- Beranda
- Stories from the Heart
Claudya.
...
TS
kevinadr04
Claudya.
haloo.. kali ini ane mau nulis cerita baru, dan dengan gaya tulisan yang baru
setelah sebelumnya dengan cerita DIALOGUE (DIA, LO, GUE) yang nggak kelar, karena ada sesuatu, bukan bermasalah sama tokohnya tapi karena ane udah agak lupa cerita dan kisahnya, makanya nggak ane terusin
insyaAllah, kali ane tulis sampe kelar sambil ngisi liburan kuliah dan belajar nulis. Hehe
PROLOG:
INDEX
setelah sebelumnya dengan cerita DIALOGUE (DIA, LO, GUE) yang nggak kelar, karena ada sesuatu, bukan bermasalah sama tokohnya tapi karena ane udah agak lupa cerita dan kisahnya, makanya nggak ane terusin
insyaAllah, kali ane tulis sampe kelar sambil ngisi liburan kuliah dan belajar nulis. Hehe
PROLOG:
Spoiler for :
INDEX
Spoiler for :
Diubah oleh kevinadr04 01-10-2015 04:14
anasabila memberi reputasi
1
9.5K
61
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kevinadr04
#56
Random Moment
Sepulang dari rumah Claudya, pikiranku masih kacau memikirkan cara agar Claudya tidak sampai terlibat dalam masalah ini. Masalahnya, rencana membalas kejahilan Rian atas motornya Fajar belum berjalan, ditambah lagi ini sebuah ancaman baru bagiku. Aku memutuskan untuk menelepon Fajar dan datang kerumah, kebetulan rumahku juga lagi sepi, sekeluarga tidak ada dirumah dari aku pulang kerumah.
“Jar, lo dimana?” tanyaku saat telepon diangkat.
“Dirumah coy, kenapa?” jawab Fajar dari seberang telepon.
“Kerumah gue, deh. Gue pengen minta bantuan lo nih.”
“Oh, oke. Gue otw sana nih.” Telepon tersebut langsung dimatikan oleh Fajar tanpa basa-basi.
Fajar tidak pernah keberatan jika aku suruh untuk datang kerumah, dia selalu siap datang ketika aku telepon, kecuali kalau dia memang benar-benar ada urusan dirumah dan tidak bisa diganggu gugat ia pasti bisa langsung bilang jika ia tidak bisa untuk datang.
Sambil menunggu kedatangan Fajar, aku membuat dua gelas teh hangat untuk kita berdua, bukan dengan maksud layaknya sepasang kekasih yang menikmati segelas teh hangat lalu menatap langit mengharapkan bintang jatuh, tapi lebih kepada dua orang sahabat yang selalu bersama saat keadaan apapun. Aku sengaja membuat teh hangat karena kami berdua lebih suka minum teh daripada kopi.
“Kevinn..”
“Kevinn..”
Fajar berteriak sambil melongok-longok dari depan gerbang rumahku yang hanya berukuran 170 cm saja tingginya.
“Kayak anak bocah dah, manggilnya teriak-teriak.” Sahutku dari teras rumah.
“Eh, ada orangnya. Jadi malu gue. Hehe” ucap Fajar.
“Emang lu bikin malu mulu, kamprett.” aku menghampiri Fajar untuk membukakan pintu gerbang.
“Yaelah, bro.” ucap Fajar singkat.
“Auu amattt..”
“Ada apaan luh nyuruh gue dateng malem-malem gini?” tanya Fajar langsung ke inti pembicaraan.
Aku mengerutkan kening, “Udah kayak orang penting aja luh, langsung nanya ke topiknya.” Sindirku, “minum dulu, nih.” sambil memberikan segelas teh yang tadi kubuat.
“Nahh.. gini dong, kalo gue kesini langsung disediain teh.” Fajar langsung menengguk teh yang kubuat, “rokoknya mana nih? Nggak sekalian?” pintanya.
“Kok ini tamu lama-lama ngelunjak, ya? Udah pernah disambit pake ember belum?” ucapku sambil melirik sinis ke arahnya.
Fajar tertawa terbahak-bahak, “Hehe. tenang aja bro, gue udah bawa stock rokok.” Fajar langsung mengeluarkan rokok dari kantong celananya.
“Jadi gini, Jar…”
“Gue tau, luh pasti mau ngomongin Claudya, kan?” tanyanya.
“Dihh!! Gue tampar pake tatakan gelas juga luh, dari kemaren setiap gue mau ngomong dipotong mulu.”
“HAHA.” Fajar tertawa puas, “Sensian banget luh kayak perempuan.”
“Cerewet!” Potongku, “Gue malah jadi tambah bingung nih, baru juga nyusun rencana, udah nambah masalah baru lagi.”
“Gue juga heran, Vin. Dia bisa tau Claudya itu cewek lu dari mana, ya?” Fajar mencoba menerka-nerka bagaimana Rian bisa sampai tau, “Nahh!! Jangan-jangann..” Fajar menggangtungkan ucapannya.
“Jangan-jangan apaan, Jar?” tanyaku penasarann..
“Jangan-jangan….” Fajar masih menggantungkan ucapannya, “Nanti dulu ah, gue kebelet kencing. Numpang kamar mandi, Vin.” Fajar langsung berlari menuju kamar mandi.
“Ah, semprul!” aku menggerutu karena pertanyaanku masih digantung olehnya. Aku memegangi gelas teh, memutar-mutar jariku di atas gelas teh yang tadi kuminum sambil menunggu jawaban atas rasa penasaranku.
