- Beranda
- Stories from the Heart
that's what friends are for
...
TS
kabelrol
that's what friends are for
Spoiler for pembuka:
Spoiler for sampul:
Pesan whatsapp itu datang begitu saja,
Quote:
Tangan gue masih perih karena kejadian di pagi kemarin itu, kalo dirasa, perihnya hati gue lebih kerasa ketimbang tinju yang ngga dipake 10 tahun lebih buat nonjok orang lagi. Meski gitu, gue tetep berkeinginan untuk bales pesan itu.
"Sini aja, Nae,"
"Oke, gue emang udah di jalan, sih. Paling sepuluh menit sampe di tempat lo,"
centang biru. Gue nyengir aja. Itu bocah emang belum berubah terlalu banyak, kecuali ada gelar dokter yang baru dia dapet di depan namanya. Gue lihat profil kontak whatsappnya. Nae beneran ngga berubah, tidak ada juga perubahan pada warna rambut. Gue berdiri, ngeliat kaca, dan nyisir rambut pake tangan. Gue ganti celana dan baju. Gue berantakan banget, untung Nae dateng. Kalo ngga, bisa sepuluh hari dalam kondisi bau gitu, gue masih betah
Bener aja, ngga lama, ada yang ngetok pintu di lantai bawah--ya, iyalah, kalo ngetoknya di pintu lantai atas, ngeri amat, sob 
"Assalamu'alaikum,"
suaranya, sih, Nae, yang menyeru salam di bawah. Gue balas salamnya sembari lari ke bawah. Gue sendiri lagi di rumah kali ini, semua orang lagi jaga toko di toko pojokan itu. Gue absen ke orang rumah gue ngga bisa partisipasi jaga toko beberapa hari ini. Alasan gue, sih, masuk angin. Padahal, mah, justru badan gue lagi 'kosong' banget. Air mata ngosongin badan gue banget. Tsaah~
"Masuk, Bu Dokter!"
"Gue udah masuk, Mbel. Buset, berantakan amat lo, Har?"
"Yah, begitulah," gue cuma tersenyum kecut. Gue ngga beralasan nyinyir seperti, gue mah bukan dokter, jadi ngga wajib selalu bersih--padahal mah emang dasarnya aja gue jorok

"mana Haruki?"
Aah.. akhirnya pertanyaan itu pecah juga, keluar.
"Duduk dulu, Nae. Mau minum apa?" dan akhirnya kita berbasa-basi sejenak. Gue jadi punya waktu untuk nyiapin kata terbaik apakah yang akan mewakili rentetan kejadian sejauh ini--sudah terlalu jauh

"Har, apa perlu gue tanya sekali lagi? Mana Haruki?"
dr.Nae sepertinya menangkap gejala ngga beres dari gue. Sebab, apdetan medsos gue waktu itu, terakhir soal gue sama Haruki EO-in kateringnya perkimpoian Widya (
)"Dia udah pulang, Nae"
"Gue ngga yakin, Har, kalo Haruki cuma sekadar 'pulang' aja. Pasti ada yang harus lo ceritain ke gue,"
Ternyata, waktu basa-basi dan ngambilin minuman barusan tadi ngga cukup ngasih waktu gue untuk cari kata terbaik untuk memulai percurhatan ini

"Yaah.. jadi gini nae...
Spoiler for sekilas cerita sebelumnya:
...gitu, Nae.."
mata dr. Nae terlihat simpatik mendengar kisah yang belibet barusan.
"Widya kimpoi?" --gue ngangguk.
"Haruki ....?" --gue ngangguk lagi.
"Lo ngenes banget, Har..," --gue tersenyum kecut, sembari ngangkat bahu. Nasib gue begini kali.
"Terus, sekarang lo mau gimana, Har?" --gue tersenyum kecut lagi, ngangkat bahu lagi. Gue masih bingung, lebih tepatnya kaget sih. Nae mendesah perlahan, dia gigit bibir bawahnya. Keknya Nae semacam gemes dengerin cerita gue.
"Gue tanya balik sama lo, Nae. Kalo lo di posisi gue, apa yang lo lakukan?"
"Gue bakal nyari Haruki sampe dapet, ngga perduli gimana,"
Jeder! seakan ada durian jatuh di ubun-ubun gue. Yap, jawabannya emang sesimpel itu, tapi tentu dengan banyak ganjelan.
"Untuk apa? Toh, dia udah ada Farhan. Farhan pasti bisa ngelindungi Haruki,"
"Muka lo! Lo percaya sama Farhan, heh? Bukannya lo tau gimana Farhan?"
