- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 20:55
anasabila memberi reputasi
1
35.8K
Kutip
295
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#72
Spoiler for Gelembung 8: Liontin:
Sejak awal aku melihatmu beberapa tahun lalu, ada perasaan kagum yang selalu ku sembunyikan. Sampai saat ini, rasa itu tumbuh menjadi rasa takut kehilangan yang sulit kuabaikan. Aku tak lagi takut mencintaimu. Seperti awan yang mengikuti arah angin, seperti itu pula kubiarkan rasa ini mengalir tanpa kendali. Kamu membangun mimpiku dengan sentuhan magis, sampai-sampai aku tak lagi mengerti mengapa aku begitu tergila-gila padamu.
Rasa sakit biasanya beriringan dengan sebuah tindakan yang kita kenal sebagai pengorbanan. Namun ketika jatuh cinta, ketika aku masih terjaga hanya untuk mendengar suaramu, saat aku menunggumu menyelesaikan tugas, saat pesan singkatmu kunanti, aku tak merasakan hal itu. Yap, aku jatuh cinta. Atas dasar perasaan suci itu aku bersedia menunggumu. Aku menyayangimu dan membiarkanku tetap menanti, tak peduli bagaimana akhirnnya nanti. Mungkin terdengar gila, tapi air mataku untukmu adalah sebuah keindahan, tangis ini karena besarnya cintaku, bukan sebuah perasaan pengorbanan.
***
Masih lama ya, Ji?
Bentar lagi beres kok, tunggu bentar yaa.
Untuk kesekian kalinya Naya mengirim pesan. Sejak ia berkata menunggu di rumah Nafla, berarti sudah hampir dua jam ia menunggu.
Siang itu aku berada di sekolah. Latihan rutin yang biasanya seminggu sekali, kini bertambah intensitasnya. Kurang dari dua puluh hari lagi pementasan digelar. Sementara persiapan kami tak sedikitpun menyentuh angka 25% Karenanya, seperti tradisi di tahun-tahun sebelumnya, Mas Burhan memutuskan untuk melakukan latihan setiap hari sepulang sekolah. Hari minggu tak luput dari agendanya untuk berlatih, bedanya latihan hari minggu ini dilaksanakan sejak pagi.
Dari awal masuk ekstrakuler ini, kami anggota baru dipaksa untuk berkomitmen penuh. Totalitas adalah sebuah keutamaan. Penikmat panggung teater kami bukan hanya teman-teman kami, para penggiat teater dari sekolah lain juga masuk daftar penggemar. Belum lagi dukungan yang biasanya membawa rombongan saat kami tampil. Aktivis UKM kampus juga tak sedikit yang hadir dan memberikan apresiasi. Singkatnya Happening Art bukan hanya sekedar program kerja yang harus kami laksanakan, melainkan sebuah ajang silaturahmi, wadah untuk saling memberi ilmu pengetahuan, yang semata-mata bertujuan untuk membumikan seni peran di belantika negeri.
Sayangnya, hari itu Naya harus membagi prioritas. Sebagai ganti kepergiannya tiga hari kemarin, hari ini Naya mengajakku pergi. Aku, seperti kucing yang diberi ikan segar, dengan sangat antusias menerima inisiatifnya itu. Namun dengan satu syarat, aku selesaikan urusanku dengan teater terlebih dahulu. Awalnya pemilik lesung pipi tercantik di dunia itu tak keberatan, tapi setelah sms yang dikirimkannya berulang kali beberapa saat yang lalu, mungkin ia sedang mempertimbangkan untuk menarik kata-katanya.
Usai latihan dibubarkan, aku bergegas menuju gerbang sekolah. Naya akan menjemputku di sana. Sepeda kesayanganku sengaja kuparkir dekat pos satpam. Sebungkus rokok sudah cukup untuk membuat Mas Heru, satpam paling muda di sekolahku yang juga lulusan SMA ku itu bersedia kutitipi.
“Lama juga ya, Ji,” ucap Naya sewaktu datang menghampiriku.
