- Beranda
- Stories from the Heart
Sometimes Love Just Ain't Enough
...
TS
jayanagari
Sometimes Love Just Ain't Enough
Halo, gue kembali lagi di Forum Stories From The Heart di Kaskus ini 
Semoga masih ada yang inget sama gue ya
Kali ini gue kembali lagi dengan sebuah cerita yang bukan gue sendiri yang mengalami, melainkan sahabat gue.
Semoga cerita gue ini bisa berkenan di hati para pembaca sekalian

Semoga masih ada yang inget sama gue ya

Kali ini gue kembali lagi dengan sebuah cerita yang bukan gue sendiri yang mengalami, melainkan sahabat gue.
Semoga cerita gue ini bisa berkenan di hati para pembaca sekalian


*note : cerita ini sudah seizin yang bersangkutan.
Quote:
Quote:
Diubah oleh jayanagari 24-04-2016 00:40
Dhekazama dan 8 lainnya memberi reputasi
9
420.9K
1.5K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jayanagari
#445
PART 21
Hujan turun semakin deras, ketika gue menghirup tegukan terakhir dari kopi gue. Sherly dan gue masih ada di tempat yang sama, sementara jam menunjukkan pukul 11 malam. Gue menoleh ke Sherly.
Sherly menggeleng.
Gue tersenyum, lalu menggeser posisi duduk gue, menjadi menghadap Sherly. Sementara itu Sherly merapikan posisi duduknya.
Sherly tersenyum lembut.
Sekali lagi senyum Sherly gak pernah pudar. Seakan senyumannya itu alami terukir di wajahnya. Sejenak dia membersihkan jemarinya, entah itu beneran kotor atau hanya tindakan refleks ketika dia sedang berpikir.
Sherly kemudian bercerita perlahan-lahan tentang masa kecilnya. Dia pada awalnya tinggal bersama kedua orangtuanya. Suatu hari, kedua orangtuanya meninggal dengan tragis dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Sherly kemudian dirawat oleh sang nenek, yang kebetulan hanya tinggal satu-satunya keluarga yang masih ada. Waktu Sherly berumur 4 tahun, sang nenek meninggal dunia. Kemudian oleh tetangga yang bersimpati terhadap Sherly kecil, dimasukkanlah Sherly ke panti asuhan. Sejak saat itu dia menjadi penghuni panti asuhan, hingga umurnya beranjak dewasa.
Semenjak SD hingga SMA, Sherly bersekolah di Medan. Bagi Sherly, saat-saat penerimaan rapor adalah saat yang paling menyedihkan untuknya. Beberapa kali pihak pengurus yang menjadi wali nya, pernah juga dia meminta tolong kepada orang tua temannya. Tapi pernah sekali, waktu penerimaan rapor sewaktu SMA, kebetulan dia sedang sakit dan gak bisa menghadiri pengambilan rapor itu. Jadilah dia mengambil rapornya di hari berikutnya, sendirian. Ketika itu entah kenapa pihak sekolah bersikukuh gak memperbolehkan Sherly mengambil sendiri, harus dengan wali muridnya.
Sherly gak menyerah, dia berlari keluar sekolah, dan berdiri di pinggir jalan, mencegat siapapun yang lewat, agar bersedia mengambilkan rapor untuknya. Akhirnya ada seorang ibu-ibu yang dengan sukarela bersedia, dan sejak saat itu ibu-ibu tersebut menjadi donatur tetap di panti asuhan tempat Sherly tinggal.
Sewaktu Sherly lulus SMA, dia menghadapi masalah baru, yaitu masalah biaya untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Dengan segala tekad dan usahanya, dia sempat magang di sebuah lembaga pelatihan. Kesempatan itu dipergunakannya untuk meminta kesediaan dari perusahaan-perusahaan yang menggunakan jasa lembaga pelatihan tersebut, untuk membiayai pendidikannya. Akhirnya didapatkan satu perusahaan yang bersedia membiayai pendidikannya itu, dengan persyaratan ketika dia lulus harus bersedia menjadi karyawati disana.
Dua bulan sebelum Sherly masuk perguruan tinggi, dia pindah ke Tangerang, tempat perusahaan yang membiayainya itu berkantor. Selama dua bulan itu dia magang dan mendapatkan fasilitas berupa mess dan uang saku. Dari uang saku itulah dia menabung, untuk biaya transportasi pindah kemari.
