- Beranda
- Stories from the Heart
You Are My Happiness
...
TS
jayanagari
You Are My Happiness

Sebelumnya gue permisi dulu kepada Moderator dan Penghuni forum Stories From The Heart Kaskus 
Gue akhir-akhir ini banyak membaca cerita-cerita penghuni SFTH dan gue merasa sangat terinspirasi dari tulisan sesepuh-sesepuh sekalian
Karena itu gue memberanikan diri untuk berbagi kisah nyata gue, yang sampe detik ini masih menjadi kisah terbesar di hidup gue.
Mohon maaf kalo tulisan gue ini masih amburadul dan kaku, karena gue baru pertama kali join kaskus dan menulis sebuah cerita.
Dan demi kenyamanan dan privasi, nama tokoh-tokoh di cerita ini gue samarkan

Gue akhir-akhir ini banyak membaca cerita-cerita penghuni SFTH dan gue merasa sangat terinspirasi dari tulisan sesepuh-sesepuh sekalian

Karena itu gue memberanikan diri untuk berbagi kisah nyata gue, yang sampe detik ini masih menjadi kisah terbesar di hidup gue.
Mohon maaf kalo tulisan gue ini masih amburadul dan kaku, karena gue baru pertama kali join kaskus dan menulis sebuah cerita.
Dan demi kenyamanan dan privasi, nama tokoh-tokoh di cerita ini gue samarkan

Orang bilang, kebahagiaan paling tulus adalah saat melihat orang lain bahagia karena kita. Tapi terkadang, kebahagiaan orang itu juga menyakitkan bagi kita.
Gue egois? Mungkin.
Nama gue Baskoro, dan ini kisah gue.
Gue egois? Mungkin.
Nama gue Baskoro, dan ini kisah gue.
Quote:
Quote:
Diubah oleh jayanagari 11-08-2015 11:18
gebby2412210 dan 49 lainnya memberi reputasi
48
2.2M
5.1K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jayanagari
#5004
Episode 4 : Family
Mobil sedan hitam yang gue kendarai melaju melewati jalanan di siang hari yang panas itu. Sesekali gue memicingkan mata karena silau oleh teriknya sinar matahari. Gue gak bisa membayangkan orang-orang yang harus beraktivitas di luar ruangan pada siang hari sepanas ini. Bahkan dinginnya AC mobil serasa gak berguna karena panas hari itu. Gue melirik ke wanita di sebelah gue, yang sedang membuka e-mail di smartphone nya.
“Ada kerjaan lagi?” tanya gue tanpa melihat.
“Iya, minggu depan disuruh ke Turki, abis itu lanjut ke Rio de Janeiro minggu depannya lagi. Ngapain coba harus aku,” keluhnya dengan suaranya yang khas.
Gue tersenyum. “Bersyukurlah bisa keliling dunia, dibayar lagi. Di umur yang masih muda gini lagi. Tuhan selalu berbaik hati sama kamu, Sayang.”
“Tapi kan lagi-lagi ninggalin suami….”
“Oh, itu bukan masalah kok…”
“Kamu gak macem-macem kan disini?” sahutnya dengan tatapan curiga.
Gue tergelak mendengar pertanyaan aneh itu. “Mau macem-macem gimana sih hahaha, orang udah ada istri cantik gini kok.”
“Ya siapa tau gara-gara ‘nganggur’ trus cari yang lain?”
“’Nganggur’ ya? ‘Nganggur’ dalam tanda petik?”
“Iya....” sahutnya dilanjut dengan ketawa ngakak.
“Ya gak tau juga yaaaa......” jawab gue.
Kemudian perut gue dicubitin berkali-kali sampe merah.
Ketika mobil kami berhenti di traffic light, di kejauhan gue melihat seorang kakek tua lusuh yang duduk bersandar di bawah pohon, dengan segala barang yang dimilikinya. Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya, tanpa sedikitpun menoleh ke kakek itu. Gue memandanginya beberapa waktu, kemudian gue menoleh ke Anin.
