Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Yaudah, gue mati aja

Cover By: kakeksegalatahu


Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.





Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue



emoticon-Bettyemoticon-Betty emoticon-Betty



----------




SECOND STORY VOTE:
A. #teambefore
B. #teamafter
C. #teamfuture

PREDIKSI KASKUSER = EMIL



----------



PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.



----------


Spoiler for QandA:


WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+



NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY


Spoiler for Ilustrasi:


Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.


Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
JabLai cOYAvatar border
mazyudyudAvatar border
xue.shanAvatar border
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#32
PART 7

Sesampainya di rumah, bokap memasukkan mobil ke garasi dan gue menurunkan barang-barang belanjaan. Setelah meletakkan barang belanjaan di meja ruang tengah, nyokap memerintahkan gue untuk mengemasi barang bawaan gue nanti. Karena gue benar-benar awam masalah berpergian jauh makanya gue googling, mencari tahu apa yang harus gue bawa. Sambil menunggu loading data internet yang super lelet, gue pergi ke kamar Inah yang seharusnya sedang ganti baju.

“Nah, masakin yang kemarin lo bikin buat Sigit dong,” kata gue membuka pintu.
“Mut doain kakak bintitan!” teriak Inah.
“Terserah, pokoknya masakin gue.”
“Mau dimasakin apa sih?” dia menutup lemari pakaian.
“Itu yang merah-merah kemarin,” terang gue.
“Apa sih? Mie bumbu balsem?” tanya Inah.
“Ha? Bukanlah Nah.”
“Terus apaan?”
“Rasanya,”
“Ha? Apaan?” alis Inah naik sebelah.
“RASANYAAAA!” ucap gue.
“Hahaha,” Inah ketawa ngakak. “Itu lasagna kak Dawi, udah jelek kamseupay juga, hahaha.”
“Terserah lo deh, pokoknya itu,” gue keluar dari kamar Inah. “Buruan Nah, gue abis maghrib berangkat nih, bahannya udah gue beliin tadi.”

Keluar dari kamar Inah, gue berjalan menuju kamar gue sendiri. Menurut web yang gue buka, sebenarnya ada banyak barang yang bisa gue bawa. Tapi itu semua hanya benda-benda yang merepotkan, dan gue bukan orang yang mau repot. Jadi gue hanya membawa beberapa pakaian, sebuah bantal leher dan sebuah tas ransel kecil lalu tas itu gue isi netbook. Semua barang bakalan dipaketin sama Nyokap jadi gue nggak perlu mikirin benda merepotkan lainnya.

Di dapur gue lihat si Inah lagi ngerjain tugasnya sebagai koki pribadi, memasak lasagna buat gue. Terakhir kali dia masakin lasagna buat Kakak sih enak, jadi gue yakin kali ini bakalan enak juga. Bokap lagi ngerjain laporan keuangan renovasi makam kekurahan, karena selain sebagai ketua RW, bokap merupakan orang kepercayaan pak Lurah dan sekarang dia ditugasi menjadi bendahara pembangunan makam. Nyokap sedang berada di teras rumah mengobrol sama nenek tetangga sebelah rumah yang nggak tahu kapan datengnya.
Karena gue nggak ada kerjaan, gue samperin Inah.

“Masih lama Nah?”
“Udah nih dah jadi, makan aja,” ucapnya menyodorkan daging cincang ke depan gue.

Gue dorong kembali daging cincang bahan lasagna pada Inah.

“Nggak usah malu-malu gitu, biasa juga doyan.”
“Yakali lo punya kakak serigala,” kata gue.
“Oh emangnya bukan?” ledeknya.
“Hmmhh.” Gue keluarkan hape dan menelepon.
“Mau telepon siapa?” tanya Inah.
“Kepo amat.”
“Yaudah masak sendiri nih!”
“Telepon Sigit, mau kasih tau kalo nanti sore gue berangkat.”

Inah melanjutkan masak dan gue menunggu orang di seberang sana menjawab telepon. Setelah sekian lama menunggu kakak gue buat angkat telepon, akhirnya gue kesel sendiri karena nggak ada jawaban. Gue akhiri telepon lalu memasukan kembali hape ke dalam saku.

“Nggak diangkat ya? Duh kasian,” sindir Inah.
“Diem! Sini gue bantuin masaknya Nah?” Gue menyalakan oven.
“Ma! Kak Dawi mau ngeledakin rumah!” seru Inah.
“Dawi jauh-jauh dari dapur!” teriak nyokap dari luar rumah.
“….”
“Taukan apa jawaban Mut?”

Setelah gue jitak kepala Inah, gue pergi meninggalkan dia. Berpindahlah gue berjalan ke arah bokap yang lagi menghitung uang. Kelihatannya itu bukan uang pribadi tapi uang kas RW. Bagaimana gue bisa tahu? Karena keluarga gue menganut faham 'all money belong to mom'. Jadi bokap nggak pernah pegang duit, semuanya dibawa sama nyokap.

“Stop!” kata bokap.
Gue berhenti.
“Tadi Papa jatuhin paku pines disitu,” tambah bokap sambil terus menghitung uang.


Gue berjalan mundur menjauhi bokap. Gue nggak percaya bokap bisa tetap tenang menghitung uang, sementara paku pines menjadi ancaman di lorong di mana keluarganya mondar-mandir seharian.

Setelah berjalan mundur perlahan, gue mengarahkan langkah menuju teras rumah. Nyokap lagi nyiramin tanaman di depan rumah, dan nenek sebelah rumah terlihat sedang berpamitan mau pulang.

