- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#52
PART 12
Sewaktu kereta berhenti di stasiun kota Cibitung, gue turun mengikuti penumpang yang lain juga turun. Menurut informasi yang gue dengar dari salah satu penumpang di seberang gue, kereta bakalan berhenti lama, jadi gue pikir sebaiknya gue memanfaatkan waktu untuk merokok di luar.
Gue duduk diluar sedikit jauh dari kereta. Nggak ada rasa takut ketinggalan kereta kerena yang merokok selain gue juga banyak. Jadi misalkan nanti beneran ketinggalan kereta, nanti kita bisa kejar rame-rame.
Kampret memang kampret, informasi dari penumpang di seberang gue ternyata salah. Terdengar pengumuman bahwa kereta akan segera melanjutkan perjalanan. Para penumpang segera kembali memasuki kereta. Segera gue patahin rokok gue dan masuk ke dalam kereta. Sayang kalo gue buang gitu aja, masih sekitar lima ratus rupiah.
Di dalam kereta gue lihat ada seorang cewek cakep lagi mondar-mandir, sepertinya dia sedang kebingungan mencari kursinya. Dengan sedikit modus, gue deketin cewek itu.
“Nyari kursi nomor berapa?” sapa gue.
“Ini,” ucapnya sambil menunjukkan tiket miliknya.
“Ini disebelah saya, tuh disitu,” gue menunjukkan kursinya.
Dia kemudian duduk di kursi dekat jendela disebelah gue sambil memangku tas bawaan yang sepertinya berat.
“Nggak ditaruh diatas aja?” tanya gue.
“Enggak.”
Gue duduk di kursi gue sendiri lalu kembali membuka netbook gue, melanjutkan film yang tadi gue tonton. Cewek di sebelah gue ikutan menonton film yang gue tonton. Seperti kebanyakan cowok lainnya, gue curi-curi pandang ke cewek yang ada disebelah gue. Menurut gue, dia termasuk kategori cantik berlebihan. Kenapa gue bilang cantik berlebihan? Karena dia cantiknya nggak nanggung-nanggung. Dia mirip sama Gita Gutawa. Menurut gue kalo di nilai dari kecantikan dia tuh sembilan. Dan semua itu natural banget, tanpa make up, bener-bener kelihatan alami banget cantiknya.
Cewek ini kelihatannya susah duduk karena masih terus memangku tasnya. Dan setiap kali dia gerak itu mengganggu banget. Udah gitu dia juga main ambil earphone gue seenak jidat. Meski gue masih pake satu earphone, gue nggak bisa dengerin film dengan jelas. Gimana mau dengerin suara film kalo yang gue denger, ‘Tembak di- greejess… grejeesss… jangan biarkan dia la- grejeesss… grejesss….’ Suara kereta lebih mendominasi kuping gue daripada earphone yang gue pake.
Konsentrasi gue ke film jadi nggak karuan. Lama-kelamaan gue dongkol juga. Gue lepas earphone yang gue pake, berharap dia merasa kalo gue mau earphone gue buat dibalikin. Bukannya dibalikin, dia malah pake earphone gue yang satu lagi. What a girl.
Posisi netbook tetep di pangkuan gue, tapi dia yang nonton dan dengerin film. Posisinya agak aneh, karena dia menatap selangkangan gue. Gue yang nggak tahan dengan posisi ini dan gerakan-gerakannya yang menggangu itu pun menarik tas yang dia pangku lalu menaikkannya ke atas.
Dan apa tindakan yang dia ambil ketika gue ambil tas dia? Tidak ada! Dia bener-bener nggak melakukan perlawan saat gue mengambil tasnya. Seolah-olah itu memang sudah wajar, dan sudah menjadi tugas gue.
Dia masih menonton film di netbook yang sekarang berada di pangkuannya, dan berada dalam kekuasaannya. Cewek ini kelihatan serius banget sama film yang ada di netbook gue. Kalo semisal gue bawa lari tas itu sepertinya dia nggak bakalan sadar. Setidaknya itu perkiraan gue.
“Kenapa ngeliatin kayak gitu?” tanyanya tiba-tiba.
“Ah… anu, itu… burung gede… iya, eh…” gue gelagapan.
“….” Dia melotot ke arah gue.
“Anu, kenapa mbak nggak kelihatan bingung waktu saya ambil tasnya? kan bisa aja saya bawa lari tas mbak,” kata gue
“Dosa!” dia melotot lebih besar.
“Ha? Mana ada maling peduli dosa,” komentar gue.
“Situ maling? Kalo iya ambil aja, bawa lari terus lompat sana keluar kereta. Lagian isinya cuma baju, bisa beli lagi.”
“Lhah, kalo cuma baju kenapa nggak daritadi ditaruh di atas?!” gue sedikit kesal.
“Nggak sampe,” jawabnya enteng.
