- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 13:55
anasabila memberi reputasi
1
35.5K
Kutip
295
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#25
Spoiler for Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni:
Setelah kejadian di parkiran kemarin, hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Bukan perkara susah sebenarnya untuk tahu namanya. Jauh-jauh hari sebelum aku dipaksa memperkenalkan diri, aku sudah tahu kalau perempuan dari masa laluku itu bernama Naya.
Secara administratif, kelas Naya harusnya tepat di sebelah kelasku. Namun karena situasi sekolah yang sedang dalam tahap pengembangan gedung baru, kelasku menempati ruang lab fisika, sedangkan kelas Naya di ruang lab kimia. Dua ruang lab yang kami tempati terletak di tempat yang relatif berjauhan. Lab fisika di sebelah koperasi siswa dekat lapangan basket. Lab kimia berada di belakang ruang guru dekat mushola. Dan karena lab yang kami huni masih digunakan untuk kegiatan praktikum, maka secara periodik kami bertukar ruang untuk kegiatan belajar mengajar dengan kelas yang akan praktikum di lab fisika.
Keseharianku masih tetap sama. Bercengkrama dengan Pak Pur, menunggu perempuan impianku datang, begitu pula ketika pulang sekolah. Saat jam istirahat, aku masih setia duduk dari balik jendela kelas, bertaruh dengan jarum jam untuk menikmati keindahan Naya dari jauh. Sebelum Naya ke kantin, biasanya ia mampir sebentar ke koperasi sekolah. Sebuah keberuntungan kelasku ada di sebelah koperasi. Terlebih kaca jendela lab fisika agak gelap, membuat siapa saja yang lewat tidak terlalu jelas melihat ruangan di dalamnya, sehingga aku bisa leluasa memperhatikan lesung pipi yang selalu Naya pamerkan di setiap senyum dan tawanya.
Lalu, semenit setelah meninggalkan koperasi, aku keluar kelas menyusulnya. Kali ini Naya pasti sudah berada di kantin. Bercengkrama dengan teman kelasnya sembari menikmati mie pangsit dengan saus kecap plus ekstra sambal. Teh Poci tidak lupa menemani lidah Naya ketika sambal menggodanya. Aku seperti biasa, memesan nasi goreng Mbak Sus lalu duduk di tengah kerumunan teman-teman sekelasku. Kehadiranku tentu tidak menggangu, karena sejatinya aku belum ada dan masuk di hidupnya.
Belum.
***
Dari empat puluh teman sekelasku, ada satu tahu tentang perasaanku terhadap Naya. Rama namanya. Sama halnya denganku yang diterima sendiri dari sekolahku dulu, Rama berasal dari SMP yang lumayan jauh dari kota. Tapi nasibnya sedikit mujur. Rama lahir dari keluarga berada. Ayahnya menempati posisi penting di pemerintahan daerah tingkat dua. Dua saudara tuanya kini sedang belajar di universitas ternama di Jakarta. Di sini Rama tinggal di rumah yang dibeli ayahnya dekat sekolah kami. Aku dan beberapa temanku sering menginap di sana ketika weekend. Kami menghabiskan malam bermain playstation bersama berbungkus-bungkus snack dan makanan. Setelah sholat subuh, kami diajaknya menuju warnet dekat rumahnya untuk bermain game online, tentu saja warnet miliknya. Hitung-hitung nambah pendapatan, kata ayahnya.
Awalnya aku tidak tahu, sampai di suatu siang, di tengah-tengah pelajaran Bahasa Indonesia, Rama mengintrogasiku.
“Ungkapin aja ji. Mau sampai kapan gitu terus?”
“Ungkapin apaan?”
“Ga usah pura-pura bego deh. Naya kan?”
Aku terkejut, tapi sebisa mungkin aku menenangkan raut wajahku.
“Apaan sih, Ma. Naya yang mana?”
“Oh jadi enggak nih? Yaudah aku kasih tau ke Nanda kalo..”
“Eh Ma. Ngawur!” Ku hentikan Rama yang badannya hampir berbalik menghadap Nanda di bangku belakang.
“Bener kan? Hahaha ciye.”
“Sialan, jangan kasih tau siapa-siapa tapi, Ma. Takut nih.”