“Kan aku wes bilang ntaran aja jemputnya, kamu sih ngeyel”
Naya memberiku helm yang dipinjamnya dari Nafla, “Abis bosen di rumah, sekalian main ke Nafla juga sih hehe”
Setelah memasang standar perlengkapan pengendara bermotor, Naya menggeser posisi duduknya ke belakang, memberiku ruang untuk mengembil alih kemudi. Tanpa ditanya, pujaan hatiku ini langsung nyerocos. Diceritakannya segala hal yang belum sempat ia katakan padaku di telepon waktu itu, sambil sesekali menunjuk beberapa tempat lalu nyeletuk tentang kejadian yang ia alami di sana.
“Kita mau kemana, Nay?” tanyaku ketika Naya sejenak terdiam dari kegiatan mendongengnya.
“Ya ampun nyampe lupa ya mau kemana hahaha. Ke pantai aja yuk, Ji. Mau nggak?”
“Papuma?”
“Yap, benar sekalii. Kamu mau ga? Mumpung sore nih, bentar lagi sunset hehe”
Aku sejenak berpikir, boleh juga. Belum pernah aku menikmati matahari terbenam di pinggir laut, bareng Naya pula. Pasti romantis.
“Ji? Mau ga? Malah bengong.”
“Eh, emm boleh deh. Aku terserah kamu aja hehe”
“Yeeay, akhirnya ke pantai jugaaa hihihi”
Papuma terletak di Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, butuh waktu sekitar 1 jam dari Kota Jember. Perjalanan ke sana bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Buat teman-teman yang berencana berlibur ke Jember, Papuma bisa dijadikan salah satu destinasi wisata. Tidak hanya itu, ada dua pantai lain yang bisa dikunjungi, Watu Ulo dan Payangan. Sekali perjalanan, teman-teman bisa mendapatkan tiga pantai sekaligus. Karena ketiga pantai ini letaknya berdekatan.
Setelah melewati perempatan Ambulu, jalan menuju Pantai Payangan lurus mengikuti jalan raya. Untuk menuju watu ulo, teman-teman ambil arah kanan saat berada di pertigaan pintu masuk antara Watu Ulo dan Payangan. Sementara jalan menuju Papuma, ada dua alternatif. Pertama, melalui pintu masuk Watu Ulo. Di sini, setelah teman-teman puas menikmati keindahan Watu Ulo, teman-teman bisa terus melanjutkan perjalanana tanpa harus balik arah menuju pintu masuk, karena di pintu keluar itulah pintu masuk Papuma berada. Kedua, bila teman-teman tidak mau merogoh kocek lebih dalam untuk membayar tiket masuk Watu Ulo, ada jalan lain menuju pintu masuk Papuma. Sesaat sebelum menuju pintu masuk Watu Ulo, ada gang di sebelah kanan jalan yang bisa dilalui menuju Papuma. Melalui gang ini, teman-teman akan disuguhkaan perkebunan warga serta lanskap hutan jati milik Perhutani. Cocok untuk sekedar berfoto ria di tengah perjalanan.
Senang rasanya saat itu, motor yang aku kemudikan tak lagi ku bawa sambil berjalan untuk mencari tukang tambal. Sesekali ku intip Naya dari balik spion saat bercerita ini itu. Ah, wanita pujaan hatiku kini tak lebih dari 20 senti jaraknya.
Seperti biasa, tubuh Naya terbalit kardigan berwarna merah muda. Celana jeans dan kerudung yang hampir senada membuatnya semakin manis ketika sinar matahari menyapa. Tas kecil berisi perlengkapan pribadinya tak lupa menemani di balik punggung Naya. Sering ku lihat wanita November ini memakai penyuara kuping saat berkendara. Tapi saat ini, sepertinya kedua telinganya dikhususkan untuk berinteraksi denganku.
Sekitar jam 4 sore kami tiba di sana. Beberapa pengunjung terlihat mulai meninggalkan tempat itu. Dari garis wajah yang terpancar, ku rasa mereka sangat menikmati pesona pantai yang baru saja dikunjunginya. Setelah memarkirkan motor, Naya tiba-tiba berlari menuju sebuah warung di pinggir pantai.
“Laper, Ji. Nungguin kamu lama banget sih tadi. Kamu mau makan ga?” katanya setelah melihatku datang menghampiri.
“Enggak deh, aku mau minum aja.”
“Beneran nih? Emang tadi siang udah makan?”
“Belum sih, cuman lagi ga pengen makan aja. Takut kekenyangan kalo di rumah ntar disuruh makan lagi sama Ibu.”
“Hmm, yaudah deh kalo gitu.”
