- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 13:55
anasabila memberi reputasi
1
35.5K
Kutip
295
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#100
Spoiler for Gelembung 10: Kecupan Kedua:
Perkembangan teknologi informasi saat itu belum sepesat sekarang. Di tahun itu, smartphone masih menjadi barang mewah. Paket data juga tidak semurah sekarang. Warnet menjadi tren dan menjamur di setiap sudut kota. Akupun begitu, warnet menjadi langganan saat mengerjakan tugas atau sekedar online. Untungnya ada fasilitas 0.facebook.com yang memudahkanku untuk nongkrong di dunia maya.
Kalau boleh jujur, aku kurang berbakat menulis. Aku lebih suka membaca. Pertama kali aku memutuskan kisah ini adalah saat membaca kembali tulisan-tulisan Naya. Yap, dia pintar dalam banyak hal, menulis salah satunya. Dan aku terinspirasi. Aku menikmati nalar berpikirnya, bagaimana ia mengajak pembaca untuk bermain-main dalam setiap alinea, menggugah hati saat berhadapan dengan konflik utama, lalu membalik penyelesaian masalah dari perspetif yang tak disangka-sangka. Naya lucu dan selalu bikin kangen di dunia nyata, namun ia liar dan tajam di setiap tulisannya. Mungkin itu sebabnya dua jurnalistik menjadi passion yang ia geluti.
Tidak seperti kebanyakan orang yang menggunakan blog, facebook, atau tumblr, Naya lebih menyukai kertas sebagai media untuk menumpahkan segala unek-uneknya. Ada dua jenis buku yang sering aku lihat dalam genggamannya, binder dan diary. Binder merupakan wadah untuk menampung isi otaknya, sedangkan diary sebagai tempat ia mencurahkan isi hati.
Lalu untuk gelembung ini, ku persembahkan salah satu curahan hati Naya untuk kaskuser tercinta.
***
22.45
September, 22.
Hai Naya di masa depan, atau siapapun kamu nanti pemilik buku ini. Maaf sebelumnya aku baru nulis lagi setelah sekian lama. Oiya, aku ada cerita nih. Masih kisah yang sama kok, kisah antara aku dan Aji.
Dua hari yang lalu, aku bertemu Aji. Maksa sih lebih tepatnya. Waktu itu hujan lebat banget. Tapi demi Aji, aku bela-belain deh. Aji masih di sekolah, belum makan katanya. Yaa, sebagai gebetan yang baik, aku inisiatif bikinin nasi goreng buat Aji. Untungnya waktu itu mama papa lagi nggak diluar, jadi aku bebas dari pertanyaan aneh-aneh. Sebenernya aku pengen bikinin bakso, kan enak tuh dingin-dingin terus makan yang anget-anget. Cuman berhubung takut Aji keburu pulang terus bikin bakso butuh waktu yang lama, yaudah nasi goreng aja.
Pergi ke sekolah pas ujan gede butuh perjuangan besar loh, mulai dari jas hujan yang kegedean karena punyaku dipake Adam gatau kemana, air yang nggenang di beberapa jalan yang bikin aku muter nyari jalan lain, sampe hampir nabrak angkot gara-gara ngehindarin tukang becak yang tiba-tiba oleng. Awas aja sampe Aji ngomong ga enak, aku mau ngambek sengambek-ngembeknya, hehe. Tapi itu semua belum selesai, pas di sekolah, aku masih harus hujan-hujanan, parkiran depan sekolah nggak nyatu gitu, jadi basah deh.
Awalnya Aji ngomel-ngomel pas tau aku dateng ke sekolah, tapi ya mau gimana lagi, masa aku disuruh pulang. Aku nungguin Aji di depan IPS II, lumayan terutup gitu, jadi agak ga keliatan sih dari anak-anak yang lalu lalang. Pas Aji dateng, omaigat lecek banget mukanya. Capek banget kayanya latian mulu tiap hari.
Liat Aji yang kebasahan tanganku reflek ngusap-ngusap rambutnya. Malu sih sebenernya, tapi kalo nggak digituin Aji bakalan malu-malu terus. Oiya pas bilang aku mau nyuapin dia tiba-tiba mukanya jadi merah gitu, iya ji iya aku tau kamu orangnya pemalu, tapi ya ga sampe merah gitu juga kali hehehe. Pas di suapan terakhir, tiba-tiba Aji bilang itu buat aku, terus dia nyuapin aku sambil gemeteran tangannya. Bisa gitu yah efek deket sama aku, ga ngerti lagi.