“Takut? Kok?”
“Yaa takut aja. Eh btw, tau darimana, Ma?”
“Dari Nafla.”
Nafla. Nafla. Nafla. Nafla.
Nafla? Bukannya Nafla teman dekat Naya? Yang sering bareng Naya ketika berangkat atau pulang sekola?
“Nafla cuma cerita kalau kamu nemuin kunci motor Naya, Ji. Tenang aja.”
Hhhh. Aku lega mendengar penjelasan Rama.
“Kirain Naya, Ma.”
“Takut kenapa sih? Cemen banget.”
“Terus tau darimana kalo aku suka?” aku tidak menjawab pertanyaan teman sebangkuku ini.
“Ya tau lah. Semenjak Nafla cerita gitu, gerak-gerikmu sudah aku pantau, Ji.”
“Dih, najis.”
“Hahaha. Aku masih normal, Ji. Tenang aja.”
“Tapi jangan bilang anak-anak ya, Ram. Plis.”
“Tenang aja. Selama kamu cerita gimana perkembanganmu, semuanya aman. Oiya, kalo mau ngajak jalan, pake motorku aja, Ji. Masa pake sepeda, capek ntar.”
“Hahaha thanks, sob. Ga usah deh ntar ngerepotin.”
“Selow. Kapanpun butuh bantuan, kabarin aja, Ji. Ga usah sungkan.”
Sejak awal berkenalan, Rama memiliki pribadi yang menyenangkan. Baik, supel, royal, adaptable, yang menurutku pria idaman wanita. Sayangnya, kisah cinta Rama kurang berjalan dengan baik. Beberapa kali ia disakiti hatinya. Semua karena kekayaan orang tuanya. Ia pernah bercerita bahwa sangat susah mencari wanita yang mau melihat dia apa adanya, bukan karena harta. Ayahnya tak jauh beda. Dulu, ketika masih melarat, berkali-kali ayahnya ditolak ketika melamar. Jawaban para calon mertua semuanya sama: Suram! Sampai akhirnya ayahnya dijodohkan oleh seorang gadis yatim piatu oleh seorang ustadz dan melahirkan Rama serta kedua kakaknya. Mungkin dari situ Rama melihatku seperti ayahnya.
***
Beberapa hari belakangan cuaca menjadi anomali. Ini masih bulan Juni. Masih beberapa bulan lagi rintik hujan datang. Tapi beberapa hari kemarin Jember sempat didatangi oleh hujan. Sepertinya efek rumah kaca sudah mulai memberikan dampak. Akupun menambah barang bawaan. Tasku terlihat menggembung karena buku-buku yang aku bawa berdesakan dengan jas hujan. Terjebak hujan di perjalanan pulang bukan hal yang menyenangkan.
Waktu itu aku pulang lebih lama dari biasanya. Ada tugas kelompok yang harus diselesaikan. Tentu aku menyempatkan waktu untuk memastikan Naya keluar parkiran dengan selamat. Diam-diam tentunya.
Sekitar jam tiga sore aku keluar parkiran. Matahari tak terlihat terik, kumulonimbus perlahan menutupi sinarnya. Aku mengayuh sedikit kencang, berharap hujan tidak datang sebelum aku pulang.
Di tengah jalan, aku terkejut melihat Naya. Ia berjalan sambil menuntun motornya. Aku yang sempat menyalipnya berbalik arah.
“Aji!” Naya terkejut melihat siapa yang menghampirinya.
“Motornya kenapa, Nay?”
“Ini, Ji, bocor. Mana bensin mau abis lagi.”
Aku mengamati sekitar tempat itu. Ah, di sekitar sini tidak ada tukang tambal ban.
“Sini tukeran, Nay. Aku bantuin nuntun.”
“Nggak usah, Ji. Kamu pulang aja. Di depan ada tambal ban palingan.”
“Sotoy ih. Mana ada. Masih jauh, Nay. Deket lapangan sana baru ada.”
Sekilas raut wajah Naya terlihat sedih.
“Udah sini aku bantu,” segera aku turun dari sepeda sambil memegang kemudi motor hitam itu.
“Gapapa nih?”
“Nanya lagi aku tinggalin nih.”
“Eh jangan, Ji. Iya deh iya.”
