- Beranda
- Stories from the Heart
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
...
TS
reloaded0101
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
Judul thread ini ane ganti, sekarang tidak semua cerpennya mengisahkan cinta. Tetapi temanya lebih umum, ada detektif,sci-fi,horor,thriller,drama dan lain-lain yang tidak selalu melibatkan percintaan antar karakternya.
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
Spoiler for :
Quote:
INDEX
RUMAH SERIBU JENDELA DI POST INI
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Spoiler for :
RUMAH SERIBU JENDELA
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
end
Diubah oleh reloaded0101 15-05-2020 14:17
indrag057 dan 37 lainnya memberi reputasi
34
190.6K
Kutip
1.1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
reloaded0101
#779
GOODBYE CINDY
Spoiler for :
Vincent memeriksa foto-foto di tangannya. Keempat sisi eksterior dan interior mobil yang digunakan dalam kasus mesin jahit maut-(baca cerita sebelumnya) itu tak lagi menjadi misteri baginya.
“Pelaku, tidak bekerja seorang diri.” Katanya kepada semua orang yang duduk mengelilingi meja. Ia melanjutkan
“Butuh mekanik untuk memodifikasi mobil, orang berbadan kuat untuk membawa dan memasukkan korban yang sudah dibius ke dalam kendaraan,kaki dan tangan beberapa korban dibuat cacat . Hal ini tentu membutuhkan seseorang yang mampu melakukan amputasi dan menjahit luka. Butuh pengetahuan seorang dokter untuk melakukannya.”
“Montir, orang kuat dan dokter berarti tiga orang tapi bisa juga lebih. Siapa mereka? Apa motifnya? Mengapa mau diajak kerjasama oleh wanita penjahit itu untuk membunuh orang? Dan bagaimana pelaku utama menghubungi mereka? Apakah ada campur tangan Cindy dalam pengumpulan orang-orang ini? Itu yang harus kita cari tahu.” Kata Chintya berusaha memperjelas tindakan apa saja yang akan mereka lakukan selanjutnya untuk mengungkap kasus ini.
“Asistenmu lukanya sudah sembuh Wan?” Tanya Pak Erwin komisaris polisi yang duduk di seberang Arwan.
“Susanto sudah diperbolehkan pulang kemarin, awalnya saya ingin mengajaknya datang ke rapat ini tapi setelah berpikir lagi, niat itu saya batalkan.” Sambung Arwan lagi.
“Kau mencurigai anak itu?” Tanya Chintya
“Tantu saja aku juga mencurigainya. Bisa saja dia itu Cindy” Timpal Vincent.
“Dia kenal dengan korban vila demam berdarah, tahu lokasi paling tepat untuk harus menempatkan penembak bayaran untuk menghabisi nyawa pelaku di perpustakaan. Kemungkinan Cindy adalah orang dalam dari universitas dan kemungkinan besar Cindy adalah teman sekelas dari para mahasiswa yang terbunuh membuatnya menjadi tersangka kuat dalam kasus ini.” Balas Arwan.
“Kau sudah ketularan Vincent, murid sendiri dicurigai. Bagaimana dengan pendanaannya? Menurut informasi disini Susanto tidak kaya dan bukan berasal dari keluarga kelas atas. Jadi darimana ia dapat uang untuk menyewa penembak, membeli mobil dan memodifikasinya, dan mengumpulkan montir,orang kuat serta dokter bedah untuk bersekongkol melakukan pembunuhan berantai, kalau tidak dengan ancaman tentu dengan bayaran kan?” Tanya Pak Erwin.
“Benar, soal itu belum dipecahkan. Yang menarik, saya baru tahu kalau Pak Erwin punya data mahasiswa kampus saya.”
“Bukan Cuma mahasiswa tapi semua personel dan layout bangunan serta interior ruang kelas tentu saja.”
“Boleh saya lihat?”
“Ini.”
“Layout kursi kosong yang ditinggalkan para korban ini sangat menarik. Cindy tahu dimana para korban biasa duduk dan dia punya pola yang teratur, memulainya secara berurutan dari pojok kiri dulu. Tapi pola pembunuhannya dikacaukan oleh Anya ketika dia dan Sheila menghabisi mahasiswa yang mengungsi didalam bus.”
“Artinya?”
