- Beranda
- Stories from the Heart
Sometimes Love Just Ain't Enough
...
TS
jayanagari
Sometimes Love Just Ain't Enough
Halo, gue kembali lagi di Forum Stories From The Heart di Kaskus ini 
Semoga masih ada yang inget sama gue ya
Kali ini gue kembali lagi dengan sebuah cerita yang bukan gue sendiri yang mengalami, melainkan sahabat gue.
Semoga cerita gue ini bisa berkenan di hati para pembaca sekalian

Semoga masih ada yang inget sama gue ya

Kali ini gue kembali lagi dengan sebuah cerita yang bukan gue sendiri yang mengalami, melainkan sahabat gue.
Semoga cerita gue ini bisa berkenan di hati para pembaca sekalian


*note : cerita ini sudah seizin yang bersangkutan.
Quote:
Quote:
Diubah oleh jayanagari 24-04-2016 00:40
Dhekazama dan 8 lainnya memberi reputasi
9
420.9K
1.5K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jayanagari
#1028
PART 42
Dua minggu kemudian.
Gue sedang membongkar-bongkar lemari gue, dan memilih pakaian mana yang bakal gue bawa pulang mudik. Sambil mengabsen satu per satu baju yang ada, gue mencoba mengurutkan tingkat kesempurnaan baju gue. Dari yang paling bagus, yang udah agak molor, yang buluk sampe yang sobek di ketek. Untuk celana gue gak begitu banyak mikir karena gue cuma ada beberapa jeans, yang sebagian skinny, dan sebagian lain lagi sobek di dengkul. Nah, buat daleman gue tambah gak mikir lagi, tinggal sekop aja, trus masukin ke tas.
Setelah lumayan banyak baju yang gue masukin ke tas, dan gue sisakan untuk perjalanan pulang, gue membersihkan meja sebelum gue tinggalkan untuk beberapa waktu. Gue mengambil lap yang udah gue basahi sebelumnya, dan membersihkan debu yang nempel di setiap sudut meja itu. Gue juga membersihkan kipas angin yang entah kapan terakhir kali gue bersihkan. Sejam kemudian gue selesai membersihkan semuanya. Sambil beristirahat, gue duduk di depan kamar kos sambil merokok dan melamun. Mendadak gue teringat tiket kereta gue besok. Gue bergegas masuk kamar dan mengecek tiket yang ada di dompet. Tanpa sadar gue melihat foto Sherly yang sejak dulu selalu ada di dompet gue. Entah dimana dirinya sekarang.
Gue menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. Sambil merokok gue habiskan waktu untuk flashback sejauh yang gue bisa. Segala hal yang membekas di otak dan di hati gue. Gak lama kemudian gue mendengar handphone gue bergetar di dalam. Gue mengecek siapa yang menelpon. Ternyata Fira.
“halo?” sapa gue.
sunyi, gak ada suara di ujung sana.
“halo?” gue mengulangi.
“halo, Dhik. Lo dimana?” suaranya lirih, dan parau. Seperti bukan Fira. Gue penasaran apa yang terjadi kepadanya.
“gue di kosan. Kenapa Fir?” tanya gue cemas.
lagi-lagi sunyi.
“halo? lo kenapa Fir?" gue semakin cemas, dan mulai panik.
“….lo bisa kesini sekarang?” sahutnya lirih.
“iya iya, gue kesana. lo kenapa?”
mendadak terdengar suara seseorang memuntahkan sesuatu di ujung sana. seketika gue sadar bahwa Fira pasti lagi sakit. Tanpa pikir panjang lagi gue menyambar kunci motor, dan bergegas ke kosan Fira, tanpa memakai helm. Untung kosan Fira cukup dekat dengan kos gue, jadi dalam sekejap gue udah berada disana. Kali itu gue gak berpikir apa-apa lagi dan langsung masuk ke dalam kosan khusus cewek itu. Untungnya gue udah tahu dimana kamar Fira, karena beberapa waktu lalu dia tanpa sengaja menceritakannya ke gue.
Kos-kosan itu kosong sepertinya, barangkali penghuni lainnya udah pada mudik ke kampung halaman masing-masing karena bulan Ramadhan ini mulai memasuki minggu ketiga. Gue mengetuk pintu kamar Fira.
“masuk…” terdengar suara lirih dari balik pintu.
gue membuka pintu dan terkejut dengan keadaan Fira. Dia berwajah pucat dan terlihat lemas.
“lo kenapa Fir?” gue berlutut di sebelah kasurnya, dan memegang dahinya. Panas banget.
