- Beranda
- Stories from the Heart
[Kumcer] Kumpulan cerpen by Ichsan Leonhart
...
TS
ichsanleonhart
[Kumcer] Kumpulan cerpen by Ichsan Leonhart
Assalammu'alaikum~
Salam kenal buat para warga SFTH /
Ini postingan pertama saya di sini, rencananya saya akan mengisi thread ini dengan koleksi cerpen hasil mengikuti tantangan Three Words Hall.
Group penulis di Facebook gan, isinya tantangan random tiga kata yang harus dibikin ke dalam bentuk cerita pendek
Saya tidak berniat untuk promosi TWH-nya, tapi in case ada yang penasaran, bisa dicheck di sini -> https://www.facebook.com/ThreeWordsHall
Index Cerpen
nb: thread-nya masih dalam proses rekonstruksi, harap sabar yah
Salam kenal buat para warga SFTH /
Ini postingan pertama saya di sini, rencananya saya akan mengisi thread ini dengan koleksi cerpen hasil mengikuti tantangan Three Words Hall.
Spoiler for apa itu TWH?:
Group penulis di Facebook gan, isinya tantangan random tiga kata yang harus dibikin ke dalam bentuk cerita pendek
Saya tidak berniat untuk promosi TWH-nya, tapi in case ada yang penasaran, bisa dicheck di sini -> https://www.facebook.com/ThreeWordsHall
Quote:
Index Cerpen
- Kegagalan Ciuman Pertama
- Melodies of Surabaya [part1] - part2 - part3
- Tuyul Baper
- Janji Tujuh Tahun
- Rahasia Keluarga (part1) - (Part 2)
nb: thread-nya masih dalam proses rekonstruksi, harap sabar yah
Diubah oleh ichsanleonhart 04-09-2015 03:30
anasabila memberi reputasi
1
2K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ichsanleonhart
#4
Spoiler for TWH : Perang - Senapan - Perempuan (Part3):
Quote:
....................
Kelopak mata terbuka mendadak, namun aku kembali menutup rapat sedetik kemudian. Pupil mataku yang terbuka lebar belum terbiasa dengan sinar terang yang ada di atas sana.
Tidurku terasa nikmat sekali. Aku bahkan lupa kalau saat ini aku sedang berada di tengah-tengah peperangan.
Segalanya terlihat berbalut cahaya putih, pandangan mataku masih buram, belum mampu menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Aku berusaha mengumpulkan kesadaran. Aku bahkan tidak tahu berapa lama aku tertidur. Mataku sontak melirik jam tangan, berusaha mengecek angka berisi nominal kalender. Dari sana aku tahu bahwa aku telah tidur lebih dari dua hari.
Aku mendapati diriku terbaring di barak penampungan. Orang-orang tengah meringis kesakitan. Ada yang lengannya putus, kehilangan kakinya, ada pula yang dibawa dengan kondisi perutnya terbuka lebar. Jelas sekali kulihat berbagai organ yang menjulur kelua. Aku bergidik ngeri tatkala menyadari bahwa sang korban masih dalam keadaan sadar dengan mata setengah terkatup.
Merasa ngeri, aku beranjak dari tempat itu. Berjalan menuju tempat senapan disimpan. Senjata-senjata itu berada dalam keadaan berlumuran darah, tanda kalau pemiliknya telah meninggal atau sedang terluka parah. Aku lega karena tubuhku sembuh tanpa luka, teringat pula akan sosok bernama Sanelia. Dia pasti orang yang telah menyembuhkanku. Lalu entah bagaimana caranya, dia juga membawaku ke sini. Gadis itu memiliki segudang peralatan misterius. Mungkin dia menguasai semacam ilmu sihir.
Aku mengambil sebuah senapan B.A.R dengan bayonet di ujungnya. Aku harus menemuinya kembali, penjara bawah tanah itu kemungkinan besar adalah tempat dia berlindung. Aku hendak melangkahkan kakiku, tapi seseorang mencegahku.
“Rio..!” orang itu memanggil namaku.