Aku duduk di sebuah kursi panjang milik warung tempat Naya memesan makanan. Di bawah langit yang mulai berdegradasi menjadi jingga, ku biarkan angin laut berhembus membawa butir pasir putih. Gelombang ombak juga dibiarkannya mengalir mengikuti arah angin, seperti perjalanan antara aku dan Naya, mengalir tanpa tahu ujung dari perjalanan ini.
“Hayoloh!” Naya mengagetkanku dari belakang, “Ngelamun tok daritadi.”
“Eh, nggak kok. Siapa yang ngelamun coba?”
“Kan mulai kan, dasar tukang ngeles,” Naya menyandarkan punggungnya pada kursi bambu yang sama dengan tempatku duduk.
“Tunggu aku beres makan dulu ya, Ji. Kamu jangan kemana-mana. Abis itu kita ke atas.”
Aku mengerti tempat yang Naya maksud, sekali aku mengunjungi pantai ini selepas kelulusan SMP. “Boleh boleh, emang kamu udah lama ga kesini ya, Nay?”
Deg. Naya tidak menjawab. Ku lirik wanita terindah di sampingku ini, matanya kosong menatap ombak lepas pantai selatan. Momen sekian detik itu semakin berbinar karena langit jingga selatan yang cerah memberi latar pemandangan masa depanku ini. Sejenak kemudian Naya memejamkan mata, lalu menghirup angin laut dalam-dalam.
“Iya, Ji? Kenapa tadi?”
“Oh, emm, enggak kok. Itu makanannya udah dateng.” Aku terbata-bata melihat Naya tiba-tiba menoleh ke arahku.
“Yeyeye, makasih ya buukk” katanya pada pemilik warung yang mengantar pesanan Naya.
“Kamu beneran ga mau makan, Ji. Ikan bakar ini enak loh. Aku sama mama biasanya beli di sini.”
“Oh ya? Sering dong berarti ke sini.”
Naya memejamkan mata, merapal doa sebelum menyantap makan siangnya, “Dulu sering diajakin mama ke sini, sama keluarga papa juga kalo lagi dateng ke Jember.”
Aku menikmati es kepala muda yang Naya pesan untukku. Segarnya air kelapa tak sebesar suasana sore itu. Lucu juga melihat Naya makan, kedua pipi yang biasanya sedikit menggembung itu semakin tak terkontrol setelah dimasuki ikan bakar kesukaannya.
“Oimma mmi kammu mmaammmam mmi memmammmeamemm...”
Hahaha, Tuan putriku semakin lucu, dicobanya untuk berbicara saat makanan masih penuh dalam mulutnya.
“Ditelen dulu lah itu, kasian tenggorokannya ntar kemasukan nasi hahaha”
Dengan sekali tekan, dilahapnya nasi memasuki lambung Naya, es kelapa pesanannya tak lupa disambarnya.
“Hehe jadi maluu. Kamu kapan sih pementasannya? Harus banget tiap hari gitu ya latian?”
“Iyaa, tanggal 22 bulan depan tampilnya. Gatau tuh Mas Burhan yang minta latian tiap hari.”
“Waaah semangaaat! Yang bagus ya, Ji. Ntar aku nonton deh, hehe.”
“Eh serius? Yaudah deh ntar aku kasih tiketnya.”
“Ada tiketnya juga? Berapaan?”
“Ga mahal kok, cuma dua ribu perak.”
“Murah banget? Itu tiket apa kacang rebus?”
“Hahaha. Itu cuma buat ganti stiker aja sebenernya. Jadi tiketnya bentuknya stiker, biar bisa ditempel gitu.”
“Waw kok kece sih, tapi aku tiketnya gratis kan?”
“Iyaa gratis, tenang ajaa.”
“Yeay, ntar aku tonton kamu sampe abis deh hehe”
Iya, Nay. Kamu dateng aja aku udah seneng kok.
“Ngemeng-ngemeng..”
“Ngomong-ngomong!” kataku memotong, lucu banget sih nih anak, pengen aku bungkus terus aku bawa pulang.
“Hehehe, ngomong-ngomong tugas jurnalistik kemaren punyaku masuk tiga terbaik loh, Ji.”
“Oiya? Weee selamat ya, terus-terus gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana. Ntar dipilih lagi buat masuk ke buletin bulanan.”