“badan lo panas banget, lo kenapa?” tanya gue lagi.
Fira menggeleng dan memandangi gue dengan memelas.
“gak tau, Dhik… tadi siang gue mulai ngerasa gak enak badan. Terus gue tidur, tapi ternyata perut gue sakit banget. Sampe muntah-muntah juga….” Fira menarik selimutnya dan tangannya memegangi tangan gue.
“iya lo panas banget nih.” gue memegangi tangannya yang masih memegang tangan gue. “ke dokter ya?”
Fira menggeleng.
“gak usah, Dhik….”
Gue memandanginya tajam. “Enggak. Lo harus ke dokter. Sakit lo udah parah ini, harus cepet diobatin. Gue telponin taksi dulu bentar.” gue beranjak berdiri dan keluar kamar Fira untuk menelpon taksi.
Gue kemudian masuk lagi setelah menelpon. “Udah gue telponin taksi. Paling bentar lagi kesini, lo kuat berdiri?”
“masih kuat sih, cuma kalo berdiri rasanya muter semua…” Fira menyibakkan selimutnya, dan berusaha bangkit duduk. Gue membantunya untuk duduk dan kemudian gue duduk di sampingnya.
“lo kuat dandan? kalo gak kuat, ganti baju sama sisiran aja gih. mau digimana-gimanain juga muka lo muka orang sakit.” komentar gue sambil sesekali mengecek panas di dahinya lagi.
Fira menoleh dan memandangi gue dengan dongkol. “ah elo mah, orang sakit gini masih aja diledekin. Kejem lo…”
gue tertawa. “loh enggak, kan emang gitu kenyataannya. Hehehe…”
Fira mendengus dan mencibir. Rambutnya yang acak-acakan dan wajahnya yang pucat justru menimbulkan kesan yang manis buat gue.
“bzzzt, ya udah lo keluar dulu sana, gue mau ganti baju…” Fira bersungut-sungut sambil menggulung-gulung selimut di pangkuannya sendiri.
Gue tertawa geli dan menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuannya.
“iyaiya gue keluar….” gue beranjak keluar dan menutup pintu, kemudian menunggunya di ruang tengah kos-kosan.
Beberapa waktu gue menunggunya, dan sesekali terdengar suaranya terbatuk-batuk dari dalam kamar. Akhirnya dia keluar dari kamar dengan mengenakan sweater tebal berwarna coklat, dan rambutnya tergerai rapi, meskipun itu gak menyembunyikan wajahnya yang pucat.
“mana taksinya?” Fira duduk di sofa di samping gue.
“bentar lagi paling, lo udah bawa dompet?”
Fira menaikkan alisnya.
“berarti puasa lo batal dong?” tanya gue lagi.
“iyalah, gak tau deh mungkin salah makan gue kemaren. Atau ada virus apa gitu yang masuk…” Fira merapikan rambutnya dengan sebelah tangan kemudian mengamati gue, “lo kok juga pucet Dhik?”
gue memegang-megang pipi sendiri, “ah enggak, pucet darimananya? gue sehat-sehat aja kok.” sahut gue pelan.
“lo tadi pas buka udah makan belom sih?” sergahnya.
gue mengangguk pelan, “udah kok,” gue meringis, “meskipun cuma mie rebus.”
Fira mendelik, “loh? kok cuma mie rebus?”
gue mengangkat bahu, “seadanya. yang penting makan kan? lagian ntar malem paling gue makan lagi kok.”
Diluar dugaan gue, mendadak Fira bangkit dari duduk, dan berjalan menuju meja makan yang biasa digunakan penghuni kos-kosan itu. Dia membuka tudung saji, dan menemukan ada beberapa jenis makanan disitu. Dia menoleh ke gue.
“ntar abis dari dokter lo makan disini ya.” perintahnya.
“iyaaa…” gue sengaja mengiyakan omongannya, karena gue tahu kalo gak diiyain bakal panjang urusannya, dan gue lagi males berdebat.
“beneran gak?”
“iyaaa….”
“bener ya?”
“iya ah, udah gue bilang dari tadi juga, bawel amat sih….”
“ah lo mah… perhatian dikit gak boleh ya?” Fira ngambek.
gue memutar bola mata ke atas, dan mendengus, “jangan cuma dikit kalo gitu.” sahut gue pelan.
“apa tadi?”
“ah enggak, gakpapa….” gue tersenyum sendiri.