“Jadi, menurut pandangan gue nih, Vin..” suara Fajar tiba-tiba dari arah belakang.
“Wedhuss! Ngagetin gue aja luh.” ucapku begitu kesal.
“Haha. Mungkin nih, ya.. Rian tau kalo Claudya itu cewek luh, waktu Claudya kemarin dateng ke sekolahan kita, deh.” Fajar mengencangkan gesper yang tadi ia kendurkan saat buang air, “Lagi, siapa yang nyuruh Claudya dateng ke sekolah kita segala, sih?” Sambungnya, lalu memasukkan tali gespernya satu persatu.
“Yang nyuruh dia dateng ke sekolah kita juga siapaa??? Dia dateng sendiri!!”
“Ah, makin rumit aja dah nih urusan.” Fajar membakar rokoknya yang tergeletak di meja, lalu mengepulkan seluruh asap dari mulutnya.
Fajar bolak-balik berdiri di hadapanku seperti sedang merencakan sesuatu, aku sedikit percaya dengan apa yang di rencanakan Fajar. Walaupun kadang rencananya lebih sering berakhir berantakan ketimbang mulusnya, tapi aku hargai usahanya.
“Hmm.. gue curiga kalo ternyata Claudya cuma buat pancingan doang, deh.” Fajar menghisap rokok yang ada di tangannya.
“Maksudnya?” aku sedikit bingung dengan ucapannya.
“Gue kira lu pinter, Vin.” Sindirnya, “Ternyata lu lebih bego dari Rhino, ya?” Fajar mendekatkan wajahnya di depan wajahku.
Aku sedikit melotot padanya karena wajahnya terlalu dekat, “Maksudnya gimana, sih?” aku masih tidak mengerti apa yang dimaksud dengan ucapan Fajar.
“Fix! Lo lebih bego dari Rhino,” Fajar menaruh telunjuknya tepat di keningku, “jadi, Rian sengaja pancing lu pake Claudya, biar kita tuh ngemis-ngemis sama dia nantinya.”
“Syitt!!”
“Terus, sekarang mau gimana nih?” tanya Fajar, “Sebenernya gue udah paling males kalo urusan laki, tapi pake bawa-bawa perempuan segala.” Sambungnya.
“Tau, ah. Gue udah mentok banget buat mikir.” Aku langsung menghabiskan teh yang ada di dalam gelas.
Tak lama aku menaruh gelas di meja, terdengar suara pintu gerbang terbuka, pertanda keluargaku sudah pulang. Fajar yang tidak terbiasa, langsung mati gaya saat kedatangan keluarga dirumah. Fajar bersikap sesantai dan sesopan mungkin di depan keluargaku.
“Udah. santai aja, Jar.” Aku mencoba menenangkannya.
“Assalamualaikum..” salam ibuku, “Eh, Fajar lagi main, Vin?” sambungnya sambil melirik ke arah Fajar.
“Hehe. iya, tante.” Fajar langsung menghampiri ibuku untuk bersalaman.
“Mamah ke dalem dulu ya, Vin.”
“Iya.” Jawabku singkat.
Ibu, kakak dan adikku langsung masuk ke dalam rumah membawa tentengan di tangannya masing-masing, disusul gerakan anggukan kepada Fajar menandakan “masuk dulu”, sementara ayahku masih sibuk memarkirkan mobil di garasi. tidak biasanya ayah mengeluarkan mobil, aku sangat tahu ayah tidak suka sekali membawa mobil. Karena jalanan Jakarta yang sangat tidak bersahabat untuk kendaraan roda empat membuat ayah sangat malas membawa mobil.
“Liat nih, Jar. Sebentar lagi dia pasti gerutu dahh.” Bisikku pada Fajar sambil melirik ke ayahku.
“Hadohh.. jalanan macet banget, sampe mumet banget kepala.” Ucap ayahku saat turun dari mobil. “malah tadi truck waktu tanjakan pake turun lagi, abis dah nih mobil jadi penyok. Semprull!!” sambungnya sambil mengelus-elus kap mesin yang tertabrak.
“Tuhh.. bener kan, Jar? Hehe” tanyaku, Fajar hanya tertawa cekikikan mendengar ucapanku yang tepat.
“Eh, ada Fajar. Lagi main?” tanya ayahku sambil melepas sepatu.
“Iya, om. Tadi di telepon Kevin, katanya suruh main kerumah.” Jawab Fajar kaku.
“Yaudah, terusin. Om masuk ke dalem dulu ya.” Ayahku masuk ke dalam rumah.
Keheningan sempat terjadi beberapa menit antara aku dan juga Fajar, seperti seorang pacar yang lagi main kerumah calon mertuanya. Hanya ada suara jangkrik dan juga suara dedaunan yang saling bergesekan tertiup angin.
“Gue balik dulu dah, besok kita omongin lagi.” Fajar menghabiskan teh yang tersisa lalu bangkit dari tempat duduknya.
“Yaudah,” jawabku singkat.
Sia-sia juga aku menyuruh fajar untuk datang kerumah malam-malam, ujung-ujungnya sama saja, tidak ada solusinya juga. Tapi ada untungnya sih, dari obrolan malam ini, aku menemukan alasan mengapa Rian sampai membawa-bawa Claudya dalam masalah ini, Claudya hanya dijadikan umpan untukku dan juga teman-temanku.