“Aamiin. Aku doain deh biar masuk,” Naya tersenyum melihatku mengangkat kedua telapak tangan lalu mengusapnya ke muka.
Setelah selesai makan, kami berjalan menuju tempat yang Naya sebutkan tadi. Setelah melewati pasir putih yang berisi jajaran perahu nelayan, aku dan Naya menaiki sebuah bukit. Di sana lah tujuan kami.
Ada sebuah gazebo di atas sini. Dari sini, keseluruhan pantai bisa dilihat, tempat favorit siapa saja yang ingin mengabadikan dalam bentuk foto. Bukit ini membagi Tanjung Papuma menjadi dua bagian. Di sebelah barat adalah pantai pasir putih yang kami lewati tadi. Sedangkan sebelah barat berupa pantai pasir dengan ombak yang lebih tenang.
“Sini, Ji,” Naya mengajakku duduk di pinggiran bukit, diluruskannya kakinya yang jenjang hingga pergelangannya menggantung.
“Kamu tau ga kenapa pantai ini dinamain Papuma?” katanya sambil memandang batu-batu karang di sisi timur pantai, “Papuma: pasir putih malikan. Kalo kamu jeli, batu-batu malikan itu bisa ngeluarin bunyi-bunyian loh,” Naya menunjuk batuan pipih seperti karang besar. “Itu namanya Pulau Batara Guru, itu Pulau Kresna, itu Pulau Nusa Barong, itu Pulau Kodok. Terus dua batu karang yang sering kamu liat di foto-foto itu namanya Pulau Kajang sama Pulau Narada,” aku tersenyum, kata demi kata yang Naya ucapkan selalu menyita perhatian lebih, penekanannya sangat khas, menjelaskan namun tidak menggurui.
Seperti yang aku bilang di awal, isi kepala Naya selalu selangkah dari milikku. Hari ini pertama kalinya aku mengalami peristiwa itu.
“Nih,” Naya memberikan sebuah benda yang ia keluarkan dari dalam tasnya.
“Disimpen ya, Ji. Ini dulunya punya Mas Slamet, terus dikasihin ke Mbak Inggrid buat disimpen. Kata Mas Slamet, ini baru boleh dibalikin kalo Mas Slamet udah ijab kabul sama Mbak Inggrid.”
Aku menerima sebuah kalung dari tangan Naya. Di tengahnya tergantung sebuah liontin berbentuk hati berwarna perak. Sebuah benda yang tidak mahal menurutku, namun kini tak ternilai karena sebuah catatan sejarah terkenang didalamnya.
“Ini saksi kisah cinta mereka, Ji. Mbak Inggrid sama Mas Slamet udah deket sejak SMP. So sweet kan?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Ingin rasanya meraba-raba maksud tujuan Naya memberikan kalung milik sepasang pengantin yang baru mengikrarkan janji itu.
“Jangan sampe ilang ya, Ji. Ntar balikin ke aku kalo..” Naya terdiam, sebuah senyum tersimpul ketika ia menghentikan kata-katanya.
“Iya, aku simpen kok. Tenang aja.” Kataku mencoba mencairkan kekikukan di antara kami. Benar kan, dugaanku tepat ternyata, senyuman Naya menjawab segala keraguanku.
Ucapan terakhirku semakin melebarkan senyumnya. Ingin rasanya ku tatap matanya dan mengajaknya berbicara. Di jarak antara tempat kita duduk yang hanya beberapa sentimeter, ingin ku nikmati lesung pipi yang kian hari kian mempesona itu, juga wajahnya yang terlihat lebih berseri di bawah sinar senja. Bisakah kamu rasakan degup jantungku saat ini? Degup jantung yang seakan-akan berkata ada seorang lelaki yang takut pada matahari yang semakin mendekati kaki langit, takut menghadapi hari yang mulai gelap. Seperti Cinderella yang takut pada tengah malam, seperti itu pula aku takut pada jam menuju adzan maghrib, jam-jam yang menunjukkan perpisahan.
Keheningan masih membekap kami, sementara pandangan Naya tak lepas dari sinar jingga cakrawala. Di bawah naungan senja, aku menatap kalung pemberian Naya di genggaman tanganku. Hari ini, meski tak tersampaikan secara tersurat, kami telah mengukir janji. Aku menatap senyum simpulmu yang tak kunjung berakhir sejak tadi. Lalu beberapa detik setelahnya, kamu membalas tatapan mataku, sambil menggoda hati ini dengan lesung pipi yang selalu aku idamkan. Kamu tersenyum penuh arti, seakan berbisik dengan sangat lirih.. aku sayang kamu, Ji.
