gue malah jadi bete. Niat begadang gagal, kantung mata gue mulai menghitam. Mungkin kalo mata gue bisa ngomong, dia bakal ngatain gue, “Labil amat lo jadi orang! Gue mau lo ajakin begadang apa tidur?! Gue tuh nggak bisa diginiin Dawi..!”
Entahlah, gue sendiri juga gagal paham masalah lanjut begadang apa tidur di waktu yang kurang. Masih sekitar tujuh jam, mungkin buat sebagian orang waktu segitu cukup buat tidur, tapi buat gue itu kurang banget. Biasa gue tidur kalo belum dapet sepuluh jam gue belum bangun, jadi semisal gue tidur sekarang, gue bakalan telat jemput sekitar tiga jam. Dan gue yakin, cewek nggak bakal bisa mentolerir itu.
Gue mencoba memutar otak, mencari kegiatan yang bisa gue lakukan di waktu yang kurang dari tujuh jam. DOTA, ya! bener banget! DOTA bisa dimainin selama kurang dari tujuh jam. Gue bisa begadang sambil main DOTA di kos. Gue intip keluar kamar, koh Wahyu kayaknya udah tidur, kesempatan buat gue narik kabel internet.
Gue colokin kabel ke netbook gue, gue buka aplikasi DOTA, dan kemudian gue dikejutkan oleh tulisan ngeselin yang bikin gue pengin teriak tapi takut kedengeran koh Wahyu. DOTA gue harus di update satu giga lebih, tujuh jam gue bisa sia-sia kalo dipake nunggu update DOTA, belum lagi kalo di tengah update ketahuan sama koh Wahyu, belum kelar update udah keburu dicabut duluan itu kabel.
Nggak, gue nggak bisa kayak gini, gue nggak boleh desperate. DOTA, ya, itulah pilihan terakhir buat begadang. Gue harus berhasil main DOTA, bagaimanapun caranya. Bisa aja gue ke gamenet gue sekarang, tapi gue takutnya sampe sana penuh dan nggak dapet PC. Putar otak lebih keras lagi, pesen PC duluan sebelum berangkat ke gamenet. Tapi gue bisa pesen ke siapa? Operatornya aja gue nggak kenal, ngobrol paling kenceng juga cuma, “Mas, paket lima jam, berapa? Dua puluh? Okee!” begitu doang.
Nggak, pasti ada orang lain yang bisa gue mintain tolong. Gue buka aplikasi chat DOTA, gue cek siapa temen gue yang online. Ada ID ‘Oh my balls..!’ sedang online, gue bisa minta bantuan dia. Gue chat, “Yak, pesenin gue billing, jauhan dari lo juga gapapa, gue otw sekarang.”
Kelar! Gue udap pesen, sekarang gue tinggal berangkat ke gamenet dan kemudian duduk manis di depan PC, cakep!
Jogja akhir-akhir ini kalo malam hari udara mendadak berubah dingin, jadi gue harus pake jaket. Tapi berhubung jaket gue baru gue laundry, jadi gue nggak ada jaket. Terus, nggak jadi berangkat? Tetep jadilah, bodo amat mau dingin mau panas tetap gue hadapi. Gue keluarin motor dari garasi dan memanaskan sebentar lalu berangkat ke gamenet.
Bener aja, sesampainya disana semua PC penuh, bahkan ada waiting list yang sampai kehabisan tempat duduk. Tetap tenang, gue udah pesen PC sama Arya, jadi gue nggak perlu panik. Gue puterin tiap PC disana mencari keberadaan Arya, dan ternyata dia nggak kelihatan di gamenet. Gue langsung telepon si Arya, kalo sms atau bbm nggak mungkin di bales saat kayak gini.
‘Halo, Yak! Lo di nomor berapa sih? Gue cariin nggak ketemu.’
‘Hmmh? Gue dikosan, nomor apaan?’
‘Kok dikosan? Bukannya lo lagi main DOTA?’ tanya gue mulai panik. ‘ID lo tadi aktif kok.’
‘Enggak, gue dikosan ini … ID gue dipake sama temen gue.’
Kampret! Ini namanya ekspektasi nggak sesuai dengan realita. Gue kira sampe di gamenet bisa langsung main, nggak tahunya jadi kayak gini. Terpaksa gue ikutan nunggu waiting list yang lain, tapi untungnya gue dapet tempat duduk.
