- Beranda
- Stories from the Heart
[Kumcer] Kumpulan cerpen by Ichsan Leonhart
...
TS
ichsanleonhart
[Kumcer] Kumpulan cerpen by Ichsan Leonhart
Assalammu'alaikum~
Salam kenal buat para warga SFTH /
Ini postingan pertama saya di sini, rencananya saya akan mengisi thread ini dengan koleksi cerpen hasil mengikuti tantangan Three Words Hall.
Group penulis di Facebook gan, isinya tantangan random tiga kata yang harus dibikin ke dalam bentuk cerita pendek
Saya tidak berniat untuk promosi TWH-nya, tapi in case ada yang penasaran, bisa dicheck di sini -> https://www.facebook.com/ThreeWordsHall
Index Cerpen
nb: thread-nya masih dalam proses rekonstruksi, harap sabar yah
Salam kenal buat para warga SFTH /
Ini postingan pertama saya di sini, rencananya saya akan mengisi thread ini dengan koleksi cerpen hasil mengikuti tantangan Three Words Hall.
Spoiler for apa itu TWH?:
Group penulis di Facebook gan, isinya tantangan random tiga kata yang harus dibikin ke dalam bentuk cerita pendek
Saya tidak berniat untuk promosi TWH-nya, tapi in case ada yang penasaran, bisa dicheck di sini -> https://www.facebook.com/ThreeWordsHall
Quote:
Index Cerpen
- Kegagalan Ciuman Pertama
- Melodies of Surabaya [part1] - part2 - part3
- Tuyul Baper
- Janji Tujuh Tahun
- Rahasia Keluarga (part1) - (Part 2)
nb: thread-nya masih dalam proses rekonstruksi, harap sabar yah
Diubah oleh ichsanleonhart 04-09-2015 03:30
anasabila memberi reputasi
1
2K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ichsanleonhart
#2
Melodies of Surabaya
Spoiler for TWH : Perang - Senapan - Perempuan (Part1):
Quote:
Melodies of Surabaya
Surabaya, 27 Oktober 1945…
Entah apa yang sedang terjadi. Rentetan peristiwa di surat kabar santer terdengar, mengukir sebuah sejarah lewat berbagai ketegangan yang meningkat lewat genderang perang. Sungguh, aku kurang mengerti akan peristiwa yang terjadi di sekelilingku.
Empat bulan lalu, terdengar suara Bung Karno meneriakkan sepatah kata utama puncak perjuangan bangsa Indonesia. Dalam satu proklamasi kemerdekaan, simbol terangkatnya harkat martabat seluruh bangsa.
Sedetik dua detik, dua jam tiga hari, hingga minggu dan berbulan-bulan lamanya. Pernyataan kemerdekaan itu terus menggema lewat teriakan penuh semangat, layaknya kumandang Adzan yang bersahutan silih berganti. Sebuah proklamasi yang kelak tercatat dalam buku sejarah, disambut dengan euphoria seantero rakyat. Aku bisa mendengar teriakan berbalut luapan emosi dengan lantang menggema kemanapun aku berada.
“Merdeka!” Begitulah yang terdengar.
Namun peperangan masih terjadi di mana-mana. Dalam gegap gempita ekspresi bahagia, kesenangan itu berbuntut baku tembak demi melucuti senjata dari para tentara Jepang yang tersisa. Konon kekalahan mereka terjadi, karena Negara induk di jepang sana telah luluh lantah dihantam sebuah bom berteknologi baru. Tentang bom berdaya ledak mengerikan yang bisa menyapu bersih sebuah kota hingga rata tak bersisa.
Meski kita sudah merdeka, pertumpahan darah akan perang merebut supremasi kedaulatan masih akan terjadi berbulan-bulan, bahkan beberapa tahun kemudian.
Aku senang Ibu pertiwi akhirnya bisa mendapatkan kemerdekaan. Tapi aku berpendapat bahwa ini hanyalah sebuah permulaan. Awal dari babak panjang sejarah negeri raksasa di asia tenggara.
…
Orang di sekitarku biasa memanggilku Rio. Anak campuran, setengah Indonesia setengah Belanda.