“Seperti saya katakan tadi, bisa jadi teman sekelas korban atau orang luar yang memiliki kemampuan melihat ke dalam kelas. Oh ya apakah di dalam mobil ada kamera?”
“Ada, tapi tidak bisa ditelusuri arus datanya mengalir ke mana, tetapi yang jelas ada orang luar yang bisa melihat kondisi interior mobil jahit maut itu.”
“Demikian juga dengan kelas itu. Pak Erwin, boleh saya lihat data tentang karyawan dan tenaga magang?”
“Silahkan tapi banyak sekali, jadi agak susah mengubahnya jadi informasi yang relevan dengan kasus ini.”
“Memang butuh waktu tapi layak diselidiki.” Kata Arwan sambil bangkit dari kursi
“Kau cari siapa Cindy dan kita cari komplotan di kasus mesin jahit yang tersisa.” Kata Chintya
“Itu mudah,” Sambung Vincent.
“Kok bisa?”
“Kalau aku yang jadi Cindy pasti sekarang montir, orang kuat dan dokter itu sudah kukirim ke alam baka.”
“Benar juga, Langkah awal kita periksa kamar mayat di kantor-kantor polisi dan rumah sakit.”
Keesokan harinya di ruang rapat yang sama
“Kita benar, tiga orang itu sudah mati.”
“Tapi kita sudah tahu kesamaan antara ketiganya dengan pelaku utama kasus mesin jahit. Ketika kita periksa catatan penggunaan telepon, mereka ditelepon berkali-kali oleh satu nomor prabayar yang sama.”
“Nomor itu sekarang masih aktif dan bergerak, sepertinya pemiliknya dalam perjalanan. Lihat ini.”
“Cepat kirim semua personel untuk mengepungnya!”
“Sudah.”
Kata Chintya sambil menunjukkan layar laptopnya.
Tiba-tiba pintu dibuka dan Arwan datang sambil membawa sebuah map
“Ketika melihat jadwal ruangan CCTV kampus, ada keanehan. Satu monitor yang tugasnya mengawasi ruang kuliah berpindah mengakses kamera perpustakaan beberapa kali sebelum insiden penembakan. Perpindahan itu hanya terjadi pada shift tugas satu orang yang sama. Seorang anak magang yang setelah kuselidiki ternyata berasal dari keluarga kaya tapi kedua orangtuanya tidak harmonis. Anak magang ini bernama...”
Tiba-tiba sebuah suara memotong perkataan Arwan.
“Kan sudah kubilang namaku Cindy.”
Di pintu ruangan yang terbuka tiba-tiba muncul seorang berseragam yang membuka topinya. Wanita muda dengan mata lebar yang lincah dan senyum kekanak-kanakan berjalan mendekat.
“Hmm, aneh. Kenapa kau belum menembakku. Bukankah kau biasa membunuh orang. Ih...jahat.” Katany sambil menunjuk Vincent yang dari arah tempat duduknya menodongkan sepucuk pistol ke kening Cindy.
“Kami ingin tahu untuk apa kau kesini.” Tanya Arwan yang penasaran.
“Cindy takut.”
“Takut siapa?”
“Ibu peri, awalnya kupikir dia ibu peri yang baik tapi...”
Cindy melepas lengan palsunya kemudian kedua telinganya yang dibuat dari plastik.
“Tangan dan telingaku dipotongnya, sakiiiit sekali. Cindy sampai nangis. Ternyata dia tukang sihir jahat yang pura-pura jadi ibu peri.”
“Maksudmu Anya?”
“Siapa lagi kalau bukan dia.”
“Makanya Cindy kesini, Cindy tahu Kak Anya ada dimana.”
“Katakan!” Kata Vincent sambil berjalan mendekat
“Cindy mau bilang, tapi kakak-kakak disini harus janji dulu ya.”
“Tenang kau akan kami lindungi sebagai saksi.” Kata Arwan
“Benarkah?” Tanya Cindy dengan mata melebar berkaca-kaca.
“Iya.” Kata Pak Erwin
“Horeeee.”
“Sekarang katakan Anya dimana?” anya Vincent
“Tapi Cindy jangan dimarahi ya, jangan dipukul.”
“Tidak akan.” Kata Vicent
“Kak Anya sekarang ada di rumah Kak Arwan.”
“Terima kasih.”
Kata Vincent sambil menarik pemicu pistolnya. Cindy terbaring di lantai dengan dahi berlubang.
