Nggak lama, setelah mengikuti petunjuk dari si Exka. Akhirnya gua sampai di wartel mungil di ujung jalan. Sebuah bangunan mungil dengan kaca hitam berbingkai alumunium dengan pintu geser yang juga berbahan kaca disalah satu sisi-nya. Begitu masuk kedalam, hawa dingin dari AC langsung merayapi tubuh. Didalam-nya terdapat 4 bilik terbuat dari alumunium yang berukuran kira-kira 1x1 meter. Diseberang bilik terdapat bangku kayu panjang untuk para pelanggan duduk mengantri. Pada bagian depan, dekat dengan jendela kaca, terdapat meja tinggi berbentuk “L”, dibaliknya terdapat sebuah computer, printer berdecit dan tentu sang operator.

Gua lalu duduk di ujung bangku kayu panjang yang paling dekat dengan pintu. Semua bilik penuh terisi, sementara yang duduk mengantri-pun nggak kalah penuh. Terdapat 5 orang lagi yang masih belum kebagian jatah untuk menggunakan bilik telepon.

Nggak sampai lima menit, antrian dengan cepat berkurang hingga menyisakan 2 orang. Gua pun beringsut, menggeser duduk ke kiri, lebih kedalam, mengikuti dua orang lainnya. Nggak lama berselang, pintu wartel bergeser keras, lalu seorang perempuan masuk lalu duduk disebelah gua.

Perempuan ini terlihat cemas. Dia duduk dengan dua kakinya digoyang-goyangkan sambil melongok ke arah bilik dan sesekali memandang ke arah jam tangannya.

Antrian kembali berkurang. Kali ini menyisakan gua dan perempuan disebelah gua, yang sepertinya semakin gelisah. Beberapa kali dia berdiri lalu kembali duduk, kakinya masih bergoyang-goyang, pada telapak tangan kanannya terdapat sebuah tulisan bertinta biru, sepertinya catatan nomor telepon.

Begitu, pelanggan pada bilik paling ujung keluar, gua pun bersiap untuk masuk kedalam. Namun, perempuan itu menarik lengan baju gua.

“Mas, aku boleh duluan nggak? Penting banget nih..” Perempuan itu berkata sambil pasang tampang memelas, bahkan terlihat hampir menangis.

“Oh..yaudah..” gua lalu mengiyakan, lalu kembali duduk.

Perempuan itu berjalan cepat lalu masuk kedalam bilik telepon yang kosong.

Nggak perlu buat gua untuk menunggu cukup lama, beberapa menit kemudian dua orang dari dalam bilik langsung keluar hampir berbarengan. Gua memilih bilik sebelah kiri, bilik kedua dari ujung.

Namanya wartel, fasilitas umum yang dikelola secara pribadi, dan notabene penggunanya rata-rata mahasiswa yang nge-kos didaerah sekitar sini. Dan yang namanya mahasiswa biasanya tingkat vandalism-nya cukup tinggi. Terlihat dari penampakan didalam bilik telepon ini, disetiap sisi-nya terdapat banyak coretan-coretan aneka rupa, mostly tentu saja tulisan angka-angka nomor teleponlengkap dengan nama-nya. Terdapat juga beberapa tulisan semacam nama pasangan yang kemudian diberi outline berbentuk hati, dan nggak ketinggalan jargon-jargon khas yang sedikit nyerempet porno seperti “Rika, kamu joss..”,”anuku hanya untukmu..”,”Lupa nama, ingat rasa..”dan banyak lainnya.
Gua lalu mengangkat gagang telepon yang aroma-nya sulit untuk dijelaskan, lalu bergegas menekan angka nomor telepon rumah Marcella, tentu saja gua hafal diluar kepala.

Terdengar nada sambung. Sambil duduk menunggu, terdengar suara isak tangis dari bilik disebelah gua, bilik tempat si perempuan tadi menelpon. Semakin lama, suara tangisnya hilang lalu berganti suara sesenggukan kemudian kembali hening.

“Haloo..selamat malam..”

Lalu terdengar suara Marcella diujung sana, hampir mengagetkan gua.

“Halo…” gua menjawab

“Ariifff…”Marcella terdengar menjerit, Cumiakan telinga.

“…”

“Sehat kan rif?”

“Sehat…”

“Udah makan?”

“Udah…”

“Makan apa..? trus gimana disana enak nggak? Lo betah kan? Gimana kuliahnya lancar?” Marcella mengajukan pertanyaan bertubi-tubi.

Yang lalu gua jawab satu persatu.

Kami lalu ngobrol…

Menebus Rindu!

Tanpa sadar, angka yang tertera pada display mesin penghitung didepan gua bergerak semakin cepat. Angkanya berada di kisaran Rp 40.000, gua baru sadar kalau gua melakukan panggilan luar daerah, yang mana tentu saja charge-nya lebih besar.

“Buset!” gua setengah berteriak.

“Kenapa rif? Lo nggak papa?”