Kami berjalan menuju tukang tambal ban. Letaknya lumayan jauh, 1,5 km dari sini. Aku tahu karena setiap hari aku lewat sini.
“Mau kemana, Nay? Tumben lewat sini.”
“Mau jemput Mama, Ji.”
“Oh, gitu. Tapi kok masih belum ganti baju? Emang tadi ga langsung pulang?”
“Enggak. Tadi main dulu ke rumah Nafla. Tanggung.”
“Rumah kamu di mana, Ji?”
“Itu di (sorry gan, off the record ).”
“Ga terlalu jauh berarti. Eh, tadi kamu kok bilang tumben? Emang tau aku biasanya lewat mana?”
“Emm, nggak sih.. Cumaan.. Eh di situ baksonya enak, Nay.” Aku mengalihkan pembicaraan ketika melewati sebuah bakso yang
terkenal enak dan ramai pembeli.
“Oiya? Kok aku nggak tau sih?”
“Ah payah nih. Orang se Jember aja udah pada tau.”
“Masa sih? Yaudah ntar abis jemput Ibu aku mampir deh.”
Ini kedua kalinya aku berjarak kurang dari tiga meter dengan Naya. Aku tak lagi canggung. Lidahku tak lagi kelu. Ada semacam energi yang dipancarkan perempuan berkulit putih ini. Bahagia rasanya melihat Naya sesekali tertawa, tersenyum, lalu memamerkan lesung pipinya. Seperti berharap agar tukang tambal ban yang kami tuju tutup lalu kami berjalan lagi mencari tukang tambal lain.
“Itu tempatnya, Ji?” Naya menunjuk sebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu yang didepannya terdapat kompresor dan beberapa tumpukan ban.
“Iya.” Pupus sudah harapan untuk berjalan mencari tambal ban lain.
Sesampainya di sana, bapak-bapak pemilik tempat itu segera mengambil alih kemudi motor Naya.
“Kamu pulang aja, Ji. Udah sore juga.”
“Yah, aku diusir.”
“Hahaha nggak kok. Kasian aja liat kamu jalan bawa motorku dari sana tadi.”
Aku tidak mendengarkan perkataan Naya. Ku hampiri sebuah kursi di pinggir tambal ban itu dan meregangkan kaki di sana.
“Duduk sini, Nay. Capek.”
Setelah memakirkan sepedaku, Naya menyusul duduk.
“Capek ya, Ji. Maaf ya ngerepotin.”
“Enggak kok gapapa. Santai aja kali, Nay.”
Yes. Meskipun gagal berjalan lagi, aku masih punya waktu berdua, setidaknya sampai ban motor Naya selesai ditambal.
“Kamu diajar Bu Atik ga, Ji?” tiba-tiba Naya memulai pembicaraan.
“Iya, Nay. Kenapa?”
“Sebel banget deh ibunya dadakan banget kalo ngasih ulangan. Masa dikit-dikit ulangan dikit-dikit ulangan.”
“Haha emang gitu Bu Atik orangnya.”
Selanjutnya pembicaraan kami tidak tentu arah. Ada saja yang dikeluhkan Naya. Mulai dari kelas yang gonta-ganti, guru yang galak, teman-temannya yang lucu, sampai pengalamannya hampir terlambat. Ya, waktu itu Naya hampir terlambat. Beberapa saat setelah Pak Pur menutup gerbang belakang, Naya datang. Dengan tergopoh-gopoh aku mencari Pak Pur agar Naya bisa masuk. Untungnya, Naya tidak menganggapku sebagai orang asing yang susah untuk diajak bicara. Kami seperti sudah lama mengenal, bercerita ini itu sampai bapak tambal ban ikut tertawa mendengar cerita-cerita Naya.
“Oiya Ji, aku ada tugas nih. Bikin liputan.”
“Jurnalistik?”
“Loh, kok tau?”
“Eh, emm, anu. Tadi, emm.. si Siska cerita kalo ada tugas ngeliput gitu. Iya.”
“Oooh kirain. Oiya kamu sekelas sama siska ya, Ji.”
“Hehe iya.” Fffiuuhh, untung saja ada alasan. Bisa gawat kalau sampai ketahuan aku sering kepo.