“Kira-kira dia punya keluarga gak ya?”
“Hm? Siapa?”, tanyanya.
Gue menunjuk ke kakek tadi, dan Anin memandanginya sambil terdiam.
“Pasti punya, pada awalnya,” dia menarik napas panjang, “tapi mungkin gak bertahan selama keluarga pada umumnya.” Dia menoleh ke gue, “karena kalau dia punya keluarga, kecil kemungkinan itu kakek bakal disitu seperti sekarang.”
“Aku ngebayangin....”
“Apa?”
“.....kalo itu kakek meninggal nanti, kira-kira siapa ya yang bakal dateng di penguburannya? apa nanti masih ada yang ziarah ke makamnya setelah dia meninggal?” tanya gue getir, “atau kalo kakek itu sakit, kira-kira siapa ya yang mau ngerawat? kita sakit flu aja rasanya udah lemes mau ngapa-ngapain, padahal di tempat tidur, selimutan dan lain sebagainya. Sementara kakek itu kalo sakit mungkin cuma berteduh di emperan toko.”
“Hidup di dunia bisa begitu kejam ya. Tapi semoga dia bahagia nanti di akhirat sana kelak,” sahutnya pelan.
“Amin.”
“Amin.”
Mobil kami pun melaju kembali meninggalkan tempat itu, karena lampu traffic light sudah hijau. Kami masuk ke jalan tol, dan kembali menghadapi kemacetan ibukota dan deretan gedung-gedung tinggi di kanan-kirinya. Tapi sejauh apapun kami pergi, pikiran kami masih terpancang pada sosok kakek tua yang tadi kami lihat.
Di sela-sela kemacetan itu, gue menoleh ke Anin, dan bertanya,
“Kalo seandainya, seandainya, kita dihadapkan sama situasi seperti itu, terus kita disarankan untuk nampung kakek itu di rumah kita, what would you do?”
Anin berpikir sejenak.
“Entahlah, Mas. I do realize that we’re not brave enough to let him live with us. Maybe we’re not good enough to do some good things.”
Gue mengangguk-angguk, mencoba memasukkan perkataan Anin barusan ke pikiran gue.
“Mungkin kita gak perlu jauh-jauh ambil contoh, ambil yang deket-deket aja. Misalnya Shinta minta sesuatu dari kita, let’s say, mobil kita ini, apa kita langsung kasih ke Shinta?” lanjutnya lagi, “....mungkin bakal kita kasih, tapi kan gak serta merta juga kan, Mas?”
“I see...” sahut gue pelan.
“Tapi memang sih, Mas, sama keluarga, kita gak boleh perhitungan. Apalagi sodara kandung.”
“Baik sih harus, tapi juga harus menimbang bobotnya. Jangan jadi terlalu baik sampe ngerugiin kita sendiri. Ada batas yang jelas kok antara jadi orang baik dan jadi orang yang dimanfaatkan.” sahut gue sambil meringis, “kalo kata Panji Koming mah, itu kelewat sosial apa bodoh.”
Anin tertawa mendengar ucapan gue itu.
“Yang penting jadi orang baik, itu aja.” kata gue lagi.
“Kenapa gitu?”
“Because one day, we’ll just a memory to some people. Personally, I want to be remembered as a good person.”
Malam harinya, gue naik ke tempat tidur dan kemudian menarik selimut tebal, sementara Anin sudah dari tadi meringkuk di balik selimut, sambil membaca buku tentang self-improvement. Gue gak langsung berbaring, melainkan bersandar di sandaran kepala tempat tidur, sambil mengecek handphone.
“Udah sikat gigi?” tanyanya.
“Udah kok, nih-HAAAH...” jawab gue sambil memamerkan napas gue yang bau pasta gigi.
“Iih ngeselin!”
“Lah kan biar percayaaaa....”
“Auk ah.”
Gue tertawa dan melanjutkan membaca-baca timeline Path yang selalu dipenuhi dengan gambar-gambar konyol dan foto makanan itu. Kemudian gue mendengar Anin menutup buku bacaannya, dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. Kemudian dia menarik selimut sampai ke leher, dan membalikkan badan, menghadap ke gue yang masih asyik memainkan handphone.