“Gapapa sih, tapi ini biaya panggilan gua udah 40 ribu..”

“Hah, mahal banget.. yauda deh, tutup aja, ntar makin mahal..”

“Yaudah, nanti next gua telpon lagi deh..”

“Iya..” Marcella menjawab bersemangat.

“Yaudah, lo tutup duluan..”

“Ah lu duluan dong..”

“Masa gua duluan, kan gua yang telpon tadi.. lu yang tutup lah..”

“Ya justru karena lo yang telpon duluan, makanya lo yang harus nutup..”

“Yauadah, gua tutup nih ya..”

“Iya..”

“…”

“Eh.. rif.. rif..”

“Ya..”

“Kamu take care ya, jaga kesehatan.. trus irit-irit..”

“Iya… yaudah ya.. gua tutup nih..”

“Iya, dada ariiiifffff…”

Trek!

Gua lalu mengakhiri panggilan dan meletakkan gagang telepon ketempatnya. Display di mesin tagihan menunjukkan angka Rp 48.000. Gua lalu menepuk jidat dan keluar dari bilik.

Begitu hendak membayar di counter dengan meja berbentuk “L”. Perempuan yang tadi menyelak antrian gua dan yang sepertinya yang tadi gua dengar menangis tengah bicara dengan si operator penjaga wartel.

“Boleh ya mas, nanti aku balik lagi deh, janji..” Perempuan itu berkata sedikit memohon kepada si operator penjaga wartel. Sementara penjaga wartel terlihat nggak begitu senang, dia terlihat bingung. Kepalanya bolak-balik memandang ke arah monitor, struk tagihan dan kearah wajah perempuan tadi. Dari gelagat dan percakapan yang gua tangkap, sepertinya perempuan ini melakukan panggilan telpon dengan nominal besar sementara dia nggak membawa uang yang cukup untuk membayar.

“Piye ya mba’e.. saya cuma jaga soale, kata yang punya nggak iso ngutang-ngutang..” si operator menjawab sambil menggaruk kepalanya. Dan gua yakin, kepalanya nggak gatal.

Gua lalu meng-interupsi percakapan mereka, nggak mau ambil pusing; “Saya berapa mas?”

“Bilik berapa tadi?” si operator mengalihkan wajah ke gua dan bertanya.

“Bilik 3..”

Si operator lalu menyobek struk dari printer dot matrix, lalu menyerahkan ke gua. Selesai membayar gua lalu melewati perempuan tadi dan berjalan kearah pintu geser.

Lalu,

Entah dari mana datangnya perasan ini, gua seperti gatal ingin tau, berapa sih nominal kekurangan biaya yang harus dibayar perempuan tadi. Gua lalu kembali membuka pintu geser dan masuk kedalam.

“Emang kurang berapa mas si mbaknya?” Gua ujug-ujug bertanya ke si operator.

“Limolas mas..” *lima belas ribu.

Gua lalu, merogoh kantong celana pendek gua dan mengeluarkan dua lembar sepuluh ribuan kepada si operator, yang dengan sigap meraihnya lalu memberikan selembar lima ribuan sebagai kembalian.

“Makasih ya..” perempuan itu berkata ke gua.

Gua hanya menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala lalu buru-buru keluar.

“Mas.. mas..” terdengar suara panggilan.

Gua menoleh ke belakang.

Perempuan tadi berjalan cepat menyusul gua. Dia lalu kembali mengucapkan terima kasih. Sesekali dia menyeka sudut matanya yang terlihat sedikit sembab.

“Nanti aku ganti uangnya mas.. aku ambil di kos-kos-an dulu..”

“Jangan nggak usah, nggak apa-apa..”

“Kos-an ku deket kok. Itu tuh disitu..” perempuan itu lalu menunjuk ke arah bangunan dua lantai yang sudah terlihat di sudut jalan.

Bangunan yang sama dengan tempat kos gua.

“Lah.. gua juga nge-kos disitu..” gua menjawab kaget

“Masa? Kok aku nggak pernah liat?”

“Iya, gua baru pindah..”

“Oooh.. kuliah di Undip juga?”

“Ho oh..”

“Di kamar yang mana?”

“Tuh yang ituh..” gua menunjuk ke arah kamar gua dilantai dua, yang kini semakin jelas terlihat.

Perempuan itu lalu mengangguk pelan.

Sampai di kos, perempuan tadi lalu berjalan mendahului gua kemudian masuk kedalam sebuah kamar yang berada di ujung. “Tunggu bentar ya..” dia berteriak ke arah gua.

Beberapa saat kemudian, dia keluar, menghampiri gua dan menyodorkan dua lembar uang kertas, masing-masing pecahan sepuluh ribu dan lima ribu. “Makasih ya..”

“Oke.. sama-sama” gua menjawab.

“Oiya, kita kan belum kenalan..” dia lalu mengulurkan tangannya.

“Fani..”

“Arif..”