Jeder lagi! gue teringat bagaimana Widya nyiram pake air kola Farhan dan Nurul--sahabatnya Widya sendiri, di malam itu, di depan muka gue sendiri. Tapi, gue masih berusaha membebal.
"Waktu itu masih cinta monyet, jaman SMA, sekarang udah berubah kali,"
"bodoh! Kalo gitu, pertanyaannya gue inverse, bukannya lo ngga tau gimana Farhan?"
Lagi-lagi jeder lagi! Ya, gue tau Farhan, justru karena itu gue harus khawatir. Ya, justru gue ngga tau gimana Farhan sebenernya, karena itu gue harus lebih-lebih khawatir banget.
"Har, kejar, Har!"
"Gue harus gimana?"
"Lo dateng wisuda dan sumpah dokter gue, ya. Sampe itu, gue bantu lo," terus Nae kasih tanda 'V' dengan jari dan jari tengahnya ke depan muka gue, "dua bulan, lo harus cari ongkos ke kampus gue selama waktu ini buat ngehadirin wisuda gue,"
"kampus lo itu... siang di kampus gue, malem di kampus lo, kan?"
Nae ngangguk, dengan mantap. Gue neguk ludah sendiri. Gue coba ngitung-ngitung.. pasti ongkosnya lebih mahal ketimbang waktu Haruki ngongkosin gue nemenin dia mudik ketemu saudara kembarnya di kampung halamannya itu.. Bukan, bukan di Ciracas...
Quote:
Polling
0 suara
siapa yang punya tujuan paling jujur?
Diubah oleh kabelrol 09-12-2015 00:47
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
67.7K
320
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kabelrol
#35
lumah atit
Gelo juga, nih.
Kapan terakhir kali gue ketemu Widya? si kecengan semasa SMP, yang ngga sengaja ketemu lagi pas SMA, dan rupa-rupanya kita sama-sama punya rasa yang seragam, dan riwayat asmara yang pengen kita coba bangun bahkan sudah runtuh sebelum pondasi jadi
Sepertiga cerita sebelumnya bahas dia.
Ketika Widya menikah, resepsi, dengan gaun terbaiknya, dengan pasangan terbaiknya (mudah-mudahan sampe kiamat melanda salah satu dari mereka berdua), dengan makanan ketring yang lezat (promosi
), dengan Haruki di sebelah gue waktu itu. Tapi, gue lupa tepatnya kapan. Apakah pas gue dan Haruki manggung? Entahlah, yang jelas, ketika acara ditutup, gue beres-beres semua peralatan, yang pergi tampak punggung di acara resepsi ketika beres adalah suaminya, Ari. Yah, itu wajar dan memenuhi standar kepantasan yang masyarakat sosial normal harapkan.
Gue bengong di perjalanan motor ke rumah sakit selama sejam itu.
"Har, mampir mol dulu ya?"
"Ha? Rumus Mol? M dibagi Mr ya?"
"Hah? lo ngomong apa, sih? mall euy. m-a-l-l, gendeng!"
"He? genteng? bukannya bagusnya kita bawain kopi, ya?"
"Hah? mana ada bawain orang sakit kopi, benga?!"
"Eh, kiwi. Maksud gue kiwi, Hal. Mahal tuh harganya, ya, kan, Hal?"
Udah ngga ada suara yang nyaut dari belakang, kayaknya si Mahal udah putus asa dan lompat gugulingan di jalan raya
terakhir kali gue ngobrol di atas motor sama siapa ya? ah. Haruki... yah, galau lagi deh gue 
"Hal, lo masih di belakang gue, kan?"
