- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#41
PART 10
Selesai belanja kita menghampiri bokap yang lagi ngobrol sama tukang parkir. Gue membuka snack pillow warna kuning kemudian memakannya.
Inah yang mengetahui bahwa itu snacknya langsung merebut snack itu, “Ini kan punya Mut!”
“Berdua ... kalo lo makan sendiri ntar gendut,” sindir gue.
“Biarin!” dia menutup zip lock snacknya. “Foto yuk kak!”
“Boleh, pake hape lo aja, biar fotonya bagusan,” usul gue.
“Pak, bisa minta tolong fotoin?” tanya Inah pada tukang parkir disebelah bokap.
“Oh, bisa-bisa, mau dimana?” kata tukang parkir itu.
Kita berempat berfoto berlatarkan stasiun kota Bekasi, dengan menghentikan orang-orang yang sedang berlalu-lalang sebentar. Oke, itu bukan waktu yang sebentar. Kita berkali-kali mengulang foto karena hasilnya kurang memuaskan. Gue sendiri juga sempat bingung kenapa hasil foto jadi blur. Seolah-olah menandakan kehadiran makhluk halus disekitar kita.
Ternyata pemikiran gue salah. Selidik punya selidik, ternyata itu bukan karena makhluk halus, lebih tepatnya itu disebabkan oleh makhluk getar. Tangan bapak tukang parkir itu bergetar sangat kencang. Mungkin 7,4 skala richter. Dan mungkin juga si bapak mengidap penyakit tremors stadium paling tinggi.
Selesai berfoto kita segera menuju pintu pemeriksaan, karena kereta yang akan membawa gue ke Jogja akan segera berangkat. Sewaktu gue udah di depan petugas pemeriksa tiket, tiba-tiba kepanikan terjadi. KTP gue nyelip nggak tau dimana.
“Nggak ketinggalan di rumah kan Wi?” tanya bokap.
“Tadi waktu di mobil sempat Dawi lihat ada kok pa,” terang gue.
“Coba di cek di saku atas mas,” usul petugas pemeriksa.
“Udah pak, nggak ada,” kata gue tetap tenang.
“Coba cek di saku bawah mas,” kata si petugas lagi.
“Nggak ada juga pak.”
“Coba cek saku atas dan saku bawah mas,” kata petugas yang sama.
“BAPAK MENDING DIEM AJA!” gue bentak dia.
“Dawi, bapaknya kan cuma nyoba bantuin kamu,” sahut nyokap.
“Abis bapaknya ngeselin ma,” ucap gue.
“Iya nih, bapaknya ngaco banget,” timpal Inah. “Bapak mending diem aja deh, kakak saya pernah mukulin petugas bandara lhoh.”
Petugas itu menelan ludah.
“Padahal waktu itu banyak petugas keamanan,” lanjut Inah. “Eh, sekarang nggak ada petugas keamanan bapak malah mancing-mancing.”
“KETEMU!” seru gue.
Ternyata KTP gue ada di kantung kecil bagian belakang tas gue. Setelah petugas yang sarap tadi memeriksa tiket dan kartu identitas, gue dipersilahkan masuk. Karena gue masih kesel sama itu petugas, gue mengajaknya selfie bareng Inah.
“Ini foto mau diapain kak?” tanya Inah.
“Terserah lo aja deh Nah, bakar sehapenya juga nggak masalah,” balas gue.
Inah manyun, "Yakeleeuss."
Gue mencium tangan kedua orang tua gue dan mencium pipi mereka. Khusus Inah gue kasih jitakan spesial yang bakal dia kangenin. Gue berjalan mundur meninggalkan mereka. Dari kejauhan gue lihat nyokap dan Inah menangis di pelukan bokap. Melihat kejadian itu gue jadi nggak pengin berangkat. Tapi kalo gue nggak berangkat, sayang juga kalo tiketnya hangus, jadi gue tetep berangkat.
Menurut gue, pemikiran gue di mobil tadi egois banget. Nggak seharusnya gue kesel karena mereka mau pergi seneng-seneng. Nggak seharusnya juga gue berpikir yang enggak-enggak tentang mereka. Sudah sewajarnya orang yang ditinggalkan mencari kesibukan dan kesenangan untuk melupakan dan menghilangkan rasa sepi ketika ditinggalkan. Harusnya gue mendukung kegiatan keluarga gue itu, bukannya malah pengin ditangisin kayak gini.
