- Beranda
- Stories from the Heart
[Kumcer] Kumpulan cerpen by Ichsan Leonhart
...
TS
ichsanleonhart
[Kumcer] Kumpulan cerpen by Ichsan Leonhart
Assalammu'alaikum~
Salam kenal buat para warga SFTH /
Ini postingan pertama saya di sini, rencananya saya akan mengisi thread ini dengan koleksi cerpen hasil mengikuti tantangan Three Words Hall.
Group penulis di Facebook gan, isinya tantangan random tiga kata yang harus dibikin ke dalam bentuk cerita pendek
Saya tidak berniat untuk promosi TWH-nya, tapi in case ada yang penasaran, bisa dicheck di sini -> https://www.facebook.com/ThreeWordsHall
Index Cerpen
nb: thread-nya masih dalam proses rekonstruksi, harap sabar yah
Salam kenal buat para warga SFTH /
Ini postingan pertama saya di sini, rencananya saya akan mengisi thread ini dengan koleksi cerpen hasil mengikuti tantangan Three Words Hall.
Spoiler for apa itu TWH?:
Group penulis di Facebook gan, isinya tantangan random tiga kata yang harus dibikin ke dalam bentuk cerita pendek
Saya tidak berniat untuk promosi TWH-nya, tapi in case ada yang penasaran, bisa dicheck di sini -> https://www.facebook.com/ThreeWordsHall
Quote:
Index Cerpen
- Kegagalan Ciuman Pertama
- Melodies of Surabaya [part1] - part2 - part3
- Tuyul Baper
- Janji Tujuh Tahun
- Rahasia Keluarga (part1) - (Part 2)
nb: thread-nya masih dalam proses rekonstruksi, harap sabar yah
Diubah oleh ichsanleonhart 04-09-2015 03:30
anasabila memberi reputasi
1
2K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ichsanleonhart
#9
Rahasia Keluarga
Spoiler for TWH : Ingatan - Keluarga - Pantai (part1):
Quote:
Malam ini berbeda dari biasanya. Angin bertiup begitu tenang, namun menyembunyikan hawa kelam dalam embusan kecilnya. Bulan di langit sana seolah enggan menyinari dunia, awan gelap telah menghalangi wujud indah beserta gemerlap bintang di angkasa.
Dalam sebuah taman sepi bersinarkan lampu temaram, terlihat seorang gadis sedang bertekuk lutut menghadap pemuda di hadapannya, menyibukkan diri dalam sebuah kegiatan. Rambut berwarna biru miliknya mengkilat memantulkan cahaya dari penerangan taman, cahaya kecil berpendar dari tiap helai yang jatuh di acap kali kali ia menggerakkan kepalanya. Mata gadis itu terpejam erat. Sementara embusan napas berat terdengar memburu dari mulut pria kekasih hatinya.
Lengan pemuda itu bergerak lembut mengusap telinga sang gadis. Sesekali matanya tampak siaga, seraya menelisik sela dedaunan yang bergoyang memantulkan cahaya. Cengkeraman di rambut biru itu tiba-tiba mengentak menjauhkan wajah sang gadis dari sela kedua lututnya.
“Uhmmm.” ucap sang pemuda kikuk, tanpa melepaskan pandangan dari wanita yang kini berdiri di hadapannya. Gadis itu mengukir tersenyum kecil seraya mengelap cairan kental di mulutnya menggunakan sebuah tisu.
Gadis itu kemudian duduk menyandar pada kursi tempat sang pemuda terduduk, berada di sampingnya, tak lupa ia menyandarkan kepalanya pada pundak pemuda itu. Menunjukkan betapa dekatnya hubungan mereka berdua.
“Len, kita jadi kemping di pantai Marina nanti, kan?”
Pemuda yang dipanggil Len sedikit menghindari kontak mata, jemarinya menggaruk bagian kepala yang tak terasa gatal, “Uhmm.. aku belum tahu, tanggal segitu Karin sudah mengajakku untuk menjadi seksi dokumentasi ujian kenaikan sabuk anggota Bima Suci.”
Raut wajah kecewa tentu saja terukir pada lawan bicaranya, gadis berambut biru itu kemudian memasang sedikit senyum pahit di wajah, “Oh gitu.. sayang sekali, padahal aku sudah menantikan acara ini sejak lama.”