“Mas,” panggilnya.
“Hmm?” jawab gue tanpa mengalihkan pandangan dari handphone.
“Ish dipanggil gak mau noleh, yaudah ah bobo aja.”
Anin menarik selimutnya lebih tinggi, sehingga menutupi wajahnya. Gue tertawa geli melihat kelakuan istri gue ini, dan meletakkan handphone.
“Hahahaha iya-iyaaa, maaf Sayang. Kenapaaa?”
“Auk.” sahutnya dari balik selimut.
Gue tertawa dan mencium rambutnya perlahan. “Kenapa dek?”
Anin menurunkan selimutnya, dan kemudian memandangi gue. Mukanya muka orang ngambek, tapi ngantuk. Lucu pokoknya.
“Mas...”
“Yaa?”
“Mas...”
“Apaaaa....”
“Mas!”
“Opo?”
“Ngantuk...”
“......”
Gue memonyongkan bibir, dan meletakkan handphone, kemudian berbaring. Anin masih menghadap gue dengan posisi yang sama.
“Mas,” panggilnya lembut.
“Hm?”
“Menurut kamu, keluarga itu apa?”
Gue terdiam beberapa saat.
“Keluarga itu adalah mereka yang datang, dan gak pernah pergi dari hidup kita,” jawab gue sekenanya.
“Berarti kalo aku punya fans, trus mereka ngotot ngejar aku sampe sekarang, mereka juga keluarga dong?” tanyanya sambil pasang muka sok bloon.
“Sesukamulah, Sayang....”
“Ehehehe....”
“Emang kalo menurutmu, keluarga itu apa?” tanya gue balik.
“Keluarga itu adalah orang-orang yang selalu ada di dalam daftar doaku. Mungkin mereka gak selalu ada waktu aku membutuhkan, entah karena aku-nya yang di luar jangkauan, atau mereka yang sedang jauh. Tapi aku tahu mereka pasti kembali, dan akan selalu kembali, jadi aku berdoa supaya ‘tali’ yang ada diantara kita semua gak pernah putus, sejauh apapun itu direntangkan.”
Gue tersenyum mendengar jawaban istri gue itu. Sambil mengelus-elus rambutnya, gue bertanya perlahan,
“Kalo aku, apa? Keluarga apa bukan?”
Anin gak menjawab, tapi dia berbalik dan meraih iPod classic milik gue yang ada di meja samping tempat tidur. Sambil tersenyum dia mengutak-atik iPod itu, memasang headset di telinganya sebentar sebelum menyerahkannya ke gue.
“Jawabannya ada disini....”
Gue mengambil headset itu dan mendengarkan lagu yang melantun dari iPod itu. Yang gue dengar adalah Priceless nya Copeland.
Mobil sedan hitam yang gue kendarai melaju melewati jalanan di siang hari yang panas itu. Sesekali gue memicingkan mata karena silau oleh teriknya sinar matahari. Gue gak bisa membayangkan orang-orang yang harus beraktivitas di luar ruangan pada siang hari sepanas ini. Bahkan dinginnya AC mobil serasa gak berguna karena panas hari itu. Gue melirik ke wanita di sebelah gue, yang sedang membuka e-mail di smartphone nya.
“Ada kerjaan lagi?” tanya gue tanpa melihat.
“Iya, minggu depan disuruh ke Turki, abis itu lanjut ke Rio de Janeiro minggu depannya lagi. Ngapain coba harus aku,” keluhnya dengan suaranya yang khas.
Gue tersenyum. “Bersyukurlah bisa keliling dunia, dibayar lagi. Di umur yang masih muda gini lagi. Tuhan selalu berbaik hati sama kamu, Sayang.”
“Tapi kan lagi-lagi ninggalin suami….”
“Oh, itu bukan masalah kok…”
“Kamu gak macem-macem kan disini?” sahutnya dengan tatapan curiga.
