- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue
----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
Real or Fiction?
Sebenernya sih asli, tapi kalo ga percaya ya gapapa gan.
Ada bb+ nya ga gan?
Ada tapi ane sensor gan, takut kena timpuk bata.
Genrenya apa gan?
Non-fiksi, komedi.
Tahun berapa ini gan?
Tahun 2013 gan, pertama kali ane masuk kuliah.
Kok udah ada internet?
Yakali
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#172
PART 25
Nggak pernah terbayangkan kalo gue bakalan dibangunin terus sarapan sama cewek. Tentunya selain sama adek gue. Jujur, meskipun dia bener-bener nyebelin, tapi dia bener-bener cantik. Bahkan menurut gue dia cewek tercantik yang pernah gue temuin.
Pagi ini gue sarapan coto makasar sama Emil. Dia pake celana pendek selutut dengan hoodie berwarna biru muda. Rambutnya dibiarin tergerai dengan bando berwarna biru yang sama dengan jaket hoodienya. Kontras banget sama keadaan gue yang pagi ini keluar sarapan pake kaos pantai berwarna putih dan celana jeans pendek dengan sedikit sobek-sobek. Menurut gue ini badboy style. Menurut Emil ini lebih mirip gembel. Ok, gue akuin ini lebih cocok disebut bad gembel style.
“Hari ini mau kemana Wi?” tanya Emil.
“Rencana mau ambil motor di stasiun terus lanjutin cat kamar.” Gue membelah ketupat. “Cuma cat-nya udah abis duluan.”
“Mmmhh….”
“Mmmhh doang? Ini semua gara-gara karya seni lo tau,” sindir gue.
“Oh, mentang-mentang nggak lagi sama Mama mau bahas masalah cat lagi?” Emil nusuk-nusuk ketupat pake garpu.
Gue menelan ludah. “Nggak! Lupain!”
“Bahas lagi, ayoookk!” dia bersemangat.
Suatu kesalahan gue kembali mempermasalahkan cat kamar gue dengan Emil. Dua hari yang lalu, tepatnya siang hari setelah insiden sekasur dengan Emil gue di babuin sama Emil dan mbak Irma. Kamar yang seharusnya dibersihkan sendiri oleh Emil akhirnya gue yang bersihin. Bahkan sebelum itu gue disuruh metikin mangga dari pohon halaman kos. Setiap gue metik mangga yang salah, gue disuruh push up sepuluh kali. Dan setiap gue metik buah yang rasanya bener gue baru diijinin buat ngeliatin mereka makan. Hari itu gue bener-bener gempor segempor-gempornya.
“Aku ikut dong Wi,” pinta Emil.
“Nggak!”
“Pelit banget sih,” dia mencubit tangan gue. “Nanti aku gabut di kosan.”
“Emang gue peduli?”
Dia melototin gue.
“Emang lo pikir bakalan ngaruh gitu?” gue membuka ketupat yang kedua. “Sampe mata lo kering juga nggak ngaruh Mil.”
Dia masih melototin gue, tapi kali ini matanya berubah merah.
Gue masih tetap pada pendirian gue.
Kini matanya mengeluarkan air dengan disertai urat mata yang menebal.
Gue yang melihat itu jadi panik. Daripada nanti dia kenapa-napa terus gue juga yang repot akhirnya gue kabulkan permintaannya.
“Iyaaaaa... iya, lo boleh ikut.”
“Hihi, makasih Dawiiiiii.”
Selesai makan coto makasar kita berdua nggak balik ke kosan tapi langsung menuju stasiun. Di tengah jalan kita sempatkan mampir ke toko helm karena rencana motor bakal gue pake langsung buat balik ke kos. Jalan kaki? Mana mungkin Emil mau. Dia menghentikan taksi, tentunya tanpa berdiskusi dengan gue terlebih dahulu.
Nggak pernah terbayangkan kalo gue bakalan dibangunin terus sarapan sama cewek. Tentunya selain sama adek gue. Jujur, meskipun dia bener-bener nyebelin, tapi dia bener-bener cantik. Bahkan menurut gue dia cewek tercantik yang pernah gue temuin.
Pagi ini gue sarapan coto makasar sama Emil. Dia pake celana pendek selutut dengan hoodie berwarna biru muda. Rambutnya dibiarin tergerai dengan bando berwarna biru yang sama dengan jaket hoodienya. Kontras banget sama keadaan gue yang pagi ini keluar sarapan pake kaos pantai berwarna putih dan celana jeans pendek dengan sedikit sobek-sobek. Menurut gue ini badboy style. Menurut Emil ini lebih mirip gembel. Ok, gue akuin ini lebih cocok disebut bad gembel style.
“Hari ini mau kemana Wi?” tanya Emil.
“Rencana mau ambil motor di stasiun terus lanjutin cat kamar.” Gue membelah ketupat. “Cuma cat-nya udah abis duluan.”
“Mmmhh….”
“Mmmhh doang? Ini semua gara-gara karya seni lo tau,” sindir gue.
“Oh, mentang-mentang nggak lagi sama Mama mau bahas masalah cat lagi?” Emil nusuk-nusuk ketupat pake garpu.
Gue menelan ludah. “Nggak! Lupain!”
“Bahas lagi, ayoookk!” dia bersemangat.
Suatu kesalahan gue kembali mempermasalahkan cat kamar gue dengan Emil. Dua hari yang lalu, tepatnya siang hari setelah insiden sekasur dengan Emil gue di babuin sama Emil dan mbak Irma. Kamar yang seharusnya dibersihkan sendiri oleh Emil akhirnya gue yang bersihin. Bahkan sebelum itu gue disuruh metikin mangga dari pohon halaman kos. Setiap gue metik mangga yang salah, gue disuruh push up sepuluh kali. Dan setiap gue metik buah yang rasanya bener gue baru diijinin buat ngeliatin mereka makan. Hari itu gue bener-bener gempor segempor-gempornya.
“Aku ikut dong Wi,” pinta Emil.
“Nggak!”
“Pelit banget sih,” dia mencubit tangan gue. “Nanti aku gabut di kosan.”
“Emang gue peduli?”
Dia melototin gue.
“Emang lo pikir bakalan ngaruh gitu?” gue membuka ketupat yang kedua. “Sampe mata lo kering juga nggak ngaruh Mil.”
Dia masih melototin gue, tapi kali ini matanya berubah merah.
Gue masih tetap pada pendirian gue.
Kini matanya mengeluarkan air dengan disertai urat mata yang menebal.
Gue yang melihat itu jadi panik. Daripada nanti dia kenapa-napa terus gue juga yang repot akhirnya gue kabulkan permintaannya.
“Iyaaaaa... iya, lo boleh ikut.”
“Hihi, makasih Dawiiiiii.”
Selesai makan coto makasar kita berdua nggak balik ke kosan tapi langsung menuju stasiun. Di tengah jalan kita sempatkan mampir ke toko helm karena rencana motor bakal gue pake langsung buat balik ke kos. Jalan kaki? Mana mungkin Emil mau. Dia menghentikan taksi, tentunya tanpa berdiskusi dengan gue terlebih dahulu.
Diubah oleh dasadharma10 07-02-2016 05:40
JabLai cOY memberi reputasi
1