Aku juga sayang kamu, Nay.
Gelembung 9: Ini Punyaku
Rasa sakit biasanya beriringan dengan sebuah tindakan yang kita kenal sebagai pengorbanan. Namun ketika jatuh cinta, ketika aku masih terjaga hanya untuk mendengar suaramu, saat aku menunggumu menyelesaikan tugas, saat pesan singkatmu kunanti, aku tak merasakan hal itu. Yap, aku jatuh cinta. Atas dasar perasaan suci itu aku bersedia menunggumu. Aku menyayangimu dan membiarkanku tetap menanti, tak peduli bagaimana akhirnnya nanti. Mungkin terdengar gila, tapi air mataku untukmu adalah sebuah keindahan, tangis ini karena besarnya cintaku, bukan sebuah perasaan pengorbanan.
***
Masih lama ya, Ji?
Bentar lagi beres kok, tunggu bentar yaa.
Untuk kesekian kalinya Naya mengirim pesan. Sejak ia berkata menunggu di rumah Nafla, berarti sudah hampir dua jam ia menunggu.
Siang itu aku berada di sekolah. Latihan rutin yang biasanya seminggu sekali, kini bertambah intensitasnya. Kurang dari dua puluh hari lagi pementasan digelar. Sementara persiapan kami tak sedikitpun menyentuh angka 25% Karenanya, seperti tradisi di tahun-tahun sebelumnya, Mas Burhan memutuskan untuk melakukan latihan setiap hari sepulang sekolah. Hari minggu tak luput dari agendanya untuk berlatih, bedanya latihan hari minggu ini dilaksanakan sejak pagi.
Dari awal masuk ekstrakuler ini, kami anggota baru dipaksa untuk berkomitmen penuh. Totalitas adalah sebuah keutamaan. Penikmat panggung teater kami bukan hanya teman-teman kami, para penggiat teater dari sekolah lain juga masuk daftar penggemar. Belum lagi dukungan yang biasanya membawa rombongan saat kami tampil. Aktivis UKM kampus juga tak sedikit yang hadir dan memberikan apresiasi. Singkatnya Happening Art bukan hanya sekedar program kerja yang harus kami laksanakan, melainkan sebuah ajang silaturahmi, wadah untuk saling memberi ilmu pengetahuan, yang semata-mata bertujuan untuk membumikan seni peran di belantika negeri.
Sayangnya, hari itu Naya harus membagi prioritas. Sebagai ganti kepergiannya tiga hari kemarin, hari ini Naya mengajakku pergi. Aku, seperti kucing yang diberi ikan segar, dengan sangat antusias menerima inisiatifnya itu. Namun dengan satu syarat, aku selesaikan urusanku dengan teater terlebih dahulu. Awalnya pemilik lesung pipi tercantik di dunia itu tak keberatan, tapi setelah sms yang dikirimkannya berulang kali beberapa saat yang lalu, mungkin ia sedang mempertimbangkan untuk menarik kata-katanya.
Usai latihan dibubarkan, aku bergegas menuju gerbang sekolah. Naya akan menjemputku di sana. Sepeda kesayanganku sengaja kuparkir dekat pos satpam. Sebungkus rokok sudah cukup untuk membuat Mas Heru, satpam paling muda di sekolahku yang juga lulusan SMA ku itu bersedia kutitipi.
“Lama juga ya, Ji,” ucap Naya sewaktu datang menghampiriku.
“Kan aku wes bilang ntaran aja jemputnya, kamu sih ngeyel”
Naya memberiku helm yang dipinjamnya dari Nafla, “Abis bosen di rumah, sekalian main ke Nafla juga sih hehe”
Setelah memasang standar perlengkapan pengendara bermotor, Naya menggeser posisi duduknya ke belakang, memberiku ruang untuk mengembil alih kemudi. Tanpa ditanya, pujaan hatiku ini langsung nyerocos. Diceritakannya segala hal yang belum sempat ia katakan padaku di telepon waktu itu, sambil sesekali menunjuk beberapa tempat lalu nyeletuk tentang kejadian yang ia alami di sana.