“Lagi ngapain ma?” tanya gue.
“Ini lagi nyetrika Wi,” jawab nyokap.
“….” Gue cuma menonton Nyokap yang lagi asik ngurusin tanamannya.
“Hihihi,” nenek tetangga sebelah ketawa dari depan rumahnya dengan nada yang aneh bikin gue dongkol.

Gue nggak pernah suka sama nenek yang satu ini. Dia telah menghasut nyokap gue jadi jahat. Gara-gara dia, sewaktu kecil gue sering diguyur di kamar mandi sampe nggak bisa nafas. Mungkin kalo sekarang diperiksa, isi paru-paru gue bukanlah udara melainkan air dari bak mandi. Gara-gara dia juga nyokap jadi suka motong uang jajan. Dan gara-gara dia juga nyokap jadi minta struk belanjaan setiap menyuruh gue beli barang di toko kelontong.

“Udah disiapin semua barangnya?” tanya nyokap.
“Netbook doang,” jawab gue. “Sini ma Dawi bantuin.”
“Dawii..! Kamu nggak inget terakhir kali kamu bantuin mama siramin tanaman?

Gue duduk di kursi panjang teras rumah. Terakhir kali gue nyiramin tanaman nyokap, pengeluaran bulanan keluarga jebol. Tagihan air membengkak dan tanaman nyokap banyak yang mati kebanyakan air. Akibatnya nyokap harus rela berhenti berkebun selama dua bulan.

“Kaaaak! Udah jadi nih!” seru Inah dari dalam rumah.

Kita sekeluarga pun berkumpul untuk makan bersama. Di meja makan Inah sudah menyiapkan empat buah porsi lasagna, salat sayur dan tiga buah jus jeruk. Bokap lebih memilih minum air putih daripada jus jeruk.

“Akhirnya ada kerjaan juga,” ucap gue.
“Abis ini cuciin piringnya, jangan mau enaknya doang,” kata Inah.
“Ini masih ada lagi nggak Nah? Pengin buat nanti di kereta.”
“Masih ada sih, cukuplah buat seporsi,” jawab Inah.
“Bungkusin dong ntar,” pinta gue.
“Nggak mau! Mut capek!” tolaknya.
“Pelit banget sama kakak sendiri,” ucap gue.
“Udah! ntar mama bungkusin,” nyokap menengahi.

Nyokap emang nggak salah punya anak cewek kayak Inah, masakan dia bener-bener enak. Meski sedikit susah diatur, setidaknya Inah memiliki fungsi lain selain teriak-teriak nggak jelas.

Selesai makan gue langsung mencuci piring, sementara nyokap menyiapkan bekal buat gue. Bokap kembali ke meja kerjanya, menghitung uang yang bukan miliknya lagi. Inah ngeliatin gue dari ruang tengah.

“Lo ngapain Nah? Ngeliatin mulu. Naksir sama kakak lo sendiri?” ucap gue.
“Pasti sepi banget deh,” kata Inah.
“Oh, kalo nanti gue pergi yak?” balas gue “Ntar deh gue sering-seringin pulang.”
“Tapi gapapa deng, Mut bisa nyari pacar kalo kakak pergi, jadi masa SMA Mut nggak semenyedihkan kakak.”
“His, yaudah deh terserah, yang penting tau aturan aja.”
“Emang ada aturan dalam berpacaran?” tanya Inah.
“Ada,” sela bokap. “Aturan berpacaran itu, nggak ada yang boleh pacaran sewaktu masih sekolah.”
“…,” Inah terdiam.
“Tuh, dengerin Nah, ada aturan dalam berpacaran kan, haha,” gue ketawa.

Selesai mencuci piring gue menuju ke ruang tengah. Gue duduk di samping Inah yang lagi duduk mainan hape. Dia terlihat sedikit cemberut, mukanya ditekuk keras-keras. Sepertinya dia lagi menahan pup. Nggak, gue tahu dia pasti lagi menahan emosi seperti biasanya.
Memang berat rasanya berada di posisi orang yang bakal ditinggal pergi, walaupun gue sebenernya juga berat buat pergi meninggalkan rumah ini.

Semenjak kakak pergi buat kuliah dan lanjut kerja di Jakarta, hubungan kita berdua makin dekat. Sebelumnya kita berdua memang dekat tapi sebelumnya kita tidak berada di sekolah yang sama. Mungkin dia bakalan ngerasa kehilangan separuh jiwa dia setelah gue pergi nanti.

“Nah, kalo gue pergi nanti, lo jaga diri baik-baik ya,” gue sok bijak.
“Hmmh….” Dia masih menunduk menatap hape.
“Gue tahu lo pasti sedi—”
“Kak, besok Inah boleh pinjem Play Station ya, Mut pindah ke kamar Mut aja,” kata Inah menyela.
“Ha?”
“Iya, itu komputer kakak juga jangan di bawa kesana, dimasukin kamar Mut aja,” lanjutnya.
“Komput—”
“Iya, kan besok bakalan nganggur.”
“Nganggur yaaa—”
“Eh, enggak deng. Besok Mut yang tidur kamar kakak aja,” tutupnya.

Adek yang selama ini gue perhatiin dengan penuh kasih sayang ternyata deketin gue cuma buat merampas barang-barang gue. Kayaknya nyokap gue salah nyari anak ketiga.
Diubah oleh dasadharma10 03-02-2016 10:26
JabLai cOY
JabLai cOY memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.