"Masih, udah lo nyetir aja, deh. Orang kek lo bisa keterima pasca sih,"
gue cengengesan doang, gue mesti baik-baik nih ke si Mahal, segala jenis bully dikurangi lah, soalnya, kepada siapa lagi gue harus nyontek tugas
Kapan terakhir gue ketemu Widya? kalo dijawabnya kuantitas, sekitar sebulan sampe setengah bulan terakhir. Kalo dijawabnya secara kualitas, dia. waktu. itu. lagi. resepsi. pernikahan. gitu. lo. Kalo anak gawl jaman sekarang mah bilangnya, "quality time", pih, suka-suka lo dah
Gue udah bawa keranjang buah yang ada buah kiwinya, ngga lupa gue bawa kopi kapal a*i satu saset, tadinya gue mau bawa satu genteng, tapi kata abang tukang bangunan ngga boleh beli satuan
akhirnya, ngga jadi beli, deh. Eh, kalo ke toko bangunan gue inget apa ya? ah, inget Haruki, inget Haruki yang ngeramik rumah ibu-ibu janda beranak 8. Ah, galau lagi kan gue 
Gue sangat sangat menyiapkan hati karena ia sangat bergetar, merembet ke kaki. Jalan gue melambat. Gue pengen pulang, tapi ngga pengen juga, gue penasaran banget, gilak. Gue pengen liat dia pasca nikah. Gue pengen liat mukanya, bahagia ngga sih, kalo ngga bahagia, kimpoi kabur aja ama gue, yuk, Wid
Gue di belakang Mahal pas dia buka pintu kamar dimana Widya di rawat inap. Gue udah ngeliat yang si pesakitan. Senyum yang amat lemah, kayaknya dia lagi nonton tipi. Ada selang infus di lengannya. Pake baju biru muda dan selimut ditaro sepaha. Widya masih belum ngeh pintu kamarnya sedang didorong. Ah, yang kayak gini nih gue benci. Waktu berjalan berasa cepet, tapi sekaligus melambat. Di sepersekian detik itu, bahkan gue bisa tau, kilat cahaya yang memantul sehingga menimbulkan warna kemilau pada rambut kemerah-merahan Widya ada di helai nomor berapa, gue bisa tau. Ya, gue bisa tau. Gue masih bisa lihat ada bagian yang mencuram ketika Widya tersenyum. Ya, gue bisa tau. Gimana gue bisa tau? Ya, itulah, gue benci saat-saat kek gini, waktu berjalan lambat, tapi sekaligus cepat. Pintu udah kedorong setengah, dan yang dimaksud melihat ke pintu yang ada semacam jendela kecilnya.
tatapan kita bertemu!
Gue bisa ngeliat Widya yang matanya mengerjap dengan gerakan yang lambaaat. Lantas, dalam sekedipan itu, dia memalingkan muka, semoga cuma perasaan gue doang, ya, semoga. Tapi, kenapa gue masih bisa ngarep dan bilang semoga, woi, har, dia sudah bersuami, loh.
dan pintu dibuka. ANYING.
kenapa, ya, kenapa, gitu, coba jelasin, kenapa, kenapa, kenapa,
disitu ada Lani, lengkap sama bayinya. Oke, suami Widya pilot dan mungkin dia lagi tugas ke luar kota. Yes, disitu ada Lani, lengkap dengan Reza, bayi hasil persilangannya dengan Bagas. Oke, gue harus pake muka apa, nih? apa gue harus pura-pura kaget, sambil bilang, "maaf, salah kamar," atau "maaf,ternyata ada orangnya," atau "wah, bayinya udah lahir, malah udah bisa pake popok, selamat, ya, selamat. Oh, ya, gue kelupaan beli genteng, ntar gue balik lagi, ya, pas lo udah sembuh dan pulang ke rumah,"
ya, kan? waktu terasa lebih lama, di sepersikan detik itu, bukannya dzikir, gue malah mikir yang aneh-aneh nih
"assalamu'alaikum"
dua bersaudara sepupuan itu mengucapkan salam yang dilancarkan Mahal. Supaya lebih afdol, gue salam sekali lagi, terus dzikir: istighfar. Ya, kayak solat yang salamnya dua kali, sungguh, istighfar ada kondisi seperti ini bermakna ganda, mengendalikan diri sekaligus bertaubat. Yes, gue jeniuuus. Kalo genius mah merk pen tablet, ah, agak ringkih. bagus juga wacom, lebih mahal tapi sepadan sama manfaatnya. Yey.
Mahal cipika-cipiki sama Lani sama Widya. Err, waktu awkward, waktu awkward, syit. Gue pun bersalaman, Widya dulu,
"apa kabar, Har?"
"ngga sesakit lo...,"
hyah, respon gue buruk banget anjiiiir, ets, tapi bener juga, kan. Gue jauh lebih sehat. Gue bisa makan karedok, Widya belum tentu, dia diinfus dan ngga mungkin karedok masuk lewat sana karena belum ada yang bikin sari-sari karedok.
"Eh, maksud gue, sehat, alhamdulillah, lo gimana, Wid? udah lebih sehat?"
