Setelah sekian lama jadi silent reader di SFTH ini, akhirnya ane beranikan diri untuk ikut membuat thread dan menulis cerita.
Cerita ini adalah mix antara true story gw dengan fiksi.
Bagian mana yang true story, dan bagian mana yang fiksi, ane serahkan kepada agan untuk menebaknya aja ya
Tujuan ane nulis cerita ini, adalah semoga agan-agan disini terhibur.
Atau mungkin cerita ini bisa jadi temen agan minum kopi. Atau setidaknya, sambil menunggu cerita di thread laen yang belom di update sama suhu TSnya, bolehlah sekiranya agan mampir dulu disini, menunggu update-an dari mereka keluar
HARAP DIBACA DULU!
Quote:
Di bagian INDEX, ada part-part yang diberi keterangan: With Japanese Translation. Artinya ada 2 versi cerita yang ane tulis. Versi pertama adalah versi tanpa terjemahan bahasa Jepang, yang kedua adalah versi dengan terjemahan bhs Jepang.
Versi kedua ada di bawah versi pertama. Jadi tinggal scroll saja ke bawah.
Bagi yang tidak ingin ter-distract dan fokus pada isi cerita, silakan baca versi pertama.
Bagi yang ingin sekalian mengetahui bhs Jepang di setiap dialognya, silakan baca versi kedua.
“Satu...dua...tiga...ya!” seru tukang foto keliling kepada kami.
“Wuuuhuuuuuu..!!!” “Hahahaha....!!!!” seru kami, tertawa lepas. Topi toga pun berseliweran ke atas.
Si bapak tukang foto Cuma bisa senyum sambil geleng-geleng kepala ngeliat tingkah laku kami.
Hari ini adalah hari yang telah lama kami nantikan. Hari dimana para mahasiswa yang selama beberapa bulan kurang tidur, datang ke kampus dengan muka kusut, mata merah, dan mendadak akrab dengan para dosen, terutama dengan dosen-dosen pembimbing, melepaskan status mahasiswanya dan menjadi para wisudawan-wisudawati.
Selama beberapa bulan terakhir ini, kami, para mahasiswa jurusan sastra Jepang, telah menumpahkan segala kemampuan dan tenaga kami untuk menyelesaikan skripsi kami.
Penyelesaian skripsi yang setengah mati kami lakukan, masih harus ditambah lagi dengan sidang skripsi. Namun demi kelulusan, kami pantang menyerah. Bahkan tak sedikit yang rela mengorbankan sesuatu yang disukainya demi skripsi.
Rifki, teman gw yang hampir setiap hari main game di PC nya, berkorban untuk tidak menyentuh gamenya selama dia mengerjakan skripsi.
Boni, yang kerjaannya pacaran melulu, selama beberapa bulan terakhir ini jarang kelihatan berduaan dengan ceweknya. Dia bilang dia udah janji ke ceweknya untuk menyelesaikan skripsi tahun ini dan jadi sarjana. Jadi dia minta ke ceweknya untuk mengurangi waktu jalan-jalan dan apel malam minggu.
Ada juga seorang cewek di kelas gw yang mutusin pacarnya karena ingin fokus menyelesaikan skripsi. Gw agak kaget waktu ngedenger kabar itu dari temen-temen seper-gosip-annya. Gw gak ngerti, apa hubungannya nyelesaiin skripsi dengan mutusin pacar. Tapi ya udahlah. Gw gak mau ikut campur.
Gw? Gw sendiri gak berkorban begitu banyak dan ekstrim kayak temen-temen gw. Gw selama beberapa bulan terakhir ini Cuma berkorban waktu tidur aja. Skripsi gw berhasil membuat gw Cuma tidur 3-4 jam.
Tapi hari ini, dengan pakaian dan topi toga yang kami pakai, kami resmi menjadi sarjana S1. Sarjana Sastra.
Gw bakal punya waktu tidur yang banyak lagi. Si Rifki bakal bisa mesra-mesraan lagi sama komputernya. Si Boni bakal punya kebanggaan di depan calon mertuanya karena udah lulus S1.
Cuma ada 6 orang dari angkatan gw yang berhasil menyelesaikan skripsi tahun ini. Dan Alhamdulillah, gw termasuk salah satu di dalamnya.
“Ta! Kita foto berdua, yuk!” kata Gw pada Sinta setelah sesi foto rame-rame satu angkatan selesai.
