- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#222
PART 28
“Wi kamu betah nggak sih di kos ini?” tanya Emil
“Enggak!”
“Kenapa?”
“Ada lo.”
“Ish….” Emil mencubit pinggang gue.
“Oi… ntar nabrak ini mobil.”
Gue dan Emil lagi muter-muter nyari perlengkapan ospek buat Emil, sesuai janji gue. Karena daftar belanjaannya banyak, makanya gue pinjem mobil mas Roni. Dia baik banget ya sama orang yang baru di kenal beberapa hari? Nggak! Dia nitip dibeliin rokok satu slop dan minta bensinnya dipenuhin tanpa ngasih duit sepeser pun. Prinsip minta bantuan sama mas Roni tuh oke-oke-nyakitin. Ibarat nembak cewek, mas Roni tuh cewek yang nerima tembakan sambil bilang gini, ‘Iya… iya… kita jadian, tapi besok kalo matahari udah terbit dari barat.’ Jadian cuma sehari waktu hari kiamat, itu pun cuma di pake lari-larian di kejar gunung meletus.
Toko pertama yang kita datengin adalah toko pakaian. Emil bilang dia harus cari seragam buat ospek sesuai ketentuan ospek. Suatu kesalahan gue menjadikan toko pakaian sebagai tujuan pertama, waktu belanja seragam yang gue estimasikan tiga puluh menit berubah jadi nggak terhitung jumlahnya. Selain itu, selera belanjanya Emil ini rada-rada aneh, ibarat cowok dia itu cowok mata keranjang yang susah puasnya.
“Mil itu kemeja putihnya bagus kok, cocok di lo,” ucap gue.
“Nggak ah, bahannya nggak enak.” Dia melihat kemeja lain. “Wi, ini lucu ya.”
“Tapi kan kita nyari kemeja put—”
“Ah kamu tuh ya, kan mumpung disini!”
“Tapi kan Mi—”
“Sstttt! Udah kamu temenin aku aja.”
Setelah kaki gue capek ngikutin Emil muter-muter milih baju, dia akhirnya puas. YAAY!! Selesai dari toko pakaian gue segera mengatur siasat. Gue ambil daftar belanjaan Emil, gue ubah sedemikian rupa memprioritaskan yang penting dan nggak menghabiskan waktu banyak. Bisa-bisa waktu gue seharian cuma buat nemenin Emil belanja doang.
“Sekarang kita ke strober—”
“Nggak, sekarang kita cari taneman,” potong gue.
“Stroberi dulu dong Wi.”
“Lo mau beli apaan? Ospek lo suruh bawa aksesoris? Gila aja panitianya!”
“Kok kamu tau kalo itu toko aksesoris?”
“Gue punya adek cewek.” Gue memandang Emil. “Dan tiap kali dia kesana, gue ketinggalan film di bioskop.”
Emil terdiam, gue menang! Bisa naklukin cewek sampe bungkam kayak gini, rasanya tuh beeuuhhh! Bahagia banget!
Selama perjalanan ke toko taneman Emil cuma diem aja. Dia marah? Bodo! Yang penting gue bisa balik cepet. Emil cuma ngeliatin jalan sambil kadang-kadang chating di hapenya. Sesampainya di toko taneman Emil bilang dia agak pusing, jadi gue sendiri yang turun dari mobil. Nggak masalah, mungkin itu cuma alesan dia yang masih ngambek gara-gara tadi. Masalah taneman gue ini expert-nya, ratusan kali gue nemenin nyokap ke toko taneman, karena udah ratusan taneman nyokap yang mati gara-gara gue.
Selesai membeli pohon yang agak gedean dan agak asing, gue segera memasukkannya ke mobil. Belum jadi gue duduk di kursi sopir, gue dapet sms dari nomor mbak Irma, ‘Wi, gimana kondisi Emil? Kalo kenapa-napa bawa ke rumah sakit langsung ya.’
Kondisi Emil? Emang Emil kenapa? Sewaktu gue periksa, dia dalam keadaan tidur di dalam mobil, waktu gue pegang dahinya panas banget. Mampus! Kejadian apa lagi sekarang?! Gue langsung telepon mbak Irma.
‘Halo, mbak?’ sapa gue.
‘Kenapa Wi?’
‘Ini mbak, Emil tiduran tapi panas banget dianya.’
‘Pinsan maksudmu?’
‘Nggak tau sih, kayaknya cuma tidur deh.’
‘Kamu periksalah pinsan apa cuma tidur!’
‘Mana aku tahu? Lagian gimana cara bedain orang pinsan sama orang tidur?’
‘Bawa ke Bethesda, kata mas Roni kamu udah tahu, kita ketemu disana.”
Tanpa ba-bi-bu langsung gue bawa mobil ke rumah sakit yang kemarin pernah dianterin mas Roni. Jujur, gue khawatir sama keadaan Emil. Jauh dari keluarga dan belum genap sebulan udah masuk rumah sakit dua kali. Gue rasa gue udah terlalu keras sama Emil, seharusnya gue bisa lebih lembut dan perhatian sama Emil. Gue menyesali perbuatan gue terhadap Emil tadi.
Tiba-tiba Emil mengigau, “Ak… Ak….”
“Mil, lo kenapa?” gue menggoyangkan tubuhnya.
“Aksee… Ak.”
Gue mendekatkan telinga gue.
“Aksesoriiiisss….”
Kampret! Sempet-sempetnya ini anak mikirin aksesoris! Gue meralat seluruh pemikiran gue tentang penyesalan udah keras sama Emil. Udah sewajarnya gue keras dan kejam terhadap Emil!