***
Siang ini aku hanya memandangi cangkir susu yang ku minum, hari ini aku libur sekolah dan aku juga hari ini tidak ada acara. Mau mengajak pergi Claudya bingung, lagi juga tidak enak dengan ibunya kalau aku kerumahnya terus. Walaupun aku tau siang ini ibunya tidak ada dirumah.
Drrtt.. Drrtt..
“Ah, elah. Siapa sih, tengah hari bolong begini nelpon.” Ucapku kesal. Dan saat ku lihat ke layar handphone, lagi-lagi Zara yang menelepon.
“Haloo.. kenapa, Zar?” tanyaku.
“Woyy.. apa kabar lo? Sombong banget lo sama gue.” Jawabnya dari seberang telepon.
“Alhamdulillah, bae. Lo sendiri apa kabar? Hett.. sombong apanya sih, Zar? Haha”
“Alhamdulillah, bae juga gue. Pake nanya lagi sombong apanya, jelas-jelas udah nggak pernah bbm gue lagi lo. Eh, lo ada dirumah nggak?”
“Harusnya lo duluan dong yang bbm gue. Haha Hmm.. ada dirumah kok gue, ini lagi nangkring di balkon sambil minum susu. Haha”
“Udah bangkotan juga lo, masih minum susu segala. Haha oke, gue otw kesana nih..”
“Eh, eh..”
Tutt.. Tutt.. Tutt..
Belum sempat aku berbicara, ia sudah mematikan teleponku lebih dulu. Benar-benar kebiasaan anak ini, pasti langsung dimatiin teleponnya tanpa pernah mendengar ucapanku dulu.
“VIN, TURUN!! ADA TEMEN KAMU TUH!!” Teriak ibuku dari bawah.
“Siapa, Mah?” tanyaku heran.
“NGGAK TAU, MAMAH LUPA NAMANYA. CEWEK TEMEN KAMU, CAKEP.” Jawabnya.
“Cewek!!?? Cakep!!??” aku masih bertanya-tanya siapa yang datang, “apa iya Zara udah sampe aja? perasaan baru banget nutup telepon gue.” Pikirku.
“VIN, CEPETAN!! TEMEN KAMU UDAH NUNGGUIN, TUH!!” Ibuku masih berteriak-teriak dari bawah.
“Iya, Mah. Kevin turun nihh..” aku langsung berlari kebawah untuk melihat siapa temanku yang datang.
Dan benar saja, ketika aku turun dari tangga yang datang ternyata Zara. Ini anak jelmaan tuyul kali, ya? Perasaan baru banget kelar nelpon gue, kenapa tau-taunya udah dirumah aja ini anak, gue juga nggak denger ada suara mobil masuk.
“Itu dia orangnya.” Ucap ayahku saat melihatku turun dari tangga.
“Hai, Zar.” Sapaku pada Zara yang tengah mengobrol dengan ayahku.
“Eh, Hai..” sapa balik Zara padaku.
“Zara, om tinggal dulu, ya? Kevin udah turun juga tuh.” ayahku bangkit dari duduknya dan meninggalkan kami berdua.
“Oh. Iya, Om.” Jawab Zara ramah.
“Ngobrol apaan tadi sama bokap, Ra? Jelek-jelekin gue, ya? Haha” aku duduk sebelah Zara.
“Yee.. pede banget lo! Nggak perlu dijelek-jelekin juga emang elo udah jelek. Haha” jawab Zara singkat dan sedikit menyakitkan.
“Bangke. Haha” Aku hanya tertawa mendengar sindirannya.
“Naek apaan luh kesini?” tanyaku, “Perasaan gue nggak denger ada suara mobil di depan rumah.”
“Naik…. Motor. Hehe” Jawabnya sambil menyengir bodoh.
“Kali dah??” aku masih tidak percaya dengan ucapannya.
“Beneran. Coba liat ke garasi aja kalo nggak percaya, ada mobil gue nggak?” Ucapnya.
Aku langsung melihat garasi mencoba memastikan ucapannya, dan kulihat ada motor yang tak ku kenal tengah terparkir di garasi. “Lahh, ternyata beneran naek motor ini anak. Tapi sekalinya bawa motor, motornya Vespa LX150. kamfrett.” Batinku.
“Tumben banget luh bawa motor. Haha” aku kembali duduk disampingnya.
“Lagi iseng. Haha lagian sayang juga, udah 2 hari nggak gue panas-panasin.” Ucapnya.
“Hoo.. mau minum apa, Zar?” aku mencoba menawarkan, kulihat di meja memang belum dibuatkan minum.
“Hmm.. udah, nggak usah-usah repot. Susu aja kalo ada.” Ucapnya sesuka hati.
“Yee.. tamu kayak gini ini, yang ngelunjak. Orang tanya basa-basi, malah minta beneran. Tadi ngeledekin gue, sekarang dia malah minta susu.” sindirku, “lagi, udah punya susu juga. Masih pengen susu aja.” aku sambil melirik ke arah dadanya.
Merasa aku melihat ke arah dadanya, Zara langsung menyambitku dengan bantal yang ada di sofa. “Dasar otak mesum lo!!”
“Kalo gue otak mesum waktu di puncak juga udah gue apa-apain dah, Zar. Haha” aku menyambit bantalnya kembali ke arahnya.
Zara tertawa, “Yee.. Emang dasarnya mau lo itu!”
“Bentar, gue mau ngambil minum dulu.”
