- Beranda
- Stories from the Heart
Kisah Cinta Iblis Sekolah [WARNING 18++]
...
TS
manungso168
Kisah Cinta Iblis Sekolah [WARNING 18++]
Hallo semuanya, kali ini saya akan berbagi kisah saat saya masih SMK. Ini adalah kisah yang membuatku mengenal apa arti dunia sesungguhnya, dan membuatku berubah 180 derajat. Saya menerjemahkan ini dari bahasa jawa ke bahasa indonesia dengan beberapa improvisasi agar feelnya dapet dipahami oleh pembaca. Saya menerjemahkan kata panggilan 'Aku-Koe' menjadi 'Aku-Kau' agar memudahkan, sebenarnya saya pertama bingung dengan hal ini karena jika saya menggunakan kata 'Gw-Lo' ceritanya jadi gak masuk banget. Hahahaa.
PERINGATAN 18+ : Cerita ini mengandung unsur kekerasan, seksual, dan beberapa tindakan tidak senonoh lainnya yang tidak pantas untuk ditiru. Maka dari itu saya meminta kesadaran diri dari pembaca untuk tidak membaca kisah ini jika belum cukup umur. Bukan apa-apa, karena saya ragu dengan pembaca yang belum cukup umur bisa memilah yang baik yang buruk untuk ia lakukan.
Oke, silahkan langsung saja menikmati kisaku ini.
PENTING: Ini bukan cerita mesum. Ini cerita tentang percintaan dan persahabatan antara siswa SMK. Bagaimana jika terjadi pertarungan antara percintaan dan persahabatan? Apakah percintaan yang menang? Atau persahabatan yang menang?
18++ tidak hanya mengisyaratkan tentang sesuatu yang mesum. Tapi juga dengan sesuatu yang berbau kekerasan, darah, alkohol, pencurian, penyelundupan, dan pemalsuan dokumen. Jadi tolong jangan hanya pandang ini cerita mesum saja. Tenang, tetap ada kok tunggu aja di part ketika seorang cupu dan culun menjadi seorang iblis yang liar.
__________________________________________________________________
"Hahahaa ternyata dulu kelakukan kita lucu ya?" kata seorang wanita tomboy di sampingku dengan tawanya yang khas, tawa yang selalu ingin membuatku menempeleng kepalanya.
"Bukan lucu, tapi gila! Hahahaa" sahutku sambil tertawa. Aku tertawa sampai tak sadar mataku berair saking lucunya menceritakan kisah kelakukan kami dan teman-teman waktu SMA.
"Kau beneran sudah tobat? Yah, padahal aku mau menraktirmu sebotol vodka untuk pertemuan yang tidak sengaja ini"
Ia hanya menggeleng sambil masih memegangi perutnya yang sudah mengeras akibat kebanyakan tertawa.
"Rokok saja deh?" coba tawarku
"Ah, aku sudah tobat, jan!" jawabnya sambil menoyor kepalaku.
"Hahahaa. Anjing! Secepat itu..."
- Kamis Malam minggu lalu -
_______________________________________________________________
INDEX
PERINGATAN 18+ : Cerita ini mengandung unsur kekerasan, seksual, dan beberapa tindakan tidak senonoh lainnya yang tidak pantas untuk ditiru. Maka dari itu saya meminta kesadaran diri dari pembaca untuk tidak membaca kisah ini jika belum cukup umur. Bukan apa-apa, karena saya ragu dengan pembaca yang belum cukup umur bisa memilah yang baik yang buruk untuk ia lakukan.
Oke, silahkan langsung saja menikmati kisaku ini.
PENTING: Ini bukan cerita mesum. Ini cerita tentang percintaan dan persahabatan antara siswa SMK. Bagaimana jika terjadi pertarungan antara percintaan dan persahabatan? Apakah percintaan yang menang? Atau persahabatan yang menang?
18++ tidak hanya mengisyaratkan tentang sesuatu yang mesum. Tapi juga dengan sesuatu yang berbau kekerasan, darah, alkohol, pencurian, penyelundupan, dan pemalsuan dokumen. Jadi tolong jangan hanya pandang ini cerita mesum saja. Tenang, tetap ada kok tunggu aja di part ketika seorang cupu dan culun menjadi seorang iblis yang liar.
__________________________________________________________________
"Hahahaa ternyata dulu kelakukan kita lucu ya?" kata seorang wanita tomboy di sampingku dengan tawanya yang khas, tawa yang selalu ingin membuatku menempeleng kepalanya.
