Diawal perpisahan kami, hubungan ini berjalan normal, sangat normal. Kendala yang terjadi hanyalah ‘komunikasi’. Arif seringkali mendapatkan kendala saat menghubungi gua, karena dia harus menggapai gua lewat jasa wartel. Sedangkan ongkos ‘hubungan’ model seperti ini nggak lah murah. Gua sih senang kalau Arif menelpon, tapi disisi lain gua juga nggak tega kalau sampai dia ngabisin uang saku-nya ‘hanya’ untuk menelpon gua melalui wartel. Dan setelah sedikit-banyak berdiskusi, memikirkan plus-minus-nya, akhirnya kami berdua memutuskan untuk membeli ponsel. Arif harus rela mengorbankan uang saku-nya diawal bulan, sedangkan gua harus merelakan uang tabungan gua untuk masing-masing membeli ponsel. Dan nyata-nya, solusi tersebut terlihat cukup memuaskan, bahkan mungkin bisa dibilang sangat memuaskan. Kami bisa saling in-touch dengan biaya murah, melalui SMS dan sesekali telepon di saat jam-jam promosi, misalnya di atas jam 11 malam sampai sebelum jam 8 pagi. Sayangnya, gua nggak bisa mengirim pesan SMS yang terlalu kompleks ke Arif, karena dia bakalan sulit buat membaca-nya. Jadi, jangankan mengirimkan SMS berisi Bahasa alay, dengan Bahasa ‘normal’ saja, mungkin bakal jadi PR buatnya.

Hingga beberapa bulan pertama, seperti yang sudah gua bilang; hubungan kami berjalan normal. Dan sejak hadirnya ponsel, hampir nggak ada kendala berarti. Masalah kepercayaan? Buat gua itu bukanlah suatu masalah. Gua percaya 110% terhadap Arif, gua percaya kalau Arif nggak mungkin main hati, karena apa? Karena dia adalah Arif. Arif yang gua kenal, yang nggak pernah berpaling, nggak pernah bermain hati dan Arif yang begitu sayang sama gua. Kalau, ada yang bertanya tentang hubungan jarak jauh kami dan mempertanyakan komitmen kepercayaan kami, maka gua bakal menjawabnya dengan senyum; Mereka jelas belum mengenal Arif.

Sedangkan gua sendiri, bukannya tanpa ‘cobaan’. Yang namanya cewek, gua rasa cukup normal merasa ‘ge-er’ kalau ada lawan jenis yang menyukai-nya; selain Arif tentunya. Dalam beberapa bulan terakhir ada seorang cowok sekelas yang berusaha mendekati gua dan jelas-jelas menyatakan suka ke gua. Untuk ukuran ketampanan, jelas cowok ini ‘sedikit’ lebih tampan dari Arif. Tapi, sebuah hubungan kan nggak melulu soal tampang. Dan, buat gua, Arif tetaplah yang nomor satu, bahkan mungkin nomor NOL, dalam segala hal.

Tapi, semua perlahan berubah. Beberapa bulan menjelang gua lulus SMA, Arif semakin sulit dihubungi. Seringkali gua mengirimi-nya pesan SMS namun jarang sekali mendapat respon dari-nya. Terkadang, dalam satu hari, semua SMS gua nggak ada satupun yang dibalas-nya. Saat gua mencoba menelponnya, seringkali juga panggilan gua di-‘reject’ atau nggak diangkat. Kalaupun berhasil diangkat, Arif cuma bilang kalau dia sedang sibuk kuliah atau mengerjakan tugas. Dan, gua nggak mau berfikiran jelek terhadap-nya, mungkin memang dia sedang sibuk dan tugas gua disini adalah mendoakannya sambil tetap selalu memberikan support kepadanya melalui SMS. Yang gua khawatirkan saat dia nggak langsung merespon SMS atau menjawab panggilan telepon gua adalah kalau dia sakit atau kenapa-kenapa. Gua nggak sampai hati kalau membayangkan, Arif sedang tergolek lemah sendirian dikamar kos karena sakit, tanpa ada yang memperhatikannya. Gua juga nggak mau kalau dia sampai alpa menjalankan kewajiban solat-nya karena sibuk kuliah dan mengerjakan tugas.