Gue enggak tahu mana yang bakalan lebih dulu, gue dapet PC atau gue kehabisan waktu buat main DOTA. Gue sendiri juga sedikit rada kurang paham sama dunia ini, kenapa begadang bisa seribet ini. Satu pesan bang haji yang gue inget, ‘begadang boleh saja kalo ada artinya.’
Jemput jam tujuh enam tepat! Kata-kata itu yang menyesaki pikiran gue sore ini. Gue aja kuliah jam delapan empat lima masih sering telat bangun dan akhirnya titip absen, nah ini gue harus jemput jam enam pagi, mana gue sanggup.
“Nggak keluar Wi?” tanya mas Roni membuyarkan lamunan gue.
“Ah, enggak mas,” jawab gue.
Mas Roni mengedipkan sebelah mata, “Keluar yuk, cari yang enak-enak, minum dikit.”
“Minum? Mas ngajakin minum?!” gue tengok jam dinding. “Ini baru jam setengah tujuh mas!”
“Buruan ganti baju sana biar gantengan, aku manasin mobil dulu.”
Sengklek memang orang tua itu, baru juga jam segini udah ngajakin minum. Bukannya kalo agak maleman gue mau diajakin minum, tapi ini masih terlalu dini. Ibarat bayi, belum jadi pembuahan udah dilahirin. Ibarat lomba lari, peluit belum jadi dibunyiin udah diumumin siapa pemenang lombanya. Itu tuh nggak seharusnya terjadi.
Tapi apa mau dikata, jika pria tua itu sudah mengajak, preman satu komplek juga nggak bakalan bisa mencegahnya. Gue segera berganti pakaian terus keluar ke teras.
“Pake sendal ajalah Wi,” kata mas Roni.
“Heh?! Sandal?” seriusan?” ucap gue.
Mas Roni menunjukkan kakinya, “Nih, aku juga cuma sendalan.”
Gue lepas sepatu gue, “Yaudahlah, terserah.”
Jadilah sore itu gue jalan sama mas Roni. Gue sih sebenernya sedikit bingung, mas Roni ngajakin minum yang tentunya masuk ke club tapi cuma pake sandal, kan aneh. Tapi yaudahlah, kenapa harus dipikirin. Semisal nanti diusir sekuriti, mas Roni bisa dor kepala itu sekuriti, gue mah aman deket-deket sama mas Roni.
Entah gue yang bego, apa mas Roni yang salah kasih penjelasan. Bukannya berhenti di club malam, mas Roni malah berhenti di sebuah kafe kopi. Minum? Yak, tepat sekali! Minum yang dimaksud sama mas Roni bukanlah minum-minuman keras tapi minum kopi.
Gue mengangkat cangkir kopi gue, “Mas … kopi?”
“Iya, kopi,” ucapnya enteng. “Disini enak kopinya.”
“Kenapa nggak bilang daritadi? Tau gini aku nolak.”
“Kamu nggak suka kopi?”
“Bukannya nggak suka, besok musti ke stasiun pagi-pagi,” gue menyeruput kopi. “Kalo kayak gini, gimana bisa tidur cepet biar bisa bangun pagi?!”
“Nggak usah tidur aja sekalian, gampang.”
Kenapa gue nggak kepikiran buat begadang sekalian?! Kayaknya gue memang ditakdirkan sebagai pemikir yang cetek. Gue putuskan buat begadang sekalian, dan gue segera memanggil waiter.
“Mau ngapain?” mas Roni menunjuk tulisan toilet. “Toiletnya disebelah sana tuh, nggak perlu panggil waiter.”
“Hah?! Apa sih? Bukan nyari toilet.”
“Nah terus?”
“Mau nambah kopi, biar sekalian melek sampe pagi.”
“Oh … pesen expresso aja sekalian … biar bener-bener melek!” saran mas Roni.
Entah mas Roni yang memang murni usil, apa gue yang terlalu cemen buat minum kopi. Gue muntah minum expresso. Rasa pahitnya sampe ke lambung gue, bahkan sampe ke kisah asmara gue. Oke, gue ngaku, kisah asmara gue jauh lebih dulu pahit dari sebelum gue kenal expresso.
“Ini kenapa rasanya pahit gini?!”
“Expresso emang kayak gitu,” mas Roni meminum latte miliknya. “Yang ini baru enak.”
Pulang dari kafe kopi gue malah jadi bete. Niat begadang gagal, kantung mata gue mulai menghitam. Mungkin kalo mata gue bisa ngomong, dia bakal ngatain gue, “Labil amat lo jadi orang! Gue mau lo ajakin begadang apa tidur?! Gue tuh nggak bisa diginiin Dawi..!”