Aku menuju ke dapur untuk mengambilkan minum yang diminta orang tidak jelas ini. menelepon semaunya, datang kerumah pun juga semaunya. Dibilang tidak sopan, tidak juga. ia sangat jauh dari kata tidak sopan. Aku bisa lihat saat ia tadi berbicara dengan ayahku saat aku belum ada, mungkin Zarah sopan hanya dengan orang tua saja, tapi dengan sebayanya malah termasuk kategori ngeselin.
“Nihh.. minumnya.” Aku menaruh segelas susu dingin untuknya.
Zara melirik ke arah gelasnya, “Loh, beneran dikasih susu. Haha” disusul tawa Zara. “Padahal gue cuma bercanda loh mintanya. Hehe” sambungnya.
“Halahh..” ucapku singkat.
“Nggak kemana-mana lo? Weekend nih.” Tanyanya.
“Nggak. Mau kemana emang?” aku membuka kaleng biscuit yang ada di meja.
“Yaa, jalan lah. Kemana kek gitu. Udah kayak jomblo aja lo, weekend gini dirumah aja.”
“Hazz.. gue dirumah doang aja ada yang ngapelin.” Ucapku sambil memakan biscuit.
“Siapa!?” tanyanya heran.
“Nihh.. yang di depan gue. Siapa lagi emang?” jawabku sambil melirik ke arahnya.
“Haha. Dasar bahlul!” Ia tertawa mendengar perkataanku.
“Abis dari mana sik luh sebenernya?”
“Dibilang abis jalan-jalan, sekalian manasin motor. Kebetulan gue tadi lewat daerah sini, yaudah gue sekalian maen kerumah lo aja.” ia mengambil kaleng biscuit yang ada di meja, “untung aja lo ada di rumah, kalo nggak ada bingung sendiri gue mau kemana. Haha”
“Cowok lo kemana emang? Haha” ledekku.
“Jangan bahas-bahas cowok, deh. Baru putus nih gue.” Ucapnya begitu marah, tapi mulutnya asik memakan biscuit.
“Ohh.. jadi ternyata Zara sekarang jombs? Haha”
“Sstt.. Berisik!” ia terlihat begitu kesal.
“Zar..” panggilku.
“Kenapa lagi!?” tanyanya sambil melirik sinis.
“Kaleng biscuitnya sih, Zar. Jangan ditodong sendiri gitu, gue kan juga pengen makan.” Ucapku memelas.
“Eh, iya. Sorry-sorry, gue lupa. Gue kebiasaan dirumah. Haha” Zara langsung menaruh kalengnya di meja.
Ini sebenernya yang tuan rumah siapa!!?? Kenapa jadi galakan tamunya daripada tuan rumahnya. Bener-bener ngeselin ini anak, kalo bukan cewek udah gue jitak nih orang.
Zara meminum susu yang kubuatkan tadi untuknya, suasana begitu hening. Kami berdua sama-sama diam, ia sibuk dengan minumnya, sementara aku sibuk dengan handphoneku. BBMan dengan sang kekasih, Claudya.
“Vinn..” panggil Zarah, mengagetkanku yang tengah senyam-senyum sendiri dengan handphone.
Aku menaruh handphone di samping sofa tempat aku duduk, “Iya. kenapa, Zar?” tanyaku.
“Jalan, yuk!” ajaknya.
“Mau kemana? Panas kann.” Keluhku.
“Halahh.. lebay lo ah jadi cowok, sama panas aja ngeluh.” Sindirnya.
Hadehh.. Bener-bener minta ditabokin pake kalaeng biscuit ini anak. Ini namanya pemaksaan secara nggak langsung. Hih!
“Yaudah, mau kemana?” tanyaku dengan nada malas, “jangan bilang ngajakin pergi ke mall?” sindirku.
“Hehe.” ia hanya menjawab dengan cengiran bodoh.
“Males, ah. Nanti luh pake belanja dah.” Keluhku.
“Nggak. Benerann dah, sumpah.” Ucapnya sambil mengangkat kedua jarinya.
“Naek motor siapa nih?” tanyaku memastikan.
“Naek motor gue aja, nanti kerumah gue dulu sekalian nuker.” Ucapnya.
“Ah, ogah. Kalo pake acara naek mobil segala, males gue.”
“Yaudah, yaudah. Naik motor aja, deh.” Zara mendekatiku masih mencoba merayuku agar aku mau menemaninya. “Ganti baju lo, jangan pake kaos oblong kayak gini. Pake kemeja aja biar rapihan dikit.”
“Gilak. Ternyata pergi sama luh ribet banget, ya? Sumpah!” ucapku singkat, lalu langsung meninggalkannya untuk mengganti baju di kamar.
Setelah menuruti permintaan Zara tadi, aku langsung menemuinya di bawah. Kulihat ia tengah sibuk dengan handphonenya, sangat serius, sampai-sampai ia tidak menyadari kalau aku sudah ada di sebelahnya. “ini anak kalo udah megang hengpon, rmang autis gini apa, ya?” pikirku.
“Ehemm..”
Aku mencoba untuk menyadarkannya, tapi ia masih belum sadar juga bahwa aku sudah siap untuk pergi.
“Neng, kalo masih sibuk aja, abang tinggal, ya?” celetekku di telinganya.
Sesaat ia menatapku heran dan langsung memasukkan handphonenya ke dalam saku celananya, “Eh, udah rapih? Sorry-sorry, gue nggak tau kalo lo udah rapih.” Ucapnya.
“Ya udah, lah. Gue kan bukan cewek. Yang selalu bingung mau pake baju apa pas mau pergi, dan bilang nggak ada baju padahal pas dibuka lemarinya, itu baju sampe nggak muat di dalem, saking banyaknya. ckck” Celetukku.