"alhamdulillah, udah, Har. Duduk, eh,"
"Oh, ya, ini ada kiwi sama kopi, kiwinya buat lo, kopinya buat Lani,"
"aduuh, repot-repot, Har,"
eng, ada yang aneh. kalo respon widya yang biasa, gue pasti bakal dibilang ngaco dan seterusnya. Responnya kali begitu standar. Ah, apakah ini aura manten?
dan gue bersalaman sama Lani. Basa-basi sedikit dan akhirnya pinjem kursi lantas duduk.
Karena semacam menanti pertanyaan semacam itu, gue duduk tegak lurus dengan sudut antara lengan atas dan dada samping membentuk sempurna 45 derajat kalo diliat dari samping. Semacam duduk lelaki yang hendak bilang ke seorang lelaki paruh baya; hendak mengambil anak gadisnya jadi istri, atau, ini semacam duduk nahan boker tak tertahan tapi ngga mungkin minta ijin ke belakang padahal ini apel pertama. yah, semacam ituloh
Ya, gue menanti sekaligus ngarep, jangan ditanya, jangan ditanya, jangan ditanya. Biarin mereka bertiga, gue dikacangin aja, kalo perlu, si Reza yang masih gagu cuma bisa 'da' 'da' 'da' itu ikutan gosip peta strategi energi indonesia deh.
"Har, diem aja, mules lo, ya?"
si Mahal emang kampreet... cuma, mengingat gue bakal 2 tahun sekelas lagi sama dia, gue cuma senyum najis yang pasti keliatan kepaksa,
"ah, ngga, gue emang rendah hati gini orangnya,"
ANYING, GUE SADAR OMONGAN BARUSAN NGGA ADA RENDAH HATI-RENDAH HATINYA
Lani cekikikan, sejak nikah, kelakuan gue jadi cacat sendiri, kayaknya emang perlu menambatkan cincin kimpoi ke jari manis sebelah kanan seseorang nih
"Haruki mana, Har? Biasanya kalian bareng?" --Lani
"Eh, iya, mana Haruki, Har?" --Widya
"Haruki tuh yang barengan lo di tempat Widya kemaren itu, ya? cewek lo sekarang, ya, Har?" --Mahal
3-0 telak. Za, Reza, lo ngomong sekalian deh. Bu, Ibu di kasur sebelah, sekalian tanya deh. Semua orang di dunia ini sekalian tanya deeehhhh
Gue berhitung dengan kondisi. Ngga mungkin, gue bahas soal Haruki disini. Sangat-tidak-bisa gue ngomong Haruki yang bakal nyangkut soal Farhan di depan mereka bertiga, plus satu batita, apalagi ke Widya. Apa? Apa yang semestinya gue jawab? Dan, mulut gue sangat lancar ngomong....,
"Iya, dia udah ngga bareng lagi sama gue,"
"Eh, kenapa?"--Widya
Bagus, bagus, Har. Kamu memang pintar. Pertanyaan yang seharusnya bisa lo jawab 'ya' atau 'ngga' dan lo alihin topik pembicaraan ke kucing tetangga yang suka mampir ke rumah lo buat ngawinin kucing betina, lo berantakin. Lo malah jawab dengan jawaban yang mancing pertanyaan lagi. Bagus, Har, bagus.
"Yaa, ada beberapa masalah, lah,"
"Eh, masalah apa, Har?"--Lani
OH, LANTAI 3! JATUH DARI LANTAI 3 SAKIT NGGA, YA???
yeeess, lantai 3 kurang sakit kayaknya, gue bercerita dengan lancaaar. Entahlah, apa karena rasa khawatir gue sudah masuk ke alam bawah sadar gue. Entahlah, apa karena rasa khawatir gue ke Haruki lebih besar ketimbang takut ngeliat respon air muka Widya kalo gue sebutin nama Farhan disini dan peristiwa yang mengikutinya. Entahlah, apa karena gue sudah sebodo amat sama apa kata mereka soal adab menjenguk--yaitu tidak menggosip
Entahlah, rasanya, gue khawatir banget sama Haruki. Tentu, gue filter di beberapa bagian. Eh, tapi semua bagian sambung menyambung, karena gue tutupin pada awalnya, mereka penasaran karena ngga masuk akal, dan terbukalah semuanya pada akhirnya. Yeeeeeeeaaay.