Yang ga di sangka-sangka, Aji tiba-tiba ngungkapin perasaannya. Wow udah punya nyali ternyata setelah sekian lama. Aku juga ungkapin gimana perasaan aku ke Aji, tapi ya ga frontal gitu. Sebagai reward keberanian Aji, aku kecup keningnya sebelum pulang.
Bukan berarti aku cewek gampangan lho ya, tapi mungkin itu bisa ngewakilin perasaan aku ke Aji. Ga salah kan? Hehehe.
Entah kenapa pagi ini aku ngerasa ga enak, ada perasaan ngganjel di dada ini. Susah dijelasin kenapa, padahal aku ga mimpi yang aneh-aneh semalem. Pagi itu Aji ga ngasih ucapan selamat pagi seperti biasanya. Mungkin dia kelelahan setelah semaleman ngedekor panggung buat acara malem nanti.
Aku sempet ga ngebolehin Aji buat nginep di sekolah, takut dia kecapean terus drop. Padahal besok masih masuk sekolah. Tapi Aji ya Aji, buat yang satu ini aku harus ngalah dan ngasih dukungan penuh buat dia, sama kaya Aji selalu ngedukung aku. Di sekolah juga ga ada yang aneh. Meskipun Aji keliatan lecek kaya orang kurang tidur, dia masih nyempetin ngelakuin kebiasaannya. Nggak tau kenapa perasaan ga enak selalu menghantui aku seharian ini.
Malemnya, aku nonton acara teaternya Aji bareng Nafla. Nafla sempet shock kenapa aku tiba-tiba pengen nonton acara begituan. Dia gatau kalo aku pengen ngeliat Aji di panggung hehehe. Sampe di sana, aula udah penuh banget sama orang-orang. Ga cuma anak-anak se sekolah, banyak juga dari luar yang dateng ke acara itu. Aji ga bohong ternyata, harusnya aku dateng lebih awal, biar bisa dapet tempat di depan.
Acara dimulai, setelah beberapa pembukaan yang gitu-gitu aja, Aji sama temen-temennya tampil. Yeay, itu dia orang yang aku tunggu-tunggu. Aji bukan pemain utama, dia cuma beberapa kali muncul ngucapin dialog-dialog tambahan. Aku dan penonton lain dibuat ketawa sama tingkah konyol temen-temen seangkatanku. Apalagi Aji, aku ga nyangka dia bisa kaya gitu. Orang yang aku kenal pendiem ternyata bisa ngelawak juga.
Di tengah-tengah penampilan, Aji tiba-tiba muncul ke tengah panggung. Dia mematung sendiri. Pandangannya menyapu seluruh penonton. Bener atau enggak kayanya dia nyari tempatku berada. Lalu Aji menghela napas, kertas yang ada di tangannya diangkat setinggi bahu. Yap, ini dia persembahan spesial Aji. Dia mau baca puisi.
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu
Aku terpana. Seluruh penonton terpukau melihat Aji. Cewek-cewek di sampingku yang sebelumnya asik sendiri seketika bungkam denger suara lantang Aji. Aku kurang tau itu puisi siapa tapi Aji bener-bener ngasih jiwa di puisi itu. Lalu tepuk tangan penonton menggema ketika Aji memberi salam penghormatan sebelum keluar panggung. Di situ aku kaya ngeliat orang lain, bukan Aji yang aku kenal. Romantis.
Sekitar jam 9 malem mama sms nyuruh aku pulang. Dengan berat hati aku nurutin kata mama, aku pulang sebelum acara itu selesai. Aku pamit ke Aji lewat sms, tapi pending, mungkin lagi dimatiin hp nya.
Setelah nyampe rumah, aku ga bisa tidur. Entah kenapa benakku makin ga karuan ketika aku kepikiran Aji. Beberapa kali aku sms Aji tapi hasilnya nihil. Hp Aji belum aktif.
Sampai tintaku menggores kalimat ini, Aji masih belum ngasih kabar. Selain menunggu, aku cuma berharap semoga Tuhan senantiasa melindungi Aji, seperti kalimat di akhir puisinya tadi.
Aji, aku kangen kamu.
