Agustus 2002

"Rip..."

Sebuah panggilan menggema dari salah satu sudut koridor sekolah. Koridor gelap yang berada diantara kelas-kelas mengarah ke kantin.
Gua menoleh ke arah suara, sosok dalam bayangan perlahan muncul setengah berlari.

"Rip, buku lu nih..." Ujar Ilham sambil menyodorkan buku bahasa indonesia berukuran besar yang di tekuk hingga membentuk corong.
Gua lalu meraihnya cepat, membetulkan bentuknya hingga rata kembali.

"Ngehe.. Buku gua ngapa lu gulung-gulung begini sih, ham?"

"Tas gua nggak muat, boy.."Jawab ilham sambil meringis dan membenahi rambut yang hampir menyentuh matanya.

Dia adalah Ilham, salah satu temen gua, diantara banyak teman aneh lain yang gua miliki. Ilham, walaupun punya penampilan yang urakan, sembrono, undicipline dan sedikit nyeleneh.

Dia memiliki perawakan kurus, dibalut kulit sawo matang dan rambut nyaris gondrong dengan banyak potongan 'grepes' disana-sini. Rambutnya amburadul bukan karena 'gaya' atau memang 'modelnya' tapi, memang dia sering kena razia rambut yg diadakan pihak sekolah. Kedua pergelangan tangannya penuh dengan bermacam-macam jenis gelang beraneka warna, mayoritas seperti 'seal' karet mesin motor berwarna hitam. Seragamnya hampir tidak pernah terlihat licin dengan kancing paling atas kemeja-nya selalu dibiarkan terbuka. Tapi, biar kelihatannya 'begdialan', dia mungkin salah satu murid tercerdas yang ada di sekolah ini, lebih luas, mungkin di provinsi ini.

Ilham adalah peraih predikat TOEFL terbaik se-DKI. Ditambah, juara kompetisi matematika se-Jakarta Selatan selama dua tahun berturut-turut.

Gua bersyukur bisa kenal dan berteman dengannya. Selain, bisa 'nolong' gua 'ngasih' contekkan, Ilham juga punya andil besar buat gua dalam bergaul. Selain pintar, dia juga sangat 'supel', pandai bergaul dan err.. Sedikit nggak punya malu.

Pacar gua sebelumnya pun hasil 'comblangan' Ilham. Dan, sepertinya dia bakal 'nyomblangin' gua lagi.
"Rip..ada yang mau kenalan ama lu.."
"Siapa?" Gua menjawab sedikit acuh, bergaya nggak interest, padahal kalo ada kejadian kayak gini, gua 'ge-er' setengah mati.
"Anak baru, kelas satu..mau?"
"Cakep...?" Gua bertanya lagi.
"Ya cakep sih..tapi " Ilham menjawab, namun nggak menyelesaikan bicaranya.

Biasanya, kalo dia udah nawarin 'cewe' ke gua berarti 'cewe' tersebut nggak cantik-cantik amat atau.. bukan tipe-nya. Kalau tuh 'cewe' cakep udah di sikat duluan sama dia, dan pasti nggak bakal di'sodor'kan ke gua.

"Ah... Lu mah kalo kayak gini pasti ada 'tapi'-nya..."
"Yee.. Serius ini, bocahnya begini-nih.." Ilham bicara sambil mengacungkan dua ibu jarinya.
Gua yang nggak terlalu banyak berharap karena alasan yang gua udah sebutin diatas, akhirnya manggut-manggut setuju aja. Entah karena pasrah atau... takdir.
---

Ini bukan perkara buku yang digulung atau rambutnya Ilham yang bau kabel kebakar. Tapi, nunggu untuk janjian ketemu sama 'cewe' dipangkalan ojek, berduaan sama Ilham, panas mentereng, plus badan yang udah bau keringet gegara abis maen bola tuh bener-bener nggak keren.

"Mana, ham.. Bocahnya?" Gua bertanya ke Ilham sambil memandang nanar ke arah jalan raya beraspal yang menguap panas.
Sementara Ilham masih mengibas-kibaskan rambutnya sambil menjawab; "Sabar boy?"

Setelah hampir setengah jam kami berdua menunggu, memicingkan mata akibat panas tidak biasa yang membias melalui aspal jalanan, setelah gua hampir putus asa dan 'kepengen' buru-buru pulang. Sesosok gadis berseragam putih abu-abu berjalan mendekati kami, menebar senyum ke arah Ilham, lalu berdiri memposisikan dirinya disebelah Ilham.

Gadis itu lalu mengibaskan buku LKS tipis yang tadi digunakan untuk memayungi kepalanya sambil sesekali matanya melirik ke arah gua.
"Maaf ya kak, kelamaan ya...?" Gadis itu membuka percakapan.

Ilham hanya melengos sebentar, kemudian menjawab; "Gapapa, Nih, yang mao kenalan sama lu..."

Deg! Lah kok, ni anak gimana sih, katanya tuh bocah yang mau kenalan sama gua kok sekarang ngomong kalo gua yang mau kenalan.
Ilham lalu beranjak, sambil lalu dia mngibaskan rambutnya dan melambai; "Oke, gua tinggal yak, elu berdua silahkan saling kenalan.."
What? Gua pasang tampang heran sementara Ilham perlahan lahan berjalan menjauh sampai akhirnya menghilang diantara deretan angkot yang berbaris rapi menunggu penumpang.