Untuk uang saku sehari-hari, dia mengandalkan hasil usaha online shop nya yang dirintis bersama temannya. Dari hasil usaha online shop itulah dia bisa membeli motor yang tempo hari dititipkan di kosan gue. Usaha online shop itu tumbuh besar karena usaha Sherly yang pantang menyerah.
Ketika Sherly selesai bercerita tentang dirinya itu, gue tertegun mendengar semuanya. Betapa luar biasa kehidupannya selama ini, dan usahanya. Atas semua itu, dia selalu bersyukur dan mencoba menolong orang sejauh yang dia bisa. Segala usaha, doa dan airmatanya telah mengantarkan dia ke titik ini, dimana dia duduk di hadapan gue, dengan segala keunikan dan keistimewaannya.
Sherly membuka dompet yang selama ini dipegangnya, selagi dia bercerita. Di dalam dompet berwarna biru muda itu gue melihat selembar foto yang sudah menguning, yang diletakkan di balik lapisan bening dari sebuah dompet. Itu adalah foto Sherly dan almarhum kedua orang tuanya ketika dia masih bayi.
Sherly memandangi foto tua tersebut dengan penuh kasih sayang, dan menyentuh plastik pembungkusnya dengan lembut. Sejenak kemudian gue menyadari bahwa Sherly menangis. Dia menangis sambil tetap memandangi foto tersebut, dan gue terpaku tanpa tahu apa yang harus gue lakukan pada saat itu. Air matanya mengalir di pipinya, dan dia menggigit bibirnya, menahan tangis. Tampaknya kerinduan yang ada di hatinya telah sedemikian besar sehingga dia gak mampu lagi membendung air matanya.
Gue meraih tangan Sherly, untuk pertama kalinya, dan menggenggamnya erat sebagai pengingat bahwa dia gak sendirian menghadapi perasaannya itu. Sherly pun membalas genggaman gue erat, sementara gue berlutut di depannya. Kemudian tanpa gue duga, Sherly memeluk gue. Untuk sesaat gue terkejut, namun insting gue memerintahkan agar gue membalas pelukannya dengan hangat.
Gue memeluk Sherly erat, dan mengelus-elus rambutnya yang hitam ikal itu agar dia menjadi lebih tenang. Inilah kali pertama dia melepaskan topeng tangguhnya, dan memperlihatkan perasaannya ke gue. Barangkali satu lakon di panggung kehidupannya berakhir sudah, dan waktunya dia untuk turun panggung, menjadi dirinya sendiri.
Gue kemudian berbisik lembut di telinga Sherly.
Malam itu, gue mengenal Sherly lebih dalam, dan gue disadarkan bahwa yang namanya takdir itu gak bisa dihindari. Didalam keheningan pelukan itulah gue berdoa, agar gue bisa sedikit membantu meringankan apa yang jadi beban Sherly.
Spoiler for :
Hujan turun semakin deras, ketika gue menghirup tegukan terakhir dari kopi gue. Sherly dan gue masih ada di tempat yang sama, sementara jam menunjukkan pukul 11 malam. Gue menoleh ke Sherly.
Quote:
Sherly menggeleng.
Quote:
Gue tersenyum, lalu menggeser posisi duduk gue, menjadi menghadap Sherly. Sementara itu Sherly merapikan posisi duduknya.
Quote:
Sherly tersenyum lembut.
Quote:
Sekali lagi senyum Sherly gak pernah pudar. Seakan senyumannya itu alami terukir di wajahnya. Sejenak dia membersihkan jemarinya, entah itu beneran kotor atau hanya tindakan refleks ketika dia sedang berpikir.
Quote:
Sherly kemudian bercerita perlahan-lahan tentang masa kecilnya. Dia pada awalnya tinggal bersama kedua orangtuanya. Suatu hari, kedua orangtuanya meninggal dengan tragis dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Sherly kemudian dirawat oleh sang nenek, yang kebetulan hanya tinggal satu-satunya keluarga yang masih ada. Waktu Sherly berumur 4 tahun, sang nenek meninggal dunia. Kemudian oleh tetangga yang bersimpati terhadap Sherly kecil, dimasukkanlah Sherly ke panti asuhan. Sejak saat itu dia menjadi penghuni panti asuhan, hingga umurnya beranjak dewasa.
Semenjak SD hingga SMA, Sherly bersekolah di Medan. Bagi Sherly, saat-saat penerimaan rapor adalah saat yang paling menyedihkan untuknya. Beberapa kali pihak pengurus yang menjadi wali nya, pernah juga dia meminta tolong kepada orang tua temannya. Tapi pernah sekali, waktu penerimaan rapor sewaktu SMA, kebetulan dia sedang sakit dan gak bisa menghadiri pengambilan rapor itu. Jadilah dia mengambil rapornya di hari berikutnya, sendirian. Ketika itu entah kenapa pihak sekolah bersikukuh gak memperbolehkan Sherly mengambil sendiri, harus dengan wali muridnya.