Aku menoleh, menatap sosok jangkung berkacamata. Namanya Wiwi, sepupuku yang juga masih berdarah blasteran. Ia tampak seperti orang eropa dari pada orang pribumi. Model rambutnya di spike pendek. Jaket dengan kaos lusuh menempel di tubuh. Sepatu boats dan sabuk besi bertengger dengan kokoh.
“Mau kemana kau..?”
Aku menunjuk satu titik di peta kota Surabaya yang menempel di dinding kamp.tank
“Itu dekat pantai! Kau gila..? Area sana udah dikuasai pihak musuh.”
“Aku tahu..” jawabku tanpa mempedulikannya. Rasa penasaranku menutup semua logika yang ada. Aku yang dulu pengecut entah kenapa kini merasa bisa melakukan apapun. Aku bahkan tidak terlalu takut andai kematian datang menjemput sedetik kemudian.
“Memangnya ada apa di sana hingga kau bersikeras seperti ini?” ucapnya setengah bingung.
Aku tak menjawab, atau mungkin tak tahu bagaimana harus menjawab. Tak mungkin kujelaskan bahwa aku ingin menemui seseorang yang bisa menghilang, mengeluarkan berkas cahaya dari lengannya, serta menyembuhkan semua lukaku dalam sekejap. Wiwit tidak mungkin akan mempercayainya.
Walau entah kenapa aku agak kaget, menatap pantupan wajahku di kaca gedung sana. Kedua pipi ini terlihat memerah tanpa sebab.
Tak perlu kujelaskan pula akan reaksi Wiwit yang tersenyum dengan ekspresi seperti sedang meledek habis-habisan. Membuatku naik darah walau hanya memikirkannya.
Bayangkan! Seorang prajurit yang siap mati bisa-bisanya menunjukan raut wajah blushing, seperti anak gadis yang baru mendapatkan periode menstruasi pertama saja. Oh dan aku ini laki-laki normal, jadi wajah merona kemerahan ini amat sangat tak wajar. Jadi mungkin saja terjadi karena terik matahari yang menyengat di atas sana.
Wiwit menatapku sejenak, berdehem beberapa kali dengan batuk dibuat-buat. Lengannya lalu bergerak mengambil senapan M1 Garrand. Senapan semi automatis yang memiliki daya ledak lumayan besar.
“Aku ikut bung...”
“Jangan, terlalu berbahaya..” cegahku.
“Heh, ini perang.. emangnya kenapa kalo aku mati..?” balasnya tak acuh.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. “Terserah kau sajalah..”
Kami berdua sontak berlari, membaur di antara para pejuang lain. Terus maju melewati ratusan, bahkan ribuan mayat-mayat saudara seperjuangan yang teronggok kaku di pinggiran jalan.
Deru senapan mesin terdengar di kejauhan, truk dengan senapan mesin muncul dari balik tikungan gedung besar. Mobil lapis baja lainnya terlihat asyik membantai saudara seperjuangan. Mereka yang selamat menjadi panik berlarian kocar kacir mencari perlindungan.
Beberapa orang disampingku terkena hempasan peluru panas. Lengan dan kepala mereka beterbangan. Darah menciprat dimana-mana, jeritan kesakitan membahana mengisi jalannya peperangan.
Suara kapal terdengar mendekat, aku dan Wiwit secara insting meloncat menerobos sebuah jendela di bangunan sebelah kiri.
Beberapa pesawat menukik turun dengan moncong senjata terarah menuju tanah. Ribuan peluru dimuntahkan, mengoyak tubuh para pejuang dengan peluru berukuran besar. Mereka semua tewas seketika. Jalan raya yang barusan kulewati kini berubah menjadi ladang pembantaian.
Aku dan Wiwit perlahan menyusup ke dalam salah satu gedung hancur, kami sebisa mungkin menghindar dari tiap kontak bersenjata. Mengambil jalan-jalan tikus dan menyelinap masuk ke dalam pertahanan musuh.
Kami hampir tiba di tempat tujuan. Tinggal beberapa gedung lagi yang harus dilewati.
“It’s them..!!! Shoot those yellow monkey..!!!”