"Wid, Lan, Hal,"
Muka mereka sama, muka em-ya-begitulah, Muka miris. Muka miris Lani lebih-lebih lagi, kayak gue tau kenapa
"Apa yang gue ceritain disini, cuma sampe disini aja, ya
Jangan lo sebar sendiri, karena bisa ada banyak versinya nanti. Gue harap lo semua bisa jaga rahasia ini"
Mereka menangguk mengerti, sangat mengerti. Emang distorsi komunikasi bahaya sob. Sangat bahaya. Waktu kuliah, ada cewek pecicilan yang ngedus-ngedus bagian belakang kuping gue (yah, gue juga ngga paham apa motivasi beliau
), karena distorsi komunikasi, cerita yang beredar adalah si Har dicium kupingnya sama cewek itu. Kan anying banget, Yah, siapa lagi kalo pelakunya bukan si Yudha. Gue juga heran sama tuh bocah, ngaku bercelana dalam tanpa renda, tapi mulut bocornya ngalah-ngalahin perempuan beneran
Mungkin maksudnya bercanda, yah, tapi tipe bercanda yang ngga asik gimana sih sob.
Gue menangkap mata mereka semua. Seakan-akan, mata Mahal ngomong: hmm, gue ngga ngerti sih sebenernya. Tapi, keknya kasian ama yang namanya Haruki itu, parah banget yang namanya Farhan, ckckckck. mata Lani: dasar anak muda... mata Widya: entahlah, matanya begitu dalam, entah apa yang dia pikirin. Gue jadi ngga enak sendiri. Gawat, nih. Perlu dialihkan.
"Wid, jadi lo sakit apa?"
Widya bangkit dari lamunannya. Sewajarnya orang dengan lamunannya yang diganggu, dia semacam kaget gitu nyambut sapaan gue.
"Eh, Oh, iya, kata orang klinik sih gejala tipes. Kemaren baru dicek di lab, mungkin hasilnya keluarnya hari ini,"
Gejala tipes? waktu itu, waktu SMP, waktu Widya berubah setelah ke rumahnya, dan ternyata salah satunya dia sakit, dia katanya sakit tipes juga. Wah, wah, wah...
SEKIP.
posisi rumah sakit ini, deket sama apotik langganan bapak gue. Sekalian, ada klien yang perlu dilayani. Karena jam besuk masih agak panjang dan Mahal belum mau pulang, maka gue cabut dululah itu. Baru balik sekitar mendekati ashar. Gue bergegas ke ruangan Widya. Si Mahal wanti-wanti banget pengen nebeng balik gue. Demi keterjaminan tugas
, gue mengiyakan. Ketika gue lagi jalan itu, bahu gue ditepuk dari belakang,
"Bro, apa kabar, bro?"
sebelum menoleh, gue tau suara itu. Gue sangat tau. Itu suara yang sama dengan suara 'yang pulang tampak punggung' hanya suaminya. Suara yang sama dengan suara yang bilang makasih karena gue ikut partisipasi di nikahannya.
Muka senyum, Har, muka senyum.
"Oit, Ri, pakabar?"
Widya-Ari ini kayaknya panjang umur banget yah
Kapan terakhir kali gue ketemu Widya? si kecengan semasa SMP, yang ngga sengaja ketemu lagi pas SMA, dan rupa-rupanya kita sama-sama punya rasa yang seragam, dan riwayat asmara yang pengen kita coba bangun bahkan sudah runtuh sebelum pondasi jadi
Sepertiga cerita sebelumnya bahas dia.Ketika Widya menikah, resepsi, dengan gaun terbaiknya, dengan pasangan terbaiknya (mudah-mudahan sampe kiamat melanda salah satu dari mereka berdua), dengan makanan ketring yang lezat (promosi
), dengan Haruki di sebelah gue waktu itu. Tapi, gue lupa tepatnya kapan. Apakah pas gue dan Haruki manggung? Entahlah, yang jelas, ketika acara ditutup, gue beres-beres semua peralatan, yang pergi tampak punggung di acara resepsi ketika beres adalah suaminya, Ari. Yah, itu wajar dan memenuhi standar kepantasan yang masyarakat sosial normal harapkan.Gue bengong di perjalanan motor ke rumah sakit selama sejam itu.
"Har, mampir mol dulu ya?"
"Ha? Rumus Mol? M dibagi Mr ya?"
"Hah? lo ngomong apa, sih? mall euy. m-a-l-l, gendeng!"
"He? genteng? bukannya bagusnya kita bawain kopi, ya?"
"Hah? mana ada bawain orang sakit kopi, benga?!"
"Eh, kiwi. Maksud gue kiwi, Hal. Mahal tuh harganya, ya, kan, Hal?"