“uhmm..OK,” jawab Sinta. “Mer, tolong fotoin kita, ya,” pinta Sinta pada Merta, temen sekelas kami.
“Cieee...foto prewed nih ceritanya.. Rangga dan Sinta,” goda Merta.
“Udah...Udah...ribut mulu. Panas nih. Kita ke dalem lagi, yuk,” sela gw.
Kami semua pun mulai kembali ke dalam gedung.
“Eh, Ga, ntar kalo lo sama Sinta ke Jepang, lu lamar aja do’i,” bisik Rifki sambil berjalan.
“Anak orang maen lamar aja. Gw mau mikirin kerja dulu,” jawab gw.
“ah elo. Mikirin kerja mah abis ngelamar kan bisa,” seru Rifki tak mau kalah. “Lagian nih ya, kapan lagi lu sama Sinta bisa berduaan. Ke Jepang lagi. Jepang men..Jepang!” Tambah dia.
“Gimana ntar, deh” sahut gw.
“Tar kalo udah puropoozu*, kasih tau gw ya. Pokonya gw harus jadi orang pertama yang tau kalo kalian berdua tunangan.” Seru Rifki.
“Ho oh...,” jawab gw sambil ngeloyor meninggalkan Rifki. Kalo udah cerita tentang hubungan gw sama Sinta, itu anak emang berapi-api. Dan gw kadang gak bisa nanggepin omongan dia yang udah berapi-api itu. Gw suka jawab sekenanya aja. Bukan apa-apa, gw bukan tipe orang yang blak-blakan kalo ngomongin soal percintaan.
“Ga! Lo mau kemana?” Tanya Rifki yg gw tinggalkan di belakang gw.
Gw menoleh ke arah suara itu. Suara Keiko yang udah berdiri di belakang gw.
Gw nengok ke arah dia, dan...
...gw terbengong-bengong...
...gak percaya dengan apa yang gw liat sekarang ini. Keiko...
Dia pake sepatu boots hampir setinggi lutut, lalu pake celana pendek. Atasannya dia pake pakaian semacam sweater, kombinasi warna hitam-pink. Sweaternya panjang ke bawah, hingga hampir ke lutut.
Sweater biasanya ada penutup kepalanya. Ini pun sama. Tapi yang Keiko pake ini penutup kepalanya berbentuk kuping kelinci.
Gw, yang baru pertama kali ngeliat cewek pake pakaian model gini, cuma bisa bengong.
Imutnya, gak ketulungan, deh.
Kalo ada nilai 1 sampe 100, gw kasih 100 deh untuk kelucuannya dia pake pakaian ini.
“Gimana?” dia ngulang pertanyaannya, ngebangunin gw yang lagi bengong.
“Ngg.... itu pakaian apa?” tanya gw.
“Kelinci,” katanya sambil ngebenerin posisi kuping kelinci yang ada di atas kepalanya.
“Lucu,” kata gw jujur. Emang imut dan lucu banget dia pake kostum kelinci gini.
“Kenapa berpakaian kaya gitu? Mau ikut cosplay?” tanya gw lagi.
“Bukan. Aku mau ikut casting,” kata dia.
“Casting?”
“Iya, aku mau ikut casting jadi foto model,” sahut Keiko.
Kamu gak pake kostum kelinci juga udah lucu, neng, batin gw.
“iya, lucu,” kata gw sambil senyum. “Jadi pekerjaan kamu model, ya?”
“Iya, aku baru mau mulai jadi foto model,” ujarnya.
“Dapet darimana kostum kelinci kaya gitu?” tanya gw.
“Beli di internet,” sahut Keiko. Lalu dia mengeluarkan hapenya, ngutak-ngatik hapenya sebentar.
Dia melangkah ke luar teras, dan berdiri di samping gw.
“Ini, aku beli disini,” kata Keiko sambil memperlihatkan hapenya. Terlihat kostum yang sama persis dengan yang dipakai Keiko sekarang.
“O gitu” kata gw.
Berdiri di samping Keiko dengan jarak sedekat ini, gw bisa melihat wajahnya yang tampak samping. Hidungnya mungil, pipinya merona semu merah, entah memakai make-up, entah karena udara diluar sini memang dingin.
Entah berapa lama gw menatap wajah Keiko yang tampak samping ini, tiba-tiba dia menoleh ke gw.
“apa?” tanyanya.