Sesaat ia tertawa geli mendengar ucapanku, “Haha. Tau banget lo sama masalah cewek. Yaudah, berangkat yuk! Pamit sama bonyok lo.” Ia langsung bangun dari duduknya.
Kami berdua pamit pada kedua orang tuaku untuk pergi. Dan lagi-lagi, aku yang disuruh untuk membawa kendaraannya! Udah dia yang minta temenin, tapi dia juga bersikap semaunya dan yang lebih ngeselinnya, diperjalanan dia sibuk dengan handphonenya! Itu kulihat dari kaca spion yang sengaja agak sedikit aku naikkan. Selain bisa melihat ke belakang, tapi bisa melihat ke arah dia juga. Ini sih namanya ngerjain, bukan minta temenin. Hadehh.. nasib-nasib.
“Jar, lo dimana?” tanyaku saat telepon diangkat.
“Dirumah coy, kenapa?” jawab Fajar dari seberang telepon.
“Kerumah gue, deh. Gue pengen minta bantuan lo nih.”
“Oh, oke. Gue otw sana nih.” Telepon tersebut langsung dimatikan oleh Fajar tanpa basa-basi.
Fajar tidak pernah keberatan jika aku suruh untuk datang kerumah, dia selalu siap datang ketika aku telepon, kecuali kalau dia memang benar-benar ada urusan dirumah dan tidak bisa diganggu gugat ia pasti bisa langsung bilang jika ia tidak bisa untuk datang.
Sambil menunggu kedatangan Fajar, aku membuat dua gelas teh hangat untuk kita berdua, bukan dengan maksud layaknya sepasang kekasih yang menikmati segelas teh hangat lalu menatap langit mengharapkan bintang jatuh, tapi lebih kepada dua orang sahabat yang selalu bersama saat keadaan apapun. Aku sengaja membuat teh hangat karena kami berdua lebih suka minum teh daripada kopi.
“Kevinn..”
“Kevinn..”
Fajar berteriak sambil melongok-longok dari depan gerbang rumahku yang hanya berukuran 170 cm saja tingginya.
“Kayak anak bocah dah, manggilnya teriak-teriak.” Sahutku dari teras rumah.
“Eh, ada orangnya. Jadi malu gue. Hehe” ucap Fajar.
“Emang lu bikin malu mulu, kamprett.” aku menghampiri Fajar untuk membukakan pintu gerbang.
“Yaelah, bro.” ucap Fajar singkat.
“Auu amattt..”
“Ada apaan luh nyuruh gue dateng malem-malem gini?” tanya Fajar langsung ke inti pembicaraan.
Aku mengerutkan kening, “Udah kayak orang penting aja luh, langsung nanya ke topiknya.” Sindirku, “minum dulu, nih.” sambil memberikan segelas teh yang tadi kubuat.
“Nahh.. gini dong, kalo gue kesini langsung disediain teh.” Fajar langsung menengguk teh yang kubuat, “rokoknya mana nih? Nggak sekalian?” pintanya.
“Kok ini tamu lama-lama ngelunjak, ya? Udah pernah disambit pake ember belum?” ucapku sambil melirik sinis ke arahnya.
Fajar tertawa terbahak-bahak, “Hehe. tenang aja bro, gue udah bawa stock rokok.” Fajar langsung mengeluarkan rokok dari kantong celananya.
“Jadi gini, Jar…”
“Gue tau, luh pasti mau ngomongin Claudya, kan?” tanyanya.
“Dihh!! Gue tampar pake tatakan gelas juga luh, dari kemaren setiap gue mau ngomong dipotong mulu.”
“HAHA.” Fajar tertawa puas, “Sensian banget luh kayak perempuan.”
“Cerewet!” Potongku, “Gue malah jadi tambah bingung nih, baru juga nyusun rencana, udah nambah masalah baru lagi.”
“Gue juga heran, Vin. Dia bisa tau Claudya itu cewek lu dari mana, ya?” Fajar mencoba menerka-nerka bagaimana Rian bisa sampai tau, “Nahh!! Jangan-jangann..” Fajar menggangtungkan ucapannya.
“Jangan-jangan apaan, Jar?” tanyaku penasarann..
“Jangan-jangan….” Fajar masih menggantungkan ucapannya, “Nanti dulu ah, gue kebelet kencing. Numpang kamar mandi, Vin.” Fajar langsung berlari menuju kamar mandi.
“Ah, semprul!” aku menggerutu karena pertanyaanku masih digantung olehnya. Aku memegangi gelas teh, memutar-mutar jariku di atas gelas teh yang tadi kuminum sambil menunggu jawaban atas rasa penasaranku.
“Jadi, menurut pandangan gue nih, Vin..” suara Fajar tiba-tiba dari arah belakang.
“Wedhuss! Ngagetin gue aja luh.” ucapku begitu kesal.
“Haha. Mungkin nih, ya.. Rian tau kalo Claudya itu cewek luh, waktu Claudya kemarin dateng ke sekolahan kita, deh.” Fajar mengencangkan gesper yang tadi ia kendurkan saat buang air, “Lagi, siapa yang nyuruh Claudya dateng ke sekolah kita segala, sih?” Sambungnya, lalu memasukkan tali gespernya satu persatu.
“Yang nyuruh dia dateng ke sekolah kita juga siapaa??? Dia dateng sendiri!!”
“Ah, makin rumit aja dah nih urusan.” Fajar membakar rokoknya yang tergeletak di meja, lalu mengepulkan seluruh asap dari mulutnya.