“Kamu ikutan teater kan, Ji? Aku ngeliput kamu ya, boleh?”
“Waduh,” aku terkejut bukan main mendengar ucapan Naya. “Aku anak baru, Nay. Ga tau apa-apa. Mending ngeliput Mas Burhan aja. Dia ketuanya.”
“Enggak ah, ga kenal aku, Ji.”
“Ya kenalan lah. Gitu aja kok repot.”
Jangan Nay, jangan. Aku aja. Aku mau kok mau.
“Emoh ah. Kamu aja, Ji.”
“Lah aku belum tau banyak tentang teater.”
Nah iya Nay. Aku aja, ya. Jangan dengerin omonganku ini.
“Bodo amat mau tau apa enggak. Wong tugasnya cuma ngeliput kegiatan tok.”
Yes yes yes. Akhirnya, ada kesempatan buat bareng Naya lagi.
“Oh gituuu. Yaudah deh kalo kamu maksa.” Aku ingin lompat rasanya. Tuhan kabulkan doaku. DibukaNya pintu-pintu harapan itu untukku.
Lalu tiba-tiba hujan datang mengguyur tanpa diundang. Beberapa kilat sempat menyambar di sela-sela kumulonimbus.
“Halo, iya Ma. Masih ditambal ban ini tadi bocor soalnya. Iya. Enggak bawa tadi ga langsung pulang soalnya. Iya. Iya Ma.” Kemudian Naya menutup telepon.
“Ibu, Nay?”
“Iya Ji, udah nungguin katanya. Mana ga bawa jas hujan lagi.”
“Aku ada Nay. Bawa aja.”
“Mama aku gimana ntar, Ji? Masa cuma aku yang make jas hujannya.”
“Hmm. Bener juga.”
“Udah gapapa. Kata Mama tunggu sampe reda aja.”
Aku mengiyakan saja, toh aku juga yang untung. Ku taksir hujan butuh waktu lama untuk mereda. Masih gelap.
Dari dalam tasnya, Naya mengeluarkan sebuah buku, novel lebih tepatnya. Dibukanya lembar terakhir yang ia tandai dengan pembatas buku sebelumnya.
“Suka Andrea Hirata, Nay?”
“Enggak juga sih. Ini direkomendasiin temenku sebenernya. Abis baca beberapa lembar kok keliatannya bagus, keterusan deh akhirnya, hehe.”
“Tiga novel sebelumnya belum baca berarti?”
“Tiga? Emang ada lagi?”
“Ada Nay. Maryamah Karpov itu novel keempat. Jadi kaya nyambung gitu.”
“Oh pantesan aku agak bingung sama beberapa part di sini. Kamu udah baca semuanya, Ji? Pinjem dong.”
“Yah aku cuma punya Edensor, Nay. Laskar Pelangi sama Sang Pemimpi pinjem soalnya waktu itu.”
“Yaudah gapapa Ji. Yang mana aja deh.”
Aku tersenyum tanda setuju. Kami memiliki hobi yang sama ternyata.
“Apalagi Ji novel yang kamu punya?”
“Emm, aku punyanya kumpulan cerpen sama puisi, Nay, punyanya Sapardi Djoko Damono. Ada Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao sama Tenggelamnya Kapal Van der Wijk punya Hamka. Supernova sama Rectoversonya Dewi lestari juga ada. Banyak deh. Hehe.”
“Waah, keren banget. Pantesan kamu ikutan teater. Ga jauh-jauh dari sana ternyata kesukaannya.”
Iya. Apalagi ga jauh-jauh dari kamu.
Sore itu terlalu singkat rasanya. Canda dan tawa bersamanya benar-benar tak terlupakan. Tak terhitung Naya memanjakanku dengan lesung pipi yang selalu merekah. Damai. Meniggalkan jejak yang tak terganti di antara kenangan-kenangan manis. Menumbuhkan harapan untuk segera mengikat tali kasih.
Usai mereda, Naya segera menyusul ibunya. Tak lupa ku titipi jas hujanku, agar ada sedikit bantuan saat hujan kembali datang. Ah, manis rasanya membayangkan hari-hari berikutnya aku akan kembali berdua dengan Naya.