“Kita mau kemana, Nay?” tanyaku ketika Naya sejenak terdiam dari kegiatan mendongengnya.
“Ya ampun nyampe lupa ya mau kemana hahaha. Ke pantai aja yuk, Ji. Mau nggak?”
“Papuma?”
“Yap, benar sekalii. Kamu mau ga? Mumpung sore nih, bentar lagi sunset hehe”
Aku sejenak berpikir, boleh juga. Belum pernah aku menikmati matahari terbenam di pinggir laut, bareng Naya pula. Pasti romantis.
“Ji? Mau ga? Malah bengong.”
“Eh, emm boleh deh. Aku terserah kamu aja hehe”
“Yeeay, akhirnya ke pantai jugaaa hihihi”
Papuma terletak di Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, butuh waktu sekitar 1 jam dari Kota Jember. Perjalanan ke sana bisa ditempuh menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Buat teman-teman yang berencana berlibur ke Jember, Papuma bisa dijadikan salah satu destinasi wisata. Tidak hanya itu, ada dua pantai lain yang bisa dikunjungi, Watu Ulo dan Payangan. Sekali perjalanan, teman-teman bisa mendapatkan tiga pantai sekaligus. Karena ketiga pantai ini letaknya berdekatan.
Setelah melewati perempatan Ambulu, jalan menuju Pantai Payangan lurus mengikuti jalan raya. Untuk menuju watu ulo, teman-teman ambil arah kanan saat berada di pertigaan pintu masuk antara Watu Ulo dan Payangan. Sementara jalan menuju Papuma, ada dua alternatif. Pertama, melalui pintu masuk Watu Ulo. Di sini, setelah teman-teman puas menikmati keindahan Watu Ulo, teman-teman bisa terus melanjutkan perjalanana tanpa harus balik arah menuju pintu masuk, karena di pintu keluar itulah pintu masuk Papuma berada. Kedua, bila teman-teman tidak mau merogoh kocek lebih dalam untuk membayar tiket masuk Watu Ulo, ada jalan lain menuju pintu masuk Papuma. Sesaat sebelum menuju pintu masuk Watu Ulo, ada gang di sebelah kanan jalan yang bisa dilalui menuju Papuma. Melalui gang ini, teman-teman akan disuguhkaan perkebunan warga serta lanskap hutan jati milik Perhutani. Cocok untuk sekedar berfoto ria di tengah perjalanan.
Senang rasanya saat itu, motor yang aku kemudikan tak lagi ku bawa sambil berjalan untuk mencari tukang tambal. Sesekali ku intip Naya dari balik spion saat bercerita ini itu. Ah, wanita pujaan hatiku kini tak lebih dari 20 senti jaraknya.
Seperti biasa, tubuh Naya terbalit kardigan berwarna merah muda. Celana jeans dan kerudung yang hampir senada membuatnya semakin manis ketika sinar matahari menyapa. Tas kecil berisi perlengkapan pribadinya tak lupa menemani di balik punggung Naya. Sering ku lihat wanita November ini memakai penyuara kuping saat berkendara. Tapi saat ini, sepertinya kedua telinganya dikhususkan untuk berinteraksi denganku.
Sekitar jam 4 sore kami tiba di sana. Beberapa pengunjung terlihat mulai meninggalkan tempat itu. Dari garis wajah yang terpancar, ku rasa mereka sangat menikmati pesona pantai yang baru saja dikunjunginya. Setelah memarkirkan motor, Naya tiba-tiba berlari menuju sebuah warung di pinggir pantai.
“Laper, Ji. Nungguin kamu lama banget sih tadi. Kamu mau makan ga?” katanya setelah melihatku datang menghampiri.
“Enggak deh, aku mau minum aja.”
“Beneran nih? Emang tadi siang udah makan?”
“Belum sih, cuman lagi ga pengen makan aja. Takut kekenyangan kalo di rumah ntar disuruh makan lagi sama Ibu.”
“Hmm, yaudah deh kalo gitu.”
Aku duduk di sebuah kursi panjang milik warung tempat Naya memesan makanan. Di bawah langit yang mulai berdegradasi menjadi jingga, ku biarkan angin laut berhembus membawa butir pasir putih. Gelombang ombak juga dibiarkannya mengalir mengikuti arah angin, seperti perjalanan antara aku dan Naya, mengalir tanpa tahu ujung dari perjalanan ini.