***
Aku terbangun seperti biasa. Menatap handphone lalu pelan-pelan melirik ke arah jam dinding. Tapi, di mana handphoneku? Kenapa jam dinding kamarku berpindah tempat? Kupandangi langit-langit, meja belajar, dan rak buku. Aneh, bagaimana semua perabot kamarku lenyap dan berganti begitu saja? Aku masih bernafas, jantungku masih berdetak, denyut nadiku masih bekerja dengan normal. Aku dimana? Kamar siapa ini?
Ku coba untuk bangkit dari tidurku. Aaww! Nyeri! Ada apa dengan kakiku?
“Eit eit eit! Jangan bangun, Ji. Tiduran aja.”
“Rama? Kok?”
“Gausah lebay, ini di kamarku.”
Kamar Rama? Aku mengamati kembali di sekitarku. Ah, benar juga, baru ingat ak sering menginap di kamar ini.
“Kakiku kenapa sakit banget ini, Ma?”
“Udah biarin gitu dulu aja. Gausah kebanyakan nanya.”
Aku bingung sebingung bingunya. Rama pergi meninggalkan kamar, mau ngambil makan katanya. Mataku masih berkunang-kunang, pagi ini masih terasa dingin. Aku menarik selimut dan membiarkan tubuhku tenggelam di sana. Dan tetap saja, aku masih menggigil. Ditambah paha kiriku seperti ditusuk pulihan belati. Aku berharap semua hanya mimpi lalu seseorang tiba-tiba menampar wajahku dengan sangat keras. Ku pandangi langit-langit, mencoba mengingat kejadian semalam. Tapi tak satupun bayangan tersirat tentang sakit yang ku alami.
Kreeekkk, pintu kamar terbuka, masih pagi, aku belum terlalu bernafsu untuk melahap sesuap nasi.
“Naya?” aku terkejut setelah lirikan mataku tertuju pada pintu kamar.
“Kenapa kesini?”
Samar-samar aku melihat wajah Naya. Tuan Putriku masih mematung di dalam pintu kamar. Dari seragam yang ia kenakan, pasti Naya menyempatkan mampir sebelum berangkat sekolah. Naya menatapku dalam, lalu berjalan pelan menuju pembaringanku. Sejenak ia tersenyum, namun senyum itu beda dari biasanya. Lesung pipi favoritku memancarkan rona kepedihan.
“Maaf ya, Ji,” ucapnya seraya mengusap wajahku.
“Maaf kenapa?”
Naya tidak menjawab, ia kembali tersenyum lalu menggelengkan kepala.
“Aku nggak kenapa-kenapa kok, beneran,” kataku meyakinkan, “Bentar ya aku abis ini mandi terus berangkat..”
“Sssstttt..” telunjuk Naya menutup mulutku, “kamu di sini aja, istirahat.”
“Nih, aku bawain bubur ayam,” aku merubah bentuk muka menjadi cemberut.
“Kenapa mukanya gitu? Jelek jelek jelek..” Naya tertawa sambil mencubit pipiku, “Iyuh belum mandi, bau apeeek.” Aku tak bergeming, raut mukaku masih tak berubah.
“Kalo masih gitu aku tinggalin nih..”
“Emooohh..” kataku sambil menahan lengan Naya. Ia tersenyum. Diusiknya lagi rambutku yang masid acak-acakan.
“Yuk makan dulu yuk, biar cepet sehat.”
Pagi itu, untuk kedua kalinya aku disuapi Naya. Candanya sesekali menyusup di antara suwir ayam bubur hangat itu. Sorot matanya yang lembut dan hangat memuat aku semakin yakin bahwa itu cinta. Aku tak ingin kemesraan ini berakhir begitu saja, namun waktu memaksanya untuk meninggalkanku.
“Nanti siang aku balik lagi kesini, ya?” aku mengangguk pelan, meski benakku tak ingin melepas genggamannya.
Sebelum benar-benar pergi, Naya mengulurkan tangannya ke bahuku, menarikku segera dalam peluknya. Hangat. Ini pelukan kedua setelah ibu yang mampu menenangkanku. Sedetik kemudian Naya kembali mengecup keningku, namun kini lebih lama. Aku memejamkan mata, dan secara ajaib nyeri di pahaku menjadi mati rasa. Lalu aku merasa keningku sedikit basah, perlahan mengalir menuju mata dan pipiku. Ku dekap erat ia dalam pelukku. Mendekatlah. Aku hanya ingin dekat denganmu saja, di sini hatiku damai, di sini lukaku terobati. Aku menyayangimu.
