- Beranda
- Stories from the Heart
[Kumcer] Kumpulan cerpen by Ichsan Leonhart
...
TS
ichsanleonhart
[Kumcer] Kumpulan cerpen by Ichsan Leonhart
Assalammu'alaikum~
Salam kenal buat para warga SFTH /
Ini postingan pertama saya di sini, rencananya saya akan mengisi thread ini dengan koleksi cerpen hasil mengikuti tantangan Three Words Hall.
Group penulis di Facebook gan, isinya tantangan random tiga kata yang harus dibikin ke dalam bentuk cerita pendek
Saya tidak berniat untuk promosi TWH-nya, tapi in case ada yang penasaran, bisa dicheck di sini -> https://www.facebook.com/ThreeWordsHall
Index Cerpen
nb: thread-nya masih dalam proses rekonstruksi, harap sabar yah
Salam kenal buat para warga SFTH /
Ini postingan pertama saya di sini, rencananya saya akan mengisi thread ini dengan koleksi cerpen hasil mengikuti tantangan Three Words Hall.
Spoiler for apa itu TWH?:
Group penulis di Facebook gan, isinya tantangan random tiga kata yang harus dibikin ke dalam bentuk cerita pendek
Saya tidak berniat untuk promosi TWH-nya, tapi in case ada yang penasaran, bisa dicheck di sini -> https://www.facebook.com/ThreeWordsHall
Quote:
Index Cerpen
- Kegagalan Ciuman Pertama
- Melodies of Surabaya [part1] - part2 - part3
- Tuyul Baper
- Janji Tujuh Tahun
- Rahasia Keluarga (part1) - (Part 2)
nb: thread-nya masih dalam proses rekonstruksi, harap sabar yah
Diubah oleh ichsanleonhart 04-09-2015 03:30
anasabila memberi reputasi
1
2K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ichsanleonhart
#3
Spoiler for TWH : Perang - Senapan - Perempuan (part2):
Quote:
Dalam rasa kantuk yang mendera, aku memaksakan diri untuk terbangun di antara bangunan kota besar.
Hari ini, tanggal 10 November. Jantungku berdebar kencang tiada henti. Aku tahu, kali ini aku tidak bisa meringkuk ketakutan, berpura-pura terluka atau berlagak mati. Inggris telah mengepung seluruh kota Surabaya. Aku memang akan mati andai mereka menemukanku walau sedang dalam keadaan terluka sungguhan.
Maka keputusan bulat yang kubuat adalah perang. Perang sungguhan dengan tekad sungguhan tanpa ada lagi kepalsuan.
Dada terasa sesak oleh detak jantung yang berdengup tak terkendali. Kedua mata terbuka lebar, membayangkan segala sesuatu yang hendak terjadi.
Bantuan datang dari kota terdekat, namun itu tak akan cukup melawan 45 ribu pasukan musuh dengan senjata modern dan perlengkapan canggih. Maka terjunlah warga sipil untuk membantu sesama. Tanpa pengalaman menembakkan senjata, mereka siap mengorbankan jiwa dan raga, demi menegakkan kemerdekaan yang susah payah diraih setelah berabad-abad yang lalu.
Suara Bung Tomo melengking di setiap radio tentara milisi. Tiap kalimat yang ia ucapkan membakar semangat rakyat pribumi, menyingkirkan segala keraguan, menghapus rasa takut, membuat kami berani menghadapi gempuran yang menanti.
Aku memegangi senapan Springfield ditangan. Tugasku menembaki musuh di kejauhan. Aku mahir dalam menembak tipe sniper. Pimpinan menempatkanku di atas bangunan Administrasi milik pemerintahan belanda dulu.
Tubuhku terlindung di balik bata tebal dan gelapnya bayangan rongga atap. Matahari bersinar terang di luar sana, para musuh pasti akan sulit melihat keberadaanku.
Meski dengan semua pertahanan yang ada, tetap saja tubuhku tak berhenti gemetar. Tak ada yang bisa menjamin keselamatanku. Mulut ini tak henti meracau berdoa pada sang kuasa. Kali ini aku benar-benar terjun kedalam suatu peperangan tanpa bisa melarikan diri.