Gue tergelak mendengar pertanyaan aneh itu. “Mau macem-macem gimana sih hahaha, orang udah ada istri cantik gini kok.”
“Ya siapa tau gara-gara ‘nganggur’ trus cari yang lain?”
“’Nganggur’ ya? ‘Nganggur’ dalam tanda petik?”
“Iya....” sahutnya dilanjut dengan ketawa ngakak.
“Ya gak tau juga yaaaa......” jawab gue.
Kemudian perut gue dicubitin berkali-kali sampe merah.
Ketika mobil kami berhenti di traffic light, di kejauhan gue melihat seorang kakek tua lusuh yang duduk bersandar di bawah pohon, dengan segala barang yang dimilikinya. Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya, tanpa sedikitpun menoleh ke kakek itu. Gue memandanginya beberapa waktu, kemudian gue menoleh ke Anin.
“Kira-kira dia punya keluarga gak ya?”
“Hm? Siapa?”, tanyanya.
Gue menunjuk ke kakek tadi, dan Anin memandanginya sambil terdiam.
“Pasti punya, pada awalnya,” dia menarik napas panjang, “tapi mungkin gak bertahan selama keluarga pada umumnya.” Dia menoleh ke gue, “karena kalau dia punya keluarga, kecil kemungkinan itu kakek bakal disitu seperti sekarang.”
“Aku ngebayangin....”
“Apa?”
“.....kalo itu kakek meninggal nanti, kira-kira siapa ya yang bakal dateng di penguburannya? apa nanti masih ada yang ziarah ke makamnya setelah dia meninggal?” tanya gue getir, “atau kalo kakek itu sakit, kira-kira siapa ya yang mau ngerawat? kita sakit flu aja rasanya udah lemes mau ngapa-ngapain, padahal di tempat tidur, selimutan dan lain sebagainya. Sementara kakek itu kalo sakit mungkin cuma berteduh di emperan toko.”
“Hidup di dunia bisa begitu kejam ya. Tapi semoga dia bahagia nanti di akhirat sana kelak,” sahutnya pelan.
“Amin.”
“Amin.”
Mobil kami pun melaju kembali meninggalkan tempat itu, karena lampu traffic light sudah hijau. Kami masuk ke jalan tol, dan kembali menghadapi kemacetan ibukota dan deretan gedung-gedung tinggi di kanan-kirinya. Tapi sejauh apapun kami pergi, pikiran kami masih terpancang pada sosok kakek tua yang tadi kami lihat.
Di sela-sela kemacetan itu, gue menoleh ke Anin, dan bertanya,
“Kalo seandainya, seandainya, kita dihadapkan sama situasi seperti itu, terus kita disarankan untuk nampung kakek itu di rumah kita, what would you do?”
Anin berpikir sejenak.
“Entahlah, Mas. I do realize that we’re not brave enough to let him live with us. Maybe we’re not good enough to do some good things.”
Gue mengangguk-angguk, mencoba memasukkan perkataan Anin barusan ke pikiran gue.
“Mungkin kita gak perlu jauh-jauh ambil contoh, ambil yang deket-deket aja. Misalnya Shinta minta sesuatu dari kita, let’s say, mobil kita ini, apa kita langsung kasih ke Shinta?” lanjutnya lagi, “....mungkin bakal kita kasih, tapi kan gak serta merta juga kan, Mas?”
“I see...” sahut gue pelan.
“Tapi memang sih, Mas, sama keluarga, kita gak boleh perhitungan. Apalagi sodara kandung.”
“Baik sih harus, tapi juga harus menimbang bobotnya. Jangan jadi terlalu baik sampe ngerugiin kita sendiri. Ada batas yang jelas kok antara jadi orang baik dan jadi orang yang dimanfaatkan.” sahut gue sambil meringis, “kalo kata Panji Koming mah, itu kelewat sosial apa bodoh.”
Anin tertawa mendengar ucapan gue itu.
“Yang penting jadi orang baik, itu aja.” kata gue lagi.
“Kenapa gitu?”
“Because one day, we’ll just a memory to some people. Personally, I want to be remembered as a good person.”