“Hayoloh!” Naya mengagetkanku dari belakang, “Ngelamun tok daritadi.”
“Eh, nggak kok. Siapa yang ngelamun coba?”
“Kan mulai kan, dasar tukang ngeles,” Naya menyandarkan punggungnya pada kursi bambu yang sama dengan tempatku duduk.
“Tunggu aku beres makan dulu ya, Ji. Kamu jangan kemana-mana. Abis itu kita ke atas.”
Aku mengerti tempat yang Naya maksud, sekali aku mengunjungi pantai ini selepas kelulusan SMP. “Boleh boleh, emang kamu udah lama ga kesini ya, Nay?”
Deg. Naya tidak menjawab. Ku lirik wanita terindah di sampingku ini, matanya kosong menatap ombak lepas pantai selatan. Momen sekian detik itu semakin berbinar karena langit jingga selatan yang cerah memberi latar pemandangan masa depanku ini. Sejenak kemudian Naya memejamkan mata, lalu menghirup angin laut dalam-dalam.
“Iya, Ji? Kenapa tadi?”
“Oh, emm, enggak kok. Itu makanannya udah dateng.” Aku terbata-bata melihat Naya tiba-tiba menoleh ke arahku.
“Yeyeye, makasih ya buukk” katanya pada pemilik warung yang mengantar pesanan Naya.
“Kamu beneran ga mau makan, Ji. Ikan bakar ini enak loh. Aku sama mama biasanya beli di sini.”
“Oh ya? Sering dong berarti ke sini.”
Naya memejamkan mata, merapal doa sebelum menyantap makan siangnya, “Dulu sering diajakin mama ke sini, sama keluarga papa juga kalo lagi dateng ke Jember.”
Aku menikmati es kepala muda yang Naya pesan untukku. Segarnya air kelapa tak sebesar suasana sore itu. Lucu juga melihat Naya makan, kedua pipi yang biasanya sedikit menggembung itu semakin tak terkontrol setelah dimasuki ikan bakar kesukaannya.
“Oimma mmi kammu mmaammmam mmi memmammmeamemm...”
Hahaha, Tuan putriku semakin lucu, dicobanya untuk berbicara saat makanan masih penuh dalam mulutnya.
“Ditelen dulu lah itu, kasian tenggorokannya ntar kemasukan nasi hahaha”
Dengan sekali tekan, dilahapnya nasi memasuki lambung Naya, es kelapa pesanannya tak lupa disambarnya.
“Hehe jadi maluu. Kamu kapan sih pementasannya? Harus banget tiap hari gitu ya latian?”
“Iyaa, tanggal 22 bulan depan tampilnya. Gatau tuh Mas Burhan yang minta latian tiap hari.”
“Waaah semangaaat! Yang bagus ya, Ji. Ntar aku nonton deh, hehe.”
“Eh serius? Yaudah deh ntar aku kasih tiketnya.”
“Ada tiketnya juga? Berapaan?”
“Ga mahal kok, cuma dua ribu perak.”
“Murah banget? Itu tiket apa kacang rebus?”
“Hahaha. Itu cuma buat ganti stiker aja sebenernya. Jadi tiketnya bentuknya stiker, biar bisa ditempel gitu.”
“Waw kok kece sih, tapi aku tiketnya gratis kan?”
“Iyaa gratis, tenang ajaa.”
“Yeay, ntar aku tonton kamu sampe abis deh hehe”
Iya, Nay. Kamu dateng aja aku udah seneng kok.
“Ngemeng-ngemeng..”
“Ngomong-ngomong!” kataku memotong, lucu banget sih nih anak, pengen aku bungkus terus aku bawa pulang.
“Hehehe, ngomong-ngomong tugas jurnalistik kemaren punyaku masuk tiga terbaik loh, Ji.”
“Oiya? Weee selamat ya, terus-terus gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana. Ntar dipilih lagi buat masuk ke buletin bulanan.”
“Aamiin. Aku doain deh biar masuk,” Naya tersenyum melihatku mengangkat kedua telapak tangan lalu mengusapnya ke muka.
Setelah selesai makan, kami berjalan menuju tempat yang Naya sebutkan tadi. Setelah melewati pasir putih yang berisi jajaran perahu nelayan, aku dan Naya menaiki sebuah bukit. Di sana lah tujuan kami.