Ada janji yang harus ditepati, aku akan membantunya membuat liputan.
Seperti kata Sapardi Djoko Damono,
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakan rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Gelembung 4: Pesan Pertama
Secara administratif, kelas Naya harusnya tepat di sebelah kelasku. Namun karena situasi sekolah yang sedang dalam tahap pengembangan gedung baru, kelasku menempati ruang lab fisika, sedangkan kelas Naya di ruang lab kimia. Dua ruang lab yang kami tempati terletak di tempat yang relatif berjauhan. Lab fisika di sebelah koperasi siswa dekat lapangan basket. Lab kimia berada di belakang ruang guru dekat mushola. Dan karena lab yang kami huni masih digunakan untuk kegiatan praktikum, maka secara periodik kami bertukar ruang untuk kegiatan belajar mengajar dengan kelas yang akan praktikum di lab fisika.
Keseharianku masih tetap sama. Bercengkrama dengan Pak Pur, menunggu perempuan impianku datang, begitu pula ketika pulang sekolah. Saat jam istirahat, aku masih setia duduk dari balik jendela kelas, bertaruh dengan jarum jam untuk menikmati keindahan Naya dari jauh. Sebelum Naya ke kantin, biasanya ia mampir sebentar ke koperasi sekolah. Sebuah keberuntungan kelasku ada di sebelah koperasi. Terlebih kaca jendela lab fisika agak gelap, membuat siapa saja yang lewat tidak terlalu jelas melihat ruangan di dalamnya, sehingga aku bisa leluasa memperhatikan lesung pipi yang selalu Naya pamerkan di setiap senyum dan tawanya.
Lalu, semenit setelah meninggalkan koperasi, aku keluar kelas menyusulnya. Kali ini Naya pasti sudah berada di kantin. Bercengkrama dengan teman kelasnya sembari menikmati mie pangsit dengan saus kecap plus ekstra sambal. Teh Poci tidak lupa menemani lidah Naya ketika sambal menggodanya. Aku seperti biasa, memesan nasi goreng Mbak Sus lalu duduk di tengah kerumunan teman-teman sekelasku. Kehadiranku tentu tidak menggangu, karena sejatinya aku belum ada dan masuk di hidupnya.
Belum.
***
Dari empat puluh teman sekelasku, ada satu tahu tentang perasaanku terhadap Naya. Rama namanya. Sama halnya denganku yang diterima sendiri dari sekolahku dulu, Rama berasal dari SMP yang lumayan jauh dari kota. Tapi nasibnya sedikit mujur. Rama lahir dari keluarga berada. Ayahnya menempati posisi penting di pemerintahan daerah tingkat dua. Dua saudara tuanya kini sedang belajar di universitas ternama di Jakarta. Di sini Rama tinggal di rumah yang dibeli ayahnya dekat sekolah kami. Aku dan beberapa temanku sering menginap di sana ketika weekend. Kami menghabiskan malam bermain playstation bersama berbungkus-bungkus snack dan makanan. Setelah sholat subuh, kami diajaknya menuju warnet dekat rumahnya untuk bermain game online, tentu saja warnet miliknya. Hitung-hitung nambah pendapatan, kata ayahnya.
Awalnya aku tidak tahu, sampai di suatu siang, di tengah-tengah pelajaran Bahasa Indonesia, Rama mengintrogasiku.
“Ungkapin aja ji. Mau sampai kapan gitu terus?”
“Ungkapin apaan?”
“Ga usah pura-pura bego deh. Naya kan?”
Aku terkejut, tapi sebisa mungkin aku menenangkan raut wajahku.
“Apaan sih, Ma. Naya yang mana?”
“Oh jadi enggak nih? Yaudah aku kasih tau ke Nanda kalo..”
“Eh Ma. Ngawur!” Ku hentikan Rama yang badannya hampir berbalik menghadap Nanda di bangku belakang.
“Bener kan? Hahaha ciye.”
“Sialan, jangan kasih tau siapa-siapa tapi, Ma. Takut nih.”
“Takut? Kok?”
“Yaa takut aja. Eh btw, tau darimana, Ma?”
“Dari Nafla.”
Nafla. Nafla. Nafla. Nafla.