Silsilah keturunanku sama sekali tidak diketahui, ibuku mirip orang Jepang berkulit putih, ayahku berkulit cokelat hasil pernikahan orang barat kulit putih dan kulit hitam. Bukannya bermaksud rasis, tapi Fisikku memang campuran dari berbagai ras di seluruh dunia.
Oh ya, aku tidak akan bercerita tentang ras dan budaya. Sekelilingku masih hiruk pikuk akan serangan yang dilakukan kemarin malam. Budi teman terdekatku gugur dalam penyerangan, sementara aku hanya berlindung di balik mayat saudara seperjuangan, yang bertumpukan dicecar timah panas dari senapan mesin.
Aku lebih memilih berlari. Meyakinkan nyawaku terlindungi dengan aman untuk melihat esok hari. Dari pada harus memaksakan diri bertempur dengan musuh dilengkapi dengan senapan otomatis.
Ya— kau boleh menyebutku seorang pengecut. Walau terkadang, sifat pengecutlah yang diperlukan agar seseorang bisa bertahan hidup di dunia ini.
Tujuan kami adalah melucuti tentara Jepang. Frustasi kalah dalam perang pasifik, menjadi sebuah kesempatan bagi para Milisi untuk menyerang di titik terlemah. Untuk tiap hari yang terlewati, bertambah pula jumlah senjata yang bisa kami pergunakan. Perlahan namun pasti, kami mulai membentuk sebuah kekuatan.
Akan tetapi, perjuangan itu harus kandas di tengah jalan. Tumpukan Senjata yang sudah susah payah kami perjuangkan, harus di serahkan kepada para pasukan berkulit putih dari Inggris. Yang mendadak datang dari antah berantah, bertindak layaknya malaikat kebaikan datang sebagai pembawa kedamaian.
Tanpa berucap apapun, semua orang tahu akan maksud kedatangan mereka. Tak lain dan tak bukan adalah untuk kembali menduduki bumi tempatku berpijak ini. Mereka tak rela begitu saja menyerahkan tanah subur penuh sumber daya alam—sumber pendapatan utama lewat penjajahan—bisa merdeka begitu saja.
Para pemimpin kami marah, merasa dibohongi oleh sikap arogan para sekutu. Karena sehari sebelumnya, mereka telah membuat perjanjian yang berisikan bahwa: hanya pihak Jepang yang akan dilucuti. Tanpa sedikitpun mengganggu pasukan keamanan bangsa Indonesia.
Brigjen Mallaby—pemimpin dari pihak inggris —tidak menepati perjanjian tersebut. Maka tercatat jelaslah di sanubari setiap pejuang, bahwa Tanggal 26 Oktober 1945. Mereka telah sukses menginjak harga diri kami— bangsa Indonesia hingga rata dengan tanah.
Kami tak akan tinggal diam.
…
Esoknya— aku diajak teman seperjuangan untuk ikut menggempur pasukan inggris di Surabaya. Berbekal pakaian lusuh, serta kain panjang berwarna merah putih di kening. Aku berangkat berjalan kaki dari desa kecil yang letaknya agak terpencil.
Sepanjang jalan, aku diberitahu tentang keberadaan saudara seperjuangan—pasukan milisi dengan persenjataan ala kadarnya—yang terpencar di beberapa tempat. Bersembunyi dalam senyap, menunggu saat yang tepat. Masing-masing menajamkan mata dengan pandangan awas, merayap di antara semak belukar demi mengintai pangkalan musuh di kejauhan. Kami memang terlihat urakan, namun di balik lusuhnya seragam kami, semuanya tersusun rapi dalam satu garis komando
Truk, jeep dan tank berlalu lalang di jalanan. Pasukan musuh berseragam krem terlihat santai sambil menghisap sebatang cerutu. Bukit tempatku mengintai hanyalah bagian kecil dari ratusan pejuang lain di seluruh Surabaya.
Entah berapa lama kami menunggu, pusat komando tak kunjung memberi perintah untuk menyerang. Aku dan yang lain melakukan pengintaian secara bergantian. Sementara yang lain beristirahat di malam dingin penuh dengan gigitan nyamuk hutan.
Perintah untuk tidak menyerang itu datang dengan sebuah alasan. Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan niat kami.