Udah ngga ada suara yang nyaut dari belakang, kayaknya si Mahal udah putus asa dan lompat gugulingan di jalan raya
terakhir kali gue ngobrol di atas motor sama siapa ya? ah. Haruki... yah, galau lagi deh gue 
"Hal, lo masih di belakang gue, kan?"
"Masih, udah lo nyetir aja, deh. Orang kek lo bisa keterima pasca sih,"
gue cengengesan doang, gue mesti baik-baik nih ke si Mahal, segala jenis bully dikurangi lah, soalnya, kepada siapa lagi gue harus nyontek tugas

****
Kapan terakhir gue ketemu Widya? kalo dijawabnya kuantitas, sekitar sebulan sampe setengah bulan terakhir. Kalo dijawabnya secara kualitas, dia. waktu. itu. lagi. resepsi. pernikahan. gitu. lo. Kalo anak gawl jaman sekarang mah bilangnya, "quality time", pih, suka-suka lo dah

Gue udah bawa keranjang buah yang ada buah kiwinya, ngga lupa gue bawa kopi kapal a*i satu saset, tadinya gue mau bawa satu genteng, tapi kata abang tukang bangunan ngga boleh beli satuan
akhirnya, ngga jadi beli, deh. Eh, kalo ke toko bangunan gue inget apa ya? ah, inget Haruki, inget Haruki yang ngeramik rumah ibu-ibu janda beranak 8. Ah, galau lagi kan gue 
Gue sangat sangat menyiapkan hati karena ia sangat bergetar, merembet ke kaki. Jalan gue melambat. Gue pengen pulang, tapi ngga pengen juga, gue penasaran banget, gilak. Gue pengen liat dia pasca nikah. Gue pengen liat mukanya, bahagia ngga sih, kalo ngga bahagia, kimpoi kabur aja ama gue, yuk, Wid

Gue di belakang Mahal pas dia buka pintu kamar dimana Widya di rawat inap. Gue udah ngeliat yang si pesakitan. Senyum yang amat lemah, kayaknya dia lagi nonton tipi. Ada selang infus di lengannya. Pake baju biru muda dan selimut ditaro sepaha. Widya masih belum ngeh pintu kamarnya sedang didorong. Ah, yang kayak gini nih gue benci. Waktu berjalan berasa cepet, tapi sekaligus melambat. Di sepersekian detik itu, bahkan gue bisa tau, kilat cahaya yang memantul sehingga menimbulkan warna kemilau pada rambut kemerah-merahan Widya ada di helai nomor berapa, gue bisa tau. Ya, gue bisa tau. Gue masih bisa lihat ada bagian yang mencuram ketika Widya tersenyum. Ya, gue bisa tau. Gimana gue bisa tau? Ya, itulah, gue benci saat-saat kek gini, waktu berjalan lambat, tapi sekaligus cepat. Pintu udah kedorong setengah, dan yang dimaksud melihat ke pintu yang ada semacam jendela kecilnya.
tatapan kita bertemu!
Gue bisa ngeliat Widya yang matanya mengerjap dengan gerakan yang lambaaat. Lantas, dalam sekedipan itu, dia memalingkan muka, semoga cuma perasaan gue doang, ya, semoga. Tapi, kenapa gue masih bisa ngarep dan bilang semoga, woi, har, dia sudah bersuami, loh.
dan pintu dibuka. ANYING.
kenapa, ya, kenapa, gitu, coba jelasin, kenapa, kenapa, kenapa,
disitu ada Lani, lengkap sama bayinya. Oke, suami Widya pilot dan mungkin dia lagi tugas ke luar kota. Yes, disitu ada Lani, lengkap dengan Reza, bayi hasil persilangannya dengan Bagas. Oke, gue harus pake muka apa, nih? apa gue harus pura-pura kaget, sambil bilang, "maaf, salah kamar," atau "maaf,ternyata ada orangnya," atau "wah, bayinya udah lahir, malah udah bisa pake popok, selamat, ya, selamat. Oh, ya, gue kelupaan beli genteng, ntar gue balik lagi, ya, pas lo udah sembuh dan pulang ke rumah,"
ya, kan? waktu terasa lebih lama, di sepersikan detik itu, bukannya dzikir, gue malah mikir yang aneh-aneh nih

"assalamu'alaikum"
dua bersaudara sepupuan itu mengucapkan salam yang dilancarkan Mahal. Supaya lebih afdol, gue salam sekali lagi, terus dzikir: istighfar. Ya, kayak solat yang salamnya dua kali, sungguh, istighfar ada kondisi seperti ini bermakna ganda, mengendalikan diri sekaligus bertaubat. Yes, gue jeniuuus. Kalo genius mah merk pen tablet, ah, agak ringkih. bagus juga wacom, lebih mahal tapi sepadan sama manfaatnya. Yey.
wajah Widya begitu berseri-seri waktu itu. Ceruk lesung pipitnya begitu menggigit ketika dilihat.