“Kita kan bisa pergi di lain waktu. Lagi pula kalau kau segitunya ingin berkemah di pinggir pantai di akhir minggu ini, kau kan bisa mengajak teman-temanmu yang lain,” sanggah Len. Agak malas sebenarnya jika ia harus ikut dalam acara kemping pinggir pantai. Sedari dulu dia agak membenci laut. Dimulai dari tiupan angin dingin, suara bising deburan ombak, hingga air asinnya. Tak ada gunanya berenang di air yang bahkan terasa menyakitkan ketika menyentuh bibir dan kedua matanya.
Gadis yang dipanggil Maria menggelengkan wajahnya, menunjukan gestur anak manja yang mencoba meminta pengertian, “Acara apapun gak berguna kalau nggak ada kamu.”
“Eeeuh…” Len kembali kikuk, sampai kapanpun ia selalu bertingkah kikuk tiap kali terkena serangan gombal dari tunangannya tersebut.
“Kamu gak suka pergi ke pantai ya?” lanjut Maria menyelidik.
“Bukan begitu…,” ucap Len bingung. Alasan sebenarnya bukan karena sepayah itu. Pantai yang akan ia kunjungi berada di laut utara, dan ada alasan khusus kenapa ia harus menghindari pantai utara.
Bertolak dengan pantai selatan, tempat ia biasa bertemu dengan sukma dari Ratu Selatan. Di pantai utara terdapat penguasa ghaib yang mungkin tak akan menyukai keberadaan dirinya.
Dua mata Len kembali menelusuri kumpulan tanaman hias tak jauh darinya, menyadari keberadaan sosok astral yang sedari tadi mengintip aktifitas mereka berdua. Sosok itu berwujud pocongan bersembunyi dalam sela dedaunan, tubuhnya terlihat mencolok karena berwarna putih, serta berdiri kaku dengan tangan dan kaki terikat dalam balutan kain kafan.
“Sialan si Gigo...” umpat Len dalam hati, menyadari salah satu peliharaannya tengah asyik mengintip dari kejauhan. Sesegera mungkin ia mengucapkan rapalan kejawen tanpa mengeluarkan suara, hanya terlihat dari mulutnya yang berkomat-kamit dengan cepat.
Lolongan suara pilu terdengar kemudian. Sosok pocong itu menjerit dalam respon kesakitan. Bara api yang muncul entah dari mana kini membakar tubuhnya. Musang, kelalawar, serta beberapa hewan kecil lainnya sontak bergerak menjauh. Namun suara itu hanya bisa didengar sebatas oleh mereka saja. Manusia biasa tak akan pernah menyadari suara tersebut. Itu sebabnya Maria masih terlihat santai sembari sedikit kebingungan dengan perubahan ekspresi di wajah Len.
“Kenapa?” ucapnya bingung.
“Nggak, tadi ada yang usil aja,” balas Len pelan, masih dengan wajah jengkel.
“Mau aku usilin lagi?” ucap Maria dengan wajah nakal. Lengannya terlihat menyusup ke dalam balik kain, menjamah suatu tempat seraya menggigit bibir bagian bawahnya.
Malam itu sepertinya akan menjadi malam yang panjang bagi mereka berdua.
...
“Woooi bangun!”
Seseorang menggedor pintu seolah hendak merusaknya. Len sudah bisa menebak siapa sosok yang ada di sana, tanpa menghiraukan teriakan-teriakan panggilan itu, ia hanya berjalan santai dengan wajah kusut sehabis bangun tidur.
“Wogh, Karin... ada apa pagi-pagi begini datang ke sini? Bukannya sekolah sedang libur ya?” ucap Len santai. Sedetik setelah ia membuka pintu ia mendapati perempuan dengan kontak Lens berwarna hijau berdiri di sana, ekspresinya terlihat sangar seperti kucing garong siap menerkam.
“Lu kok bego sih? Bukannya nanti jam sembilan kita mulai berangkat buat acara kenaikan sabuk?”