Entah apa yang terjadi, di saat kami sudah siap untuk memberikan seluruh jiwa raga untuk mengusir para penjajah itu. Sang pimpinan utama kami malah datang untuk memadamkan api semangat para prajurit.
Meski terlihat menyebalkan, namun kami bisa mengerti, bahwa beliau pasti memiliki rencana lain yang hendak digunakan. Hari berikutnya, aku dan rekanku yang lain kembali ke pos utama di desa masing-masing.
Kakiku melangkah gontai menuju ke desa kecil nan damai, sejenak kembali menikmati hidup sebagai seorang petani serabutan. Umurku hendak menginjak kepala dua, para tetua sering menasehatiku untuk cepat mencari jodoh. Mereka bahkan sering bertingkah jahil dengan mempertemukanku dengan beberapa gadis cantik di desa ini.
Sebenarnya aku tak peduli. Tak ada satu pun dari mereka yang menarik hatiku sejauh ini. Tuhan sudah mengatur jodoh tiap makhluk ciptaanya, di antara jutaan manusia di negeri ini, pasti ada satu yang akan menjadi pendamping hidupku— semoga saja begitu.
Hari berikutnya, terdengar kabar presiden Soekarno tengah mengadakan perjanjian gencatan senjata. Aku yang berada di radio terdekat diberi mandat untuk menyampaikan berita itu kepada siapapun yang bisa ditemui. Sebuah komando telah diputuskan, aku harus menyebarkannya secepat mungkin agar tidak terjadi kesalahpahaman. Para rekanku di posko pengintaian sudah gatal ingin membunuh para penjajah, mereka pasti akan menyerang atas inisiatif sendiri.
Di perjalanan, aku berpapasan dengan beberapa orang yang berangkat ke gedung Internatio. Mereka hendak mengepung pos pasukan inggris di dekat jembatan merah. Aku sontak memberitahu akan perjanjian gencatan senjata yang tengah berlangsung.
Tapi sisa pasukan lainnya sudah berada di tempat tujuan, mengepung dari berbagai sisi— bersiap menyerang.
Aku dan empat orang lainnya bergegas menyusuri sawah serta rimbun pepohonan. Napas yang memburu tak menjadi penghalang untuk segera menyampaikan berita ini.
Tiga puluh menit berlalu, kami akhirnya tiba di pos penyergapan.
Namun sepertinya aku terlambat, dua kubu di hadapanku telah saling melepaskan tembakan. Desingan peluru serta pistol mengentak terdengar rata di sekeliling.
Semua itu bermula ketika iring-iringan militer Inggris muncul membawa Brigjen Mallaby. Para pejuang yang sedang mengepung gedung pada awalnya belum melakukan apapun. Namun seseorang melepaskan tembakan dari arah musuh. Mungkin semacam tembakan penyambutan akan kemunculan seorang Jenderal.
Akan tetapi, para pejuang mengira bahwa mereka telah diserang. Semua orang sontak membalas, baku tembak pun terjadi tak terhindarkan.
Aku seperti biasa langsung menjatuhkan diriku ke tanah, berlindung di antara semak belukar dan akar pohon mati. Berpura-pura tertembak atau terluka agar tidak ikut serta dalam pertempuran berlumuran darah. Meringkuk ketakutan, pandangan mataku kosong tak mampu melihat kemanapun.
Pandanganku tanpa sengaja terarah pada jembatan merah di kejauhan. Menangkap sosok manusia berpakaian hitam berdiri di atas tiang jembatan.
Mulut ini terbuka pelan, menganga tanpa mengeluarkan suara.
Siapa dia? Apa yang dia lakukan disana?? Bagaimana dia bisa ada disana? Sebisa mungkin aku menajamkan mata berusaha untuk menangkap sosok misterius itu lebih jelas.
Rambutnya pendek sebahu, berkulit putih bersih. Memiliki postur tubuh ramping ditutupi baju yang agak terbuka di bagian dada.
“Perempuan..?”
Logikaku macet, tidak bisa jalan sama sekali. Bisa-bisanya aku berhayal di tengah pertempuran seperti ini. Dengan cepat lenganku mengucek-ngucek kedua mata, berusaha meyakinkan bahwa aku sedang berimajinasi. Mungkin saja itu hanyalah daun pepohonan, yang entah berkat imajinasi liarku mendadak berubah menjadi seorang gadis cantik dengan pakaian seksi.