Ada sebuah gazebo di atas sini. Dari sini, keseluruhan pantai bisa dilihat, tempat favorit siapa saja yang ingin mengabadikan dalam bentuk foto. Bukit ini membagi Tanjung Papuma menjadi dua bagian. Di sebelah barat adalah pantai pasir putih yang kami lewati tadi. Sedangkan sebelah barat berupa pantai pasir dengan ombak yang lebih tenang.
“Sini, Ji,” Naya mengajakku duduk di pinggiran bukit, diluruskannya kakinya yang jenjang hingga pergelangannya menggantung.
“Kamu tau ga kenapa pantai ini dinamain Papuma?” katanya sambil memandang batu-batu karang di sisi timur pantai, “Papuma: pasir putih malikan. Kalo kamu jeli, batu-batu malikan itu bisa ngeluarin bunyi-bunyian loh,” Naya menunjuk batuan pipih seperti karang besar. “Itu namanya Pulau Batara Guru, itu Pulau Kresna, itu Pulau Nusa Barong, itu Pulau Kodok. Terus dua batu karang yang sering kamu liat di foto-foto itu namanya Pulau Kajang sama Pulau Narada,” aku tersenyum, kata demi kata yang Naya ucapkan selalu menyita perhatian lebih, penekanannya sangat khas, menjelaskan namun tidak menggurui.
Seperti yang aku bilang di awal, isi kepala Naya selalu selangkah dari milikku. Hari ini pertama kalinya aku mengalami peristiwa itu.
“Nih,” Naya memberikan sebuah benda yang ia keluarkan dari dalam tasnya.
“Disimpen ya, Ji. Ini dulunya punya Mas Slamet, terus dikasihin ke Mbak Inggrid buat disimpen. Kata Mas Slamet, ini baru boleh dibalikin kalo Mas Slamet udah ijab kabul sama Mbak Inggrid.”
Aku menerima sebuah kalung dari tangan Naya. Di tengahnya tergantung sebuah liontin berbentuk hati berwarna perak. Sebuah benda yang tidak mahal menurutku, namun kini tak ternilai karena sebuah catatan sejarah terkenang didalamnya.
“Ini saksi kisah cinta mereka, Ji. Mbak Inggrid sama Mas Slamet udah deket sejak SMP. So sweet kan?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Ingin rasanya meraba-raba maksud tujuan Naya memberikan kalung milik sepasang pengantin yang baru mengikrarkan janji itu.
“Jangan sampe ilang ya, Ji. Ntar balikin ke aku kalo..” Naya terdiam, sebuah senyum tersimpul ketika ia menghentikan kata-katanya.
“Iya, aku simpen kok. Tenang aja.” Kataku mencoba mencairkan kekikukan di antara kami. Benar kan, dugaanku tepat ternyata, senyuman Naya menjawab segala keraguanku.
Ucapan terakhirku semakin melebarkan senyumnya. Ingin rasanya ku tatap matanya dan mengajaknya berbicara. Di jarak antara tempat kita duduk yang hanya beberapa sentimeter, ingin ku nikmati lesung pipi yang kian hari kian mempesona itu, juga wajahnya yang terlihat lebih berseri di bawah sinar senja. Bisakah kamu rasakan degup jantungku saat ini? Degup jantung yang seakan-akan berkata ada seorang lelaki yang takut pada matahari yang semakin mendekati kaki langit, takut menghadapi hari yang mulai gelap. Seperti Cinderella yang takut pada tengah malam, seperti itu pula aku takut pada jam menuju adzan maghrib, jam-jam yang menunjukkan perpisahan.
Keheningan masih membekap kami, sementara pandangan Naya tak lepas dari sinar jingga cakrawala. Di bawah naungan senja, aku menatap kalung pemberian Naya di genggaman tanganku. Hari ini, meski tak tersampaikan secara tersurat, kami telah mengukir janji. Aku menatap senyum simpulmu yang tak kunjung berakhir sejak tadi. Lalu beberapa detik setelahnya, kamu membalas tatapan mataku, sambil menggoda hati ini dengan lesung pipi yang selalu aku idamkan. Kamu tersenyum penuh arti, seakan berbisik dengan sangat lirih.. aku sayang kamu, Ji.
Aku juga sayang kamu, Nay.
Gelembung 9: Ini Punyaku
Diubah oleh chocolavacake 01-08-2016 10:30
0
Kutip
Balas