Aku mencintaimu.
Gelembung-11: Lik Tik
Kalau boleh jujur, aku kurang berbakat menulis. Aku lebih suka membaca. Pertama kali aku memutuskan kisah ini adalah saat membaca kembali tulisan-tulisan Naya. Yap, dia pintar dalam banyak hal, menulis salah satunya. Dan aku terinspirasi. Aku menikmati nalar berpikirnya, bagaimana ia mengajak pembaca untuk bermain-main dalam setiap alinea, menggugah hati saat berhadapan dengan konflik utama, lalu membalik penyelesaian masalah dari perspetif yang tak disangka-sangka. Naya lucu dan selalu bikin kangen di dunia nyata, namun ia liar dan tajam di setiap tulisannya. Mungkin itu sebabnya dua jurnalistik menjadi passion yang ia geluti.
Tidak seperti kebanyakan orang yang menggunakan blog, facebook, atau tumblr, Naya lebih menyukai kertas sebagai media untuk menumpahkan segala unek-uneknya. Ada dua jenis buku yang sering aku lihat dalam genggamannya, binder dan diary. Binder merupakan wadah untuk menampung isi otaknya, sedangkan diary sebagai tempat ia mencurahkan isi hati.
Lalu untuk gelembung ini, ku persembahkan salah satu curahan hati Naya untuk kaskuser tercinta.
***
22.45
September, 22.
Hai Naya di masa depan, atau siapapun kamu nanti pemilik buku ini. Maaf sebelumnya aku baru nulis lagi setelah sekian lama. Oiya, aku ada cerita nih. Masih kisah yang sama kok, kisah antara aku dan Aji.
Dua hari yang lalu, aku bertemu Aji. Maksa sih lebih tepatnya. Waktu itu hujan lebat banget. Tapi demi Aji, aku bela-belain deh. Aji masih di sekolah, belum makan katanya. Yaa, sebagai gebetan yang baik, aku inisiatif bikinin nasi goreng buat Aji. Untungnya waktu itu mama papa lagi nggak diluar, jadi aku bebas dari pertanyaan aneh-aneh. Sebenernya aku pengen bikinin bakso, kan enak tuh dingin-dingin terus makan yang anget-anget. Cuman berhubung takut Aji keburu pulang terus bikin bakso butuh waktu yang lama, yaudah nasi goreng aja.
Pergi ke sekolah pas ujan gede butuh perjuangan besar loh, mulai dari jas hujan yang kegedean karena punyaku dipake Adam gatau kemana, air yang nggenang di beberapa jalan yang bikin aku muter nyari jalan lain, sampe hampir nabrak angkot gara-gara ngehindarin tukang becak yang tiba-tiba oleng. Awas aja sampe Aji ngomong ga enak, aku mau ngambek sengambek-ngembeknya, hehe. Tapi itu semua belum selesai, pas di sekolah, aku masih harus hujan-hujanan, parkiran depan sekolah nggak nyatu gitu, jadi basah deh.
Awalnya Aji ngomel-ngomel pas tau aku dateng ke sekolah, tapi ya mau gimana lagi, masa aku disuruh pulang. Aku nungguin Aji di depan IPS II, lumayan terutup gitu, jadi agak ga keliatan sih dari anak-anak yang lalu lalang. Pas Aji dateng, omaigat lecek banget mukanya. Capek banget kayanya latian mulu tiap hari.
Liat Aji yang kebasahan tanganku reflek ngusap-ngusap rambutnya. Malu sih sebenernya, tapi kalo nggak digituin Aji bakalan malu-malu terus. Oiya pas bilang aku mau nyuapin dia tiba-tiba mukanya jadi merah gitu, iya ji iya aku tau kamu orangnya pemalu, tapi ya ga sampe merah gitu juga kali hehehe. Pas di suapan terakhir, tiba-tiba Aji bilang itu buat aku, terus dia nyuapin aku sambil gemeteran tangannya. Bisa gitu yah efek deket sama aku, ga ngerti lagi.