Mahal cipika-cipiki sama Lani sama Widya. Err, waktu awkward, waktu awkward, syit. Gue pun bersalaman, Widya dulu,
"apa kabar, Har?"
wajah Widya begitu berseri-seri waktu itu. Ceruk lesung pipitnya begitu menggigit ketika dilihat.
"ngga sesakit lo...,"
hyah, respon gue buruk banget anjiiiir, ets, tapi bener juga, kan. Gue jauh lebih sehat. Gue bisa makan karedok, Widya belum tentu, dia diinfus dan ngga mungkin karedok masuk lewat sana karena belum ada yang bikin sari-sari karedok.
"Eh, maksud gue, sehat, alhamdulillah, lo gimana, Wid? udah lebih sehat?"
wajah Widya begitu berseri-seri waktu itu. Ceruk lesung pipitnya begitu menggigit ketika dilihat.
"alhamdulillah, udah, Har. Duduk, eh,"
"Oh, ya, ini ada kiwi sama kopi, kiwinya buat lo, kopinya buat Lani,"
"aduuh, repot-repot, Har,"
wajah Widya begitu berseri-seri waktu itu. Ceruk lesung pipitnya begitu menggigit ketika dilihat.
eng, ada yang aneh. kalo respon widya yang biasa, gue pasti bakal dibilang ngaco dan seterusnya. Responnya kali begitu standar. Ah, apakah ini aura manten?
dan gue bersalaman sama Lani. Basa-basi sedikit dan akhirnya pinjem kursi lantas duduk.
Quote:
Karena semacam menanti pertanyaan semacam itu, gue duduk tegak lurus dengan sudut antara lengan atas dan dada samping membentuk sempurna 45 derajat kalo diliat dari samping. Semacam duduk lelaki yang hendak bilang ke seorang lelaki paruh baya; hendak mengambil anak gadisnya jadi istri, atau, ini semacam duduk nahan boker tak tertahan tapi ngga mungkin minta ijin ke belakang padahal ini apel pertama. yah, semacam ituloh
Ya, gue menanti sekaligus ngarep, jangan ditanya, jangan ditanya, jangan ditanya. Biarin mereka bertiga, gue dikacangin aja, kalo perlu, si Reza yang masih gagu cuma bisa 'da' 'da' 'da' itu ikutan gosip peta strategi energi indonesia deh."Har, diem aja, mules lo, ya?"
si Mahal emang kampreet... cuma, mengingat gue bakal 2 tahun sekelas lagi sama dia, gue cuma senyum najis yang pasti keliatan kepaksa,
"ah, ngga, gue emang rendah hati gini orangnya,"
ANYING, GUE SADAR OMONGAN BARUSAN NGGA ADA RENDAH HATI-RENDAH HATINYA
Lani cekikikan, sejak nikah, kelakuan gue jadi cacat sendiri, kayaknya emang perlu menambatkan cincin kimpoi ke jari manis sebelah kanan seseorang nih

"Haruki mana, Har? Biasanya kalian bareng?" --Lani
"Eh, iya, mana Haruki, Har?" --Widya
"Haruki tuh yang barengan lo di tempat Widya kemaren itu, ya? cewek lo sekarang, ya, Har?" --Mahal
3-0 telak. Za, Reza, lo ngomong sekalian deh. Bu, Ibu di kasur sebelah, sekalian tanya deh. Semua orang di dunia ini sekalian tanya deeehhhh

Gue berhitung dengan kondisi. Ngga mungkin, gue bahas soal Haruki disini. Sangat-tidak-bisa gue ngomong Haruki yang bakal nyangkut soal Farhan di depan mereka bertiga, plus satu batita, apalagi ke Widya. Apa? Apa yang semestinya gue jawab? Dan, mulut gue sangat lancar ngomong....,
"Iya, dia udah ngga bareng lagi sama gue,"
"Eh, kenapa?"--Widya
Bagus, bagus, Har. Kamu memang pintar. Pertanyaan yang seharusnya bisa lo jawab 'ya' atau 'ngga' dan lo alihin topik pembicaraan ke kucing tetangga yang suka mampir ke rumah lo buat ngawinin kucing betina, lo berantakin. Lo malah jawab dengan jawaban yang mancing pertanyaan lagi. Bagus, Har, bagus.