Sherly gak menyerah, dia berlari keluar sekolah, dan berdiri di pinggir jalan, mencegat siapapun yang lewat, agar bersedia mengambilkan rapor untuknya. Akhirnya ada seorang ibu-ibu yang dengan sukarela bersedia, dan sejak saat itu ibu-ibu tersebut menjadi donatur tetap di panti asuhan tempat Sherly tinggal.
Sewaktu Sherly lulus SMA, dia menghadapi masalah baru, yaitu masalah biaya untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Dengan segala tekad dan usahanya, dia sempat magang di sebuah lembaga pelatihan. Kesempatan itu dipergunakannya untuk meminta kesediaan dari perusahaan-perusahaan yang menggunakan jasa lembaga pelatihan tersebut, untuk membiayai pendidikannya. Akhirnya didapatkan satu perusahaan yang bersedia membiayai pendidikannya itu, dengan persyaratan ketika dia lulus harus bersedia menjadi karyawati disana.
Dua bulan sebelum Sherly masuk perguruan tinggi, dia pindah ke Tangerang, tempat perusahaan yang membiayainya itu berkantor. Selama dua bulan itu dia magang dan mendapatkan fasilitas berupa mess dan uang saku. Dari uang saku itulah dia menabung, untuk biaya transportasi pindah kemari.
Untuk uang saku sehari-hari, dia mengandalkan hasil usaha online shop nya yang dirintis bersama temannya. Dari hasil usaha online shop itulah dia bisa membeli motor yang tempo hari dititipkan di kosan gue. Usaha online shop itu tumbuh besar karena usaha Sherly yang pantang menyerah.
Ketika Sherly selesai bercerita tentang dirinya itu, gue tertegun mendengar semuanya. Betapa luar biasa kehidupannya selama ini, dan usahanya. Atas semua itu, dia selalu bersyukur dan mencoba menolong orang sejauh yang dia bisa. Segala usaha, doa dan airmatanya telah mengantarkan dia ke titik ini, dimana dia duduk di hadapan gue, dengan segala keunikan dan keistimewaannya.
Sherly membuka dompet yang selama ini dipegangnya, selagi dia bercerita. Di dalam dompet berwarna biru muda itu gue melihat selembar foto yang sudah menguning, yang diletakkan di balik lapisan bening dari sebuah dompet. Itu adalah foto Sherly dan almarhum kedua orang tuanya ketika dia masih bayi.
Sherly memandangi foto tua tersebut dengan penuh kasih sayang, dan menyentuh plastik pembungkusnya dengan lembut. Sejenak kemudian gue menyadari bahwa Sherly menangis. Dia menangis sambil tetap memandangi foto tersebut, dan gue terpaku tanpa tahu apa yang harus gue lakukan pada saat itu. Air matanya mengalir di pipinya, dan dia menggigit bibirnya, menahan tangis. Tampaknya kerinduan yang ada di hatinya telah sedemikian besar sehingga dia gak mampu lagi membendung air matanya.
Gue meraih tangan Sherly, untuk pertama kalinya, dan menggenggamnya erat sebagai pengingat bahwa dia gak sendirian menghadapi perasaannya itu. Sherly pun membalas genggaman gue erat, sementara gue berlutut di depannya. Kemudian tanpa gue duga, Sherly memeluk gue. Untuk sesaat gue terkejut, namun insting gue memerintahkan agar gue membalas pelukannya dengan hangat.
Gue memeluk Sherly erat, dan mengelus-elus rambutnya yang hitam ikal itu agar dia menjadi lebih tenang. Inilah kali pertama dia melepaskan topeng tangguhnya, dan memperlihatkan perasaannya ke gue. Barangkali satu lakon di panggung kehidupannya berakhir sudah, dan waktunya dia untuk turun panggung, menjadi dirinya sendiri.
Gue kemudian berbisik lembut di telinga Sherly.
Quote:
Malam itu, gue mengenal Sherly lebih dalam, dan gue disadarkan bahwa yang namanya takdir itu gak bisa dihindari. Didalam keheningan pelukan itulah gue berdoa, agar gue bisa sedikit membantu meringankan apa yang jadi beban Sherly.
pulaukapok dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
: apa?