Malam harinya, gue naik ke tempat tidur dan kemudian menarik selimut tebal, sementara Anin sudah dari tadi meringkuk di balik selimut, sambil membaca buku tentang self-improvement. Gue gak langsung berbaring, melainkan bersandar di sandaran kepala tempat tidur, sambil mengecek handphone.
“Udah sikat gigi?” tanyanya.
“Udah kok, nih-HAAAH...” jawab gue sambil memamerkan napas gue yang bau pasta gigi.
“Iih ngeselin!”
“Lah kan biar percayaaaa....”
“Auk ah.”
Gue tertawa dan melanjutkan membaca-baca timeline Path yang selalu dipenuhi dengan gambar-gambar konyol dan foto makanan itu. Kemudian gue mendengar Anin menutup buku bacaannya, dan meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. Kemudian dia menarik selimut sampai ke leher, dan membalikkan badan, menghadap ke gue yang masih asyik memainkan handphone.
“Mas,” panggilnya.
“Hmm?” jawab gue tanpa mengalihkan pandangan dari handphone.
“Ish dipanggil gak mau noleh, yaudah ah bobo aja.”
Anin menarik selimutnya lebih tinggi, sehingga menutupi wajahnya. Gue tertawa geli melihat kelakuan istri gue ini, dan meletakkan handphone.
“Hahahaha iya-iyaaa, maaf Sayang. Kenapaaa?”
“Auk.” sahutnya dari balik selimut.
Gue tertawa dan mencium rambutnya perlahan. “Kenapa dek?”
Anin menurunkan selimutnya, dan kemudian memandangi gue. Mukanya muka orang ngambek, tapi ngantuk. Lucu pokoknya.
“Mas...”
“Yaa?”
“Mas...”
“Apaaaa....”
“Mas!”
“Opo?”
“Ngantuk...”
“......”
Gue memonyongkan bibir, dan meletakkan handphone, kemudian berbaring. Anin masih menghadap gue dengan posisi yang sama.
“Mas,” panggilnya lembut.
“Hm?”
“Menurut kamu, keluarga itu apa?”
Gue terdiam beberapa saat.
“Keluarga itu adalah mereka yang datang, dan gak pernah pergi dari hidup kita,” jawab gue sekenanya.
“Berarti kalo aku punya fans, trus mereka ngotot ngejar aku sampe sekarang, mereka juga keluarga dong?” tanyanya sambil pasang muka sok bloon.
“Sesukamulah, Sayang....”
“Ehehehe....”
“Emang kalo menurutmu, keluarga itu apa?” tanya gue balik.
“Keluarga itu adalah orang-orang yang selalu ada di dalam daftar doaku. Mungkin mereka gak selalu ada waktu aku membutuhkan, entah karena aku-nya yang di luar jangkauan, atau mereka yang sedang jauh. Tapi aku tahu mereka pasti kembali, dan akan selalu kembali, jadi aku berdoa supaya ‘tali’ yang ada diantara kita semua gak pernah putus, sejauh apapun itu direntangkan.”
Gue tersenyum mendengar jawaban istri gue itu. Sambil mengelus-elus rambutnya, gue bertanya perlahan,
“Kalo aku, apa? Keluarga apa bukan?”
Anin gak menjawab, tapi dia berbalik dan meraih iPod classic milik gue yang ada di meja samping tempat tidur. Sambil tersenyum dia mengutak-atik iPod itu, memasang headset di telinganya sebentar sebelum menyerahkannya ke gue.
“Jawabannya ada disini....”
Gue mengambil headset itu dan mendengarkan lagu yang melantun dari iPod itu. Yang gue dengar adalah Priceless nya Copeland.
Cause I need you
Like the dragonfly's wings need the wind
Like the orphan needs home once again
Like heaven needs more to come in
I need you here like you've always been
Like the dragonfly's wings need the wind
Like the orphan needs home once again
Like heaven needs more to come in
I need you here like you've always been
Diubah oleh jayanagari 28-07-2015 16:04
1