Ultimatum berakhir hingga pukul sepuluh pagi. Suasana kota begitu sepi dan hening. Wanita dan anak-anak sudah berusaha kami ungsikan. Sementara para laki-laki baik tua maupun muda, tak ada yang sudi utuk beranjak sejengkal pun dari tanah kelahiran mereka. Tiupan angin dingin serasa berbisik lewat celah bebatuan. Bahkan burung kenari pun berhenti bernyanyi dan diam dalam sebuah kebisuan.
Semua orang mempersiapkan diri menghadapi perang melawan kaum penjajah. Mereka tahu, ini akan menjadi perang besar yang tak akan mudah untuk dimenangkan.
Jarum pendek di jam tangan tepat menunjukkan ke angka sepuluh. Aku mematikan radio di sampingku, bunyi sirine terdengar mengaung di seluruh penjuru kota. Mataku terpejam erat, seraya menarik napas dalam gengaman senapan di tangan.
Ini dia...
Deru mesin pesawat terdengar keras sekali. 4 buah bomber melayang rendah, menjatuhkan sesuatu di kejauhan. Burung-burung beterbangan ketakutan. Keheningan itu berlanjut beberapa saat...
Disambut dengan bola api membumbung di kejauhan, gemuruh suara ledakan berlanjut dengan jutaan puing bangunan yang terlontar ke segala arah. Hempasan angin terasa sampai ke tempatku berlindung. Bom tadi meledak tak jauh dari tempatku berada.
Nyaris saja… sepertinya aku belum akan mati dalam waktu dekat.
Rentetan ledakan lainnya terdengar dari kejauhan, suaranya datang dari tembakan meriam raksasa. Armada sekutu yang mengelilingi pantai Surabaya menembakkan altileri ke seluruh perkotaan.
Suara angin melecit terdengar Cumiakkan telinga, terbentuk dari sebuah bongkahan bom yang melesat membelah udara. Rangkaian ledakkan lainnya tercipta di sekeliling kota. Tanah bergetar diikuti dengan suara gemuruh kehancuran. Tanganku bergetar hebat, aku hanya berharap proses pengeboman itu tidak ada yang mengenaiku.
Kota ini digempur dari darat, laut dan udara. Serangan yang luar biasa dahsyat, untuk para milisi yang hanya bermodalkan senapan tua hasil rampasan.
Letusan senjata terdengar tak jauh dariku. Aku berada beberapa kilometer dari pantai, pasukan sekutu mendatangi tempatku beberapa saat setelah gempuran altileri mulai mereda.
Aku menembak prajurit yang keluar dari sebuah tikungan. Sisa pasukan lainnya sontak mencari perlindungan di kanan kiri jalan. Berusaha mencari keberadaanku yang terlindung sempurna di balik bata dan rongga atap. Daun pepohonan tinggi disamping bangunan menyulitkan pandanganku, tapi berkat itu pulalah mereka akan sulit mencari keberadaanku.
Jdaar..!!
Sniper lainnya mengikuti aksiku, total ada enam orang keseluruhan. Semuanya menembaki kumpulan pasukan yang sedang kuincar dari titik yang berbeda.
“Allahuakbaaar..!!!”
Puluhan pejuang melewati bangunan tempatku berlindung, dengan gagahnya menantang kumpulan pasukan musuh tanpa mengenal rasa takut. Amunisi kecil yang mereka bawa, membuat tiap tembakan terasa berarti. Berbeda dengan musuh yang pamer dengan rentetan senjata otomatis tak terkendali, tiap letupan yang dilepaskan oleh pejuang kami kemungkinan besar selalu diikuti oleh kematian salah satu prajurit musuh.
Prajurit sekutu lainnya berdatangan, sontak melepaskan tembakan dari berbagai sudut.
Banyak yang gugur, tapi aku berusaha menolong lewat kemampuan sniper yang aku miliki. Lengan yang bergetar hebat tak menjadi penghalang untuk menurunkan akurasi bidikanku.
Enam… Tujuh… Delapan… Sembilan… Aku terus menghitung jumlah prajurit yang berhasil kubunuh. Senapan Springfield yang kugenggam seolah bersatu dengan kedua lenganku, tak kubiarkan mereka datang mendekat. Akan kuhabisi mereka semua.