“ish, elo mah gitu…”
Menjelang tengah malam, akhirnya kami berdua sampai di kosan Fira lagi. Diagnosa dokter, Fira terkena maag yang lumayan parah, dan menyebabkan lambungnya sedikit infeksi. Sepertinya gara-gara pola makannya yang kurang teratur di bulan puasa ini. Gue berkeras besok dia gak usah puasa dulu, dan dokter mengamininya. Mau gak mau Fira jadi nurut sama gue untuk gak berpuasa besok. Sebelum pulang tadi kami berdua sempet mampir buat beli bubur ayam hasil rekomendasi Bas.
Gue menemani Fira makan bubur di sofa tadi, sambil menonton acara TV berdua. Gue kemudian mengamati kamar-kamar di sekeliling kami.
“udah pada mudik ya?” gue celingukan melihat deretan pintu kamar yang tertutup.
“iya sebagian udah pada balik sih, cuma masih ada juga kok yang disini,” Fira melahap sesendok bubur, “gue juga gak mau kali, sendirian di kosan.”
“angker gak sih?” pancing gue.
raut muka Fira langsung berubah.
“udah deh gak usah nakut-nakutin! orang lagi sakit gini juga masih ditakut-takutin…” sungutnya sambil cemberut.
gue tertawa-tawa, dan itu sukses membuat Fira semakin cemberut.
“udah gak usah takut, kan ada gue?” hibur gue.
“justru elo tuh yang paling nakutin.” Fira menunjuk hidung gue.
“kok?”
“ngabis-abisin makanan.”
“yaudah gue muntahin lagi nih makanannya.” gue membungkuk berpura-pura muntah.
“eh eh eh, enak aja lo muntah disini….” cegahnya sambil menahan bahu gue. Gue tertawa-tawa gak jelas, sementara Fira mendengus pelan. Ah, malem ini cukup aneh menurut gue.
“lo balik kapan?” tanyanya tiba-tiba.
“besok…”
“yaaah, gue ditinggal dong.” kekecewaan tampak jelas di raut wajahnya.
“baru besok malem gue pulang….” gue mencoba menghiburnya.
“ya sama aja…”
“lo pulang kapan?”
Fira mengangkat bahu, “gak tau…”
“kok gak tau?” gue menoleh dan menatapnya, “lo udah beli tiket?”
“belom juga….”
“emang lo gak dicariin bokap nyokap?” gue bertanya hati-hati.
Fira gak menjawab. Tapi sebagai gantinya justru malah air mata mengalir pelan di pipinya. Gue terkejut, dan merasa bersalah, seandainya ada perkataan gue yang menyinggung perasaannya dan membuatnya menangis.
“lo kenapa nangis?” gue sentuh bahunya perlahan.
Tanpa gue duga tangisnya meledak, dan dia menubruk dada gue, menangis di dada gue.
Dua minggu kemudian.
Gue sedang membongkar-bongkar lemari gue, dan memilih pakaian mana yang bakal gue bawa pulang mudik. Sambil mengabsen satu per satu baju yang ada, gue mencoba mengurutkan tingkat kesempurnaan baju gue. Dari yang paling bagus, yang udah agak molor, yang buluk sampe yang sobek di ketek. Untuk celana gue gak begitu banyak mikir karena gue cuma ada beberapa jeans, yang sebagian skinny, dan sebagian lain lagi sobek di dengkul. Nah, buat daleman gue tambah gak mikir lagi, tinggal sekop aja, trus masukin ke tas.
Setelah lumayan banyak baju yang gue masukin ke tas, dan gue sisakan untuk perjalanan pulang, gue membersihkan meja sebelum gue tinggalkan untuk beberapa waktu. Gue mengambil lap yang udah gue basahi sebelumnya, dan membersihkan debu yang nempel di setiap sudut meja itu. Gue juga membersihkan kipas angin yang entah kapan terakhir kali gue bersihkan. Sejam kemudian gue selesai membersihkan semuanya. Sambil beristirahat, gue duduk di depan kamar kos sambil merokok dan melamun. Mendadak gue teringat tiket kereta gue besok. Gue bergegas masuk kamar dan mengecek tiket yang ada di dompet. Tanpa sadar gue melihat foto Sherly yang sejak dulu selalu ada di dompet gue. Entah dimana dirinya sekarang.
Gue menggelengkan kepala dan menghela napas panjang. Sambil merokok gue habiskan waktu untuk flashback sejauh yang gue bisa. Segala hal yang membekas di otak dan di hati gue. Gak lama kemudian gue mendengar handphone gue bergetar di dalam. Gue mengecek siapa yang menelpon. Ternyata Fira.
