Kaskus

Story

yohanaekkyAvatar border
TS
yohanaekky
Until The Day
Until The Day


********************************


Penantian:
(kb) Suatu kegiatan yang tidak enak untuk dilakukan menurut pengakuan setiap orang, tetapi mau tidak mau semua orang pernah melakukannya, paling tidak satu kali dalam hidupnya.

~UTD~
Terbuang. Tertolak. Menjalani kehidupan yang keras di jalanan sendirian dan kelaparan. Itulah Aporriftikhe. Dia ingin memiliki setidaknya satu orang yang mempedulikannya dan juga sebuah rumah. Namun fitnah yang telah ia terima membuat tak seorang pun mau mendekatinya. Harapannya sudah putus sehingga ia berhenti menanti. Tak seorang pun yang kunjung datang setidaknya untuk memberinya sepeser uang atau secuil roti atau sebuah kandang untuk melindunginya dari terik matahari atau hujan deras.

Hingga pada suatu hari ia terpaksa harus melakukan perbuatan tercela karena perutnya yang lapar. Namun tindakannya itu justru hampir membawanya kepada maut, jika tidak ada sebuah tangan terulur padanya dan menyelamatkan dirinya.

Tangan itu, tangan yang mengubah hidupnya. Tangan itu, tangan yang membuatnya kembali menanti dan gemar menanti. Karena tangan itu adalah harapan baginya.

© 2015. All Rights Reserved.
Written by Yohana Ekky.

INDEX:
01 IDENTITY
02 THE STRETCHED HAND
03 HOME
04 REJECTED TO ACCEPTED
05 IT'S CALLED LIFE! (PART 1)
06 IT'S CALLED LIFE! (PART 2)
07 HEART MENDING (PART 1) - a || b
08 THE ENEMY'S ATTACK - a || b
09 TAKING HER BACK
10 HE TOLD ME THE TRUTH
11 THE UNWANTED PRINCESS (PART 1) - a || b
12 THE UNWANTED PRINCESS (PART 2) -a || b
13 WILL THERE BE PEACE?
14 THERE HAS TO BE PEACE
15 THE VISION
16 DEFENSE AND WAR STRATEGY NEW!!!
Diubah oleh yohanaekky 29-06-2016 19:11
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
6.4K
96
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
yohanaekkyAvatar border
TS
yohanaekky
#53
07 Heart Mending (Part 1)
"Terima kasih."

"Untuk apa?" Elpida bangun dan menatapku heran.

Aku pun turut bangun dan duduk. Kubiarkan kakiku tergantung sambil mengetuk-ngetukkannya perlahan pada batu itu.

"Karena kau mau menjadi temanku," ucapku padanya.

Namun reaksinya membuatku cukup terkejut. Ia justru tertawa seperti baru saja mendengar sebuah lelucon.

Aku berpaling pada teman baruku itu. "Mengapa kau tertawa? Barusan itu bukan sebuah lelucon." Dengan itu aku menghentikan tawanya.

Elpida menggigit bibir bawahnya. "Uh, maaf. Aku tidak bermaksud untuk menganggap perkataanmu sebagai sebuah lelucon." Ia tampak menyesal.

"Lalu?"

Ia memandangku dengan sebuah ekspresi yang tidak dapat aku tebak. "Semua orang di kerajaan ini seperti berlomba-lomba untuk memiliki banyak teman, atau jika memungkinkan, berteman dengan semua warga kerajaan. Itulah mengapa aku tertawa ketika mendengar ucapanmu itu."

Aku sungguh tidak percaya mendengar jawaban Elpida. Pasalnya di luar kerajaan, pertemanan rasanya merupakan sesuatu yang tidak semua orang lakukan dan tidak semua orang dapatkan. Aku adalah salah satu yang tidak mendapatkan.

"Hei, kau baik-baik saja?" Elpida menanyaiku. Mungkin aku baru saja melamun secara tidak sengaja.

Aku tersenyum kecil dan mengangguk.

"Jadi, sekarang kita berteman?" Elpida mengulurkan tangan kanannya padaku.

Kusambut uluran tangannya itu sembari tersenyum lebar padanya.

"Oh!" Elpida tiba-tiba berseru dan membuatku terkejut sampai hampir terjatuh dari batu saat aku bergerak. Untung saja ia menahanku. "Maafkan aku. Aku sungguh tidak bermaksud membuatmu hampir terjatuh."

Aku menggeleng. "Tidak. Tidak masalah." Aku meyakinkannya. "Tapi ada apa?"