“Hei! Gila! apa yang kau lakukan!”
“Kita tahan dia di rumah sakit jiwa, lepas lagi, bikin ulah lagi, sangat merepotkan. Ini solusi permanen yang paling baik.”
“Di rumahku! Gawat, bagaimana ini.”
“Kita kesana.”
“Aku juga sudah bosan sembilan tahun kejar-kejaran terus dengan Anya. Lebih baik kalau kita akhiri hari ini.”
“Pelaku, tidak bekerja seorang diri.” Katanya kepada semua orang yang duduk mengelilingi meja. Ia melanjutkan
“Butuh mekanik untuk memodifikasi mobil, orang berbadan kuat untuk membawa dan memasukkan korban yang sudah dibius ke dalam kendaraan,kaki dan tangan beberapa korban dibuat cacat . Hal ini tentu membutuhkan seseorang yang mampu melakukan amputasi dan menjahit luka. Butuh pengetahuan seorang dokter untuk melakukannya.”
“Montir, orang kuat dan dokter berarti tiga orang tapi bisa juga lebih. Siapa mereka? Apa motifnya? Mengapa mau diajak kerjasama oleh wanita penjahit itu untuk membunuh orang? Dan bagaimana pelaku utama menghubungi mereka? Apakah ada campur tangan Cindy dalam pengumpulan orang-orang ini? Itu yang harus kita cari tahu.” Kata Chintya berusaha memperjelas tindakan apa saja yang akan mereka lakukan selanjutnya untuk mengungkap kasus ini.
“Asistenmu lukanya sudah sembuh Wan?” Tanya Pak Erwin komisaris polisi yang duduk di seberang Arwan.
“Susanto sudah diperbolehkan pulang kemarin, awalnya saya ingin mengajaknya datang ke rapat ini tapi setelah berpikir lagi, niat itu saya batalkan.” Sambung Arwan lagi.
“Kau mencurigai anak itu?” Tanya Chintya
“Tantu saja aku juga mencurigainya. Bisa saja dia itu Cindy” Timpal Vincent.
“Dia kenal dengan korban vila demam berdarah, tahu lokasi paling tepat untuk harus menempatkan penembak bayaran untuk menghabisi nyawa pelaku di perpustakaan. Kemungkinan Cindy adalah orang dalam dari universitas dan kemungkinan besar Cindy adalah teman sekelas dari para mahasiswa yang terbunuh membuatnya menjadi tersangka kuat dalam kasus ini.” Balas Arwan.
“Kau sudah ketularan Vincent, murid sendiri dicurigai. Bagaimana dengan pendanaannya? Menurut informasi disini Susanto tidak kaya dan bukan berasal dari keluarga kelas atas. Jadi darimana ia dapat uang untuk menyewa penembak, membeli mobil dan memodifikasinya, dan mengumpulkan montir,orang kuat serta dokter bedah untuk bersekongkol melakukan pembunuhan berantai, kalau tidak dengan ancaman tentu dengan bayaran kan?” Tanya Pak Erwin.
“Benar, soal itu belum dipecahkan. Yang menarik, saya baru tahu kalau Pak Erwin punya data mahasiswa kampus saya.”
“Bukan Cuma mahasiswa tapi semua personel dan layout bangunan serta interior ruang kelas tentu saja.”
“Boleh saya lihat?”
“Ini.”
“Layout kursi kosong yang ditinggalkan para korban ini sangat menarik. Cindy tahu dimana para korban biasa duduk dan dia punya pola yang teratur, memulainya secara berurutan dari pojok kiri dulu. Tapi pola pembunuhannya dikacaukan oleh Anya ketika dia dan Sheila menghabisi mahasiswa yang mengungsi didalam bus.”
“Artinya?”
“Seperti saya katakan tadi, bisa jadi teman sekelas korban atau orang luar yang memiliki kemampuan melihat ke dalam kelas. Oh ya apakah di dalam mobil ada kamera?”
“Ada, tapi tidak bisa ditelusuri arus datanya mengalir ke mana, tetapi yang jelas ada orang luar yang bisa melihat kondisi interior mobil jahit maut itu.”
“Demikian juga dengan kelas itu. Pak Erwin, boleh saya lihat data tentang karyawan dan tenaga magang?”