“halo?” sapa gue.
sunyi, gak ada suara di ujung sana.
“halo?” gue mengulangi.
“halo, Dhik. Lo dimana?” suaranya lirih, dan parau. Seperti bukan Fira. Gue penasaran apa yang terjadi kepadanya.
“gue di kosan. Kenapa Fir?” tanya gue cemas.
lagi-lagi sunyi.
“halo? lo kenapa Fir?" gue semakin cemas, dan mulai panik.
“….lo bisa kesini sekarang?” sahutnya lirih.
“iya iya, gue kesana. lo kenapa?”
mendadak terdengar suara seseorang memuntahkan sesuatu di ujung sana. seketika gue sadar bahwa Fira pasti lagi sakit. Tanpa pikir panjang lagi gue menyambar kunci motor, dan bergegas ke kosan Fira, tanpa memakai helm. Untung kosan Fira cukup dekat dengan kos gue, jadi dalam sekejap gue udah berada disana. Kali itu gue gak berpikir apa-apa lagi dan langsung masuk ke dalam kosan khusus cewek itu. Untungnya gue udah tahu dimana kamar Fira, karena beberapa waktu lalu dia tanpa sengaja menceritakannya ke gue.
Kos-kosan itu kosong sepertinya, barangkali penghuni lainnya udah pada mudik ke kampung halaman masing-masing karena bulan Ramadhan ini mulai memasuki minggu ketiga. Gue mengetuk pintu kamar Fira.
“masuk…” terdengar suara lirih dari balik pintu.
gue membuka pintu dan terkejut dengan keadaan Fira. Dia berwajah pucat dan terlihat lemas.
“lo kenapa Fir?” gue berlutut di sebelah kasurnya, dan memegang dahinya. Panas banget.
“badan lo panas banget, lo kenapa?” tanya gue lagi.
Fira menggeleng dan memandangi gue dengan memelas.
“gak tau, Dhik… tadi siang gue mulai ngerasa gak enak badan. Terus gue tidur, tapi ternyata perut gue sakit banget. Sampe muntah-muntah juga….” Fira menarik selimutnya dan tangannya memegangi tangan gue.
“iya lo panas banget nih.” gue memegangi tangannya yang masih memegang tangan gue. “ke dokter ya?”
Fira menggeleng.
“gak usah, Dhik….”
Gue memandanginya tajam. “Enggak. Lo harus ke dokter. Sakit lo udah parah ini, harus cepet diobatin. Gue telponin taksi dulu bentar.” gue beranjak berdiri dan keluar kamar Fira untuk menelpon taksi.
Gue kemudian masuk lagi setelah menelpon. “Udah gue telponin taksi. Paling bentar lagi kesini, lo kuat berdiri?”
“masih kuat sih, cuma kalo berdiri rasanya muter semua…” Fira menyibakkan selimutnya, dan berusaha bangkit duduk. Gue membantunya untuk duduk dan kemudian gue duduk di sampingnya.
“lo kuat dandan? kalo gak kuat, ganti baju sama sisiran aja gih. mau digimana-gimanain juga muka lo muka orang sakit.” komentar gue sambil sesekali mengecek panas di dahinya lagi.
Fira menoleh dan memandangi gue dengan dongkol. “ah elo mah, orang sakit gini masih aja diledekin. Kejem lo…”
gue tertawa. “loh enggak, kan emang gitu kenyataannya. Hehehe…”
Fira mendengus dan mencibir. Rambutnya yang acak-acakan dan wajahnya yang pucat justru menimbulkan kesan yang manis buat gue.
“bzzzt, ya udah lo keluar dulu sana, gue mau ganti baju…” Fira bersungut-sungut sambil menggulung-gulung selimut di pangkuannya sendiri.
Gue tertawa geli dan menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuannya.
“iyaiya gue keluar….” gue beranjak keluar dan menutup pintu, kemudian menunggunya di ruang tengah kos-kosan.
Beberapa waktu gue menunggunya, dan sesekali terdengar suaranya terbatuk-batuk dari dalam kamar. Akhirnya dia keluar dari kamar dengan mengenakan sweater tebal berwarna coklat, dan rambutnya tergerai rapi, meskipun itu gak menyembunyikan wajahnya yang pucat.
“mana taksinya?” Fira duduk di sofa di samping gue.
“bentar lagi paling, lo udah bawa dompet?”
Fira menaikkan alisnya.
“berarti puasa lo batal dong?” tanya gue lagi.