"Bukan lucu, tapi gila! Hahahaa" sahutku sambil tertawa. Aku tertawa sampai tak sadar mataku berair saking lucunya menceritakan kisah kelakukan kami dan teman-teman waktu SMA.
"Kau beneran sudah tobat? Yah, padahal aku mau menraktirmu sebotol vodka untuk pertemuan yang tidak sengaja ini"
Ia hanya menggeleng sambil masih memegangi perutnya yang sudah mengeras akibat kebanyakan tertawa.
"Rokok saja deh?" coba tawarku
"Ah, aku sudah tobat, jan!" jawabnya sambil menoyor kepalaku.
"Hahahaa. Anjing! Secepat itu..."
- Kamis Malam minggu lalu -
_______________________________________________________________
INDEX
Quote:
anasabila memberi reputasi
1
202.7K
539
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
manungso168
#458
Part #14
"Eh, jan, ayo ikut aku dulu." Kata Ardi setelah aku keluar dari toilet. Ternyata ia masih berdiri mematung seperti tadi di depan pintu toilet.
"Mau kemana emang?" tanyaku memastikan.
Ia tak menjawab, ia hanya berjalan ke arahku, merangkulkan tangannya ke pundakku dan sedikit mendorongku untuk jalan. Kemudian ia berkata, "Ayolah,".
Aku tak menjawab, hanya menuruti saja kemana Ardi.
"Eh, bukannya yang tadi itu cewek yang di alun-alun minggu kemaren ya, di?" tanyaku pada Ardi setelah beberapa langkah ke depan. Sejenak memoriku menemukan sebuah gambaran jelas tentang wanita yang baru saja bersama Ardi.
"Ho'oh" jawabnya singkat dengan diiringi tawa menyeringai yang tak bisa kubaca maksudnya.
"Wah, sadis! Baru bentar aja langsung bisa mojok, di toilet lagi. Pake pelet apa nih, di?"
"Hahahaa Anjing!" Ia tertawa, kemudian membusungkan dadanya ke depan lalu memukul-mukul dadanya dengan telapak tangannya, kemudian berkata, "Siapa dulu, Ardi! Hahahaa"
Kami berdua tertawa bergelak beradu dengan keriuhan suasana sekolah yang didominasi oleh wanita. Hanya satu yang ada di pikiranku, cerewet. Ya, sama seperti ayam-ayam betina yang berkokok-kokok saat berebut makanan. Atau seperti anak-anak kucing yang mengeong-ngeong meminta susu dari induknya. Entah kenapa aku merasa wanita-wanita disini lebih ekspresif daripada yang aku lihat di sekolah-sekolahku sebelumnya, yang biasanya mereka lebih banyak pendiam dan lebih malu-malu. Tapi disini tidak, mereka semua bisa aku katakan lebih frontal dan blak-blakan. Tapi entah kenapa juga aku justru lebih menyukainya.
-
Kami terus berjalan diantara lorong-lorong kelas, menuju ke arah lorong kelas 3 yang terkesan angker bagi anak kelas 1 seperti aku ini. Jelas angker, betapa tidak, keganasan kakak-kakak kelas pasca MOS masih terekam jelas di memori otak kami yang membuat kami sedikit trauma. Tapi sepertinya Ardi tidak begitu, ia berjalan dengan santainya dengan menengadahkan wajah bersama langkah lebar-lebar, sebuah gaya berjalan khas yang dimiliki Ardi.
Ardi nampaknya sudah banyak mengenal diantara mereka, terihat dari tatapan mata mereka kepada Ardi yang nampak familiar. Tak jarang mereka saling menyapa dengan sapaan yang khas, saling mengejek yang menandai keakraban Ardi dengan mereka.
Di antara mereka duduk seorang wanita dengan potongan ramput cepak, seperti seorang pria. Nampaknya ia masih murid kelas 1, terlihat dari baju seragamnya yang masih baru dan agak sedikit kebesaran. Ia memegang es teh di tangannya, yang kemudian dengan sigap Ardi merebut es teh dari tangannya dan langsung menyeruputnya hingga hampir habis.
"Ah, anjing! Es tehku jangan dihabisin, masih haus nih!" teriak wanita tomboy itu sambil mencoba merebut es tehnya yang masih diseruput Ardi. Wanita yang kuketahui namanya Pangestu dan biasa dipanggil Estu. Secara fisik sangat mirip dengan seorang pria, mulai dari rambut, tangan, kaki, dada. Hanya saja ia memakai anting-anting di kedua telinganya dan pipinya sedikit bulat, ya, mungkin hanya itu yang bisa membuat dia bisa dibilang seperti wanita.