Fajar bolak-balik berdiri di hadapanku seperti sedang merencakan sesuatu, aku sedikit percaya dengan apa yang di rencanakan Fajar. Walaupun kadang rencananya lebih sering berakhir berantakan ketimbang mulusnya, tapi aku hargai usahanya.
“Hmm.. gue curiga kalo ternyata Claudya cuma buat pancingan doang, deh.” Fajar menghisap rokok yang ada di tangannya.
“Maksudnya?” aku sedikit bingung dengan ucapannya.
“Gue kira lu pinter, Vin.” Sindirnya, “Ternyata lu lebih bego dari Rhino, ya?” Fajar mendekatkan wajahnya di depan wajahku.
Aku sedikit melotot padanya karena wajahnya terlalu dekat, “Maksudnya gimana, sih?” aku masih tidak mengerti apa yang dimaksud dengan ucapan Fajar.
“Fix! Lo lebih bego dari Rhino,” Fajar menaruh telunjuknya tepat di keningku, “jadi, Rian sengaja pancing lu pake Claudya, biar kita tuh ngemis-ngemis sama dia nantinya.”
“Syitt!!”
“Terus, sekarang mau gimana nih?” tanya Fajar, “Sebenernya gue udah paling males kalo urusan laki, tapi pake bawa-bawa perempuan segala.” Sambungnya.
“Tau, ah. Gue udah mentok banget buat mikir.” Aku langsung menghabiskan teh yang ada di dalam gelas.
Tak lama aku menaruh gelas di meja, terdengar suara pintu gerbang terbuka, pertanda keluargaku sudah pulang. Fajar yang tidak terbiasa, langsung mati gaya saat kedatangan keluarga dirumah. Fajar bersikap sesantai dan sesopan mungkin di depan keluargaku.
“Udah. santai aja, Jar.” Aku mencoba menenangkannya.
“Assalamualaikum..” salam ibuku, “Eh, Fajar lagi main, Vin?” sambungnya sambil melirik ke arah Fajar.
“Hehe. iya, tante.” Fajar langsung menghampiri ibuku untuk bersalaman.
“Mamah ke dalem dulu ya, Vin.”
“Iya.” Jawabku singkat.
Ibu, kakak dan adikku langsung masuk ke dalam rumah membawa tentengan di tangannya masing-masing, disusul gerakan anggukan kepada Fajar menandakan “masuk dulu”, sementara ayahku masih sibuk memarkirkan mobil di garasi. tidak biasanya ayah mengeluarkan mobil, aku sangat tahu ayah tidak suka sekali membawa mobil. Karena jalanan Jakarta yang sangat tidak bersahabat untuk kendaraan roda empat membuat ayah sangat malas membawa mobil.
“Liat nih, Jar. Sebentar lagi dia pasti gerutu dahh.” Bisikku pada Fajar sambil melirik ke ayahku.
“Hadohh.. jalanan macet banget, sampe mumet banget kepala.” Ucap ayahku saat turun dari mobil. “malah tadi truck waktu tanjakan pake turun lagi, abis dah nih mobil jadi penyok. Semprull!!” sambungnya sambil mengelus-elus kap mesin yang tertabrak.
“Tuhh.. bener kan, Jar? Hehe” tanyaku, Fajar hanya tertawa cekikikan mendengar ucapanku yang tepat.
“Eh, ada Fajar. Lagi main?” tanya ayahku sambil melepas sepatu.
“Iya, om. Tadi di telepon Kevin, katanya suruh main kerumah.” Jawab Fajar kaku.
“Yaudah, terusin. Om masuk ke dalem dulu ya.” Ayahku masuk ke dalam rumah.
Keheningan sempat terjadi beberapa menit antara aku dan juga Fajar, seperti seorang pacar yang lagi main kerumah calon mertuanya. Hanya ada suara jangkrik dan juga suara dedaunan yang saling bergesekan tertiup angin.
“Gue balik dulu dah, besok kita omongin lagi.” Fajar menghabiskan teh yang tersisa lalu bangkit dari tempat duduknya.
“Yaudah,” jawabku singkat.
Sia-sia juga aku menyuruh fajar untuk datang kerumah malam-malam, ujung-ujungnya sama saja, tidak ada solusinya juga. Tapi ada untungnya sih, dari obrolan malam ini, aku menemukan alasan mengapa Rian sampai membawa-bawa Claudya dalam masalah ini, Claudya hanya dijadikan umpan untukku dan juga teman-temanku.
***
Siang ini aku hanya memandangi cangkir susu yang ku minum, hari ini aku libur sekolah dan aku juga hari ini tidak ada acara. Mau mengajak pergi Claudya bingung, lagi juga tidak enak dengan ibunya kalau aku kerumahnya terus. Walaupun aku tau siang ini ibunya tidak ada dirumah.
Drrtt.. Drrtt..
“Ah, elah. Siapa sih, tengah hari bolong begini nelpon.” Ucapku kesal. Dan saat ku lihat ke layar handphone, lagi-lagi Zara yang menelepon.
“Haloo.. kenapa, Zar?” tanyaku.
“Woyy.. apa kabar lo? Sombong banget lo sama gue.” Jawabnya dari seberang telepon.
“Alhamdulillah, bae. Lo sendiri apa kabar? Hett.. sombong apanya sih, Zar? Haha”
“Alhamdulillah, bae juga gue. Pake nanya lagi sombong apanya, jelas-jelas udah nggak pernah bbm gue lagi lo. Eh, lo ada dirumah nggak?”