Entahlah, gue sendiri juga gagal paham masalah lanjut begadang apa tidur di waktu yang kurang. Masih sekitar tujuh jam, mungkin buat sebagian orang waktu segitu cukup buat tidur, tapi buat gue itu kurang banget. Biasa gue tidur kalo belum dapet sepuluh jam gue belum bangun, jadi semisal gue tidur sekarang, gue bakalan telat jemput sekitar tiga jam. Dan gue yakin, cewek nggak bakal bisa mentolerir itu.
Gue mencoba memutar otak, mencari kegiatan yang bisa gue lakukan di waktu yang kurang dari tujuh jam. DOTA, ya! bener banget! DOTA bisa dimainin selama kurang dari tujuh jam. Gue bisa begadang sambil main DOTA di kos. Gue intip keluar kamar, koh Wahyu kayaknya udah tidur, kesempatan buat gue narik kabel internet.
Gue colokin kabel ke netbook gue, gue buka aplikasi DOTA, dan kemudian gue dikejutkan oleh tulisan ngeselin yang bikin gue pengin teriak tapi takut kedengeran koh Wahyu. DOTA gue harus di update satu giga lebih, tujuh jam gue bisa sia-sia kalo dipake nunggu update DOTA, belum lagi kalo di tengah update ketahuan sama koh Wahyu, belum kelar update udah keburu dicabut duluan itu kabel.
Nggak, gue nggak bisa kayak gini, gue nggak boleh desperate. DOTA, ya, itulah pilihan terakhir buat begadang. Gue harus berhasil main DOTA, bagaimanapun caranya. Bisa aja gue ke gamenet gue sekarang, tapi gue takutnya sampe sana penuh dan nggak dapet PC. Putar otak lebih keras lagi, pesen PC duluan sebelum berangkat ke gamenet. Tapi gue bisa pesen ke siapa? Operatornya aja gue nggak kenal, ngobrol paling kenceng juga cuma, “Mas, paket lima jam, berapa? Dua puluh? Okee!” begitu doang.
Nggak, pasti ada orang lain yang bisa gue mintain tolong. Gue buka aplikasi chat DOTA, gue cek siapa temen gue yang online. Ada ID ‘Oh my balls..!’ sedang online, gue bisa minta bantuan dia. Gue chat, “Yak, pesenin gue billing, jauhan dari lo juga gapapa, gue otw sekarang.”
Kelar! Gue udap pesen, sekarang gue tinggal berangkat ke gamenet dan kemudian duduk manis di depan PC, cakep!
Jogja akhir-akhir ini kalo malam hari udara mendadak berubah dingin, jadi gue harus pake jaket. Tapi berhubung jaket gue baru gue laundry, jadi gue nggak ada jaket. Terus, nggak jadi berangkat? Tetep jadilah, bodo amat mau dingin mau panas tetap gue hadapi. Gue keluarin motor dari garasi dan memanaskan sebentar lalu berangkat ke gamenet.
Bener aja, sesampainya disana semua PC penuh, bahkan ada waiting list yang sampai kehabisan tempat duduk. Tetap tenang, gue udah pesen PC sama Arya, jadi gue nggak perlu panik. Gue puterin tiap PC disana mencari keberadaan Arya, dan ternyata dia nggak kelihatan di gamenet. Gue langsung telepon si Arya, kalo sms atau bbm nggak mungkin di bales saat kayak gini.
‘Halo, Yak! Lo di nomor berapa sih? Gue cariin nggak ketemu.’
‘Hmmh? Gue dikosan, nomor apaan?’
‘Kok dikosan? Bukannya lo lagi main DOTA?’ tanya gue mulai panik. ‘ID lo tadi aktif kok.’
‘Enggak, gue dikosan ini … ID gue dipake sama temen gue.’
Kampret! Ini namanya ekspektasi nggak sesuai dengan realita. Gue kira sampe di gamenet bisa langsung main, nggak tahunya jadi kayak gini. Terpaksa gue ikutan nunggu waiting list yang lain, tapi untungnya gue dapet tempat duduk.
Gue enggak tahu mana yang bakalan lebih dulu, gue dapet PC atau gue kehabisan waktu buat main DOTA. Gue sendiri juga sedikit rada kurang paham sama dunia ini, kenapa begadang bisa seribet ini. Satu pesan bang haji yang gue inget, ‘begadang boleh saja kalo ada artinya.’
End of chapter 6
Diubah oleh dasadharma10 05-03-2016 02:31
JabLai cOY memberi reputasi
1