Selesai belanja kita menghampiri bokap yang lagi ngobrol sama tukang parkir. Gue membuka snack pillow warna kuning kemudian memakannya.
Inah yang mengetahui bahwa itu snacknya langsung merebut snack itu, “Ini kan punya Mut!”
“Berdua ... kalo lo makan sendiri ntar gendut,” sindir gue.
“Biarin!” dia menutup zip lock snacknya. “Foto yuk kak!”
“Boleh, pake hape lo aja, biar fotonya bagusan,” usul gue.
“Pak, bisa minta tolong fotoin?” tanya Inah pada tukang parkir disebelah bokap.
“Oh, bisa-bisa, mau dimana?” kata tukang parkir itu.
Kita berempat berfoto berlatarkan stasiun kota Bekasi, dengan menghentikan orang-orang yang sedang berlalu-lalang sebentar. Oke, itu bukan waktu yang sebentar. Kita berkali-kali mengulang foto karena hasilnya kurang memuaskan. Gue sendiri juga sempat bingung kenapa hasil foto jadi blur. Seolah-olah menandakan kehadiran makhluk halus disekitar kita.
Ternyata pemikiran gue salah. Selidik punya selidik, ternyata itu bukan karena makhluk halus, lebih tepatnya itu disebabkan oleh makhluk getar. Tangan bapak tukang parkir itu bergetar sangat kencang. Mungkin 7,4 skala richter. Dan mungkin juga si bapak mengidap penyakit tremors stadium paling tinggi.
Selesai berfoto kita segera menuju pintu pemeriksaan, karena kereta yang akan membawa gue ke Jogja akan segera berangkat. Sewaktu gue udah di depan petugas pemeriksa tiket, tiba-tiba kepanikan terjadi. KTP gue nyelip nggak tau dimana.
“Nggak ketinggalan di rumah kan Wi?” tanya bokap.
“Tadi waktu di mobil sempat Dawi lihat ada kok pa,” terang gue.
“Coba di cek di saku atas mas,” usul petugas pemeriksa.
“Udah pak, nggak ada,” kata gue tetap tenang.
“Coba cek di saku bawah mas,” kata si petugas lagi.
“Nggak ada juga pak.”
“Coba cek saku atas dan saku bawah mas,” kata petugas yang sama.
“BAPAK MENDING DIEM AJA!” gue bentak dia.
“Dawi, bapaknya kan cuma nyoba bantuin kamu,” sahut nyokap.
“Abis bapaknya ngeselin ma,” ucap gue.
“Iya nih, bapaknya ngaco banget,” timpal Inah. “Bapak mending diem aja deh, kakak saya pernah mukulin petugas bandara lhoh.”
Petugas itu menelan ludah.
“Padahal waktu itu banyak petugas keamanan,” lanjut Inah. “Eh, sekarang nggak ada petugas keamanan bapak malah mancing-mancing.”
“KETEMU!” seru gue.
Ternyata KTP gue ada di kantung kecil bagian belakang tas gue. Setelah petugas yang sarap tadi memeriksa tiket dan kartu identitas, gue dipersilahkan masuk. Karena gue masih kesel sama itu petugas, gue mengajaknya selfie bareng Inah.
“Ini foto mau diapain kak?” tanya Inah.
“Terserah lo aja deh Nah, bakar sehapenya juga nggak masalah,” balas gue.
Inah manyun, "Yakeleeuss."
Gue mencium tangan kedua orang tua gue dan mencium pipi mereka. Khusus Inah gue kasih jitakan spesial yang bakal dia kangenin. Gue berjalan mundur meninggalkan mereka. Dari kejauhan gue lihat nyokap dan Inah menangis di pelukan bokap. Melihat kejadian itu gue jadi nggak pengin berangkat. Tapi kalo gue nggak berangkat, sayang juga kalo tiketnya hangus, jadi gue tetep berangkat.
Menurut gue, pemikiran gue di mobil tadi egois banget. Nggak seharusnya gue kesel karena mereka mau pergi seneng-seneng. Nggak seharusnya juga gue berpikir yang enggak-enggak tentang mereka. Sudah sewajarnya orang yang ditinggalkan mencari kesibukan dan kesenangan untuk melupakan dan menghilangkan rasa sepi ketika ditinggalkan. Harusnya gue mendukung kegiatan keluarga gue itu, bukannya malah pengin ditangisin kayak gini.
End of chapter 1
Diubah oleh dasadharma10 04-02-2016 22:02
JabLai cOY memberi reputasi
1