"Walah, habis nih. Santai santaaii.. Ntar tak beliin lagi, tu."
"Ah, Ardi mau beliin nunggu sampai kiamat, tu." serobot wanita di samping Estu, salah satu kakak kelas 3, berambut panjang dengan alis mata tebal.
"Ah, nggak juga to, mbak sayang." goda Ardi pada wanita itu sambil mengedipkan sebelah matanya.
Ia hanya membalas dengan cibiran sambil menjauhkan wajah Ardi dengan telapak tangannya.
"Eh, ini siapa, di, kok nggak dikenalin sama kita?" tanya seorang kakak kelas 3 lainnya yang menunjuk ke arahku.
"Wani piro?" jawab Ardi ngasal.
"Lumayan juga, masih unyu, nggak kayak kamu, di, muka cowok brengsek. Hahahaa." timpal kakak kelas tersebut.
"Halah..Halaaahh.. Eh, ada dua ribuan dulu nggak?" Ardi langsung maju beberapa langkah ke hadapan kakak kelas tersebut. Menggeledah tas kecil yang ada di pangkuannya.
"Ah, kebiasaan nih si Ardi." Ia melawan, mencoba menutup tasnya dari geledahan Ardi. Kemudian ia mengeluarkan uang dari sakunya dan menyerahkan ke Ardi. "Nih.. Niiiihhh.. Ambil!"
"Nah, gitu kan cantik, mbak. Hahahaa." Jawab Ardi yang kelihatan girang menerima uang dari kakak kelas tersebut. "Nah, sekarang kenalan dah sana. Hahahaa."
"Iiihhh" gerutu kakak kelas tersebut. Lalu ia berpaling ke arahku, aku hanya berdiri seperti patung di sebelah Ardi. Tentu saja dengan mimik muka bodoh karena tak tau harus berbuat apa. "Namanya siapa, dek?" lanjut kakak kelas itu.
"Dejan, mbak." jawabku singkat sambil menunjuk ke arah nama dada-ku. Ia tersenyum, lalu kami bersalaman.
"Udah..Udaaahh. Ayo, jan, tu." teriak Ardi sambil menarik bahuku untuk berjalan lagi ke arah pojokan sekolah. Estu digeret bajunya agar juga berjalan bersama kami.
Kakak kelas wanita tersebut hanya bisa memaki Ardi setelah kami meninggalkannya. Ardi pun hanya menjawab dengan makian pula dan gelak tawa sambil menengadahkan wajah ke atas. Ya, itulah tawa khas Ardi.
"Mau kemana emang?" tanyaku memastikan.
Ia tak menjawab, ia hanya berjalan ke arahku, merangkulkan tangannya ke pundakku dan sedikit mendorongku untuk jalan. Kemudian ia berkata, "Ayolah,".
Aku tak menjawab, hanya menuruti saja kemana Ardi.
"Eh, bukannya yang tadi itu cewek yang di alun-alun minggu kemaren ya, di?" tanyaku pada Ardi setelah beberapa langkah ke depan. Sejenak memoriku menemukan sebuah gambaran jelas tentang wanita yang baru saja bersama Ardi.
"Ho'oh" jawabnya singkat dengan diiringi tawa menyeringai yang tak bisa kubaca maksudnya.
"Wah, sadis! Baru bentar aja langsung bisa mojok, di toilet lagi. Pake pelet apa nih, di?"
"Hahahaa Anjing!" Ia tertawa, kemudian membusungkan dadanya ke depan lalu memukul-mukul dadanya dengan telapak tangannya, kemudian berkata, "Siapa dulu, Ardi! Hahahaa"
Kami berdua tertawa bergelak beradu dengan keriuhan suasana sekolah yang didominasi oleh wanita. Hanya satu yang ada di pikiranku, cerewet. Ya, sama seperti ayam-ayam betina yang berkokok-kokok saat berebut makanan. Atau seperti anak-anak kucing yang mengeong-ngeong meminta susu dari induknya. Entah kenapa aku merasa wanita-wanita disini lebih ekspresif daripada yang aku lihat di sekolah-sekolahku sebelumnya, yang biasanya mereka lebih banyak pendiam dan lebih malu-malu. Tapi disini tidak, mereka semua bisa aku katakan lebih frontal dan blak-blakan. Tapi entah kenapa juga aku justru lebih menyukainya.