Agak lama aku berusaha meyakinkan diri. Namun pengelihatanku tetap tidak berubah. Orang itu mengenakan pakaian aneh. Semacam rok kecil hitam mengkilat, namun terlihat ketat membalut kedua pahanya yang mulus. Rambutnya lurus sebahu, kaos ketat berwarna putih, terlihat menyembul lewat potongan jaket gelap yang menutupi tubuh.
Baru kali ini aku melihat model pakaian seperti itu. Mataku juga menangkap sesuatu menempel di lengan kanannya. Terlihat seperti logam namun memiliki tekstur yang sangat rumit.
Ia terdiam— menatap ke suatu arah.
Aku menoleh menuju pandangan yang ia tuju. Sebuah granat melayang tak jauh dari tempatku berbaring. Mendarat di salah satu mobil mewah hingga meledakkannya dari dalam.
Deru tembakan seolah terhenti sesaat, kedua belah pihak tertegun dengan peristiwa yang baru saja terjadi.
“Itu mobil Brigadir Mallaby..”
Seseorang menggumam dengan nada bergetar.
“Gawat... inggris bisa marah besar”
“Siapa yang melempar granat barusan..!?”
Pamanku yang merupakan komandan pasukan berteriak lantang.
Namun tak ada yang menjawab. Tak seorang pun di pihak milisi yang menggunakan granat. Benda itu sulit diperoleh, dan kalau pun ada, hanya orang-orang tertentu yang boleh memakainya.
Tembakan kembali bergema. Pasukan inggris mengamuk, mengerahkan setiap peralatan yang mereka punya. Perang semakin memanas, aku kembali berbaring di antara semak belukar.
Aku kembali teringat akan gadis misterius di atas jembatan merah. Kepalaku kembali menyembul ke luar demi mencari tahu akan keberadaannya.
Dia masih ada disana. Lengan kanannya dililit logam berwarna perak, tampak mengeluarkan seberkas cahaya memantul di udara. Bagiku hal itu terlihat seperti layar transparan berisi tulisan-tulisan yang sulit dibaca.
Gadis itu terlihat sibuk mengotak-atik layar transparan di hadapannya. Tak lama kemudian, pandangannya mendadak menoleh ke arahku. Mata kami bertemu satu sama lain selama beberapa saat.
Aku menelan ludah, entah kenapa rasa takut mendadak menyusup di sanubariku. Retina mata terlihat memancarkan berkas cahaya hijau. Berpendar redup menatap lekat kedua bola mataku dari kejauhan. Mata itu terasa dingin menusuk.
Rambut sebahu yang ia miliki tergerai angin yang berhembus pelan. Sejenak gadis itu merapihkan rambut depan yang agak menutupi mata, lalu mengotak atik benda di lengan kanan berbentuk gelang berwarna perak.
Sedetik kemudian. Tubuhnya berubah transparan— menghilang dari pandangan layaknya debu terbang disapu angin.
Aku masih berusaha untuk mempercayai apa yang kulihat. Tapi tak ada satu pun logika yang bisa menjelaskan kejadian barusan. Mungkin dia semacam makhluk halus, jelmaan dari jin atau arwah gentayangan. Hanya itu kesimpulan yang bisa kudapatkan.
Perang seolah usai, deru entakan senapan mesin mereda seiring semakin banyak pasukan milisi yang mundur ke garis belakang. Aku merasa serangan ini akan memancing Inggris untuk melakukan serangan balasan yang jauh lebih besar.
..................
Benar saja—
Sepuluh hari kemudian, ketakutanku terbuki benar. Pasukan inggris mengeluarkan ultimatum bagi para pejuang di kota Surabaya dan sekitar. Mereka meminta secara tegas, agar para milisi untuk menyerah serta memberikan senjata masing-masing.
Tentu saja Ultimatum itu langsung dibalas oleh sumpah serapah. Semua orang berteriak lantang sambil mengangkat senjata masing-masing, menyerukan nama tuhan dan simbol harapan negeri ini— Merdeka atau mati.
….
0
Kutip
Balas