- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#721
PART 44
Bokong gue pegel minta ampun, duduk lima jam, kalo gue terusin bisa-bisa gue ambeyen. Setelah log out, gue pamit sama Arya, “Gue duluan Ya, ngantuk banget gue, lo buruan balik tar kosan lo lama-lama ada yang nunggu gara-gara nggak pernah lo pake tidur.”
Gue balik ke kos sekitar jam tujuh malem, dan kondisi gue udah kelihatan ancur banget. Bayangin aja, nggak bisa ngerjain ujian, mau menghibur diri pake DOTA malah MMR gue ikutan turun, kalah lima kali berturut-turut. Kayaknya hari-hari sial gue bakal dimulai lagi. Semoga aja di jalan waktu gue pulang nggak ada kejadian yang mematikan.
Jalanan lancar, jalan nggak berlubang, nggak ada ibu-ibu yang sein ke kanan belok ke kiri juga, aman. Karena gue mencari keamanan biar gue nggak sial, gue mematuhi rambu-rambu yang ada di sepanjang jalan. Gue belok pake lampu sein, ambil jalan di sebelah kiri, dan menggunakan kecepatan yang normal-normal seperti kebanyakan. Sayangnya, karena gue terlalu memperhatikan keadaan disekitar, gue jadi kelupaan memperhatikan keadaan gue sendiri. Bensin gue habis di tengah jalan.
Sial? Pasti. Ini bukan kejadian yang langka, gue sudah terbiasa dengan kesialan yang menimpa diri gue. Gue harus tetap tenang dan berpikir positif. Cari pom bensin atau pedagang bensin eceran. Ya, itu solusi buat masalah gue saat ini. Gue mulai memeriksa pertokoan sekitar, dengan seksama gue perhatikan setiap bangunan. Ketemu! Ada pedagang bensin eceran. Gue segera mendorong motor gue ke tempat pedagang bensin eceran kemudian membeli bensin disana. Kali ini gue bisa mengatasi kesialan yang menimpa gue.
Setelah mengisi bensin, gue segera melanjutkan perjalanan kembali ke kos. Tetap tertib lalu lintas? Jelas! Dengan sedikit pelanggaran tentunya. Maksud gue bukannya gue nggak tertib lalu lintas, tapi barusan gue udah kena sial, jadi untuk beberapa saat ke depan gue bakalan mujur, paling enggak sampai di kos dengan kondisi jari tangan dan kaki serta daun telinga masih komplit.
Sampai di depan kos gue melihat koh Wahyu sedang memanasi mobilnya, sepertinya dia akan keluar malam ini.
“Mau kemana koh?” sapa gue.
“Jalan-jalan bentar, nyari udara segar buat orang tersayang nomor dua.”
“Orang tersayang nomor dua?” ucap gue sedikit bingung.
“Ah, umurmu belum nyampe ngomongin ginian Wi,” kata koh Wahyu masuk ke dalam kos.
Setelah memarkirkan motor, gue segera masuk ke dalam kos dan menuju kamar gue. Kondisi kamar gue? Jangan ditanya. Mbak Irma sama Emil lagi mainan kinect sambil teriak-teriak.
“Mbak majuan dikit kek, mau tidur nih,” pinta gue. “Kecilin dikit suaranya.”
Mbak Irma geser sedikit dari kasur gue memberikan tempat buat gue untuk tiduran.
Gue bisa tidur? Enggak. Memang gue diberi tempat buat naruh badan, tapi suara mereka bikin gue nggak bisa merem, kenceng banget. Tau sendirilah, histerisnya cewek main game.
“Mbaaaaaakk… gimana aku bisa tidur kalo gini,” protes gue.
Mbak Irma memincingkan mata, “Lagian kamu ngapain sih disini?”
“Ini kan kamarku mbak.”
Emil mendengus, “Tidur bisa dimana aja Dawi, jangan ganggu deh.”
“Gue musti tidur dimana kalo bukan di kamar gue? Sofa ruang tamu? Itukan tempat tidur mas Roni.”
Emil mendorong badan gue, “Sana tidur di kamarku, huss… huss….”
Kenapa gue nggak kepikiran buat make kamar mereka? Harusnya dari kemarin-kemarin gue sudah menjajah kamar Emil, mbak Irma, koh Wahyu dan mas Roni. Nggak, gue nggak mau deket-deket sama kamar mas Roni, kamar itu berbahaya. Gue masih ingat kemarin gue sempat melihat pistol tergeletak di meja, siapa tahu di bawah kasur ada granat aktif yang siap meledak kalo ada yang tidur diatasnya. Masuk akal, mungkin karena itulah mas Roni nggak pernah tidur di kamarnya sendiri.
Pikiran gue jadi kemana-mana mengenai mas Roni. Mungkin nggak kalo mas Roni itu teroris? Pengedar ganja? Mafia? Atau sejenisnya? Entahlah, masa lalu mas Roni hanya dia dan Tuhan yang tahu. Mungkin ada baiknya gue mulai menyelidiki tentang latar belakang mas Roni untuk mencari aman dan menghindari bahaya. Tapi mungkin lebih baik sekarang gue tidur dulu.
Gue melangkahkan kaki gue ke kamar Emil. Wangi banget, mungkin lavender atau sejenisnya. Badan gue rasanya rileks banget di kamar Emil. Nggak butuh waktu lama, gue akhirnya tertidur.