Yang ga di sangka-sangka, Aji tiba-tiba ngungkapin perasaannya. Wow udah punya nyali ternyata setelah sekian lama. Aku juga ungkapin gimana perasaan aku ke Aji, tapi ya ga frontal gitu. Sebagai reward keberanian Aji, aku kecup keningnya sebelum pulang.
Bukan berarti aku cewek gampangan lho ya, tapi mungkin itu bisa ngewakilin perasaan aku ke Aji. Ga salah kan? Hehehe.
Entah kenapa pagi ini aku ngerasa ga enak, ada perasaan ngganjel di dada ini. Susah dijelasin kenapa, padahal aku ga mimpi yang aneh-aneh semalem. Pagi itu Aji ga ngasih ucapan selamat pagi seperti biasanya. Mungkin dia kelelahan setelah semaleman ngedekor panggung buat acara malem nanti.
Aku sempet ga ngebolehin Aji buat nginep di sekolah, takut dia kecapean terus drop. Padahal besok masih masuk sekolah. Tapi Aji ya Aji, buat yang satu ini aku harus ngalah dan ngasih dukungan penuh buat dia, sama kaya Aji selalu ngedukung aku. Di sekolah juga ga ada yang aneh. Meskipun Aji keliatan lecek kaya orang kurang tidur, dia masih nyempetin ngelakuin kebiasaannya. Nggak tau kenapa perasaan ga enak selalu menghantui aku seharian ini.
Malemnya, aku nonton acara teaternya Aji bareng Nafla. Nafla sempet shock kenapa aku tiba-tiba pengen nonton acara begituan. Dia gatau kalo aku pengen ngeliat Aji di panggung hehehe. Sampe di sana, aula udah penuh banget sama orang-orang. Ga cuma anak-anak se sekolah, banyak juga dari luar yang dateng ke acara itu. Aji ga bohong ternyata, harusnya aku dateng lebih awal, biar bisa dapet tempat di depan.
Acara dimulai, setelah beberapa pembukaan yang gitu-gitu aja, Aji sama temen-temennya tampil. Yeay, itu dia orang yang aku tunggu-tunggu. Aji bukan pemain utama, dia cuma beberapa kali muncul ngucapin dialog-dialog tambahan. Aku dan penonton lain dibuat ketawa sama tingkah konyol temen-temen seangkatanku. Apalagi Aji, aku ga nyangka dia bisa kaya gitu. Orang yang aku kenal pendiem ternyata bisa ngelawak juga.
Di tengah-tengah penampilan, Aji tiba-tiba muncul ke tengah panggung. Dia mematung sendiri. Pandangannya menyapu seluruh penonton. Bener atau enggak kayanya dia nyari tempatku berada. Lalu Aji menghela napas, kertas yang ada di tangannya diangkat setinggi bahu. Yap, ini dia persembahan spesial Aji. Dia mau baca puisi.
Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu
Aku terpana. Seluruh penonton terpukau melihat Aji. Cewek-cewek di sampingku yang sebelumnya asik sendiri seketika bungkam denger suara lantang Aji. Aku kurang tau itu puisi siapa tapi Aji bener-bener ngasih jiwa di puisi itu. Lalu tepuk tangan penonton menggema ketika Aji memberi salam penghormatan sebelum keluar panggung. Di situ aku kaya ngeliat orang lain, bukan Aji yang aku kenal. Romantis.
Sekitar jam 9 malem mama sms nyuruh aku pulang. Dengan berat hati aku nurutin kata mama, aku pulang sebelum acara itu selesai. Aku pamit ke Aji lewat sms, tapi pending, mungkin lagi dimatiin hp nya.
Setelah nyampe rumah, aku ga bisa tidur. Entah kenapa benakku makin ga karuan ketika aku kepikiran Aji. Beberapa kali aku sms Aji tapi hasilnya nihil. Hp Aji belum aktif.
Sampai tintaku menggores kalimat ini, Aji masih belum ngasih kabar. Selain menunggu, aku cuma berharap semoga Tuhan senantiasa melindungi Aji, seperti kalimat di akhir puisinya tadi.
Aji, aku kangen kamu.
***
Aku terbangun seperti biasa. Menatap handphone lalu pelan-pelan melirik ke arah jam dinding. Tapi, di mana handphoneku? Kenapa jam dinding kamarku berpindah tempat? Kupandangi langit-langit, meja belajar, dan rak buku. Aneh, bagaimana semua perabot kamarku lenyap dan berganti begitu saja? Aku masih bernafas, jantungku masih berdetak, denyut nadiku masih bekerja dengan normal. Aku dimana? Kamar siapa ini?