Namun aksiku terhenti ketika itu juga. Menatap tak percaya akan keberadaan sebongkah besi raksasa yang muncul di balik tikungan. Sebuah kendaraan berlapis baja dengan moncong ledak siap menembak, perisai logamnya tak bisa dihancurkan hanya dengan tembakan atau granat biasa. Para pasukan di bawahku sontak mundur, berusaha menyelamatkan diri sambil melepaskan tembakan perlawanan. Pertempuran mulai berjalan tak imbang, ratusan semut tak akan sanggup untuk menjatuhkan seekor gajah. Mereka tak akan bisa menang melawan sebuah Tank hanya dengan bermodalkan senapan tua hasil rampasan.
Seorang komandan yang duduk di atas tank menatap lekat gedung tempatku bersembunyi, setelah itu lengannya mendadak bergerak menunjuk tepat menuju ke arahku. Moncong tank itu perlahan bergerak hendak melepaskan tembakan. Aku menarik napas, berusaha untuk tetap tenang. Kubidik orang di atas tank itu, berniat untuk membunuh sang komandan yang memimpin satuan kompi.
Kutarik pelatuk senjataku, sebuah tembakan meledak melontarkan timah panas hingga mendarat di kejauhan. Projektil tajam itu mengoyak tepat di bagian lehernya. Darah memancar deras sedetik kemudian, di ikuti geliat tubuh sang komandan yang jatuh merenggang nyawa.
Aku sontak bergegas. Jantungku berdengup kencang, mengetahui bahwa moncong tank dikejauhan siap menembak tiap saat. Telingaku mendengung, aku sontak melempar diriku ke arah tangga.
DUAAAAAARR..!!!!
Tembok tempatku berlindung hancur, melemparku lebih keras hingga jatuh satu lantai, untuk kemudian jatuh berguling menuruni tangga. Punggung ini menabrak dinding berisikan paku, beberapa di antaranya menancap dibagian bahu. Aku lemas terduduk, merasakan aliran darah merembes dari balik baju.
Mulutku melenguh kesakitan, sekuat tenaga berusaha untuk melepaskan diri dari tubuhku yang tertancap pada paku besar. Pandanganku menoleh ke luar jendela.
DUAAAAR..!!!
Jendela itu hancur ditembak tank. Menghempas diriku lewat sapuan angin panasnya. Aku masih selamat. Aku harus menyelamatkan diri saat ini juga.
Adrenalin pun terpacu, dengup jantung berdetak liar tak terkendali. Pikiranku mulai panik, tapi aku berusaha untuk menenangkan diri. Tubuhku seolah mendapat kekuatan untuk bergerak, kakiku bergerak memaksakan diri untuk berlari ke sisi lain bangunan. Keluar dengan melompati kaca hingga mendarat dalam serpihan tajam.
Namun sial sekali, tank lainnya muncul di tikungan itu. Kakiku sontak berganti haluan, berlari menuju gedung terdekat sambil dihujani timah panas dari senapan otomatis.
Aku mendobrak pintu untuk masuk ke dalam salah satu gedung.
Tank itu kembali menembak, dinding di samping meledak hingga menghempasku menabrak dinding lainnya. Aku selamat berkat pintu tebal yang melindungi dari percikan timah panas. Gigiku beradu keras, meringis menahan sakit.
Sementara tank tadi bergerak tak acuh menembak membabi buta. Tak rela komandannya tewas oleh seorang sniper, mereka berusaha sekuat tenaga untuk memastikan aku mati dalam keadaan mengenaskan.
Pandanganku menjadi buram, samar-samar mataku menangkap sosok gadis cantik dengan rambut lurus sebahu. Mata hijau terangnya mengingatkanku pada sosok yang kulihat sepuluh hari lalu. Dia adalah gadis yang kulihat diatas jembatan merah sewaktu terjadi insiden mallaby.
Kenapa dia bisa ada di sini?? Apa dia tidak tahu tempat ini sangat berbahaya.
Aku berusaha mengangkat tanganku untuk menyuruhnya pergi. Tempat ini terlalu berbahaya bagiinya.
Namun gadis itu hanya membalas dengan sebuah tatapan bisu. Kakinya melangkah pelan beranjak memasuki sebuah lorong di sudut ruangan.