-
Kami terus berjalan diantara lorong-lorong kelas, menuju ke arah lorong kelas 3 yang terkesan angker bagi anak kelas 1 seperti aku ini. Jelas angker, betapa tidak, keganasan kakak-kakak kelas pasca MOS masih terekam jelas di memori otak kami yang membuat kami sedikit trauma. Tapi sepertinya Ardi tidak begitu, ia berjalan dengan santainya dengan menengadahkan wajah bersama langkah lebar-lebar, sebuah gaya berjalan khas yang dimiliki Ardi.
Ardi nampaknya sudah banyak mengenal diantara mereka, terihat dari tatapan mata mereka kepada Ardi yang nampak familiar. Tak jarang mereka saling menyapa dengan sapaan yang khas, saling mengejek yang menandai keakraban Ardi dengan mereka.
Di antara mereka duduk seorang wanita dengan potongan ramput cepak, seperti seorang pria. Nampaknya ia masih murid kelas 1, terlihat dari baju seragamnya yang masih baru dan agak sedikit kebesaran. Ia memegang es teh di tangannya, yang kemudian dengan sigap Ardi merebut es teh dari tangannya dan langsung menyeruputnya hingga hampir habis.
"Ah, anjing! Es tehku jangan dihabisin, masih haus nih!" teriak wanita tomboy itu sambil mencoba merebut es tehnya yang masih diseruput Ardi. Wanita yang kuketahui namanya Pangestu dan biasa dipanggil Estu. Secara fisik sangat mirip dengan seorang pria, mulai dari rambut, tangan, kaki, dada. Hanya saja ia memakai anting-anting di kedua telinganya dan pipinya sedikit bulat, ya, mungkin hanya itu yang bisa membuat dia bisa dibilang seperti wanita.
"Walah, habis nih. Santai santaaii.. Ntar tak beliin lagi, tu."
"Ah, Ardi mau beliin nunggu sampai kiamat, tu." serobot wanita di samping Estu, salah satu kakak kelas 3, berambut panjang dengan alis mata tebal.
"Ah, nggak juga to, mbak sayang." goda Ardi pada wanita itu sambil mengedipkan sebelah matanya.
Ia hanya membalas dengan cibiran sambil menjauhkan wajah Ardi dengan telapak tangannya.
"Eh, ini siapa, di, kok nggak dikenalin sama kita?" tanya seorang kakak kelas 3 lainnya yang menunjuk ke arahku.
"Wani piro?" jawab Ardi ngasal.
"Lumayan juga, masih unyu, nggak kayak kamu, di, muka cowok brengsek. Hahahaa." timpal kakak kelas tersebut.
"Halah..Halaaahh.. Eh, ada dua ribuan dulu nggak?" Ardi langsung maju beberapa langkah ke hadapan kakak kelas tersebut. Menggeledah tas kecil yang ada di pangkuannya.
"Ah, kebiasaan nih si Ardi." Ia melawan, mencoba menutup tasnya dari geledahan Ardi. Kemudian ia mengeluarkan uang dari sakunya dan menyerahkan ke Ardi. "Nih.. Niiiihhh.. Ambil!"
"Nah, gitu kan cantik, mbak. Hahahaa." Jawab Ardi yang kelihatan girang menerima uang dari kakak kelas tersebut. "Nah, sekarang kenalan dah sana. Hahahaa."
"Iiihhh" gerutu kakak kelas tersebut. Lalu ia berpaling ke arahku, aku hanya berdiri seperti patung di sebelah Ardi. Tentu saja dengan mimik muka bodoh karena tak tau harus berbuat apa. "Namanya siapa, dek?" lanjut kakak kelas itu.
"Dejan, mbak." jawabku singkat sambil menunjuk ke arah nama dada-ku. Ia tersenyum, lalu kami bersalaman.
"Udah..Udaaahh. Ayo, jan, tu." teriak Ardi sambil menarik bahuku untuk berjalan lagi ke arah pojokan sekolah. Estu digeret bajunya agar juga berjalan bersama kami.
Kakak kelas wanita tersebut hanya bisa memaki Ardi setelah kami meninggalkannya. Ardi pun hanya menjawab dengan makian pula dan gelak tawa sambil menengadahkan wajah ke atas. Ya, itulah tawa khas Ardi.
dany.agus memberi reputasi
1