Nafla? Bukannya Nafla teman dekat Naya? Yang sering bareng Naya ketika berangkat atau pulang sekola?
“Nafla cuma cerita kalau kamu nemuin kunci motor Naya, Ji. Tenang aja.”
Hhhh. Aku lega mendengar penjelasan Rama.
“Kirain Naya, Ma.”
“Takut kenapa sih? Cemen banget.”
“Terus tau darimana kalo aku suka?” aku tidak menjawab pertanyaan teman sebangkuku ini.
“Ya tau lah. Semenjak Nafla cerita gitu, gerak-gerikmu sudah aku pantau, Ji.”
“Dih, najis.”
“Hahaha. Aku masih normal, Ji. Tenang aja.”
“Tapi jangan bilang anak-anak ya, Ram. Plis.”
“Tenang aja. Selama kamu cerita gimana perkembanganmu, semuanya aman. Oiya, kalo mau ngajak jalan, pake motorku aja, Ji. Masa pake sepeda, capek ntar.”
“Hahaha thanks, sob. Ga usah deh ntar ngerepotin.”
“Selow. Kapanpun butuh bantuan, kabarin aja, Ji. Ga usah sungkan.”
Sejak awal berkenalan, Rama memiliki pribadi yang menyenangkan. Baik, supel, royal, adaptable, yang menurutku pria idaman wanita. Sayangnya, kisah cinta Rama kurang berjalan dengan baik. Beberapa kali ia disakiti hatinya. Semua karena kekayaan orang tuanya. Ia pernah bercerita bahwa sangat susah mencari wanita yang mau melihat dia apa adanya, bukan karena harta. Ayahnya tak jauh beda. Dulu, ketika masih melarat, berkali-kali ayahnya ditolak ketika melamar. Jawaban para calon mertua semuanya sama: Suram! Sampai akhirnya ayahnya dijodohkan oleh seorang gadis yatim piatu oleh seorang ustadz dan melahirkan Rama serta kedua kakaknya. Mungkin dari situ Rama melihatku seperti ayahnya.
***
Beberapa hari belakangan cuaca menjadi anomali. Ini masih bulan Juni. Masih beberapa bulan lagi rintik hujan datang. Tapi beberapa hari kemarin Jember sempat didatangi oleh hujan. Sepertinya efek rumah kaca sudah mulai memberikan dampak. Akupun menambah barang bawaan. Tasku terlihat menggembung karena buku-buku yang aku bawa berdesakan dengan jas hujan. Terjebak hujan di perjalanan pulang bukan hal yang menyenangkan.
Waktu itu aku pulang lebih lama dari biasanya. Ada tugas kelompok yang harus diselesaikan. Tentu aku menyempatkan waktu untuk memastikan Naya keluar parkiran dengan selamat. Diam-diam tentunya.
Sekitar jam tiga sore aku keluar parkiran. Matahari tak terlihat terik, kumulonimbus perlahan menutupi sinarnya. Aku mengayuh sedikit kencang, berharap hujan tidak datang sebelum aku pulang.
Di tengah jalan, aku terkejut melihat Naya. Ia berjalan sambil menuntun motornya. Aku yang sempat menyalipnya berbalik arah.
“Aji!” Naya terkejut melihat siapa yang menghampirinya.
“Motornya kenapa, Nay?”
“Ini, Ji, bocor. Mana bensin mau abis lagi.”
Aku mengamati sekitar tempat itu. Ah, di sekitar sini tidak ada tukang tambal ban.
“Sini tukeran, Nay. Aku bantuin nuntun.”
“Nggak usah, Ji. Kamu pulang aja. Di depan ada tambal ban palingan.”
“Sotoy ih. Mana ada. Masih jauh, Nay. Deket lapangan sana baru ada.”
Sekilas raut wajah Naya terlihat sedih.
“Udah sini aku bantu,” segera aku turun dari sepeda sambil memegang kemudi motor hitam itu.
“Gapapa nih?”
“Nanya lagi aku tinggalin nih.”
“Eh jangan, Ji. Iya deh iya.”
Kami berjalan menuju tukang tambal ban. Letaknya lumayan jauh, 1,5 km dari sini. Aku tahu karena setiap hari aku lewat sini.
“Mau kemana, Nay? Tumben lewat sini.”