Bokong gue pegel minta ampun, duduk lima jam, kalo gue terusin bisa-bisa gue ambeyen. Setelah log out, gue pamit sama Arya, “Gue duluan Ya, ngantuk banget gue, lo buruan balik tar kosan lo lama-lama ada yang nunggu gara-gara nggak pernah lo pake tidur.”
Gue balik ke kos sekitar jam tujuh malem, dan kondisi gue udah kelihatan ancur banget. Bayangin aja, nggak bisa ngerjain ujian, mau menghibur diri pake DOTA malah MMR gue ikutan turun, kalah lima kali berturut-turut. Kayaknya hari-hari sial gue bakal dimulai lagi. Semoga aja di jalan waktu gue pulang nggak ada kejadian yang mematikan.
Jalanan lancar, jalan nggak berlubang, nggak ada ibu-ibu yang sein ke kanan belok ke kiri juga, aman. Karena gue mencari keamanan biar gue nggak sial, gue mematuhi rambu-rambu yang ada di sepanjang jalan. Gue belok pake lampu sein, ambil jalan di sebelah kiri, dan menggunakan kecepatan yang normal-normal seperti kebanyakan. Sayangnya, karena gue terlalu memperhatikan keadaan disekitar, gue jadi kelupaan memperhatikan keadaan gue sendiri. Bensin gue habis di tengah jalan.
Sial? Pasti. Ini bukan kejadian yang langka, gue sudah terbiasa dengan kesialan yang menimpa diri gue. Gue harus tetap tenang dan berpikir positif. Cari pom bensin atau pedagang bensin eceran. Ya, itu solusi buat masalah gue saat ini. Gue mulai memeriksa pertokoan sekitar, dengan seksama gue perhatikan setiap bangunan. Ketemu! Ada pedagang bensin eceran. Gue segera mendorong motor gue ke tempat pedagang bensin eceran kemudian membeli bensin disana. Kali ini gue bisa mengatasi kesialan yang menimpa gue.
Setelah mengisi bensin, gue segera melanjutkan perjalanan kembali ke kos. Tetap tertib lalu lintas? Jelas! Dengan sedikit pelanggaran tentunya. Maksud gue bukannya gue nggak tertib lalu lintas, tapi barusan gue udah kena sial, jadi untuk beberapa saat ke depan gue bakalan mujur, paling enggak sampai di kos dengan kondisi jari tangan dan kaki serta daun telinga masih komplit.
Sampai di depan kos gue melihat koh Wahyu sedang memanasi mobilnya, sepertinya dia akan keluar malam ini.
“Mau kemana koh?” sapa gue.
“Jalan-jalan bentar, nyari udara segar buat orang tersayang nomor dua.”
“Orang tersayang nomor dua?” ucap gue sedikit bingung.
“Ah, umurmu belum nyampe ngomongin ginian Wi,” kata koh Wahyu masuk ke dalam kos.
Setelah memarkirkan motor, gue segera masuk ke dalam kos dan menuju kamar gue. Kondisi kamar gue? Jangan ditanya. Mbak Irma sama Emil lagi mainan kinect sambil teriak-teriak.
“Mbak majuan dikit kek, mau tidur nih,” pinta gue. “Kecilin dikit suaranya.”
Mbak Irma geser sedikit dari kasur gue memberikan tempat buat gue untuk tiduran.
Gue bisa tidur? Enggak. Memang gue diberi tempat buat naruh badan, tapi suara mereka bikin gue nggak bisa merem, kenceng banget. Tau sendirilah, histerisnya cewek main game.
“Mbaaaaaakk… gimana aku bisa tidur kalo gini,” protes gue.
Mbak Irma memincingkan mata, “Lagian kamu ngapain sih disini?”
“Ini kan kamarku mbak.”
Emil mendengus, “Tidur bisa dimana aja Dawi, jangan ganggu deh.”
“Gue musti tidur dimana kalo bukan di kamar gue? Sofa ruang tamu? Itukan tempat tidur mas Roni.”
Emil mendorong badan gue, “Sana tidur di kamarku, huss… huss….”
Kenapa gue nggak kepikiran buat make kamar mereka? Harusnya dari kemarin-kemarin gue sudah menjajah kamar Emil, mbak Irma, koh Wahyu dan mas Roni. Nggak, gue nggak mau deket-deket sama kamar mas Roni, kamar itu berbahaya. Gue masih ingat kemarin gue sempat melihat pistol tergeletak di meja, siapa tahu di bawah kasur ada granat aktif yang siap meledak kalo ada yang tidur diatasnya. Masuk akal, mungkin karena itulah mas Roni nggak pernah tidur di kamarnya sendiri.
Pikiran gue jadi kemana-mana mengenai mas Roni. Mungkin nggak kalo mas Roni itu teroris? Pengedar ganja? Mafia? Atau sejenisnya? Entahlah, masa lalu mas Roni hanya dia dan Tuhan yang tahu. Mungkin ada baiknya gue mulai menyelidiki tentang latar belakang mas Roni untuk mencari aman dan menghindari bahaya. Tapi mungkin lebih baik sekarang gue tidur dulu.
Gue melangkahkan kaki gue ke kamar Emil. Wangi banget, mungkin lavender atau sejenisnya. Badan gue rasanya rileks banget di kamar Emil. Nggak butuh waktu lama, gue akhirnya tertidur.
Diubah oleh dasadharma10 05-03-2016 02:14
JabLai cOY memberi reputasi
1


