Keseharian pagiku tidak jauh berbeda ketika aku masih berseragam putih biru. Hanya saja, jam setengah enam pagi aku harus meninggalkan rumah. Selain untuk meminimalisir asap kendaraan pagi, berangkat di jam itu sedikit banyak memberi waktu untuk beristirahat. Istirahat? Ya, istirahat. Aku menuju sekolah menggunakan sepeda. Satu-satunya di sekolah ini.

Ada dua tempat parkir yang disediakan sekolahku. Parkiran depan digunakan oleh Kepala sekolah, guru, staf, dan siswa kelas XII. Sedangkan parkiran belakang khusus untuk siswa kelas XI dan XI. Selain dua alasan yang aku sebutkan tadi, berangkat lebih pagi menghindarkanku dari beberapa hal-hal yang bisa dibilang mengganggu.

Jalan menuju parkiran belakang berupa jalanan gang berukuran tiga meter yang berada di samping sekolah. Sayangnya, gang itu bukan mutlak milik sekolah kami, ada beberapa tempat kos yang berdiri di sekitar sana. Tidak jarang mobilitas penghuninya mengganggu hulir mudik siswa. Belum lagi polisi tidur yang tidak terhitung jumlahnya memperlambat jalannya kendaraan. Yang terparah, karena kapasitas jalan dan volume kendaraan tidak sebanding, ketika matahari sedikit terik sering terjadi macet. Dan karena prinsip kesamarataan waktu itu masih berlaku, aku yang tidak menyumbang polusi kendaraan harus merasakan asap motor bila aku terjebak di sana.

“Di sana aja, Ji. Biar gampang ngeluarinnya.”

Tidak butuh waktu yang lama untuk akrab dengan Pak Pur. Penjaga parkiran belakang sekaligus merangkap petugas kebersihan sekolah itu seperti kebanyakan warga Indonesia lainnya. Topik obrolan yang Pak Pur suguhkan tidak pernah jauh dari kritik dan hujatan untuk pemerintah, pemilu, ghibah kepala sekolah dan dewan guru, TKI, yang selanjutnya ditutup dengan sebuah kesimpulan bahwa era orde baru lebih baik dari pemerintahan sekarang.

Sambutan pagi Pak Pur selalu menambah khasanah pengetahuanku mengenai apa yang terjadi di negeri ini, dari kacamata Pak Pur tentunya. Rahasia mengapa aku begitu mudah akrab dengan Pak Pur adalah dengan mengurangi presentasi bicara ketimbang mendengar. Orang-orang seperti Pak Pur sebenarnya hanya butuh didengarkan, baik aspirasi maupun keluh kesahnya.

“Oiya, nanti pinjam lagi ya, Ji.”

Pak Pur mendapatkan sedikit manfaat dari sepedaku. Bila beliau dimintai tolong untuk membeli atau melakukan sesuatu di luar sekolah, sepedaku menemaninya. Aku tidak pernah keberatan, bahkan sering Pak Pur memeriksa dan memperbaiki komponen sepedaku yang dirasanya tidak enak.

“Pake aja, Pak. Tapi..” Kalimatku terpotong oleh seseorang yang baru saja masuk parkiran tempat kami berada.

“Tumben dateng jam segini,” celetuk Pak Pur.

“Ah, eh, iya, kenapa Pak?” Aku kaget tiba-tiba Pak Pur membaca pikiranku.

“Yaelah, Ji. Bapak tau kamu merhatiin siapa. Kalo Scoopy item itu belum dateng mana pernah kamu mau pergi dari sini.”

Aku diam. Terheran-heran, bukan karena dibungkam oleh pengamatan Pak Pur padaku beberapa minggu ini, tapi karena kedatangan seseorang yang berbeda dari biasanya.

“Bapak duluan, Ji, Lupa belum buka kelas atas,” setelah berkata seperti itu Pak Pur meninggalkanku begitu saja.