Gw gelagapan, ketahuan basah lagi ngeliatin dia.
“Ngg...si Kelinci,” ucap gw tiba-tiba.
“si Kelinci?” dia menelengkan sedikit kepalanya ke kanan, pertanda gak ngerti apa yang baru aja gw ucapkan.
“Iya, kamu itu si kelinci,” sahut gw.
“karena kostum ini, ya?”
“Ditambah lagi karena kamu cuma punya wortel,” kata gw.
“Wortel?” matanya sedikit membuka lebih lebar, alisnya terangkat, ekspresi herannya ini membuat wajahnya terlihat makin imut.
“Iya, wortel. Dari kemarin kamu cuma ngasih aku wortel. Jus wortel, kare wortel,” kata gw.
“Ohh itu. Hihihi...” Keiko ketawa ngedenger ucapan gw.
“jangan-jangan kamu pikir aku cuma makan wortel ya, seperti kelinci?” kata dia sambil masih menahan cekikikannya.
“Ya, gitu deh,” sahut gw.
“Wortel yang kemarin itu dari orang tua aku. Mereka punya kebun di Nagano, disana sedang panen wortel, dan aku dikirimi wortelnya,” Keiko menjelaskan.
“ooo gitu..”
“mereka mengirimiku terlalu banyak. Di kamarku masih ada banyak,” tambahnya.
Gw memperhatikan bibir Keiko waktu dia bicara. Kecil, berwarna merah muda alami.
“Keiko,” sahut gw.
“apa?” katanya sambil menoleh ke arah gw.
“mau sampe kapan kamu pake kostum itu?” kata gw sambil menunjuk kostum yang dia pake.
Dia tersenyum lebar.
“Kalo gitu aku balik ke kamar dulu,” katanya sambil beranjak dari teras, pergi ke dalam menuju genkan di depan.
Gw memperhatikan langkahnya sebentar, lalu kembali melihat jalan raya.
“Tolong bawain kardus ini ke kamar aku, ya,” pinta Keiko.
“Kok aku?”
“Kardusnya ada banyak. Aku cape kalo ngangkut sendirian,” rajuknya.
“Iya..iya..” gw pun beranjak dari teras dan membantu Keiko untuk mindahin kardus-kardus ke kamarnya.
Spoiler for BONUS 1:
Pemandangan dari teras apartemen di Sendai
Spoiler for BONUS 2:
Kostum Kelincinya ^_^
VERSI TERJEMAHAN BAHASA JEPANG
Quote:
BAB 3 PART 4
"Dou?" “Gimana?”seru suara itu dari belakang.
Gw menoleh ke arah suara itu. Suara Keiko yang udah berdiri di belakang gw.
Gw nengok ke arah dia, dan...
...gw terbengong-bengong...
...gak percaya dengan apa yang gw liat sekarang ini. Keiko...
Dia pake sepatu boots hampir setinggi lutut, lalu pake celana pendek. Atasannya dia pake pakaian semacam sweater, kombinasi warna hitam-pink. Sweaternya panjang ke bawah, hingga hampir ke lutut.
Sweater biasanya ada penutup kepalanya. Ini pun sama. Tapi yang Keiko pake ini penutup kepalanya berbentuk kuping kelinci.
Gw, yang baru pertama kali ngeliat cewek pake pakaian model gini, cuma bisa bengong.
Imutnya, gak ketulungan, deh.
Kalo ada nilai 1 sampe 100, gw kasih 100 deh untuk kelucuannya dia pake pakaian ini.
"Dou?" “Gimana?” dia ngulang pertanyaannya, ngebangunin gw yang lagi bengong.
"Anou..nan no fuku, sore?" “Ngg.... itu pakaian apa?” tanya gw.
"Usagi," “Kelinci,” katanya sambil ngebenerin posisi kuping kelinci yang ada di atas kepalanya.
"Kawaii," “Lucu,” kata gw jujur. Emang imut dan lucu banget dia pake kostum kelinci gini.
"Nande sonna kosuchuumu kiiteru no? kosupure?" “Kenapa berpakaian kaya gitu? Mau ikut cosplay?” tanya gw lagi.
"Chigau. Kyasutingu wo ukero no" “Bukan. Aku mau ikut casting,” kata dia.
"Kyasutingu?" “Casting?”
"Sou. moderu ni naritai no," “Iya, aku mau ikut casting jadi foto model,” sahut Keiko.