“Ah ujian kenaikan sabuk ya..” Len berpikir sejenak, membayangkan susunan acara yang hendak dilakukan. Ujian kenaikan sabuk adalah ritual resmi bagi seorang pesilat untuk naik level ke tingkat yang lebih tinggi, ditandai dengan berubahnya sabuk yang mereka kenakan. Namun berkaca pada tahun sebelumnya, dia hanya akan memotret sesi pelantikan yang dimulai dari ujian gerakan, sparring, hingga ujian mental bagi para junior yang hendak naik pangkat. Saat ini dia sudah memegang sabuk orange, tergolong senior untuk rekan-rekan seangkatannya.
Sejenak Karin memeriksa wajah Len yang kosong dengan pikiran melanglang buana, “Sudah paham? Sekarang buruan berkemas, nanti kamu ditinggal bus, loh.”
“Oh ya, tahun sekarang acara pelantikannya dilakukan di mana? Di gunung parang lagi seperti tahun kemarin?”
Yulia mengalihkan matanya berusaha mengakses ingatan di kepala, jemarinya tanpa sadar ia tautkan pada dagu selayaknya guru yang sedang berpikir, “Dengar-dengar sih ke pantai Marina di Anyer.”
“Walah...” Len terkejut dengan senyum kaku, teringat kembali ajakan Maria untuk berkemah bersamanya di pantai yang sama.
“Ini semua ide dari Maria, kemarin sih emang mau ke gunung parang lagi karena tak membutuhkan biaya banyak. Tapi dia bersedia membayar semua akomondasi asal kegiatannya dipindah ke pantai Marina di Anyer.”
Len hanya tertawa tanpa suara, seharusnya dia sudah bisa menduga ini. Maria datang dari keluarga misterius dengan penghasilan Unlimited. Tinggal sendirian di rumah besar yang ia rancang dan bangun sendiri, menolak segala bentuk publikasi, hingga merahasiakan segala sesuatu dengan Len yang ia anggap sebagai tunangannya walau hanya sepihak.
“Maria yah...” ucap Len sambil bertopang dagu, “Boleh aku bertanya satu hal?” lanjutnya seraya berjalan menjauh.
“ya?”
“Kau dan Maria kan saudari kembar, kenapa kalian tidak tinggal bersama saja? Kenapa dia tidak tinggal di rumahmu saja?”
“E.... eeeh?” gadis itu terhenyak, sedikit tersentak oleh satu pertanyaan sederhana. Pandangannya kemudian berubah arah, menatap mayat ikan koki yang mengambang di akuarium kamar Len, “Hubungan keluarga kami kurang baik...”
“Oh, kalau tak salah kedua orang tuamu bercerai dan dia ikut kepada pihak mama kandungmu ya? Apa mereka masih bertengkar?” lanjut Len. Ia tetap melanjutkan perbincangan seraya memasukkan beberapa setel baju ke dalam tas. Tak lupa ia simpan kamera kecil andalannya.
“Masalahnya tidak sesederhana itu,” gumam Karin dengan wajah serius.
“Begitu ya.. maaf sudah bertanya hal yang gak sopan.” Pria itu sudah berpakaian rapi Lengkap dengan jaket tebal cokelat, serta tas hitam menggantung di punggung.
“Loh, kamu nggak mandi? Bukannya barusan habis bangun tidur?”
“Ng... ngapain mandi lagi? Nanti kan mandi di pantai?” jawab Len simpel.
Yulia hanya memegangi keningnya tanpa berkomentar lebih lanjut.
...
Tiba di sekolah, di sana terdapat sebuah bus terparkir di pinggir jalan. Banyak dari anggota klub Pencak Silat yang sedang memasukkan barang bawaan ke dalam bagasi bus. Banyak pula yang sudah duduk di dalamnya sekedar untuk berbincang dengan sesama.
Di salah satu sudut keramaian, Len mendapati Maria tengah melambaikan tangan pada dirinya, Lengkap dengan senyum manis sebagai ciri khasnya. Len pun bergegas menghampiri.
“Kalau begini kamu nggak bakalan protes kan?” ucap Maria mengawali pembicaraan.
