- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#343
PART 37
Pagi ini muncul banyak pertanyaan tentang mas Roni dipikiran gue. Gue naksir dia. Enggak, gue buka homo.
Beberapa hari setelah kejadian mas Roni guling-guling di teras, semalam terjadi lagi. Semalam dia masuk ke dalam kos dengan masih memegang botol minuman keras yang gue lupa namanya. Memang biasanya koh Wahyu membiarkannya, tapi semalam berbeda, dia pulang dengan beberapa luka lebam di tubuhnya.
Karena koh Wahyu takut luka mas Roni makin parah, dia membangunkan gue untuk mengangkat mas Roni masuk ke dalam kamarnya. Gue yang pada saat itu masih dalama keadaan sedikit mengantuk akhirnya membantunya. Itulah pertama kalinya gue memasuki kamar mas Roni. Dan pertama kali gue masuk ke dalam kamarnya gue dibuat tercengang dengan barang-barang di dalamnya.
Kamar yang selama ini gue kira tidak ditiduri karena bau, jorok, dan kotor, semua terbantahkan. Kamarnya begitu rapi, dengan beberapa rak besar berisikan map dokumen-dokumen milik mas Roni. Selain itu disalah satu pojok terdapat beberapa kotak besar, isinya beberapa plastik berisikan serpihan daun seperti pupuk yang baunya membuat pusing. Dan yang paling membuat gue tercengang adalah tergeletaknya sebuah pistol dimeja dalam kamar mas Roni.
Siapa mas Roni ini sebenarnya? Mengapa ada pistol didalam kamarnya? Apa benar mas Roni hanya seorang pegawai kantoran biasa yang suka mabok? Apa dia orang jahat? Apa gue dalam keadaan bahaya tinggal disini? Apa pak jendral tau tentang semua ini?
Otak gue hanya dapat menghasilkan pertanyaan tanpa mendapat jawaban. Semalaman gue tidak bisa tidur dan hanya terduduk diatas kasur.
“Wi?” sapa Emil membuyarkan lamunan gue.
“Eh, lo Mil … ketuk pintu dulu kek.”
“Kamu kenapa?”
“Eh, enggak kenapa-napa.” gue berjalan keluar kamar. “Kalo mau nonton tv nyalain aja, gue mau ngopi di teras.”
Bukannya duduk manis di depan tv, Emil mendahului gue ke arah dapur. Dia melarang gue memasuki dapur dan memerintahkan gue untuk duduk manis di teras. Dia bilang, “Kamu ke teras aja, aku aja yang bikinin, pengin nyoba.”
Gue seneng-seneng aja sih dibikinin kopi, apalagi yang bikini cewek cakep yang kemana-mana cuma pake tanktop dan celana gemes. Tapi satu hal yang membuat gue berubah pikiran, dia juga berkata ‘Pengin nyoba’.
“Mil nggak jadi aja kopinya!” seru gue.
Terlambat, dia keluar ke teras dengan membawa secangkir kopi. Iya, secangkir. Dia nggak bikin buat dirinya sendiri. Kampret kan, gue dijadiin kelinci percobaan.
“Lo aja deh yang minum, tiba-tiba lambung gue penuh sendiri ini.”
Emil melotot ke arah gue.
“Anu … barusan ada ibu-ibu jualan jamu lewat … gue kembung … serius.”
Emil masih melototin gue.
"I ... ibu jamunya tadi ju ... juga melototin gue kayak gini, ja ... jadi terpaksa gu ... gue minum."
Tiba-tiba koh Wahyu keluar, “Wih, pagi-pagi udah pacaran aja kalian ini.”
“Pa … pacaran apa sih?” gue sok cool.
Waktu gue lihat ke arah Emil, dia blushing gitu. Sampe kejang-kejang.
“Kopi ya? Bagi sini, gue lagi pengin.” Koh Wahyu menyeruput kopi disebelah gue.
Mampus lo, jadi kelinci percobaannya Emil. Luntur-luntur deh itu cairan lambung.
“Eh, enak lho,” komentar koh Wahyu. “Mirip kayak buatan Sintya.”
Gue kaget bukan main, Emil bisa bikin kopi?
“Buat aku aja ya?” ucap koh Wahyu.
Gue menelan ludah, seret! tenggorokan gue kering. “Eh, aku—“
“Iya! Buat kokoh aja! Dawi udah kembung katanya!” potong Emil.
Koh Wahyu membawa kopi ke dalam kos. Meninggalkan gue duduk kedinginan diteras dengan jakun naik turun kekeringan.
Setelah koh Wahyu berlalu, tiba-tiba gue ingat beberapa pertanyaan yang menyesaki pikiran gue. Koh Wahyu, gue bisa bertanya pada dia.
“Koh! aku mau nanya!” seru gue.
“Udah lupain aja! ditahan dulu … nanti kejawab sendiri Wi!” balasnya dari dalam kos.
Koh Wahyu tau kalo gue mau bahas mas Roni? Dan dia menyuruh gue untuk diam dan menunggu jawabannya sendiri? Apa itu mungkin? Tapi untuk saat ini mungkin itulah yang terbaik yang bisa gue lakukan.
Pagi ini muncul banyak pertanyaan tentang mas Roni dipikiran gue. Gue naksir dia. Enggak, gue buka homo.
Beberapa hari setelah kejadian mas Roni guling-guling di teras, semalam terjadi lagi. Semalam dia masuk ke dalam kos dengan masih memegang botol minuman keras yang gue lupa namanya. Memang biasanya koh Wahyu membiarkannya, tapi semalam berbeda, dia pulang dengan beberapa luka lebam di tubuhnya.
Karena koh Wahyu takut luka mas Roni makin parah, dia membangunkan gue untuk mengangkat mas Roni masuk ke dalam kamarnya. Gue yang pada saat itu masih dalama keadaan sedikit mengantuk akhirnya membantunya. Itulah pertama kalinya gue memasuki kamar mas Roni. Dan pertama kali gue masuk ke dalam kamarnya gue dibuat tercengang dengan barang-barang di dalamnya.
Kamar yang selama ini gue kira tidak ditiduri karena bau, jorok, dan kotor, semua terbantahkan. Kamarnya begitu rapi, dengan beberapa rak besar berisikan map dokumen-dokumen milik mas Roni. Selain itu disalah satu pojok terdapat beberapa kotak besar, isinya beberapa plastik berisikan serpihan daun seperti pupuk yang baunya membuat pusing. Dan yang paling membuat gue tercengang adalah tergeletaknya sebuah pistol dimeja dalam kamar mas Roni.
Siapa mas Roni ini sebenarnya? Mengapa ada pistol didalam kamarnya? Apa benar mas Roni hanya seorang pegawai kantoran biasa yang suka mabok? Apa dia orang jahat? Apa gue dalam keadaan bahaya tinggal disini? Apa pak jendral tau tentang semua ini?
Otak gue hanya dapat menghasilkan pertanyaan tanpa mendapat jawaban. Semalaman gue tidak bisa tidur dan hanya terduduk diatas kasur.
“Wi?” sapa Emil membuyarkan lamunan gue.
“Eh, lo Mil … ketuk pintu dulu kek.”
“Kamu kenapa?”
“Eh, enggak kenapa-napa.” gue berjalan keluar kamar. “Kalo mau nonton tv nyalain aja, gue mau ngopi di teras.”
Bukannya duduk manis di depan tv, Emil mendahului gue ke arah dapur. Dia melarang gue memasuki dapur dan memerintahkan gue untuk duduk manis di teras. Dia bilang, “Kamu ke teras aja, aku aja yang bikinin, pengin nyoba.”
Gue seneng-seneng aja sih dibikinin kopi, apalagi yang bikini cewek cakep yang kemana-mana cuma pake tanktop dan celana gemes. Tapi satu hal yang membuat gue berubah pikiran, dia juga berkata ‘Pengin nyoba’.
“Mil nggak jadi aja kopinya!” seru gue.
Terlambat, dia keluar ke teras dengan membawa secangkir kopi. Iya, secangkir. Dia nggak bikin buat dirinya sendiri. Kampret kan, gue dijadiin kelinci percobaan.
“Lo aja deh yang minum, tiba-tiba lambung gue penuh sendiri ini.”
Emil melotot ke arah gue.
“Anu … barusan ada ibu-ibu jualan jamu lewat … gue kembung … serius.”
Emil masih melototin gue.
"I ... ibu jamunya tadi ju ... juga melototin gue kayak gini, ja ... jadi terpaksa gu ... gue minum."
Tiba-tiba koh Wahyu keluar, “Wih, pagi-pagi udah pacaran aja kalian ini.”
“Pa … pacaran apa sih?” gue sok cool.
Waktu gue lihat ke arah Emil, dia blushing gitu. Sampe kejang-kejang.
“Kopi ya? Bagi sini, gue lagi pengin.” Koh Wahyu menyeruput kopi disebelah gue.
Mampus lo, jadi kelinci percobaannya Emil. Luntur-luntur deh itu cairan lambung.
“Eh, enak lho,” komentar koh Wahyu. “Mirip kayak buatan Sintya.”
Gue kaget bukan main, Emil bisa bikin kopi?
“Buat aku aja ya?” ucap koh Wahyu.
Gue menelan ludah, seret! tenggorokan gue kering. “Eh, aku—“
“Iya! Buat kokoh aja! Dawi udah kembung katanya!” potong Emil.
Koh Wahyu membawa kopi ke dalam kos. Meninggalkan gue duduk kedinginan diteras dengan jakun naik turun kekeringan.
Setelah koh Wahyu berlalu, tiba-tiba gue ingat beberapa pertanyaan yang menyesaki pikiran gue. Koh Wahyu, gue bisa bertanya pada dia.
“Koh! aku mau nanya!” seru gue.
“Udah lupain aja! ditahan dulu … nanti kejawab sendiri Wi!” balasnya dari dalam kos.
Koh Wahyu tau kalo gue mau bahas mas Roni? Dan dia menyuruh gue untuk diam dan menunggu jawabannya sendiri? Apa itu mungkin? Tapi untuk saat ini mungkin itulah yang terbaik yang bisa gue lakukan.
End of chapter 5
Diubah oleh dasadharma10 15-02-2016 17:51
0