“Harusnya lo duluan dong yang bbm gue. Haha Hmm.. ada dirumah kok gue, ini lagi nangkring di balkon sambil minum susu. Haha”
“Udah bangkotan juga lo, masih minum susu segala. Haha oke, gue otw kesana nih..”
“Eh, eh..”
Tutt.. Tutt.. Tutt..
Belum sempat aku berbicara, ia sudah mematikan teleponku lebih dulu. Benar-benar kebiasaan anak ini, pasti langsung dimatiin teleponnya tanpa pernah mendengar ucapanku dulu.
“VIN, TURUN!! ADA TEMEN KAMU TUH!!” Teriak ibuku dari bawah.
“Siapa, Mah?” tanyaku heran.
“NGGAK TAU, MAMAH LUPA NAMANYA. CEWEK TEMEN KAMU, CAKEP.” Jawabnya.
“Cewek!!?? Cakep!!??” aku masih bertanya-tanya siapa yang datang, “apa iya Zara udah sampe aja? perasaan baru banget nutup telepon gue.” Pikirku.
“VIN, CEPETAN!! TEMEN KAMU UDAH NUNGGUIN, TUH!!” Ibuku masih berteriak-teriak dari bawah.
“Iya, Mah. Kevin turun nihh..” aku langsung berlari kebawah untuk melihat siapa temanku yang datang.
Dan benar saja, ketika aku turun dari tangga yang datang ternyata Zara. Ini anak jelmaan tuyul kali, ya? Perasaan baru banget kelar nelpon gue, kenapa tau-taunya udah dirumah aja ini anak, gue juga nggak denger ada suara mobil masuk.
“Itu dia orangnya.” Ucap ayahku saat melihatku turun dari tangga.
“Hai, Zar.” Sapaku pada Zara yang tengah mengobrol dengan ayahku.
“Eh, Hai..” sapa balik Zara padaku.
“Zara, om tinggal dulu, ya? Kevin udah turun juga tuh.” ayahku bangkit dari duduknya dan meninggalkan kami berdua.
“Oh. Iya, Om.” Jawab Zara ramah.
“Ngobrol apaan tadi sama bokap, Ra? Jelek-jelekin gue, ya? Haha” aku duduk sebelah Zara.
“Yee.. pede banget lo! Nggak perlu dijelek-jelekin juga emang elo udah jelek. Haha” jawab Zara singkat dan sedikit menyakitkan.
“Bangke. Haha” Aku hanya tertawa mendengar sindirannya.
“Naek apaan luh kesini?” tanyaku, “Perasaan gue nggak denger ada suara mobil di depan rumah.”
“Naik…. Motor. Hehe” Jawabnya sambil menyengir bodoh.
“Kali dah??” aku masih tidak percaya dengan ucapannya.
“Beneran. Coba liat ke garasi aja kalo nggak percaya, ada mobil gue nggak?” Ucapnya.
Aku langsung melihat garasi mencoba memastikan ucapannya, dan kulihat ada motor yang tak ku kenal tengah terparkir di garasi. “Lahh, ternyata beneran naek motor ini anak. Tapi sekalinya bawa motor, motornya Vespa LX150. kamfrett.” Batinku.
“Tumben banget luh bawa motor. Haha” aku kembali duduk disampingnya.
“Lagi iseng. Haha lagian sayang juga, udah 2 hari nggak gue panas-panasin.” Ucapnya.
“Hoo.. mau minum apa, Zar?” aku mencoba menawarkan, kulihat di meja memang belum dibuatkan minum.
“Hmm.. udah, nggak usah-usah repot. Susu aja kalo ada.” Ucapnya sesuka hati.
“Yee.. tamu kayak gini ini, yang ngelunjak. Orang tanya basa-basi, malah minta beneran. Tadi ngeledekin gue, sekarang dia malah minta susu.” sindirku, “lagi, udah punya susu juga. Masih pengen susu aja.” aku sambil melirik ke arah dadanya.
Merasa aku melihat ke arah dadanya, Zara langsung menyambitku dengan bantal yang ada di sofa. “Dasar otak mesum lo!!”
“Kalo gue otak mesum waktu di puncak juga udah gue apa-apain dah, Zar. Haha” aku menyambit bantalnya kembali ke arahnya.
Zara tertawa, “Yee.. Emang dasarnya mau lo itu!”
“Bentar, gue mau ngambil minum dulu.”
Aku menuju ke dapur untuk mengambilkan minum yang diminta orang tidak jelas ini. menelepon semaunya, datang kerumah pun juga semaunya. Dibilang tidak sopan, tidak juga. ia sangat jauh dari kata tidak sopan. Aku bisa lihat saat ia tadi berbicara dengan ayahku saat aku belum ada, mungkin Zarah sopan hanya dengan orang tua saja, tapi dengan sebayanya malah termasuk kategori ngeselin.
“Nihh.. minumnya.” Aku menaruh segelas susu dingin untuknya.
Zara melirik ke arah gelasnya, “Loh, beneran dikasih susu. Haha” disusul tawa Zara. “Padahal gue cuma bercanda loh mintanya. Hehe” sambungnya.
“Halahh..” ucapku singkat.
“Nggak kemana-mana lo? Weekend nih.” Tanyanya.
“Nggak. Mau kemana emang?” aku membuka kaleng biscuit yang ada di meja.
“Yaa, jalan lah. Kemana kek gitu. Udah kayak jomblo aja lo, weekend gini dirumah aja.”