Keberadaanku terlihat oleh sekompi pasukan. Ratusan tembakan memberondong sedetik kemudian. Kaca pecah, dihempas peluru, letupan senapan ledakan granat tak henti-henti menghujani kami berdua.
Aku dan Wiwit mencari perlindungan dengan berbelok ke sebuah gang sempit. Dalam usaha untuk menyelamatkan diri, aku melepaskan dua buah granat, melilitnya dengan tali dan menempelnya di tengah-tengah gang sempit. Kami lanjut berlari hingga menuju penghujung gang.
Tiba di sana, kami berbalik dengan senapan membidik siap di tembak. Sebuah kain jemuran terlihat sempurna menutupi keberadaan kaim, mereka tidak akan bisa melihat arah datangnya serangan dari mulut gang.
Aku merunduk dengan posisi lutut tertekuk, sementara Wiwit berdiri dengan posisi kaki membentuk kuda-kuda bela diri. Berusaha sebisa mungkin menjaga posisi tubuh agar tetap stabil menahan tolak balik ledakan senjata. Kami berdua menahan napas, menyadari bahwa pasukan musuh mulai muncul di pertigaan kejauhan. Seraya berdoa dalam hati agar mereka tidak menyadari keberadaan kami.
Salah seorang di antara mereka menyenggol tali rapia yang aku ikatkan di bawah jalan. Granat yang kutempelkan melayang di udara, hening sejenak. Jelas sekali kulihat ekspresi pucat di tiap wajah tentara itu. Dilanjutkan dengan sebuah ledakan keras, melontarkan berbagai serpihan timah panas, mengoyak anggota tubuh mereka yang berada di sekitar.
Angin ledakan menghembus kain jemuran. Aku dan Wiwit sontak menekan pelatuk, mengosongkan selongsong magasin, memuntahkan sebanyak mungkin timah panas demi menjatuhkan tiap orang yang terlihat. Gang itu lumayan sempit, mereka tidak bisa lari kemanapun, kecuali menerima berondongan peluru dari senapan B.A.R dan M1 Garrand dari kami berdua.
Puas membantai musuh dalam satu trik sederhana, perjalanan kami berlanjut dengan mengambil jalan memutar menuju gedung tahanan tempat Sanelia berada.
Melewati beberapa gang, kami tiba di jalan utama. Mendapati puluhan mayat tergeletak dengan tubuh berlumuran darah. Beberapa lainnya terlihat menodongkan senjata mereka pada sesosok gadis berambut terpojok tak berdaya. Memiliki rambut biru sebahu, terlihat meringis kesakitan sembari memegangi lengan kanan yang terluka. Kulihat logam perak di lengan kanan yang sakti mandraguna itu tak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan dirinya. Yang benda itu lakukan hanyalah mengeluarkan cahaya berwarna merah berkedip-kedip tanpa suara.
“Sanelia..!”
Aku sontak mengarahkan senapanku. Menembaki orang-orang itu dalam waktu singkat.
“Kau..? Kenapa ada disini..?” wajahnya seolah tidak percaya melihat keberadaanku.
“Wow... Sekarang aku bisa melihat alasan kenapa kau ingin kesini” sindir Wiwit, ekspresinya itu seperti sebuah kepuasan dari dugaannya selama ini.
“Bukan waktunya untuk itu...”
Aku sontak menarik lengan Sanelia dan membawanya pergi dari tempat terbuka.
“Tunggu..! Mau dibawa kemana aku..!?”
“Kemana saja asal jangan disini.. disini tidak aman” jawabku.
“Aku.. harus kembali..” potong Sanelia, berusaha menolak pertolonganku.
“Kemana..??” tanya Wiwit.
Ingin aku berucap bahwa ini bukanlah saat terbaik untuk beradu pendapat. Namun mulutku tak mampu berkata tatkala puluhan prajurit musuh muncul secara tiba-tiba.
Dalam satu gerakan refleks, aku sontak memposisikan tubuhku sebagai pelindung bagi Sanelia. Membentangkan kedua tanganku untuk menghalangi lajurnya peluru yang mereka tembakan.