"Yaa, ada beberapa masalah, lah,"
"Eh, masalah apa, Har?"--Lani
OH, LANTAI 3! JATUH DARI LANTAI 3 SAKIT NGGA, YA???
yeeess, lantai 3 kurang sakit kayaknya, gue bercerita dengan lancaaar. Entahlah, apa karena rasa khawatir gue sudah masuk ke alam bawah sadar gue. Entahlah, apa karena rasa khawatir gue ke Haruki lebih besar ketimbang takut ngeliat respon air muka Widya kalo gue sebutin nama Farhan disini dan peristiwa yang mengikutinya. Entahlah, apa karena gue sudah sebodo amat sama apa kata mereka soal adab menjenguk--yaitu tidak menggosip
Entahlah, rasanya, gue khawatir banget sama Haruki. Tentu, gue filter di beberapa bagian. Eh, tapi semua bagian sambung menyambung, karena gue tutupin pada awalnya, mereka penasaran karena ngga masuk akal, dan terbukalah semuanya pada akhirnya. Yeeeeeeeaaay."Wid, Lan, Hal,"
Muka mereka sama, muka em-ya-begitulah, Muka miris. Muka miris Lani lebih-lebih lagi, kayak gue tau kenapa

"Apa yang gue ceritain disini, cuma sampe disini aja, ya
Jangan lo sebar sendiri, karena bisa ada banyak versinya nanti. Gue harap lo semua bisa jaga rahasia ini"Mereka menangguk mengerti, sangat mengerti. Emang distorsi komunikasi bahaya sob. Sangat bahaya. Waktu kuliah, ada cewek pecicilan yang ngedus-ngedus bagian belakang kuping gue (yah, gue juga ngga paham apa motivasi beliau
), karena distorsi komunikasi, cerita yang beredar adalah si Har dicium kupingnya sama cewek itu. Kan anying banget, Yah, siapa lagi kalo pelakunya bukan si Yudha. Gue juga heran sama tuh bocah, ngaku bercelana dalam tanpa renda, tapi mulut bocornya ngalah-ngalahin perempuan beneran
Mungkin maksudnya bercanda, yah, tapi tipe bercanda yang ngga asik gimana sih sob.Gue menangkap mata mereka semua. Seakan-akan, mata Mahal ngomong: hmm, gue ngga ngerti sih sebenernya. Tapi, keknya kasian ama yang namanya Haruki itu, parah banget yang namanya Farhan, ckckckck. mata Lani: dasar anak muda... mata Widya: entahlah, matanya begitu dalam, entah apa yang dia pikirin. Gue jadi ngga enak sendiri. Gawat, nih. Perlu dialihkan.
"Wid, jadi lo sakit apa?"
Widya bangkit dari lamunannya. Sewajarnya orang dengan lamunannya yang diganggu, dia semacam kaget gitu nyambut sapaan gue.
"Eh, Oh, iya, kata orang klinik sih gejala tipes. Kemaren baru dicek di lab, mungkin hasilnya keluarnya hari ini,"
Gejala tipes? waktu itu, waktu SMP, waktu Widya berubah setelah ke rumahnya, dan ternyata salah satunya dia sakit, dia katanya sakit tipes juga. Wah, wah, wah...
SEKIP.
posisi rumah sakit ini, deket sama apotik langganan bapak gue. Sekalian, ada klien yang perlu dilayani. Karena jam besuk masih agak panjang dan Mahal belum mau pulang, maka gue cabut dululah itu. Baru balik sekitar mendekati ashar. Gue bergegas ke ruangan Widya. Si Mahal wanti-wanti banget pengen nebeng balik gue. Demi keterjaminan tugas
, gue mengiyakan. Ketika gue lagi jalan itu, bahu gue ditepuk dari belakang,"Bro, apa kabar, bro?"
sebelum menoleh, gue tau suara itu. Gue sangat tau. Itu suara yang sama dengan suara 'yang pulang tampak punggung' hanya suaminya. Suara yang sama dengan suara yang bilang makasih karena gue ikut partisipasi di nikahannya.
Muka senyum, Har, muka senyum.
"Oit, Ri, pakabar?"
Widya-Ari ini kayaknya panjang umur banget yah

pulaukapok memberi reputasi
1
Tutup

zumpah, ane zuzur ngga nyangka bakal dapet sambutan sebegitu bagusnya 