“Hazz.. gue dirumah doang aja ada yang ngapelin.” Ucapku sambil memakan biscuit.
“Siapa!?” tanyanya heran.
“Nihh.. yang di depan gue. Siapa lagi emang?” jawabku sambil melirik ke arahnya.
“Haha. Dasar bahlul!” Ia tertawa mendengar perkataanku.
“Abis dari mana sik luh sebenernya?”
“Dibilang abis jalan-jalan, sekalian manasin motor. Kebetulan gue tadi lewat daerah sini, yaudah gue sekalian maen kerumah lo aja.” ia mengambil kaleng biscuit yang ada di meja, “untung aja lo ada di rumah, kalo nggak ada bingung sendiri gue mau kemana. Haha”
“Cowok lo kemana emang? Haha” ledekku.
“Jangan bahas-bahas cowok, deh. Baru putus nih gue.” Ucapnya begitu marah, tapi mulutnya asik memakan biscuit.
“Ohh.. jadi ternyata Zara sekarang jombs? Haha”
“Sstt.. Berisik!” ia terlihat begitu kesal.
“Zar..” panggilku.
“Kenapa lagi!?” tanyanya sambil melirik sinis.
“Kaleng biscuitnya sih, Zar. Jangan ditodong sendiri gitu, gue kan juga pengen makan.” Ucapku memelas.
“Eh, iya. Sorry-sorry, gue lupa. Gue kebiasaan dirumah. Haha” Zara langsung menaruh kalengnya di meja.
Ini sebenernya yang tuan rumah siapa!!?? Kenapa jadi galakan tamunya daripada tuan rumahnya. Bener-bener ngeselin ini anak, kalo bukan cewek udah gue jitak nih orang.
Zara meminum susu yang kubuatkan tadi untuknya, suasana begitu hening. Kami berdua sama-sama diam, ia sibuk dengan minumnya, sementara aku sibuk dengan handphoneku. BBMan dengan sang kekasih, Claudya.
“Vinn..” panggil Zarah, mengagetkanku yang tengah senyam-senyum sendiri dengan handphone.
Aku menaruh handphone di samping sofa tempat aku duduk, “Iya. kenapa, Zar?” tanyaku.
“Jalan, yuk!” ajaknya.
“Mau kemana? Panas kann.” Keluhku.
“Halahh.. lebay lo ah jadi cowok, sama panas aja ngeluh.” Sindirnya.
Hadehh.. Bener-bener minta ditabokin pake kalaeng biscuit ini anak. Ini namanya pemaksaan secara nggak langsung. Hih!
“Yaudah, mau kemana?” tanyaku dengan nada malas, “jangan bilang ngajakin pergi ke mall?” sindirku.
“Hehe.” ia hanya menjawab dengan cengiran bodoh.
“Males, ah. Nanti luh pake belanja dah.” Keluhku.
“Nggak. Benerann dah, sumpah.” Ucapnya sambil mengangkat kedua jarinya.
“Naek motor siapa nih?” tanyaku memastikan.
“Naek motor gue aja, nanti kerumah gue dulu sekalian nuker.” Ucapnya.
“Ah, ogah. Kalo pake acara naek mobil segala, males gue.”
“Yaudah, yaudah. Naik motor aja, deh.” Zara mendekatiku masih mencoba merayuku agar aku mau menemaninya. “Ganti baju lo, jangan pake kaos oblong kayak gini. Pake kemeja aja biar rapihan dikit.”
“Gilak. Ternyata pergi sama luh ribet banget, ya? Sumpah!” ucapku singkat, lalu langsung meninggalkannya untuk mengganti baju di kamar.
Setelah menuruti permintaan Zara tadi, aku langsung menemuinya di bawah. Kulihat ia tengah sibuk dengan handphonenya, sangat serius, sampai-sampai ia tidak menyadari kalau aku sudah ada di sebelahnya. “ini anak kalo udah megang hengpon, rmang autis gini apa, ya?” pikirku.
“Ehemm..”
Aku mencoba untuk menyadarkannya, tapi ia masih belum sadar juga bahwa aku sudah siap untuk pergi.
“Neng, kalo masih sibuk aja, abang tinggal, ya?” celetekku di telinganya.
Sesaat ia menatapku heran dan langsung memasukkan handphonenya ke dalam saku celananya, “Eh, udah rapih? Sorry-sorry, gue nggak tau kalo lo udah rapih.” Ucapnya.
“Ya udah, lah. Gue kan bukan cewek. Yang selalu bingung mau pake baju apa pas mau pergi, dan bilang nggak ada baju padahal pas dibuka lemarinya, itu baju sampe nggak muat di dalem, saking banyaknya. ckck” Celetukku.
Sesaat ia tertawa geli mendengar ucapanku, “Haha. Tau banget lo sama masalah cewek. Yaudah, berangkat yuk! Pamit sama bonyok lo.” Ia langsung bangun dari duduknya.
Kami berdua pamit pada kedua orang tuaku untuk pergi. Dan lagi-lagi, aku yang disuruh untuk membawa kendaraannya! Udah dia yang minta temenin, tapi dia juga bersikap semaunya dan yang lebih ngeselinnya, diperjalanan dia sibuk dengan handphonenya! Itu kulihat dari kaca spion yang sengaja agak sedikit aku naikkan. Selain bisa melihat ke belakang, tapi bisa melihat ke arah dia juga. Ini sih namanya ngerjain, bukan minta temenin. Hadehh.. nasib-nasib.
0