“Silahkan tapi banyak sekali, jadi agak susah mengubahnya jadi informasi yang relevan dengan kasus ini.”
“Memang butuh waktu tapi layak diselidiki.” Kata Arwan sambil bangkit dari kursi
“Kau cari siapa Cindy dan kita cari komplotan di kasus mesin jahit yang tersisa.” Kata Chintya
“Itu mudah,” Sambung Vincent.
“Kok bisa?”
“Kalau aku yang jadi Cindy pasti sekarang montir, orang kuat dan dokter itu sudah kukirim ke alam baka.”
“Benar juga, Langkah awal kita periksa kamar mayat di kantor-kantor polisi dan rumah sakit.”
Keesokan harinya di ruang rapat yang sama
“Kita benar, tiga orang itu sudah mati.”
“Tapi kita sudah tahu kesamaan antara ketiganya dengan pelaku utama kasus mesin jahit. Ketika kita periksa catatan penggunaan telepon, mereka ditelepon berkali-kali oleh satu nomor prabayar yang sama.”
“Nomor itu sekarang masih aktif dan bergerak, sepertinya pemiliknya dalam perjalanan. Lihat ini.”
“Cepat kirim semua personel untuk mengepungnya!”
“Sudah.”
Kata Chintya sambil menunjukkan layar laptopnya.
Tiba-tiba pintu dibuka dan Arwan datang sambil membawa sebuah map
“Ketika melihat jadwal ruangan CCTV kampus, ada keanehan. Satu monitor yang tugasnya mengawasi ruang kuliah berpindah mengakses kamera perpustakaan beberapa kali sebelum insiden penembakan. Perpindahan itu hanya terjadi pada shift tugas satu orang yang sama. Seorang anak magang yang setelah kuselidiki ternyata berasal dari keluarga kaya tapi kedua orangtuanya tidak harmonis. Anak magang ini bernama...”
Tiba-tiba sebuah suara memotong perkataan Arwan.
“Kan sudah kubilang namaku Cindy.”
Di pintu ruangan yang terbuka tiba-tiba muncul seorang berseragam yang membuka topinya. Wanita muda dengan mata lebar yang lincah dan senyum kekanak-kanakan berjalan mendekat.
“Hmm, aneh. Kenapa kau belum menembakku. Bukankah kau biasa membunuh orang. Ih...jahat.” Katany sambil menunjuk Vincent yang dari arah tempat duduknya menodongkan sepucuk pistol ke kening Cindy.
“Kami ingin tahu untuk apa kau kesini.” Tanya Arwan yang penasaran.
“Cindy takut.”
“Takut siapa?”
“Ibu peri, awalnya kupikir dia ibu peri yang baik tapi...”
Cindy melepas lengan palsunya kemudian kedua telinganya yang dibuat dari plastik.
“Tangan dan telingaku dipotongnya, sakiiiit sekali. Cindy sampai nangis. Ternyata dia tukang sihir jahat yang pura-pura jadi ibu peri.”
“Maksudmu Anya?”
“Siapa lagi kalau bukan dia.”
“Makanya Cindy kesini, Cindy tahu Kak Anya ada dimana.”
“Katakan!” Kata Vincent sambil berjalan mendekat
“Cindy mau bilang, tapi kakak-kakak disini harus janji dulu ya.”
“Tenang kau akan kami lindungi sebagai saksi.” Kata Arwan
“Benarkah?” Tanya Cindy dengan mata melebar berkaca-kaca.
“Iya.” Kata Pak Erwin
“Horeeee.”
“Sekarang katakan Anya dimana?” anya Vincent
“Tapi Cindy jangan dimarahi ya, jangan dipukul.”
“Tidak akan.” Kata Vicent
“Kak Anya sekarang ada di rumah Kak Arwan.”
“Terima kasih.”
Kata Vincent sambil menarik pemicu pistolnya. Cindy terbaring di lantai dengan dahi berlubang.
“Hei! Gila! apa yang kau lakukan!”
“Kita tahan dia di rumah sakit jiwa, lepas lagi, bikin ulah lagi, sangat merepotkan. Ini solusi permanen yang paling baik.”
“Di rumahku! Gawat, bagaimana ini.”
“Kita kesana.”
“Aku juga sudah bosan sembilan tahun kejar-kejaran terus dengan Anya. Lebih baik kalau kita akhiri hari ini.”
THE END
0
Kutip
Balas