“Ya.. ya.. ya...” balas Len dengan nada malas, paham akan apa yang gadis itu maksud. Begitu inginnya dia menghabiskan waktu dengan Len di pantai, hingga rela mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk memindahkan acara kenaikan sabuk perguruan bela diri jauh ke pantai.
“Ngomong-ngomong, bis macam apa ini? Dalemannya kelewat mewah,” komentar Len terkesima. Dimulai dari toilet yang bersih, di tiap kursi penumpang terdapat layar LCD untuk menonton tv, tersemat dalam kursi penumpang di depannya, juga Wifi gratis, dan jarak antar tempat duduk yang lumayan jauh. Bis itu adalah kelas premium yang harga sekali charter-nya tak akan cukup di kisaran sebelas juta’an.
Maria hanya tersenyum kecil, sesegera mungkin ia mengamankan tempat duduknya tepat di samping Len, sementara pria itu menatap ke luar jendela memandangi sesuatu.
“Kau yakin jadi pergi ke Anyer? Di wilayah pantai selatan?” ucap sesosok makhluk di balik jendela. Penampilannya seperti putri kecil dari abad pertengahan. Mengenakan pakaian gothic Lolita berwarna hitam penuh renda. Namun jelas dia bukan manusia, karena tubuhnya melayang bebas setinggi dua meter, mensejajarkan diri dengan tempat duduk Len di dalam bis. Dan tak seorang pun bisa melihatnya kecuali mereka yang terbuka mata batinnya.
Len berpikir sejenak, “Memangnya kenapa? Aku ke sana bukan berarti mencari perkara dengan penguasa di sana,” ucap Len membalas, walau tak seorang pun akan mengetahui isi percakapan mereka. Len cukup melakukan kontak mata dan diam berkonsentrasi, lewat cara itu dia bisa bertukar pikiran dengan tiap makhluk astral yang ia kehendaki.
“Kau itu magnet bagi para MG, kemanapun kau pergi pasti selalu bermasalah dengan penunggu tempat itu. Terlebih dengan dewi di ratu utara,” ucap sosok tadi berusaha menceramahi.
“Rikka, saya tahu kamu khawatir. Tenang saja, saya tidak akan macam-macam di sana,” balas Len disertai senyum tak simetris. Tangannya bergerak melambai tanda memberikan salam, tepat ketika bus mulai bergerak memulai perjalanan.
MG—dibaca Em’Ji singkatan dari Makhluk Gaib—merupakan singkatan maksa dari sang penulis agar tak repot menggunakan kata klise seperti “hantu”. Dan lagipula, tak semua hantu adalah makhluk gaib, contohnya Rikka Valentine tadi, dia sering disebut sebagai makhluk vampir di mitos dan kebudayaan barat. Namun di sini, dia hanyalah siluman yang sejak awal terlahir seperti itu. Bukanlah hantu yang sering disebut sebagai arwah dari mereka yang sudah meninggal.
….
Lima jam perjalanan sebenarnya cukup melelahkan, akan tetapi tidak demikian bagi para bocah kampungan yang sebagian besar hampir tidak pernah pergi ke pantai. Hal yang pertama kali mereka lakukan adalah terkesima akan deburan ombak beserta kencangnya angin yang bertiup dari laut sana.
Jam menunjukan pukul dua siang, cukup panas dengan matahari menyengat di atas sana. Pesilat junior telihat berjajar rapi di pinggir pantai, mempraktekkan berbagai macam gerakan sementara para senior menilai uji kelayakan. Len tak perlu repot-repot ikut terpanggang matahari karena kamera DSLR miliknya kini sudah diupgrade dengan Lensa 200mm, membuatnya bisa memotret hal bagus hanya dengan berbekal zoom saja.
Di tengah hiruk pikuk kumpulan manusia itu, pandangan Len sesekali meruncing tajam ketika menyadari keberadaan makhluk astral yang mengintip dari balik pohon kelapa. Penampilan mereka mirip dengan manusia biasa, terkecuali bulu lebat menutupi seluruh permukaan tubuh selayaknya kera di buku sejarah evolusi manusia, juga helai baju penuh warna yang mereka kenakan, amat mencolok jika dilihat dari kejauhan.
