Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Yaudah, gue mati aja

Cover By: kakeksegalatahu


Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.





Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue



emoticon-Bettyemoticon-Betty emoticon-Betty



----------




SECOND STORY VOTE:
A. #teambefore
B. #teamafter
C. #teamfuture

PREDIKSI KASKUSER = EMIL



----------



PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.



----------


Spoiler for QandA:


WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+



NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY


Spoiler for Ilustrasi:


Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.


Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
JabLai cOYAvatar border
mazyudyudAvatar border
xue.shanAvatar border
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#221
PART 27

Sudah gue duga sebelumnya! Pasti dia ada maunya! Nggak mungkin dia melakukan sesuatu tanpa mengharapkan balasan dari gue!

“Wi, kan kamu udah ada motor, besok anterin aku buat beli keperluan ospek ya,” ucap Emil.
“Lo kan bisa sendiri, lagipula kenapa harus sama gue?”
“Kan tadi pagi udah aku temenin ambil motor.” Dia nyengir ke arah gue.

Perlu di flashback ke belakang, Emil yang memaksa buat ikut, bukan gue yang minta. Kenapa jadi begini?!

“Maaaaaa, Dawi nggak mau nemenin nyari perlengkapan ospek!” teriak Emil.
“Ma?” gue bergidik. “Lo kenapa jadi minta bantuan mbak Irma?! Curang lo.”

Di saat mbak Irma dateng buat back up Emil buat babuin gue, di saat itu pula Mas Roni pulang dari kantornya.

“Mas! Bantuin aku, mereka mau babu-in aku lagi!” kata gue ke Mas Roni.

Mas Roni memandang ke arah kita bertiga.

“Kenapa mas? Mau belain itu kunyuk lagi?” tanya mbak Irma.
Mas Roni menggeleng. “Wi, tolong parkirin mobilku.”

Kampret! Bukannya bantuin malah ikutan babu-in gue. Mas Roni langsung masuk ke dalam kosan, meninggalkan gue dengan monster duo.

“Iyaaaaa, besok gue temenin,” gue menyerah.
“Nah, gitu dong,” kata mereka berdua serempak.
“Jatah makan gue seharian besok lo yang nanggung ya?” gue memarkirkan mobil mas Roni.
“Siap bos!” Emil menyanggupi.

Setelah memarkirkan mobil, gue habiskan sore gue dengan duduk di teras sambil menghisap rokok yang gue temuin di dasbor mobil Mas Roni. Gue meratapi nasib gue sebagai mahasiswa baru yang sekaligus merangkap babu di kosan gue. Walaupun akhir-akhir ini banyak terjadi kesialan pada hidup gue, tapi gue bersyukur karena pada hari ke-empat gue udah bisa sedekat ini dengan warga kosan. Maksud gue, belum tentu ada mahasiswa lain yang bisa seberuntung gue. Tentunya beruntung dalam tanda kutip.

Bertemu dengan Emil di hari pertama bisa bikin gue dapetin tumpangan taksi gratis, meski dia juga yang bikin gue kehilangan ojek gue. Kenal sama mas Roni bikin gue lebih ngerti Jogja dan ada orang bisa gue mintain tolong kalo lagi ada masalah, meski dia adalah sumber dari segala masalah finansial gue. Gimana dengan mbak Irma dan mbak-mbak yang ditinggal suaminya? Belum, gue belum begitu dekat sama mereka, meski belum begitu dekat mereka udah berani babuin gue.

Sore hari sewaktu gue lagi duduk santai sambil ngerokok dan ngopi, mbak Irma terlihat baru dateng dari beli belanjaan di indomerat.

“Nggak keluar?” Mbak Irma membuyarkan lamunan gue.
“Eh? Enggak mbak.” Gue mematikan rokok. “Nggak ada tujuan juga.”
“Kamu kuliah dimana sih dek? Sama kayak Emil?”
“Aku di *** mbak.”
“Ambil apa?” tanya mbak Irma.
“Ambil mangga.” Gue nyengir. “Nggak deng, ambil ilmu hukum.”
“Ide bagus.” Dia menunjuk pohon mangga. “Buru gih panjat.”
“Mbak, ini udah mau malem mbak,” ucap gue memelas. “Nggak keliatan kan mbak.”
“Emil, ambil senter di kamar Mama!” teriak mbak Irma ke dalam kosan.

Kampret! Niat gue pengin bercandain biar bisa akrab malah disuruh manjat pohon mangga beneran. Untungnya adzan maghrib segera berkumandang, gue terselamatkan, meski hanya untuk beberapa menit kedepan. Setelah maghrib jadilah gue manjat pohon mangga malem-malem. Mbak Irma asik ngobrol sama mbak-mbak yang ditinggal suaminya, sementara Emil megangin senter ke arah pohon. Ok, dia lebih sering ngarahin senter ke arah muka gue bikin gue silau daripada pohon.
JabLai cOY
JabLai cOY memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.