“Mau jemput Mama, Ji.”
“Oh, gitu. Tapi kok masih belum ganti baju? Emang tadi ga langsung pulang?”
“Enggak. Tadi main dulu ke rumah Nafla. Tanggung.”
“Rumah kamu di mana, Ji?”
“Itu di (sorry gan, off the record ).”
“Ga terlalu jauh berarti. Eh, tadi kamu kok bilang tumben? Emang tau aku biasanya lewat mana?”
“Emm, nggak sih.. Cumaan.. Eh di situ baksonya enak, Nay.” Aku mengalihkan pembicaraan ketika melewati sebuah bakso yang
terkenal enak dan ramai pembeli.
“Oiya? Kok aku nggak tau sih?”
“Ah payah nih. Orang se Jember aja udah pada tau.”
“Masa sih? Yaudah ntar abis jemput Ibu aku mampir deh.”
Ini kedua kalinya aku berjarak kurang dari tiga meter dengan Naya. Aku tak lagi canggung. Lidahku tak lagi kelu. Ada semacam energi yang dipancarkan perempuan berkulit putih ini. Bahagia rasanya melihat Naya sesekali tertawa, tersenyum, lalu memamerkan lesung pipinya. Seperti berharap agar tukang tambal ban yang kami tuju tutup lalu kami berjalan lagi mencari tukang tambal lain.
“Itu tempatnya, Ji?” Naya menunjuk sebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu yang didepannya terdapat kompresor dan beberapa tumpukan ban.
“Iya.” Pupus sudah harapan untuk berjalan mencari tambal ban lain.
Sesampainya di sana, bapak-bapak pemilik tempat itu segera mengambil alih kemudi motor Naya.
“Kamu pulang aja, Ji. Udah sore juga.”
“Yah, aku diusir.”
“Hahaha nggak kok. Kasian aja liat kamu jalan bawa motorku dari sana tadi.”
Aku tidak mendengarkan perkataan Naya. Ku hampiri sebuah kursi di pinggir tambal ban itu dan meregangkan kaki di sana.
“Duduk sini, Nay. Capek.”
Setelah memakirkan sepedaku, Naya menyusul duduk.
“Capek ya, Ji. Maaf ya ngerepotin.”
“Enggak kok gapapa. Santai aja kali, Nay.”
Yes. Meskipun gagal berjalan lagi, aku masih punya waktu berdua, setidaknya sampai ban motor Naya selesai ditambal.
“Kamu diajar Bu Atik ga, Ji?” tiba-tiba Naya memulai pembicaraan.
“Iya, Nay. Kenapa?”
“Sebel banget deh ibunya dadakan banget kalo ngasih ulangan. Masa dikit-dikit ulangan dikit-dikit ulangan.”
“Haha emang gitu Bu Atik orangnya.”
Selanjutnya pembicaraan kami tidak tentu arah. Ada saja yang dikeluhkan Naya. Mulai dari kelas yang gonta-ganti, guru yang galak, teman-temannya yang lucu, sampai pengalamannya hampir terlambat. Ya, waktu itu Naya hampir terlambat. Beberapa saat setelah Pak Pur menutup gerbang belakang, Naya datang. Dengan tergopoh-gopoh aku mencari Pak Pur agar Naya bisa masuk. Untungnya, Naya tidak menganggapku sebagai orang asing yang susah untuk diajak bicara. Kami seperti sudah lama mengenal, bercerita ini itu sampai bapak tambal ban ikut tertawa mendengar cerita-cerita Naya.
“Oiya Ji, aku ada tugas nih. Bikin liputan.”
“Jurnalistik?”
“Loh, kok tau?”
“Eh, emm, anu. Tadi, emm.. si Siska cerita kalo ada tugas ngeliput gitu. Iya.”
“Oooh kirain. Oiya kamu sekelas sama siska ya, Ji.”
“Hehe iya.” Fffiuuhh, untung saja ada alasan. Bisa gawat kalau sampai ketahuan aku sering kepo.
“Kamu ikutan teater kan, Ji? Aku ngeliput kamu ya, boleh?”
“Waduh,” aku terkejut bukan main mendengar ucapan Naya. “Aku anak baru, Nay. Ga tau apa-apa. Mending ngeliput Mas Burhan aja. Dia ketuanya.”