“iyalah, gak tau deh mungkin salah makan gue kemaren. Atau ada virus apa gitu yang masuk…” Fira merapikan rambutnya dengan sebelah tangan kemudian mengamati gue, “lo kok juga pucet Dhik?”
gue memegang-megang pipi sendiri, “ah enggak, pucet darimananya? gue sehat-sehat aja kok.” sahut gue pelan.
“lo tadi pas buka udah makan belom sih?” sergahnya.
gue mengangguk pelan, “udah kok,” gue meringis, “meskipun cuma mie rebus.”
Fira mendelik, “loh? kok cuma mie rebus?”
gue mengangkat bahu, “seadanya. yang penting makan kan? lagian ntar malem paling gue makan lagi kok.”
Diluar dugaan gue, mendadak Fira bangkit dari duduk, dan berjalan menuju meja makan yang biasa digunakan penghuni kos-kosan itu. Dia membuka tudung saji, dan menemukan ada beberapa jenis makanan disitu. Dia menoleh ke gue.
“ntar abis dari dokter lo makan disini ya.” perintahnya.
“iyaaa…” gue sengaja mengiyakan omongannya, karena gue tahu kalo gak diiyain bakal panjang urusannya, dan gue lagi males berdebat.
“beneran gak?”
“iyaaa….”
“bener ya?”
“iya ah, udah gue bilang dari tadi juga, bawel amat sih….”
“ah lo mah… perhatian dikit gak boleh ya?” Fira ngambek.
gue memutar bola mata ke atas, dan mendengus, “jangan cuma dikit kalo gitu.” sahut gue pelan.
“apa tadi?”
“ah enggak, gakpapa….” gue tersenyum sendiri.
“ish, elo mah gitu…”
Menjelang tengah malam, akhirnya kami berdua sampai di kosan Fira lagi. Diagnosa dokter, Fira terkena maag yang lumayan parah, dan menyebabkan lambungnya sedikit infeksi. Sepertinya gara-gara pola makannya yang kurang teratur di bulan puasa ini. Gue berkeras besok dia gak usah puasa dulu, dan dokter mengamininya. Mau gak mau Fira jadi nurut sama gue untuk gak berpuasa besok. Sebelum pulang tadi kami berdua sempet mampir buat beli bubur ayam hasil rekomendasi Bas.
Gue menemani Fira makan bubur di sofa tadi, sambil menonton acara TV berdua. Gue kemudian mengamati kamar-kamar di sekeliling kami.
“udah pada mudik ya?” gue celingukan melihat deretan pintu kamar yang tertutup.
“iya sebagian udah pada balik sih, cuma masih ada juga kok yang disini,” Fira melahap sesendok bubur, “gue juga gak mau kali, sendirian di kosan.”
“angker gak sih?” pancing gue.
raut muka Fira langsung berubah.
“udah deh gak usah nakut-nakutin! orang lagi sakit gini juga masih ditakut-takutin…” sungutnya sambil cemberut.
gue tertawa-tawa, dan itu sukses membuat Fira semakin cemberut.
“udah gak usah takut, kan ada gue?” hibur gue.
“justru elo tuh yang paling nakutin.” Fira menunjuk hidung gue.
“kok?”
“ngabis-abisin makanan.”
“yaudah gue muntahin lagi nih makanannya.” gue membungkuk berpura-pura muntah.
“eh eh eh, enak aja lo muntah disini….” cegahnya sambil menahan bahu gue. Gue tertawa-tawa gak jelas, sementara Fira mendengus pelan. Ah, malem ini cukup aneh menurut gue.
“lo balik kapan?” tanyanya tiba-tiba.
“besok…”
“yaaah, gue ditinggal dong.” kekecewaan tampak jelas di raut wajahnya.
“baru besok malem gue pulang….” gue mencoba menghiburnya.
“ya sama aja…”
“lo pulang kapan?”
Fira mengangkat bahu, “gak tau…”
“kok gak tau?” gue menoleh dan menatapnya, “lo udah beli tiket?”
“belom juga….”
“emang lo gak dicariin bokap nyokap?” gue bertanya hati-hati.
Fira gak menjawab. Tapi sebagai gantinya justru malah air mata mengalir pelan di pipinya. Gue terkejut, dan merasa bersalah, seandainya ada perkataan gue yang menyinggung perasaannya dan membuatnya menangis.
“lo kenapa nangis?” gue sentuh bahunya perlahan.
Tanpa gue duga tangisnya meledak, dan dia menubruk dada gue, menangis di dada gue.
Diubah oleh jayanagari 01-02-2016 23:26
pulaukapok dan 3 lainnya memberi reputasi
4