Tubuh ini tersentak beberapa kali, dikoyak oleh deru timah panas yang merobek tiap organ tanpa terkendali.
Aku terbatuk mengeluarkan darah. Tubuhku mendadak terasa lemas tak bertenaga. Wiwit sontak membalas tembak sambil menyeret bahuku dari belakang.
“Tidak...”
Sanelia berubah panik, air mukanya yang senantiasa datar kini terlihat pucat melihat tubuhku ditembus peluru. Wiwit menyeretku memasuki sebuah aula hancur. Tak ada pintu keluar, kami semua terperangkap. Hanya bisa menunggu prajurit-prajurit itu untuk tiba di pintu, mereka tentu akan membrondong kami dengan timah panas.
Kedipan di gelang Sanelia berganti warna menjadi biru, entah apa maksudnya itu.
Raut wajah gadis itu sontak berubah, berbalik sambil mengangkat kedua lengannya setinggi bahu. Mengarahkan ujung telapak tangan pada pintu masuk aula. Pendaran cahaya biru terlihat muncul di kedua lengan, membentuk struktur sebuah senapan raksasa layaknya blueprint dari sebuah rancangan. Secercah sinar menyeruak dibarengi kemunculan dua buah benda mengkilat.
Senjata itu memiliki banyak sekali moncong peluru, selongsong panjang itu mulai berputar hendak memuntahkan ribuan peluru sekaligus.
Prajurit musuh tiba disaat bersamaan. Sanelia menekan pelatuk dengan cepat. Menciptakan rentetan ledakan bising disertai muntahan peluru dalam jumlah besar. Tubuh mereka hancur berkeping-keping. Beberapa ada yang mencari perlindungan di balik sebuah tembok. Walau itu terlihat sia-sia. Karena begitu Sanelia mengarahkan ujung tembakan pada tembok itu, hancur lah seisi dinding beserta mereka yang berlindung di dalamnya.
Benda berwujud aneh itu masih berputar, namun tak ada satu pun peluru yang tersisa. Asap tipis menyembul dari tiap moncongnya.
“He.. hebat sekali..” aku berusaha berbicara diselingi batuk berdarah.
“Rio..” perhatian Wiwit kembali tertuju ke arahku, jemarinya menekan luka di dadaku, berusaha agar tak banyak darah yang keluar dari sana.
Sanelia berbalik perlahan, layaknya sihir yang biasa kubaca dalam sebuah dongeng. Senapan raksasa di kedua tangannya perlahan menghilang disapu angin. Wajahnya tersenyum sambil memijat salah satu tombol gelang yang menutupi lengan kanan.
Gelang itu membelah dua di bagian ujung, lalu berputar kencang diiringi pendaran sinar hijau.
Cahaya itu menyinari tubuhku, diikuti dengan kemunculan asap tipis dari permukaan dada. Tak lama kemudian, dari sana muncul berbagai logam kecil yang sebelumnya tertanam dalam tubuhku.
Pendarahanku secara ajaib terhenti begitu saja. Rasa sakit perlahan hilang dengan sendirinya. Namun, tubuhku masih sulit untuk digerakkan.
“Sihir..??” Wiwit menyelidik.
“Bukan..” Sanelia menggeleng. “Ini yang dinamakan teknologi.. Kelak ada masa dimana manusia bisa mencapai teknologi seperti ini.”
“Siapa kau..?” tanyaku dengan suara lemas.
Sanelia tidak menjawab, ia berjalan mundur seraya mengangkat lengan kanan sebatas telinga.
Angin berhembus kencang, sebuah pintu udara terbentuk di belakangnya. Bagaikan dinding transparan terbuat dari permukaan air dengan riak yang tenang. Aliran listrik memercik di sekeliling, bahkan terlihat tak berbahaya.
Tubuh Sanelia perlahan tersedot kedalamnya. Aku dan Wiwit hanya terperanggah melihat pemandangan yang sangat tidak lazim bagi kami berdua.
“Akan sangat bermasalah jika kau sampai mati... kakek..”
Wajahnya tersenyum memandangiku.
THE END...
Author : Ichsan Leonhart
0
Kutip
Balas