"Demo nande sonna kosuchuumu?" “Tapi, kenapa pake pakaian kaya gini?”
"Kyaustingu de wa 'nanika kawaii mono' tte iu teema ga aru kara," “Waktu casting nanti, temanya ‘sesuatu yag lucu’,” Keiko menjelaskan.
"Dakara, kono usagi no kosuchuumu wo kiru no. Dou? kawaii?" “jadi nanti aku pake kostum ini. Gimana, lucu gak?” Keiko nanya pendapat gw.
Kamu gak pake kostum kelinci juga udah lucu, neng, batin gw.
"Un. Kawaii yo." “iya, lucu,” kata gw sambil senyum.
"Kimi no shigoto wa moderu na no?" “Jadi pekerjaan kamu model, ya?”
"Un. moderu wo mezashiteru no," “Iya, aku baru mau mulai jadi foto model,” ujarnya.
"sono usagi no kosuchuumu wa doko kara?" “Dapet darimana kostum kelinci kaya gitu?” tanya gw.
"Netto de katta no," “Beli di internet,” sahut Keiko. Lalu dia mengeluarkan hapenya, ngutak-ngatik hapenya sebentar.
Dia melangkah ke luar teras, dan berdiri di samping gw.
"Kore mite. Koko de katta no," “Ini, aku beli disini,” kata Keiko sambil memperlihatkan hapenya. Terlihat kostum yang sama persis dengan yang dipakai Keiko sekarang.
"Sou ka," "O gitu,"
Berdiri di samping Keiko dengan jarak sedekat ini, gw bisa melihat wajahnya yang tampak samping. Hidungnya mungil, pipinya merona semu merah, entah memakai make-up, entah karena udara diluar sini memang dingin.
Entah berapa lama gw menatap wajah Keiko yang tampak samping ini, tiba-tiba dia menoleh ke gw.
"Usagi-chan?" “si Kelinci?” dia menelengkan sedikit kepalanya ke kanan, pertanda gak ngerti apa yang baru aja gw ucapkan.
"Kimi wa Usagi-chan," “Iya, kamu itu si kelinci,” sahut gw.
"Aaa..kono kosuchuumu dakara?" “karena kostum ini, ya?”
"Sore ni, ninjin shika mottenai kara," “Ditambah lagi karena kamu cuma punya wortel,” kata gw.
"Ninjin?" “Wortel?” matanya sedikit membuka lebih lebar, alisnya terangkat, ekspresi herannya ini membuat wajahnya terlihat makin imut.
"Sou. Ninjin. Kinou wa kimi kara ninjin shika morawanakatta kara. Ninjin juusu to ka, ninjin kare to ka," “Iya, wortel. Dari kemarin kamu cuma ngasih aku wortel. Jus wortel, kare wortel,” kata gw.
"Moshikashite Rangga-san wa atashi no koto ninjin shika tabenai to omotteru no?" “jangan-jangan kamu pikir aku cuma makan wortel ya, seperti kelinci?” kata dia sambil masih menahan cekikikannya.
"Maa ne," “Ya, gitu deh,” sahut gw.
"Kinou no ninjin wa ryoushin kara moratta. Nagano ni chiisai faamu ga atte, ninjin wo shuukaku shita. De, ninjin wo Nagano kara moratta no," “Wortel yang kemarin itu dari orang tua aku. Mereka punya kebun di Nagano, disana sedang panen wortel, dan aku dikirimi wortelnya,”Keiko menjelaskan.
"Sou nan da," “ooo gitu..”
"Okurisugi datta kedo ne. Ima mo heya ni wa mada takusan aru yo," “mereka mengirimiku terlalu banyak. Di kamarku masih ada banyak,”tambahnya.
Gw memperhatikan bibir Keiko waktu dia bicara. Kecil, berwarna merah muda alami.
“Keiko,” sahut gw.
"Nani?" “apa?” katanya sambil menoleh ke arah gw.
"Itsu made sonna fuku wo kiiteru no?"
“mau sampe kapan kamu pake kostum itu?” kata gw sambil menunjuk kostum yang dia pake.
Dia tersenyum lebar.
"Ja, heya ni modoru ne," “Kalo gitu aku balik ke kamar dulu,” katanya sambil beranjak dari teras, pergi ke dalam menuju genkan di depan.
Gw memperhatikan langkahnya sebentar, lalu kembali melihat jalan raya.