Aku berjalan tergopoh-gopoh, berusaha menyusul sosok misterius itu. Kehadirannya seolah menyihirku. Aku bahkan tidak mempedulikan tank di belakangku yang sedang memutar moncongnya, bersiap melumat tubuh lemas ini dengan satu tembakan mematikan.
Langkah gontaiku mengantarkan tubuh penuh luka ini berbelok ke dalam lorong sempit. Perlahan menuruni tangga demi mengikuti sosok tadi. Mataku hanya menangkap ayunan tangan yang menghilang di balik tikungan selanjutnya.
Dinding dibelakangku hancur dihempas tembakan lainnya. Telingaku berdengung keras, seluruh indra dalam tubuhku mendadak tumpul. Pandangan memburam, aku bahkan tak bisa merasakan kedua kakiku. Tubuhku terhempas jatuh, menyusuri tangga dengan sekujur tubuh sebagai alasnya. Pipi, pundak, tulang selangka, semuanya terbentur keras pada tiap sudut tajam sebuah anak tangga.
Pintu lorong bawah tanah itu terkubur, aku terjebak di dalamnya. Keadaan menjadi gelap gulita. Namun aku bisa menangkap cahaya redup dari sudut kegelapan.
Tempat itu adalah penjara bawah tanah, cahaya tadi datang dari salah satu sel tahanan. Aku hendak berdiri, namun kaki ini tak bisa di gerakkan. Tungkai lutut sebelah kanan nampak tertekuk ke arah sebaliknya. Penderitaan pun muncul tak lama kemudian. Terdiri dari; luka sobekan di bagian perut, serta beberapa tulang rusuk yang patah. Sengatan yang ada terasa menyiksa tiap kali aku mengambil napas hanya sekedar untuk tetap hidup.
Tapi aku tetap berjalan. Menyeret kaki kanan yang tak bisa digerakkan, bertopang pada tembok lusuh dengan dinding yang rontok. Tanpa mempedulikan rasa sakit yang menyiksa, aku berusaha mencari tahu apa yang ada di balik sel bercahaya.
Tiba di sana dengan langkah tergopoh-gopoh. Kesadaranku mulai menghilang secara perlahan, seiring mengucurnya darah dari tubuhku. Wajahku pasti terlihat pucah akibat kehilangan darah. Rasa kantuk menyerang, seolah hendak menghapus segala penderitaan yang sedang kurasakan.
Tapi aku tetap bertahan. Memaksakan kesadaranku untuk mengobati dahaga akan rasa keingin tahuan.
Tempat itu memiliki cahaya seterang di luar. Berbagai macam layar setengah transparan menempel di dinding ruangan. Gadis berambut hitam sebahu tengah duduk mengotak-atik peralatan aneh yang terhubung pada layar. Dari sana aku bisa melihat jalannya pertempuran lewat berbagai sudut yang dirasa mustahil untuk dilakukan.
Aku hanya bisa terdiam, ribuan pertanyaan muncul tak terkendali.
“Apa yang kau lakukan..?? Siapa kau..??”
Mulutku berucap dengan sendirinya, tanpa melepaskan pandangan dari beberapa layar aneh yang menempel pada dinding kotor.
Ia menoleh, “Aku sedang merekam, namaku Sanelia.”
“Merekam..??”
Aku tidak tahu apa maksudnya. Apa dia merekam suara menggunakan kaset? tapi aku tidak melihat satu pun alat perekam disini.
“Kau tak akan mengerti, sebaiknya kuobati dulu lukamu itu...”
Jarinya menekan salah satu tombol aneh dalam gelang yang melingkari lengan kanan. Ia mengarahkan telapak tangan pada tempat kosong, lalu mengeluarkan berkas cahaya sedetik kemudian.
Rangkaian kubus dan balok muncul dari cahaya berwarna hijau. Tak lama kemudian, rangkaian tersebut berubah menjadi berbagai benda solid berupa peralatan P3K dan obat-obatan.
Ia mengambil sebuah benda kecil seukuran jemari, lalu menempelkannya di leherku.
“Maaf, kita berpisah disini..” ucapnya dengan wajah datar.
Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, aku merasa sangat mengantuk. Mata ini perlahan terpejam, tidur pulas dalam mimpi tak lama kemudian.
0
Kutip
Balas