Kami berdua lalu berdiri dalam diam cukup lama. Dibawah terpal biru dengan kerangka bambu yang disusun asimetris, tempat biasa para tukang ojek mangkal menunggu penumpang di salah satu jalan raya paling sibuk dekat sekolah gua.

Dalam diam-nya kami berdua, gua sempat mencuri pandang ke arah gadis itu. Pun sepertinya dia melakukan hal yang sama. Gadis itu memiliki rambut hitam berkilau, lurus dan panjang melebihi bahu. Kulitnya yang putih dan bersih terlihat sepadan dengan padu padan seragamnya yang casual, sepasang kaus kaki panjang selutut menyelimuti betis-nya yang jenjang, diujung kakikinya terbalut sepatu chuck taylor semata kaki berbahan kulit berwarna hitam.

"Udah lama ya kak, nunggu nya?" Gadis itu kembali mengajukan pertanyaan yg sama seperti yang tadi dia ajukan kepada Ilham.

"Lumayan..." Gua menjawab sambil memberanikan diri menatap-nya.

Wajahnya terlihat cerah, bibirnya mungil berkilat memayungi dagunya yang sedikit meruncing, hidungnya yang tidak terlalu mancung terlihat proporsional diapit kedua pipi-nya yang merona. Lalu, pandangan gua terhenti saat mata kami saling menatap.

Mata-nya sipit dan berbinar.

Gua lalu menyodorkan tangan yang dengan segera dijabat olehnya; “Arif..”

“Cella.. Marcella..” gadis itu memperkenalkan diri.

“Sebenernya bukan gua duluan lho yang mau ngajak kenalan, itu kerjaannya si Ilham..” gua berusaha menjelaskan kronologi sebelum perkenalan agar nggak salah dikira kalu gua yang mau ‘ngajak’ kenal duluan.

“Nggak masalah, kak.. no problem..” Cella menjawab ringan.

“Jangan panggil ‘kak’ lah, umur lu sama gua juga paling selisih setaun..”

“Nggak enak lah..”
“Enakin aja.. nggak usah manggil ‘kak’ dan nggak usah pake’aku-kamu’, kedengerannya kaku..”

“Hahaha.. oke..” Cella menjawab, sambil tertawa ringan, saat tertawa dia terlihat lucu karena matanya yang ‘nggak’ terlihat.

Nggak berapa lama, satu persatu tukang ojek dating memenuhi pangkalan yang memang ‘milik’ mereka ini. Gua lalu mengajak Cella berjalan agak menjauh menuju kembali ke arah sekolah.

“Tinggal dimana, cel?” gua membuka obrolan.
“Deket kak… eh, rif..” Cella menjawab sambil mengoreksi sebutannya ke gua.
“Deket itu dimana? Definisi ‘deket’ buat elu kan belum tentu sama dengan gua."
“Di grogol..” Cella menjawab.
“Buset, grogol mah jauh cel..”
“Kalo lo tinggal dimana?” Cella balik bertanya.
“Gua di daerah kebon jeruk.. nggak gitu jauhlah..”

Cella lalu menjawabnya dengan ‘Oh’ ringan sambil menganggukan kepalanya.

Obrolan kami berdua semakin lama semakin asyik. Entah kenapa gua sepertinya punya ketertarikan khusus kepadanya. Bukan, bukan karena dia cantik atau elegan. Mungkin lebih karena, Marcella sangat mampu membawa diri-nya sendiri, kedalam suasana dan situasi yang ada.
Kita juga sepertinya memiliki hampir selera yang sama persis dalam banyak hal. Tanpa di duga Marcella suka banget ‘dengerin’ lagu-lagu evergreen, seperti Bonjovi, Scorpion, Metallica, Guns N Roses, The Eagles dan Chicago. Nggak cuma itu, Marcella juga punya ketertarikan khusus dalam hal seni rupa, kayak menggambar dan melukis. Wow, such a great taste.

Nggak butuh waktu lama buat Marcella mencuri hati gua, dan gua yakin nggak butuh waktu lama pula untuk banyak cowok lainnya disekolah ini untuk mengaggumi-nya. Dan gua, sedikit lebih beruntung dibanding cowok-cowok lainnya yang berharap menjadi menjadi teman dekat atau pacarnya. Hampir setiap hari kita ketemuan di belakang kantin sekolah, ngobrol. Ngobrolin banyak hal, ngobrolin musik, ngobrolin guru-guru, ngobrolin gossip terkini seputar temen-temen dan banyak hal kecil yang sebenarnya nggak penting-penting banget buat di-obrolin. Tapi, entah kenapa, saat ngobrol banyak hal dengannya, hal-hal nggak penting pun jadi terkesan ‘urgent’, terkesan menarik dan asyik diobrolin.
---

Sampai saat sekitar bulan ke 4 sejak perkenalaan gua dengan Marcella, akhirnya gua Jatuh cinta. Iya gua jatuh cinta dengan Marcella, seorang gadis cina yang begitu menyita perhatian gua. Tapi, gua masih ragu antara harus menyatakan cinta dengan resiko bakal kehilangan ke-akraban yang sudah kita bangun selama ini atau tetap diam, tetap menjadi pengaggum rahasia-nya entah sampai kapan. Kalau opsi pertama yang gua pilih, apa dia mau sama gua, dia bahkan belum mengenal gua begitu dalam, mau menerima kekurangan gua? Kekurangan yang selama ini begitu besar menjadi pemicu pacar bahkan sahabat-sahabat meninggalkan gua.