Seperti yang aku bilang tadi, tidak seperti biasanya. Harusnya sepuluh menit lagi Scoopy hitam itu terparkir. Terlebih, dia nyetir sendiri. Harusnya dia dibonceng oleh teman perempuan yang ia jemput sebelumnya.

Biasanya, setelah mesin motor berhenti, sedetik kemudian kakinya menurunkan side stand. Lalu, sambil memijakkan kaki kiri ke permukaan lantai, helm putih dikepalanya ia lepas perlahan agar tidak merusak tatanan kerudungnya. Selanjutnya, setelah kaca spion kanan diarahkan menuju wajahnya, tangannya silih berganti membenahi kerudung di sekitar wajahnya. Bagian favoritku adalah ketika tangannya menyeka rambut yang sedikit keluar di atas pelipisnya dan dilanjutkan dengan kegiatan meniup kerudung dengan tiupan vertikal. Lucu, aku tidak tahan untuk tertawa karena pipinya sedikit menggembung di bagian bawah. Namun rutinitasnya belum selesai sampai disitu. Sambil berjalan meninggalkan tempat parkir, kardigan atau jaket yang ia pakai untuk menutupi lengan dan bagian depan badannya, dilepas, dilipat, lalu didekap. Terakhir, sebelum ia benar-benar pergi, di ujung parkiran dekat koridor ia berhenti. Menoleh memandang motornya selama dua detik, mengingat apakah ada sesuatu yang tertinggal.

Tapi pagi itu sangat berbeda. Dia seperti dikejar sesuatu. Setelah parkir, hampir saja ia lupa untuk menaruh helmnya. Tidak ada adegan spion, kardigan, atau meniup kerudung. Bahkan sedetikpun ia tak menoleh lagi. Aneh.

***

“Ji, kamu tau postulat Einstein tentang relativitas khusus?”

Hkkk.
Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan Naya. Meski bukan yang pertama, pertanyaan Naya kali ini kembali menguji keabsahanku sebagai predikat anak IPA.

“Santai Ji, santai. Baru ditanyai gitu udah kesedak aja. Enggak tau yaa.” Naya berkata setengah tertawa.

Aku sering berpikir mengapa isi kepala Naya selalu lebih banyak daripada isi kepalaku. Naya selalu selangkah lebih maju. Isi kepalanya seperti ensiklopedia. Sering aku dibuat kikuk karena tidak mengerti beberapa pertanyaan atau hal-hal yang ia bicarakan.

“Kata Einstein, hukum fisika itu dapat dinyatakan dalam persamaan yang berbentuk sama dalam semua kerangka acuan yang bergerak dengan kecepatan tetap satu sama lain. Terus kalo postulat kedua, cepat rambat cahaya di dalam ruang hampa ke segala arah itu sama untuk semua pengamat, tidak tergantung pada gerak sumber cahaya maupun pengamat.”

Emm, aku kembali dibuat kikuk Naya. Fisika bukan mata pelajaran favoritku. Yang aku lakukan cuma minum es kelapa untuk melegakan tenggorokan akibat tersedak tadi.

“Iiihh Ajii... Kok nggak didengerin sih..” Naya mulai ngomel.

“Aduh sakit, Nay, sakit,” kataku mencoba melepas cubitan Naya di pinggangku.

“Jahat sih, masa aku ngomong nggak didengerin.”

“Denger kok.”
“Apa coba?”

“Emm. Kata Einstein, emm, persamaan fisika itu, emm.. lupa Nay, hehe.”

“Tuh kan. Au ah,” Naya ngambek. Aku tahu karena mulut, pipi yang menggelembung, alis yang menggerutu berkolaborasi membentuk wajah Naya menjadi cemberut.

“Loh kok pundung? Lucu banget sih pipinya, gemes gemes gemes..” aku mencubit kedua pipi Naya.

“Aji.. sakiitt..” protesnya sambil kembali mencubit bekas cubitannya tadi.

“Siapa suruh ngambek,” Naya tidak membalas kalimatku. Sebenarnya aku sering rindu moment seperti ini. Wajah cemberut Naya selalu berhasil menghiasi mimpi malamku ketika jarak memaksa kami untuk tidak bertemu.