“Enggak ah, ga kenal aku, Ji.”
“Ya kenalan lah. Gitu aja kok repot.”
Jangan Nay, jangan. Aku aja. Aku mau kok mau.
“Emoh ah. Kamu aja, Ji.”
“Lah aku belum tau banyak tentang teater.”
Nah iya Nay. Aku aja, ya. Jangan dengerin omonganku ini.
“Bodo amat mau tau apa enggak. Wong tugasnya cuma ngeliput kegiatan tok.”
Yes yes yes. Akhirnya, ada kesempatan buat bareng Naya lagi.
“Oh gituuu. Yaudah deh kalo kamu maksa.” Aku ingin lompat rasanya. Tuhan kabulkan doaku. DibukaNya pintu-pintu harapan itu untukku.
Lalu tiba-tiba hujan datang mengguyur tanpa diundang. Beberapa kilat sempat menyambar di sela-sela kumulonimbus.
“Halo, iya Ma. Masih ditambal ban ini tadi bocor soalnya. Iya. Enggak bawa tadi ga langsung pulang soalnya. Iya. Iya Ma.” Kemudian Naya menutup telepon.
“Ibu, Nay?”
“Iya Ji, udah nungguin katanya. Mana ga bawa jas hujan lagi.”
“Aku ada Nay. Bawa aja.”
“Mama aku gimana ntar, Ji? Masa cuma aku yang make jas hujannya.”
“Hmm. Bener juga.”
“Udah gapapa. Kata Mama tunggu sampe reda aja.”
Aku mengiyakan saja, toh aku juga yang untung. Ku taksir hujan butuh waktu lama untuk mereda. Masih gelap.
Dari dalam tasnya, Naya mengeluarkan sebuah buku, novel lebih tepatnya. Dibukanya lembar terakhir yang ia tandai dengan pembatas buku sebelumnya.
“Suka Andrea Hirata, Nay?”
“Enggak juga sih. Ini direkomendasiin temenku sebenernya. Abis baca beberapa lembar kok keliatannya bagus, keterusan deh akhirnya, hehe.”
“Tiga novel sebelumnya belum baca berarti?”
“Tiga? Emang ada lagi?”
“Ada Nay. Maryamah Karpov itu novel keempat. Jadi kaya nyambung gitu.”
“Oh pantesan aku agak bingung sama beberapa part di sini. Kamu udah baca semuanya, Ji? Pinjem dong.”
“Yah aku cuma punya Edensor, Nay. Laskar Pelangi sama Sang Pemimpi pinjem soalnya waktu itu.”
“Yaudah gapapa Ji. Yang mana aja deh.”
Aku tersenyum tanda setuju. Kami memiliki hobi yang sama ternyata.
“Apalagi Ji novel yang kamu punya?”
“Emm, aku punyanya kumpulan cerpen sama puisi, Nay, punyanya Sapardi Djoko Damono. Ada Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao sama Tenggelamnya Kapal Van der Wijk punya Hamka. Supernova sama Rectoversonya Dewi lestari juga ada. Banyak deh. Hehe.”
“Waah, keren banget. Pantesan kamu ikutan teater. Ga jauh-jauh dari sana ternyata kesukaannya.”
Iya. Apalagi ga jauh-jauh dari kamu.
Sore itu terlalu singkat rasanya. Canda dan tawa bersamanya benar-benar tak terlupakan. Tak terhitung Naya memanjakanku dengan lesung pipi yang selalu merekah. Damai. Meniggalkan jejak yang tak terganti di antara kenangan-kenangan manis. Menumbuhkan harapan untuk segera mengikat tali kasih.
Usai mereda, Naya segera menyusul ibunya. Tak lupa ku titipi jas hujanku, agar ada sedikit bantuan saat hujan kembali datang. Ah, manis rasanya membayangkan hari-hari berikutnya aku akan kembali berdua dengan Naya.
Ada janji yang harus ditepati, aku akan membantunya membuat liputan.
Seperti kata Sapardi Djoko Damono,
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakan rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Gelembung 4: Pesan Pertama
Diubah oleh chocolavacake 31-07-2016 15:43
0
Kutip
Balas