Di sudut lainnya, terdapat Karin tengah sibuk membantu beberapa senior mendirikan tenda untuk kemah di malam nanti. Mereka menggali cukup dalam untuk bisa menanamkan pondasi bagi tiap tenda agar tak mudah tertiup angin.
Dering suara handphone terdengar sayup dari kantong di samping Len. Sadar bahwa itu hp miliknya, ia segera menyambar untuk membaca pesan dari Maria.
“Len, kamar B27 lantai lima ya… pintunya tidak aku kunci lho.”
“Ekh…” celeguk suara air liur yang ia telan seolah hendak mengalahkan bisingnya deburan ombak. Sesegera mungkin ia mengambil tasnya lalu bergegas menuju hotel Marina yang menjulang tinggi tak jauh dari pantai tempatnya berdiri. Bangunannya amat besar, jalur perjalanannya mengharuskannya memutari sebuah kolam renang besar untuk bisa tiba di pintu belakang hotel. Pikirannya tiada henti mengulangi nama kamar tempat Maria berada di saat ini.
Namun sesuatu mengalihkan perhatiannya, sesosok gadis mendadak menyergapnya dari samping hingga membuat keduanya jatuh terguling di atas pasir, “Raka!”
Len berusaha bangkit sambil membersihkan beberapa bagian tubuhnya yang kotor.
“Raka! Aku kangen sekali denganmu.” Gadis itu memeluk Len meski ia berulang kali mencoba untuk melepaskan diri.
“Tu-tu-tunggu! Siapa kamu? Nama saya bukan Raka,” seru Len agak terbata. Ia hendak mengabaikan perempuan itu, lalu bergegas menuju tempat Maria, akan tetapi air mata yang berurai seolah mencegahnya.
“Ya, aku tahu kau bukan Raka. Dia sudah meninggal sejak lama,” tegasnya dengan suara terisak, “Tapi kau benar-benar mirip dengannya. Biarkan aku memeluk raga yang begitu identik dengan dirinya.” Gadis itu tak mau melepaskan sedikitpun, malah memeluk semakin erat seraya membenamkan wajahnya di samping leher Len.
“Heeeee????” Len tak bisa protes begitu saja, saat ini dia sedang berkonsentrasi melakukan penghayatan akan sensasi empuk dua bantalan lembut yang menempel di dadanya.
Sementara itu, sebuah sandal jepit terlihat menjejak keras tak jauh dari posisi Len berada, membuat butiran pasir beterbangan di tiap langkahnya, “Leen, lima menit kau menghilang dari pandangan, dan kini kau sudah bermesraan dengan perempuan lain yang tidak kau kenal.”
“Eh.. ini? Bukan.. itu…” Len agak tergagap, tak sanggup menjelaskan apa yang terjadi. Bagaimanapun juga, posisi Lengannya yang sedang menggerayangi bokong gadis tadi memang sudah terlihat salah, dia mengambil pembenaran dalam tindakan egois untuk mengambil kesempatan dalam situasi yang sebenarnya sama sekali belum ia pahami. Pada dasarnya, otaknya memang sudah diset secara default untuk selalu bertindak mesum di tiap kesempatan yang ada.
Sendal jepit tadi kini menjejak keras tepat di wajah Len, membuat pria itu tersungkur jauh terlepas dari pelukan perempuan tadi.
“Maafkan aku!” seru Len panik, sesegera mungkin ia melarikan diri dari tempat itu sebelum mendapat amukan lebih lanjut dari Karin, wajahnya terlihat merah padam amat menyeramkan.
Pandangan gadis itu kini teralihkan pada perempuan berambut hitam panjang, begitu lurus dan mengkilat memantulkan sinar mentari. Postur tubuh dan penampilannya entah kenapa mengingatkan gadis itu pada Maria yang juga sama-sama memiliki rambut panjang lurus. Karin kini berjongkok mensejajarkan dirinya dengan gadis tadi yang masih terduduk di atas pasir, “Maafkan aku, Len memang begitu, dia memang nakal sebagai laki-laki.”
Tak ada respon, gadis itu seolah tak mau melepaskan pandangan, senantiasa terkunci pada sudut gang tempat Len menghilang, “Jadi namanya Len..”
Diubah oleh ichsanleonhart 04-09-2015 03:28
0
Kutip
Balas