Waktu itu langit selatan sedikit bersih, gumpalan awan yang tadinya berkoloni di kaki langit sudah memudar. Aku dan Naya siap menemani matahari bersembunyi di balik cakrawala. Dari sejuta perbedaan di antara kami berdua, menikmati sunset di pantai ini adalah satu dari sekian kesamaan yang paling aku suka.

Kami mencuri waktu di sela-sela kesibukan kami. Jarak dan waktu sempat menjadi dinding pembatas untuk bersua. Hanya dunia maya yang mampu menjadi ruang untuk berbagi kisah maupun kasih. Namun sekarang, kami kembali, setidaknya untuk sore ini, di Pantai Papuma yang dulu selalu kami kunjungi.

“Untung cerah ya, Nay.” Naya masih diam, namun wajahnya kini sudah tidak lagi ditekuk. Posisi duduknya sudah tidak lagi memberi jarak, bahkan semutpun tidak ada celah untuk lewat.

Jingga langit selatan semakin menambah romantis sore itu. Entah bagaimana mulanya, tangan Naya sudah menggenggam erat jemariku. Sesaat kemudian kepalanya telah bersandar di bahuku, persis adegan antara Bunga Citra Lestari dan Reza Rahadian saat Habibie dan Aiun berada di pesawat menuju Jerman.

“Ji, coba lihat deh nelayan itu,” Naya menunjuk perahu nelayan jauh di lepas pantai sana.

“Kenapa Nay?”

“Menurut kamu, nelayan itu sekarang lagi bergerak menjauhi pantai, atau pantai yang menjauhi dia?”

Aku yakin Naya sudah mafhum kalau aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Namun di balik itu semua, mendengar penjelasan demi penjelasan Naya adalah sesuatu yang menyejukkan. Aku suka caranya menjabarkan pola pikirnya. Selalu ada cara bagi Naya untuk membuat orang lain (termasuk aku) untuk mengerti maksud ucapannya.

“Mungkin kamu berfikir kalo nelayan itu menjauhi pantai tempat kita duduk sekarang. Padahal menurut nelayan itu, dia lagi diem di perahunya, sementara daratan menjauhi dia.”

Naya memberi jeda waktu untuk aku berpikir, sementara tangannya terasa semakin erat menggenggam tanganku.

“Kita nggak akan pernah tahu dengan pasti siapa yang bergerak dan siapa yang diam, karena semua itu tergantung sudut pandang, dan setiap sudut pandang itu benar.”

Di momen seperti ini, biasanya Naya menutup penjelasannya dengan sebuah statement yang pasti ada kaitannya dengan hubungan kami.

“Itu maksudnya postulat pertama.”

Senyap. Untuk beberapa saat hanya suara ombak dan kicau burung camar yang mengisi keheningan kami.
Beberapa saat ku tunggu, Naya tak kunjung membuka suara. Cuma itu? Itu maksudnya postulat pertama? Tidak mungkin. Terus, postulat kedua? Rasanya Naya seperti menggantung pembicaraan. Aku tahu penjelasan panjangnya tadi hanya sebuah retorika, selalu ada maksud tersirat didalamnya.

Tapi, mulutku sendiri seperti terkunci. Salah-salah aku bisa merusak waktu kami menikmati udara senja. Akhirnya, ku putuskan untuk diam saja. Ku biarkan ribuan pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku menguap bersama angin selatan. Tangan Naya semakin erat, beberapa kali aku mendengar nafasnya yang berat.

Naya, ada apa?

***

Usai bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas menuju parkiran. Dari jauh, ku lihat Pak Pur sudah stand by di dekat sepedaku berada. Ada yang harus aku sampaikan padanya.

“Gimana pak?”

“Waduh, kembaliin aja, Ji. Kasian pasti nyariin itu.”

“Tolong deh pak, sekali ini aja.”