Elpida memegangi dahinya. "Aku hampir saja lupa bahwa hari ini aku diminta untuk membantu persiapan pertunangan kakakku dan kekasihnya," ia memberitahu.

"Lalu?"

Elpida turun dari batu itu dan berdiri menghadapku. "Aku rasa aku tidak dapat menemanimu lebih lama lagi disini. Maafkan aku."

Kulambaikan telapak tanganku padanya sambil berkata, "Jangan kuatir. Aku baik-baik saja." Aku meyakinkannya. "Tapi jika kau butuh bantuan, aku dapat membantumu. Aku tidak memiliki apapun untuk dilakukan sepanjang sisa hari ini."

Mata Elpida berbinar. "Benarkah?" ucapnya senang. "Aku memang benar-benar membutuhkan bantuan."

Aku tersenyum padanya lalu turun dari batu itu menyebelahinya. "Kalau begitu ayo kita pergi."

"Uh tapi," Elpida menunjukkan keraguan saat kami hendak melangkah pergi.

Aku menaikkan alisku. "Apa?"

"Bagaimana jika Pangeran tahu?"

"Pangeran?"

Elpida mengangguk-angguk.

"Aku tidak mengerti."

"Aku tidak ingin Pangeran marah padaku," ucapan Elpida masih tidak jelas bagiku. "Kau masih tidak mengerti juga?" Kurasa ia menangkap ekspresi bingungku.

Aku mengangkat kedua bahuku.

Giliran Elpida yang menaikkan kedua alisnya. "Kau ini bagaimana? Sebagai kekasih Pangeran kau sudah seharusnya mengerti hatinya."

Aku mendesis kesal. Bisa-bisanya ia mengatakan hal itu. Apakah mungkin ia tidak sedang bercanda waktu itu di teras si kembar?

"Pangeran tidak ingin jika kekasihnya melakukan sesuatu tanpa sepengetahuannya." Elpida meneruskan perkataannya. "Lebih baik kau kembali ke kerajaan saja. Atau, aku dapat berkata pada Pangeran bahwa kau akan membantuku. Bagaimana menurutmu?"

Aku cukup kesal mendengarnya. Namun aku masih tidak dalam kondisi yang baik untuk berdebat. Apalagi aku baru saja berteman dengannya. Aku hanya mengikuti apa yang Elpida usulkan.

Kami berdua berjalan masuk ke dalam istana. Gracia muncul tepat di depan pintu seolah sudah tahu jika aku kembali. Ia menyambut dengan membungkuk di hadapanku.

"Puteri sudah kembali," ucap Gracia. "Saya sudah menyiapkan air hangat untuk anda membasuh tubuh serta gaun terbaik untuk anda pakai ke acara pesta nanti malam."

Mendengarnya, aku berkata, "Pesta apa?" Aku sekilas memandang Elpida lalu kembali pada Gracia.

"Puteri tidak tahu?" Gracia tampak cukup terkejut.

"Apakah ada yang kulewatkan? Pagi tadi sebelum aku pergi, tidak ada seorang pun yang mengatakan apapun padaku."

Elpida menyenggol lenganku. "Kau sebaiknya segera mencari tahu. Mungkin pesta ini penting sekali. Dan aku lebih baik segera pulang dan membantu kakakku."

Aku merasa tidak enak karena aku tidak dapat memenuhi perkataanku untuk membantunya. "Maafkan aku tidak dapat membantu, Elpida."

Elpida menepuk lengan kananku dan tersenyum. "Jangan kuatir, Apo. Kurasa kau lebih dibutuhkan di pesta nanti. Sampai jumpa lagi."

Aku mengangguk dan melambai padanya sebelum ia keluar dari pintu.


Setelah membasuh tubuhku dengan hangatnya air dicampur dengan wewangian dari rempah-rempah, aku mengijinkan para pelayan kerajaan yang bertugas untuk merias masuk ke kamarku. Kubiarkan mereka melakukan tugas mereka.

Tepat setelah para pelayan kerajaan selesai meriasku, Bibi datang menjumpaiku. Ia berkomentar bahwa gaun yang kupakai terlihat terlalu sederhana. Dengan segera ia membawaku ke ruang pakaian.

Selama beberapa menit aku duduk menunggu sambil mengamati Bibi yang sedang memilih-milih gaun. Kuperhatikan setiap gaun yang diambilnya. Semuanya tampak begitu mewah. Ini membuatku heran akan apa yang sebenarnya sedang terjadi, atau lebih tepatnya acara apa yang akan aku datangi.

Bibi menunjukkan dua gaun yang dianggapnya terbaik padaku. Kedua-duanya berwarna merah muda, namun yang satu memiliki ornamen yang cukup rumit di bagian roknya sementara yang lain tampak lebih polos tetapi lebih terkesan elegan dengan paduan warna hitam yang mengelilingi bagian pinggang. Aku memutuskan untuk memilih yang kedua.

Awalnya aku bertanya-tanya mengapa gaun yang kupakai harus berwarna merah muda, namun ketika aku bertemu Raja, Ratu dan Sotiras, aku mendapatkan jawabannya. Pakaian yang mereka pakai memiliki warna merah muda juga di beberapa bagian pakaian mereka.

"Wah, kau tampak cantik dan anggun sekali dengan gaun ini, Apo," Ratu memujiku sambil menyentuh lengan kiriku

Aku tersenyum sambil menundukkan kepalaku sedikit "Bibi yang memilihkannya, Ratu. Aku hanya mengikuti saja."

"Namun tidak semua orang akan tampak cantik dan anggun saat mengenakan gaun ini jika tidak karena kecantikan gadis itu sendiri," Ratu berkomentar.

Raja dan Sotiras tersenyum saat mendengarnya.

Ucapan Ratu membuatku tersipu. Heran aku jadinya karena semasa hidupku belum pernah aku merasa seperti ini. Sebelumnya aku pasti akan bersikap biasa saja ketika seseorang memujiku karena hanya satu orang yang mampu melakukannya. Ibu.

Aku, Ratu, Raja dan Sotiras masuk ke dalam kereta kerajaan. Kereta ini tampak jauh lebih besar dan mewah daripada kereta yang sebelumnya kunaiki bersama dengan Sotiras. Di setiap sudutnya berwarna kekuningan. Mungkin kereta ini berlapis emas.

Perjalanan hanya memakan waktu lima belas menit lamanya. Kami akhirnya sampai di sebuah bangunan besar yang memiliki atap berbentuk setengah lingkaran berwarna merah.

Para lembaga istana yang bertubuh kekar, sekitar sepuluh orang banyaknya, berbaris di samping kanan dan kiri tepat saat kami turun dari kereta. Entah mengapa penjagaan terlihat sangat ketat padahal tempat ini masih ada di dalam area kerajaan, bukan di luar kerajaan. Aku pernah mendengar Bibi dan suaminya, Paman Tímiotita bercerita mengenai keamanan kerajaan yang begitu baik. Jika memang begitu, bukankah empat orang penjaga saja masing-masing untuk kami berempat cukup?

Raja bergandengan dengan Ratu lalu berjalan lebih dulu memasuki gedung. Sotiras pun menawarkan lengannya padaku untuk melakukan hal yang sama.

"Haruskah?" Aku bertanya tanpa berpikir. Sial. Aku salah bicara. Aku tidak lagi hidup di luar kerajaan dimana segala sesuatunya harus kulakukan sendiri. Ada orang-orang yang dapat kupercayai disini.

"Tidak harus," Sotiras menjawab dengan santai. Ia berjalan beberapa langkah mendahului lalu berbalik padaku sejenak. "Aku hanya ingin menolongmu berjalan. Gaun itu tampaknya terlalu panjang. Hati-hari saat melangkah." Ia pun berbalik dan berjalan kembali.

"Sotiras," aku memanggilnya sebelum ia berjalan terlalu jauh.

Sotiras berhenti berjalan tetapi ia tidak membalikkan tubuh.

"Kurasa kau benar. Aku mungkin butuh bantuan," ucapku lalu berjalan ke arahnya sambil kuangkat bagian depan gaunku sedikit, memberikan ruang bebas untuk kakiku melangkah. Lain kali aku harus benar-benar memperhatikan ucapanku.

Sotiras masih tidak berbalik. Ia hanya tampak tenang sama dari belakang.

Tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di deket Sotiras. Namun gaun yang licin ini tanpa sengaja terlepas dari genggaman tanganku dan mengakibatkan kakiku tidak melangkah dengan benar. Aku kehilangan keseimbangan dan akhirnya...

"Aw," tubuhku terjatuh, tetapi bukan di lantai tetapi dalam pelukan Eiteréia.

"Kau harus berhati-hati." Eiteréia membuatku berdiri tegak kembali dan melepaskanku dari pelukannya. "Lagipula, mengapa kau berjalan sendirian? Seharusnya seseorang mendampingimu."

"Oh, itu--,"

"Kalau memang tidak ada yang mendampingimu, biarkan aku saja," Eiteréia menarik tanganku dan mengaitkannya pada lengannya.

Ia membuatku tercengang dan tak sanggup bicara. Aku hendak memberitahunya bahwa aku sebenarnya akan bersama dengan Sotiras, tapi ia justru memintaku diam. Mau tak mau aku mengikuti permintaannya karena ia adalah guru sastraku.

Kami berjalan bersama dan melewati Sotiras yang hanya melihat kami dengan ekspresi tenang. Ia bahkan mempersilakan kami lewat. Entah mengapa aku justru merasa tidak nyaman dengan sikapnya itu.

Pemandangan di dalam gedung sangat mengagumkan. Sebuah ruangan dansa yang sangat besar dikelilingi dengan meja-meja yang lengkap dengan makanan dan minuman yang telah tersaji di atasnya. Banyak sekali bangsawan yang tampak begitu hebat dan menarik secara penampilan. Sungguh aku terkagum-kagum akan semuanya ini.

"Ayo kita kesana," Eiteréia menunjuk pada meja yang diduduki oleh Raja dan Ratu.

Aku tidak berkomentar apapun dan hanya mengikuti perkataannya.

Raja dan Ratu menyambutku. Mereka memintaku untuk bergabung. Sesuai dengan permintaan, aku dan Eiteréia duduk bersama mereka. Begitu pula Sotiras yang tadi berjalan di belakang kami.

Acara tampak belum dimulai. Sementara itu semua yang duduk di meja ini saling berbincang-bincang mengenai sesuatu yang tidak kumengerti. Bahkan aku masih belum mengerti acara apakah yang aku hadiri ini.

"Apo, kau dari tadi diam saja. Ada apa?" Ratu tampaknya mengerti alasanku diam sedari tadi.

Aku tersenyum padanya. "Tidak ada apa-apa, Ratu."

"Yang benar?"

"Ya, sebenarnya aku masih tidak mengerti acara apakah ini. Jadi aku tidak tahu apa yang harus diperbincangkan juga." Aku tertawa. Lebih tepatnya aku menertawai diriku sendiri yang cukup aneh karena mendatangi suatu acara yang tidak aku ketahui tetapi tak berdaya untuk berkata tidak, mengingat Elpida tadi membutuhkan bantuan untuk mempersiapkan acara pertunangan kakaknya.

Dengan suara yang lemah lembut dan penuh perhatian Ratu menjelaskan acara ini. "Ini adalah acara tahunan dimana para bangsawan berkumpul untuk merayakan kemajuan kerajaan dan segala prestasi yang sudah di dapatkan selama satu tahun ini, terutama Pertempuran Besar."

"Pertempuran Besar?" Mendengarnya aku agak bergidik. Pertempuran pasti memakan banyak korban, dan jika ada korban, pasti ada darah. Tidak. Aku sungguh membencinya.

"Jadi di dunia ini ada musuh terbesar yang harus kita kalahkan. Mereka selalu berusaha menghancurkan kerajaan kita dan mencuri rakyat yang malang dan tak bersalah untuk dijadikan sandera. Kediamannya sulit untuk ditemukan karena ia selalu berpindah tempat."

Aku mendengarkan dengan seksama sambil berpikir mengenai kemungkinan demi kemungkinan mengenai bentuk musuh kerajaan itu. Aku membayangkan sebuah naga besar dengan kulit tebal dan keras, juga api yang mematikan. Tubuhku sedikit bergetar karena membayangkannya.

Ratu hendak menjelaskan lebih lanjut tetapi acaranya sudah dimulai. Kami pun menunda perbincangan.

Dua orang pemimpin acara, seorang pria dan seorang wanita saling berbincang mengenai acara tersebut. Mereka memberitahukan pada para bangsawan mengenai keberhasilan yang telah dicapai, dan sebagainya. Aku tidak terlalu fokus mendengarkannya.

Aku tidak pernah membayangkan aku dapat duduk di tengah-tengah para bangsawan bahkan di sebelah pemimpin kerajaan ini. Semua ini tampaknya mustahil. Aku benar-benar berharap bahwa semua ini bukan mimpi, tetapi aku juga berharap bahwa aku dapat beradaptasi lebih cepat. Pasalnya aku masih merasa bahwa aku belum benar-benar 'menapakkan kakiku di tanah', aku hanya seperti melayang saja.

Entah apa yang baru saja dikatakan oleh kedua pemimpin acara, tetapi Raja dan Ratu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ke atas panggung. Semua yang hadir di tempat itu bertepuk tangan sangat meriah menyambut pemimpin tertinggi kerajaan.

"Terima kasih untuk kehadiran semuanya," ucap Raja dengan penuh kewibawaan. "Kita semua sangat bersyukur karena telah memenangkan Pertempuran Besar tahun ini. Walaupun kita masih belum menemukan Thánatos, kita tidak boleh menyerah. Suatu kali kita akan menemukannya dan benar-benar mengalahkannya untuk selamanya."

Sorak-sorai dari semua yang hadir menyebabkan gedung serasa diisi dengan gemuruh yang begitu besar suaranya. Mereka tampak bersukacita atas kemenangan ini.

"Ini adalah acara spesial yang kita rayakan setiap tahun. Untuk itu, aku juga ingin melakukan sesuatu yang spesial juga," ucap Raja. "Aku ingin memperkenalkan pada kalian semua seorang anggota kerajaan yang baru, Apodektés."

DUG. Jantungku serasa dihantam dengan keras. Aku sungguh terkejut namaku disebut di tengah-tengah para bangsawan di acara sepenting ini.

Kurasakan tanganku yang kuletakkan di atas pangkuanku disentuh oleh seseorang. Kualihkan pandanganku dan melihat tangan Sotiras lah yang sedang ada di atas tanganku. Ia menarik tanganku perlahan dan memintaku untuk berdiri. Aku pun menurutinya.

Sotiras mengaitkan tanganku di lengannya dan mengajakku berjalan menuju panggung dimana Raja dan Ratu berdiri.

Rasanya lututku gemetar dan kekuatanku seperti hilang saat aku berdiri di hadapan semua orang. Sotiras mengetahuinya, ia menepuk-nepuk tanganku yang terkait di lengannya.

Aku menunduk tanda hormat pada Raja dan Ratu.

"Ini adalah Apodektés. Dia adalah anggota baru kerajaan. Seorang yang cantik dan cerdas. Dia adalah aset kerajaan yang sangat berharga. Aku, Raja Dikaosyni, secara pribadi yakin bahwa ia akan berkontribusi untuk kerajaan ini."

Dengan itu, semua orang bertepuk tangan dan bersorak, "Hidup Raja Dikaosyni dan Ratu Evgenis, Hidup Pangeran Sotiras, Hidup Apodektés, Hidup Kerajaan Ouranós!"

Raja, Ratu, Sotiras dan aku kemudian turun dari panggung dan kembali ke meja kami. Pemimpin acara mengambil alih kembali dan melanjutkan acara.

Dua jam berlalu. Acara berlangsung sangat meriah dan menyenangkan. Aku berkenalan dengan cukup banyak bangsawan juga anak-anak mereka yang seumuran denganku; Symponia, sahabat Sotiras, Echthra dan Kako yang merupakan teman sekolah Sotiras di sekolah tinggi.

"Apo," kudengar namaku dipanggil dan sebuah lengan melingkar di bahuku.

Aku menoleh dan melihat Eiteréia berdiri dekat di sampingku. Bahkan terlalu dekat. Aku ingin melepaskan lengannya dari bahuku tapi ia justru mempereratnya. Pemandangan ini pun tampaknya menciptakan suasana yang kurang nyaman di depan Sotiras dan teman-temannya.

"Acara dansa sudah dimulai, ayo bergabung denganku disana." Eiteréia mengajak.

Aku menelan ludah. "Aku tidak pintar berdansa," ungkapku jujur.

"Jangan kuatir. Aku akan mengajarimu. Yang perlu kau lakukan hanyalah mengikuti gerakanku." Eiteréia masih bersikeras memintaku berdansa dengannya.

Aku mengalihkan pandanganku pada Sotiras. Aku ingin mengatakan padanya untuk membantuku karena aku benar-benar tidak ingin berdansa. Hanya saja aku tidak mungkin melakukannya karena aku mungkin mempermalukan Eiteréia dengan begitu. Aku benar-benar berharap Sotiras mengerti apa yang kumaksudkan.

"Eiteréia, sebenarnya aku baru saja ingin membawa Apo untuk berkenalan dengan Kepala Menteri. Raja dan Ratu menugaskan aku untuk melakukannya. Jadi kurasa dia tidak ada waktu untuk berdansa," Sotiras mengerti permintaanku yang tersembunyi itu!

Eiteréia menggeleng-geleng. "Apa kau takut aku mencuri Apo darimu?" ucapnya tanpa ragu.

Suasana di antara kami pun bertambah lebih tegang. Terlebih karena Eiteréia masih merangkulku.

"Maaf, Eiteréia. Bukan seperti itu. Tapi Apo benar-benar harus pergi sekarang. Kepala Menteri tidak akan tinggal lebih lama lagi disini. Jika aku tidak memperkenalkannya sekarang, tidak akan ada lagi kesempatan. Dia hanya dapat ditemui satu tahun sekali. Dan kau mengetahui hal ini, bukan begitu?" Tenang dan penuh kebijaksanaan, itulah cara Sotiras menjelaskan alasan bahwa tidak ada waktu untuk berdansa bagiku.

Eiteréia tertawa. "Baiklah, baiklah. Tapi lain kali Apo harus berdansa denganku," ucapnya lalu melepaskanku. "Dia terlalu berharga untuk disia-siakan. Bukan begitu, Sotiras?"

Aku tidak paham mengapa ia berkata seperti itu. Tetapi yang pasti aku melihat ekspresi geram yang Sotiras tunjukkan dalam ketenangannya. Terlebih ada teman-temannya disana yang mendengarkan perbincangan ini.

Tanpa sepatah kata pun lagi, Eiteréia pergi. Teman-teman Sotiras pun melakukan hal yang sama. Tinggal lah aku dan Sotiras dalam hening di tengah-tengah keramaian.

"Terima kasih," kuputuskan untuk memecahkan keheningan ini.

Sotiras mengangguk pelan.

"Lalu, apakah kita akan bertemu dengan Kepala Menteri sekarang?" Aku teringat tentang ucapan Sotiras yang lalu.

Sotiras menggeleng sambil berkata, "Tidak. Kita sebenarnya dapat menemuinya kapan saja dengan perintah Raja."

"Tapi tadi katamu ia hanya dapat ditemui satu tahun sekali?"

"Itu hanya alasan saja."

Aku mengangguk-angguk. "Lalu?"

"Aku ingin menghirup udara segar di luar."

Mendengar 'udara segar' membuatku begitu tertarik. Berada di luar kurasa akan lebih menyenangkan daripada disini. Tak ada yang dapat kulakukan disini selain berkenalan dengan orang-orang baru.

Aku mengikuti Sotiras dari belakang. Kamu menuju ke sebuah hutan kecil yang ada di sebelah kanan gedung.

Hutan itu tampak tidak menyeramkan, walaupun tidak terlalu banyak cahaya disana. Aku justru merasa tenang-tenang saja, terlebih saat melihat cahaya-cahaya kecil yang tampak di semak-semak.

Kudekati semak-semak yang kulewati.

"Apa yang kau lakukan?" Sotiras menyadari aku tidak lagi mengikutinya dan berjalan mendekatiku.

Aku ingin menjawab tapi yang kulihat itu begitu menakjubkan sehingga semua fokusku langsung tertuju pada pemandangan indah di depan mataku ini.

Bunga-bunga itu mengeluarkan cahaya. Inti sarinya tampak seperti korek api yang dinyalakan, tetapi tidak tampak seperti terbakar. Indah sekali. Aku tidak bisa berkata-kata. Ini ajaib. Apa yang pernah kudengar dari orang-orang ternyata bukanlah sebuah dongeng.

"Hei, kau... apa yang kau lakukan?" Sotiras berdiri tepat di sampingku.

Aku menatapnya sambil tersenyum.

Sotiras justru tampak tercengang saat melihatku. "Kau menangis?"

Sebutir air mata jatuh di pipiku tanpa kusadari. "Tidak." Aku menggeleng. "Aku juga tidak tahu kenapa air mata ini jatuh."

"Kau yakin kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk yakin. "Aku justru sedang merasa sangat bahagia." Aku berpaling dari Sotiras kepada bunga-bunga itu dan menunjuknya.

Sotiras berpaling melihat apa yang kutunjuk. Wajahnya kembali menunjukkan bahwa ia tercengang.

"Indah sekali,"

"Bagaimana kau--apakah benar kau melihatnya?" Sotiras bertanya dan pertanyaan nya itu tidak masuk akal.

"Tentu saja," aku berpaling pada Sotiras sambil mengangguk-angguk. "Siapa yang tidak dapat melihat keajaiban ini? Jelas sekali bunga-bunga ini bercahaya. Setiap orang yang melihatnya pasti menjadi sangat kagum."

"Apo, kau--"

KABOOM!
Diubah oleh yohanaekky 09-02-2016 07:10
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.