“Wi kamu betah nggak sih di kos ini?” tanya Emil
“Enggak!”
“Kenapa?”
“Ada lo.”
“Ish….” Emil mencubit pinggang gue.
“Oi… ntar nabrak ini mobil.”
Gue dan Emil lagi muter-muter nyari perlengkapan ospek buat Emil, sesuai janji gue. Karena daftar belanjaannya banyak, makanya gue pinjem mobil mas Roni. Dia baik banget ya sama orang yang baru di kenal beberapa hari? Nggak! Dia nitip dibeliin rokok satu slop dan minta bensinnya dipenuhin tanpa ngasih duit sepeser pun. Prinsip minta bantuan sama mas Roni tuh oke-oke-nyakitin. Ibarat nembak cewek, mas Roni tuh cewek yang nerima tembakan sambil bilang gini, ‘Iya… iya… kita jadian, tapi besok kalo matahari udah terbit dari barat.’ Jadian cuma sehari waktu hari kiamat, itu pun cuma di pake lari-larian di kejar gunung meletus.
Toko pertama yang kita datengin adalah toko pakaian. Emil bilang dia harus cari seragam buat ospek sesuai ketentuan ospek. Suatu kesalahan gue menjadikan toko pakaian sebagai tujuan pertama, waktu belanja seragam yang gue estimasikan tiga puluh menit berubah jadi nggak terhitung jumlahnya. Selain itu, selera belanjanya Emil ini rada-rada aneh, ibarat cowok dia itu cowok mata keranjang yang susah puasnya.
“Mil itu kemeja putihnya bagus kok, cocok di lo,” ucap gue.
“Nggak ah, bahannya nggak enak.” Dia melihat kemeja lain. “Wi, ini lucu ya.”
“Tapi kan kita nyari kemeja put—”
“Ah kamu tuh ya, kan mumpung disini!”
“Tapi kan Mi—”
“Sstttt! Udah kamu temenin aku aja.”
Setelah kaki gue capek ngikutin Emil muter-muter milih baju, dia akhirnya puas. YAAY!! Selesai dari toko pakaian gue segera mengatur siasat. Gue ambil daftar belanjaan Emil, gue ubah sedemikian rupa memprioritaskan yang penting dan nggak menghabiskan waktu banyak. Bisa-bisa waktu gue seharian cuma buat nemenin Emil belanja doang.
“Sekarang kita ke strober—”
“Nggak, sekarang kita cari taneman,” potong gue.
“Stroberi dulu dong Wi.”
“Lo mau beli apaan? Ospek lo suruh bawa aksesoris? Gila aja panitianya!”
“Kok kamu tau kalo itu toko aksesoris?”
“Gue punya adek cewek.” Gue memandang Emil. “Dan tiap kali dia kesana, gue ketinggalan film di bioskop.”
Emil terdiam, gue menang! Bisa naklukin cewek sampe bungkam kayak gini, rasanya tuh beeuuhhh! Bahagia banget!
Selama perjalanan ke toko taneman Emil cuma diem aja. Dia marah? Bodo! Yang penting gue bisa balik cepet. Emil cuma ngeliatin jalan sambil kadang-kadang chating di hapenya. Sesampainya di toko taneman Emil bilang dia agak pusing, jadi gue sendiri yang turun dari mobil. Nggak masalah, mungkin itu cuma alesan dia yang masih ngambek gara-gara tadi. Masalah taneman gue ini expert-nya, ratusan kali gue nemenin nyokap ke toko taneman, karena udah ratusan taneman nyokap yang mati gara-gara gue.
Selesai membeli pohon yang agak gedean dan agak asing, gue segera memasukkannya ke mobil. Belum jadi gue duduk di kursi sopir, gue dapet sms dari nomor mbak Irma, ‘Wi, gimana kondisi Emil? Kalo kenapa-napa bawa ke rumah sakit langsung ya.’
Kondisi Emil? Emang Emil kenapa? Sewaktu gue periksa, dia dalam keadaan tidur di dalam mobil, waktu gue pegang dahinya panas banget. Mampus! Kejadian apa lagi sekarang?! Gue langsung telepon mbak Irma.
‘Halo, mbak?’ sapa gue.
‘Kenapa Wi?’
‘Ini mbak, Emil tiduran tapi panas banget dianya.’
‘Pinsan maksudmu?’
‘Nggak tau sih, kayaknya cuma tidur deh.’
‘Kamu periksalah pinsan apa cuma tidur!’
‘Mana aku tahu? Lagian gimana cara bedain orang pinsan sama orang tidur?’
‘Bawa ke Bethesda, kata mas Roni kamu udah tahu, kita ketemu disana.”
Tanpa ba-bi-bu langsung gue bawa mobil ke rumah sakit yang kemarin pernah dianterin mas Roni. Jujur, gue khawatir sama keadaan Emil. Jauh dari keluarga dan belum genap sebulan udah masuk rumah sakit dua kali. Gue rasa gue udah terlalu keras sama Emil, seharusnya gue bisa lebih lembut dan perhatian sama Emil. Gue menyesali perbuatan gue terhadap Emil tadi.
Tiba-tiba Emil mengigau, “Ak… Ak….”
“Mil, lo kenapa?” gue menggoyangkan tubuhnya.
“Aksee… Ak.”
Gue mendekatkan telinga gue.
“Aksesoriiiisss….”
Kampret! Sempet-sempetnya ini anak mikirin aksesoris! Gue meralat seluruh pemikiran gue tentang penyesalan udah keras sama Emil. Udah sewajarnya gue keras dan kejam terhadap Emil!
JabLai cOY memberi reputasi
1