Pak Pur menahan tawa, sial, satu-satunya bantuan yang bisa aku harapkan adalah dari pria beranak dua ini.

“Kasih sendiri aja, Ji.”

“Lah kan ini tugas bapak, biasanya juga gitu kan?”

Sambil menahan senyum Pak Pur pura-pura tidak mendengarku.

“Ayolah, Pak.”

“Enggak ah. Kan yang nemuin kamu. Harusnya tadi sebelum masuk atau pas istirahat kamu kasih ke orangnya.”

“Yaaa pengennya sih gitu, tapii..”

“Malu?”

Aku hanya menggaruk-garuk kepala.

Suasana di parkiran semakin ramai. Para siswa dan juga teman-temanku berebut untuk segera pulang.
“Tuh orangnya dateng,” Pak Pur menunjuk dua orang murid perempuan yang kelihatannya kebingungan.

Mati aku..

“Pak, mau kemana?” Tanpa ucapan Pak Pur pergi meninggalkanku.

Dua perempuan itu seperti sdang mencari sesuatu di sebuah Scoopy berwarna hitam. Pak Pur mendekati mereka. Lalu salah seorang terlihat sedang bertanya pada Pak Pur. Beberapa saat kemudian mereka bercakap-cakap serius, tangan Pak Pur beberapa kali naik turun. Sepertinya Pak Pur sedang menasihati mereka berdua. Sedetik kemudian Pak Pur menunjuk tempatku berdiri, menunjukku lebih tepatnya. Sial. Aku tahu kemana arah pembicaraan mereka. Selanjutnya Pak Pur meninggalkan kedua perempuan itu lalu membantu siswi lain untuk mengeluarkan motor.

Ah.

Pikiranku kalang kabut. Beberapa tetes keringat bersuhu rendah satu persatu keluar dari pelipis. Jantungku berdegub tanpa irama. Kakiku linu, seperti ada sejuta semut menggerayanginya. Dan jajaran gigi di kedua rahang menjadi rapat seketika.

Perempuan itu berjalan ke arahku.

Ya Tuhan. Harus bagaimana ini. Aku harus bilang apa? Hallo? Hai? Apa kabar? Siapa namamu? Otakku ku paksa bekerja lebih keras dari biasanya. Kesan pertama tidak boleh berjalan buruk.

“Kunci motorku ada di kamu ya?”

Pyarr...

Suara siapa itu? Merdu sekali.

“Oh, iya. Ini,” aku serahkan kunci yang aku temukan tadi setelah tersadar dari lamunan singkat.

“Makasih ya, untung ada kamu. Aku kirain bakal ilang tadi.”

Amboi, dia tersenyum. Setelah sekian minggu aku hanya melihat senyumnya dari kejauhan, hari ini senyumnya tak lebih dari dua meter, menghadap mataku pula. Lalu, seperti De ja Vu, tiba-tiba otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Lesung pipi itu benar-benar nyata.

“Aku duluan ya,” ia pamit, lalu meninggalkanku.

Ketika tiga langkah ia berpaling dari wajahku, pusat sarafku semakin tak terkontrol.

“Tunggu!”

Aih, apa-apaan ini? Siapa yang menyuruh mulutku untuk berkata seperti itu.

Dia menghentikan langkah, kepalanya menoleh padaku, persis seperti saat dia menoleh untuk melihat motornya setiap pagi.

“Aku Aji.”

MasyaAllah. Ada apa ini? Harusnya aku cuma mengembalikan kunci motornya lalu pulang. Acara perkenalan di saat seperti ini bukan waktu yang tepat.

Dia diam. Dari raut mukanya aku tahu dia sedang keheranan.

Mampus kamu, Ji! Siapa suruh pake sebut nama segala. Skenario terburuk saat ini yang mungkin terjadi adalah dia melengos, pergi, ilfeeldan menjauh.



Tapi, Tuhan berkata lain.
Perempuan itu tersenyum, sedetik setelah lesung pipi itu menyembul, dia berkata,






“Aku Naya.”









Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni