- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#261
PART 30
Seminggu berlalu setelah hari pertama ospek gue dimulai. Hari ini adalah hari pertama kuliah perdana gue dimulai. Udah lama gue menantikan masa-masa ini. Masa dimana gue ketemu orang-orang berpemikiran dewasa dan dianggap sebagai salah satu orang yang sudah dewasa juga. Masa dimana gue bisa memacari cewek kuliahan. Ok, mungkin lebih tepatnya kenalan dulu, gue kurang yakin masalah pedekate.
Pagi ini gue bangun kepagian, bahkan lebih pagi dari Sintya yang bangunnya paling pagi di kosan. Siapa Sintya? Mbak-mbak kosan yang suaminya kabur. Mungkin gue bangun kepagian karena ada kelainan hormon. Hormon yang terkandung dalam rokok import milik mas Roni ini membuat gue bersemangat untuk pergi ke kampus. Atau mungkin itu semua hanya pembelaan gue yang tidak sabar untuk mencoba bangku perkuliahan.
“Tumben udah bangun Wi?” sapa Sintya.
“Iya nih.” Gue menyisir rambut. “Hari pertama masuk kuliah.”
“Kampusmu telat sih ya?”
“Iya, Emil udah jadi mahasiswi duluan,” kata gue. “Eh iya Sint, si Wahyu udah bangun?”
“Koh Wahyu!” Sintya berjalan menuruni tangga. “Inget suamiku dua tahun di atasmu!”
Koh Wahyu, dia baru balik dari perjalanan bisnisnya dari kota Batam. Kehadiran dia dua hari yang lalu bener-bener bikin Sintya berubah seratus delapan puluh derajat. Sintya yang gue kenal orangnya pendiam, murung dan desperate, tiba-tiba berubah jadi orang yang berbeda. Semacam kayak psikopat nemuin korban barunya, Sintya nggak berhenti-berhenti buat senyum. Gue baru tau kalo pasangan LDR bisa sebahagia itu ketika bertemu dengan pasangannya.
Di ruang tamu gue melihat mas Roni. Dia udah bangun terus ngopi di ruang tamu? Belum, dia belum bangun dan dia nggak lagi ngopi. Mas Roni emang tidur di sofa ruang tamu. Kenapa nggak di kamarnya sendiri? Dia bilang lagi males aja tidur di kamar. Tapi malesnya tiap hari. Menurut gue itu hanya alasan mas Roni. Udah pasti kamar mas Roni bau apek, jaring laba-laba dimana-mana, dan kecoa berterbangan kesana-kemari.
Gue duduk di seberang sofa panjang untuk mengikat sepatu. Gue perhatikan mas Roni dengan seksama, dia tidur dengan sebelah mata terbuka, kebiasaan yang aneh. Tiba-tiba titik hitam di matanya mengarah ke gue. Sontak aja gue kaget.
“Mau kemana?” ucapnya.
“Ku … kuliah mas,” jawab gue. “Kirain masih tidur mas.”
“….” Tidak ada jawaban dari mas Roni.
Gue masih menunggu balasan atas basa-basi gue.
GROOOKK!!
Kayaknya dia tidur lagi. Bukan, gue curiga kalo daritadi sebenernya mas Roni memang belum bangun, dan dia tadi hanya mengigau, dan gue telah berbicara dengan orang yang tengah mengigau. Gue tinggalkan dia terjerembab di sofa dan segera memanasi motor di halamaan.
Dari kos ke kampus memerlukan waktu sekitar sepuluh menit, jadi gue putuskan untuk bersantai-santai. Gue membuat kopi di dapur lalu menikmatinya di teras depan. Gue nggak mau pagi hari gue habis hanya untuk menunggu kelas di mulai. Gue mau ketika mata kuliah di mulai gue dateng paling akhir tapi tetap nggak terlambat. Jadi semua orang bisa memandang gue, kenal gue, tanpa harus repot-repot tebar pesona. Memang sih gue bisa cuci mata di kampus selagi menunggu kelas dimulai, tapi gue terlalu malas untuk itu.
“Morning.”
“Eh, i … iya morning,” jawab gue.
“Pagi-pagi udah ngopi aja Wi,” ucap Emil.
Ya, itu Emil. Dia baru selesai lari pagi muter-muter komplek kos. Sepertinya dia doyan banget olahraga karena dia tiap pagi emang menyempatkan diri untuk lari pagi dan lompat-lompat. Ya, lompat-lompat. Sewaktu gue tanya kenapa dia lompat-lompat dia jawab, “Ini skiping tapi nggak pake tali.” Aneh? Ya seperti itulah Emil.
“Kali-kali olahraga bareng Wi,” kata Emil sambil skiping tanpa tali.
“Lagi males Mil.”
“Udah ketahuan dari ukuran perut.”
“Dih, sembarangan," gue membela diri. “Gini-gini gue juga sering lari kok.”
“Jogging? Lari pagi gitu?”
“Lari dari kewajiban.”
Seminggu berlalu setelah hari pertama ospek gue dimulai. Hari ini adalah hari pertama kuliah perdana gue dimulai. Udah lama gue menantikan masa-masa ini. Masa dimana gue ketemu orang-orang berpemikiran dewasa dan dianggap sebagai salah satu orang yang sudah dewasa juga. Masa dimana gue bisa memacari cewek kuliahan. Ok, mungkin lebih tepatnya kenalan dulu, gue kurang yakin masalah pedekate.
Pagi ini gue bangun kepagian, bahkan lebih pagi dari Sintya yang bangunnya paling pagi di kosan. Siapa Sintya? Mbak-mbak kosan yang suaminya kabur. Mungkin gue bangun kepagian karena ada kelainan hormon. Hormon yang terkandung dalam rokok import milik mas Roni ini membuat gue bersemangat untuk pergi ke kampus. Atau mungkin itu semua hanya pembelaan gue yang tidak sabar untuk mencoba bangku perkuliahan.
“Tumben udah bangun Wi?” sapa Sintya.
“Iya nih.” Gue menyisir rambut. “Hari pertama masuk kuliah.”
“Kampusmu telat sih ya?”
“Iya, Emil udah jadi mahasiswi duluan,” kata gue. “Eh iya Sint, si Wahyu udah bangun?”
“Koh Wahyu!” Sintya berjalan menuruni tangga. “Inget suamiku dua tahun di atasmu!”
Koh Wahyu, dia baru balik dari perjalanan bisnisnya dari kota Batam. Kehadiran dia dua hari yang lalu bener-bener bikin Sintya berubah seratus delapan puluh derajat. Sintya yang gue kenal orangnya pendiam, murung dan desperate, tiba-tiba berubah jadi orang yang berbeda. Semacam kayak psikopat nemuin korban barunya, Sintya nggak berhenti-berhenti buat senyum. Gue baru tau kalo pasangan LDR bisa sebahagia itu ketika bertemu dengan pasangannya.
Di ruang tamu gue melihat mas Roni. Dia udah bangun terus ngopi di ruang tamu? Belum, dia belum bangun dan dia nggak lagi ngopi. Mas Roni emang tidur di sofa ruang tamu. Kenapa nggak di kamarnya sendiri? Dia bilang lagi males aja tidur di kamar. Tapi malesnya tiap hari. Menurut gue itu hanya alasan mas Roni. Udah pasti kamar mas Roni bau apek, jaring laba-laba dimana-mana, dan kecoa berterbangan kesana-kemari.
Gue duduk di seberang sofa panjang untuk mengikat sepatu. Gue perhatikan mas Roni dengan seksama, dia tidur dengan sebelah mata terbuka, kebiasaan yang aneh. Tiba-tiba titik hitam di matanya mengarah ke gue. Sontak aja gue kaget.
“Mau kemana?” ucapnya.
“Ku … kuliah mas,” jawab gue. “Kirain masih tidur mas.”
“….” Tidak ada jawaban dari mas Roni.
Gue masih menunggu balasan atas basa-basi gue.
GROOOKK!!
Kayaknya dia tidur lagi. Bukan, gue curiga kalo daritadi sebenernya mas Roni memang belum bangun, dan dia tadi hanya mengigau, dan gue telah berbicara dengan orang yang tengah mengigau. Gue tinggalkan dia terjerembab di sofa dan segera memanasi motor di halamaan.
Dari kos ke kampus memerlukan waktu sekitar sepuluh menit, jadi gue putuskan untuk bersantai-santai. Gue membuat kopi di dapur lalu menikmatinya di teras depan. Gue nggak mau pagi hari gue habis hanya untuk menunggu kelas di mulai. Gue mau ketika mata kuliah di mulai gue dateng paling akhir tapi tetap nggak terlambat. Jadi semua orang bisa memandang gue, kenal gue, tanpa harus repot-repot tebar pesona. Memang sih gue bisa cuci mata di kampus selagi menunggu kelas dimulai, tapi gue terlalu malas untuk itu.
“Morning.”
“Eh, i … iya morning,” jawab gue.
“Pagi-pagi udah ngopi aja Wi,” ucap Emil.
Ya, itu Emil. Dia baru selesai lari pagi muter-muter komplek kos. Sepertinya dia doyan banget olahraga karena dia tiap pagi emang menyempatkan diri untuk lari pagi dan lompat-lompat. Ya, lompat-lompat. Sewaktu gue tanya kenapa dia lompat-lompat dia jawab, “Ini skiping tapi nggak pake tali.” Aneh? Ya seperti itulah Emil.
“Kali-kali olahraga bareng Wi,” kata Emil sambil skiping tanpa tali.
“Lagi males Mil.”
“Udah ketahuan dari ukuran perut.”
“Dih, sembarangan," gue membela diri. “Gini-gini gue juga sering lari kok.”
“Jogging? Lari pagi gitu?”
“Lari dari kewajiban.”
Diubah oleh dasadharma10 09-02-2016 19:26
JabLai cOY memberi reputasi
1