Ku coba untuk bangkit dari tidurku. Aaww! Nyeri! Ada apa dengan kakiku?
“Eit eit eit! Jangan bangun, Ji. Tiduran aja.”
“Rama? Kok?”
“Gausah lebay, ini di kamarku.”
Kamar Rama? Aku mengamati kembali di sekitarku. Ah, benar juga, baru ingat ak sering menginap di kamar ini.
“Kakiku kenapa sakit banget ini, Ma?”
“Udah biarin gitu dulu aja. Gausah kebanyakan nanya.”
Aku bingung sebingung bingunya. Rama pergi meninggalkan kamar, mau ngambil makan katanya. Mataku masih berkunang-kunang, pagi ini masih terasa dingin. Aku menarik selimut dan membiarkan tubuhku tenggelam di sana. Dan tetap saja, aku masih menggigil. Ditambah paha kiriku seperti ditusuk pulihan belati. Aku berharap semua hanya mimpi lalu seseorang tiba-tiba menampar wajahku dengan sangat keras. Ku pandangi langit-langit, mencoba mengingat kejadian semalam. Tapi tak satupun bayangan tersirat tentang sakit yang ku alami.
Kreeekkk, pintu kamar terbuka, masih pagi, aku belum terlalu bernafsu untuk melahap sesuap nasi.
“Naya?” aku terkejut setelah lirikan mataku tertuju pada pintu kamar.
“Kenapa kesini?”
Samar-samar aku melihat wajah Naya. Tuan Putriku masih mematung di dalam pintu kamar. Dari seragam yang ia kenakan, pasti Naya menyempatkan mampir sebelum berangkat sekolah. Naya menatapku dalam, lalu berjalan pelan menuju pembaringanku. Sejenak ia tersenyum, namun senyum itu beda dari biasanya. Lesung pipi favoritku memancarkan rona kepedihan.
“Maaf ya, Ji,” ucapnya seraya mengusap wajahku.
“Maaf kenapa?”
Naya tidak menjawab, ia kembali tersenyum lalu menggelengkan kepala.
“Aku nggak kenapa-kenapa kok, beneran,” kataku meyakinkan, “Bentar ya aku abis ini mandi terus berangkat..”
“Sssstttt..” telunjuk Naya menutup mulutku, “kamu di sini aja, istirahat.”
“Nih, aku bawain bubur ayam,” aku merubah bentuk muka menjadi cemberut.
“Kenapa mukanya gitu? Jelek jelek jelek..” Naya tertawa sambil mencubit pipiku, “Iyuh belum mandi, bau apeeek.” Aku tak bergeming, raut mukaku masih tak berubah.
“Kalo masih gitu aku tinggalin nih..”
“Emooohh..” kataku sambil menahan lengan Naya. Ia tersenyum. Diusiknya lagi rambutku yang masid acak-acakan.
“Yuk makan dulu yuk, biar cepet sehat.”
Pagi itu, untuk kedua kalinya aku disuapi Naya. Candanya sesekali menyusup di antara suwir ayam bubur hangat itu. Sorot matanya yang lembut dan hangat memuat aku semakin yakin bahwa itu cinta. Aku tak ingin kemesraan ini berakhir begitu saja, namun waktu memaksanya untuk meninggalkanku.
“Nanti siang aku balik lagi kesini, ya?” aku mengangguk pelan, meski benakku tak ingin melepas genggamannya.
Sebelum benar-benar pergi, Naya mengulurkan tangannya ke bahuku, menarikku segera dalam peluknya. Hangat. Ini pelukan kedua setelah ibu yang mampu menenangkanku. Sedetik kemudian Naya kembali mengecup keningku, namun kini lebih lama. Aku memejamkan mata, dan secara ajaib nyeri di pahaku menjadi mati rasa. Lalu aku merasa keningku sedikit basah, perlahan mengalir menuju mata dan pipiku. Ku dekap erat ia dalam pelukku. Mendekatlah. Aku hanya ingin dekat denganmu saja, di sini hatiku damai, di sini lukaku terobati. Aku menyayangimu.
Aku mencintaimu.
Gelembung-11: Lik Tik
Diubah oleh chocolavacake 01-08-2016 03:33
0
Kutip
Balas