Jangan sakit ya, rif..
---

Seiring komunikasi yang semakin memburuk dan waktu yang terus berjalan, gua pun harus terus menjalani hidup. Nggak pernah terfikirkan oleh gua tentang hal-hal negative yang mungkin dilakukan oleh Arif jauh disana, nonsense, nggak mungkin. Gua terus mencoba menghidupkan asa dengan nggak pernah lelah mengirimi-nya pesan SMS atau telepon. Hingga akhirnya, suatu malam, saat akhirnya telepon gua dijawab oleh-nya.

“Hallo..”

“Hallo, rif.. lo kemana aja sih? Seharian nggak ada kabar? Gue sms nggak bales, gue telpon nggak lo angkat…”

“Iya lagi sibuk banget tadi, banyak tugas, kan mau UAS..”

“Ya sesibuknya kan bisa ngasih kabar..”

“Iya maaf..”

“Lo nggak sakit kan?”

“Nggak, sehat kok.. udah ya.. gua mau istirahat nih..”

“Rif… lo kenapa sih?”

“Gua? Nggak papa? Emang kenapa?”

“Perasaan, sekarang lo beda banget sama gue, lo kayak bodo amat ke gue..”

“Beda gimana?”

“Beda aja, nggak kayak biasa.. biasanya lo nggak pernah nggak bales SMS gue, selalu nge-jawab telpon gue..”

“Ya, kan tadi gua udah bilang, kalo gua sibuk.. lu kok nggak ngerti-ngerti sih cel?”

Hening. Gua nggak langsung menjawab.

“Rif.. please, jangan bentak gue..”

“Ya elu kalo nggak mau dibentak dengerin gua..”

“Gue cuma pengen tau kabar lo rif, gue cuma pengen tau sehat-kah lo disana, gua cuma pengen tau rif.. gue nggak butuh lo jawab semua SMS atau telpon dari gue, gue cuma pengen lo ngasih gue kabar.. that’s it..”

“Sorry, cel.. tapi sekarang gua lagi capek banget.. besok aja dibahas lagi.. udah dulu ya..”

“Ya..”Arif lalu menutup telepon, sebelum dia mengakhiri panggilan dua mengucapkan lirih; “I Love you..rif”

Untuk pertama kalinya dalam hubungan yang sudah terjalin lebih dari dua tahun; gua dan Arif akhirnya bertengkar. Dan untuk pertama kalinya, gua pun menangis. Kali ini gua nggak bisa menahan air mata untuk menetes, mengalir dan membasahi buku-buku pelajaran gua.
Hal yang selama ini gua coba tahan, gua coba membendungnya sekuat tenaga, namun akhirnya gua nggak kuasa menahannya. Malam itu, gua menangis, benar-benar menangis.
---

Sampai dititik ini, hubungan gua dengan Arif mulai sedikit aneh. Kalau ditanya mengenai perasaan gua terhadap Arif; masih tetap nggak berubah, nggak berubah sedikit-pun. Gua masih tetap mencintai gua sama seperti dulu, nggak pernah berkurang. Cobaan berikutnya datang, saat gua dihadapkan oleh sebuah pilihan, pilihan yang mungkin dulu sempat dirasakan oleh Arif. Sebuah pilihan, karena gua diterima di universitas negeri di Bandung dengan full beasiswa sementara gua juga nggak harus rela meninggalkan Opa sendirian di Jakarta dan menambah jarak jauhnya hubungan gua dengan Arif.

Bagusnya, Opa begitu pengertian. Saat gua bercerita tentang hal ini, Opa tersenyum, kemudian membelai rambut gua sambil mengatakan; “Kejarlah cita-citamu nak.. kejarlah jangan berhenti sampai kakimu telasa lelah..”

“Opa sudah tua, kalau memang halus mati, ya mati.. kalau memang di bialkan tuhan bisa melihat kamu jadi saljana, tentu saja opa senang.. apalagi bisa sampai melihat kamu sampai menikah..”

Jawaban opa semakin membuat gua bersedih, namun menumbuhkan semangat gua untuk tetap mengejar cita-cita dan pendidikan untuk membuat bangga Opa.

Sementara gua juga nggak mau hubungan gua yang semakin aneh dengan Arif kedepannya bakal mengganggu pendidikan gua. Hingga akhirnya gua menjatuhkan sebuah pilihan yang begitu mengkhianati hati gua sendiri; kalau memang jodoh, pastinya Arif bakal kembali, pulang ke hati ini.