Sewaktu kereta berhenti di stasiun kota Cibitung, gue turun mengikuti penumpang yang lain juga turun. Menurut informasi yang gue dengar dari salah satu penumpang di seberang gue, kereta bakalan berhenti lama, jadi gue pikir sebaiknya gue memanfaatkan waktu untuk merokok di luar.
Gue duduk diluar sedikit jauh dari kereta. Nggak ada rasa takut ketinggalan kereta kerena yang merokok selain gue juga banyak. Jadi misalkan nanti beneran ketinggalan kereta, nanti kita bisa kejar rame-rame.
Kampret memang kampret, informasi dari penumpang di seberang gue ternyata salah. Terdengar pengumuman bahwa kereta akan segera melanjutkan perjalanan. Para penumpang segera kembali memasuki kereta. Segera gue patahin rokok gue dan masuk ke dalam kereta. Sayang kalo gue buang gitu aja, masih sekitar lima ratus rupiah.
Di dalam kereta gue lihat ada seorang cewek cakep lagi mondar-mandir, sepertinya dia sedang kebingungan mencari kursinya. Dengan sedikit modus, gue deketin cewek itu.
“Nyari kursi nomor berapa?” sapa gue.
“Ini,” ucapnya sambil menunjukkan tiket miliknya.
“Ini disebelah saya, tuh disitu,” gue menunjukkan kursinya.
Dia kemudian duduk di kursi dekat jendela disebelah gue sambil memangku tas bawaan yang sepertinya berat.
“Nggak ditaruh diatas aja?” tanya gue.
“Enggak.”
Gue duduk di kursi gue sendiri lalu kembali membuka netbook gue, melanjutkan film yang tadi gue tonton. Cewek di sebelah gue ikutan menonton film yang gue tonton. Seperti kebanyakan cowok lainnya, gue curi-curi pandang ke cewek yang ada disebelah gue. Menurut gue, dia termasuk kategori cantik berlebihan. Kenapa gue bilang cantik berlebihan? Karena dia cantiknya nggak nanggung-nanggung. Dia mirip sama Gita Gutawa. Menurut gue kalo di nilai dari kecantikan dia tuh sembilan. Dan semua itu natural banget, tanpa make up, bener-bener kelihatan alami banget cantiknya.
Cewek ini kelihatannya susah duduk karena masih terus memangku tasnya. Dan setiap kali dia gerak itu mengganggu banget. Udah gitu dia juga main ambil earphone gue seenak jidat. Meski gue masih pake satu earphone, gue nggak bisa dengerin film dengan jelas. Gimana mau dengerin suara film kalo yang gue denger, ‘Tembak di- greejess… grejeesss… jangan biarkan dia la- grejeesss… grejesss….’ Suara kereta lebih mendominasi kuping gue daripada earphone yang gue pake.
Konsentrasi gue ke film jadi nggak karuan. Lama-kelamaan gue dongkol juga. Gue lepas earphone yang gue pake, berharap dia merasa kalo gue mau earphone gue buat dibalikin. Bukannya dibalikin, dia malah pake earphone gue yang satu lagi. What a girl.
Posisi netbook tetep di pangkuan gue, tapi dia yang nonton dan dengerin film. Posisinya agak aneh, karena dia menatap selangkangan gue. Gue yang nggak tahan dengan posisi ini dan gerakan-gerakannya yang menggangu itu pun menarik tas yang dia pangku lalu menaikkannya ke atas.
Dan apa tindakan yang dia ambil ketika gue ambil tas dia? Tidak ada! Dia bener-bener nggak melakukan perlawan saat gue mengambil tasnya. Seolah-olah itu memang sudah wajar, dan sudah menjadi tugas gue.
Dia masih menonton film di netbook yang sekarang berada di pangkuannya, dan berada dalam kekuasaannya. Cewek ini kelihatan serius banget sama film yang ada di netbook gue. Kalo semisal gue bawa lari tas itu sepertinya dia nggak bakalan sadar. Setidaknya itu perkiraan gue.
“Kenapa ngeliatin kayak gitu?” tanyanya tiba-tiba.
“Ah… anu, itu… burung gede… iya, eh…” gue gelagapan.
“….” Dia melotot ke arah gue.
“Anu, kenapa mbak nggak kelihatan bingung waktu saya ambil tasnya? kan bisa aja saya bawa lari tas mbak,” kata gue
“Dosa!” dia melotot lebih besar.
“Ha? Mana ada maling peduli dosa,” komentar gue.
“Situ maling? Kalo iya ambil aja, bawa lari terus lompat sana keluar kereta. Lagian isinya cuma baju, bisa beli lagi.”
“Lhah, kalo cuma baju kenapa nggak daritadi ditaruh di atas?!” gue sedikit kesal.
“Nggak sampe,” jawabnya enteng.
Diubah oleh dasadharma10 03-02-2016 10:57
JabLai cOY memberi reputasi
1


