- Beranda
- Stories from the Heart
Hantu Gaun Merah (Kisah Horror)
...
TS
gerryish
Hantu Gaun Merah (Kisah Horror)
Hai agan-agan sekalian
Ane ingin berbagi kisah dengan kalian semua
Semoga berkenan baca kisah ane ini ya
Nama tokoh semua disamarkan agar tidak kepo
Soal lokasi hampir 99% adalah lokasi asli
Meskipun sudah jadi rahasia umum juga tentang hantu gaun merah itu
Selamat menikmati dan mohon kritik dan sarannya apabila cara ane menulis masih dianggap kurang baik penyampaiannya
INDEKS CERITA
PROLOG :
Ane ingin berbagi kisah dengan kalian semua
Semoga berkenan baca kisah ane ini ya
Nama tokoh semua disamarkan agar tidak kepo
Soal lokasi hampir 99% adalah lokasi asli
Meskipun sudah jadi rahasia umum juga tentang hantu gaun merah itu

Selamat menikmati dan mohon kritik dan sarannya apabila cara ane menulis masih dianggap kurang baik penyampaiannya
INDEKS CERITA
Quote:
PROLOG :
Quote:
Aku bernama Dharma Putra Satria. Cerita ini adalah kisah kehidupanku sewaktu tinggal di asrama UI Depok sekitar tahun 2002 silam. Aku yang anak sulung dari 2 bersaudara bisa menembus UI lewat jalur PMDK, dengan kata lain diterima tanpa melalui ujian tes masuk ataupun membayar uang gedung.
Aku begitu gembira diterima tinggal di asrama, karena di sana lebih banyak mahasiswa/wi pendatang luar Jakarta, sama sepertiku. Yang asli Jakarta tetap boleh tinggal di asrama, namun peraturan saat itu tidak mengijinkan mahasiswa asli Jakarta untuk tinggal di asrama UI Depok jika melebihi sekian persen dari kuota kamar kosong. Sehingga penuhlah asrama murah meriah ini dengan mahasiswa 'pendatang'.
Singkat cerita, kakiku menapak masuk dan berpijak pada lantai dingin nan lembab berwarna putih pucat. Terdapat sebuah lemari pakaian, meja belajar dan sebuah ranjang kayu tanpa dilengkapi kasur busa. Kasur itu bisa aku dapatkan jika sudah 'mendaftar ulang' ke kantor pengurus asrama. Sebuah jendela usang bertengger tepat di atas ranjang, yang bila dibuka menyemburkan bau tak sedap dari air got yang tergenang di bawah tembok jendela tersebut. Pemandangan luarnya sebatas tali jemuran dan rumput hijau yang tumbuh liar menghampar di atas tanah.
Yup, itulah sekilas gambaran kamar di lantai dasar asrama yang waktu itu aku tempati. Nantinya aku akan bertetangga dengan mahluk-mahluk jenaka yang bernama Ervan, Deden, Haris, Agus, Umar, dan Uki. Kenapa semuanya laki-laki? Jelas semua laki-laki karena kisahku bermula di asrama laki-laki.
Pada saatnya nanti aku juga akan menceritakan kisah asmara terpendamku dengan perempuan nomer 2 paling cantik di asrama yang bernama Joana
yang dibumbui pertemuanku dengan Hantu Gaun Merah penunggu asrama UI Depok.
Sosok yang begitu dihindari kehadirannya oleh seluruh penghuni asrama, bahkan yang rajin mengaji sekalipun
.
Aku begitu gembira diterima tinggal di asrama, karena di sana lebih banyak mahasiswa/wi pendatang luar Jakarta, sama sepertiku. Yang asli Jakarta tetap boleh tinggal di asrama, namun peraturan saat itu tidak mengijinkan mahasiswa asli Jakarta untuk tinggal di asrama UI Depok jika melebihi sekian persen dari kuota kamar kosong. Sehingga penuhlah asrama murah meriah ini dengan mahasiswa 'pendatang'.
Singkat cerita, kakiku menapak masuk dan berpijak pada lantai dingin nan lembab berwarna putih pucat. Terdapat sebuah lemari pakaian, meja belajar dan sebuah ranjang kayu tanpa dilengkapi kasur busa. Kasur itu bisa aku dapatkan jika sudah 'mendaftar ulang' ke kantor pengurus asrama. Sebuah jendela usang bertengger tepat di atas ranjang, yang bila dibuka menyemburkan bau tak sedap dari air got yang tergenang di bawah tembok jendela tersebut. Pemandangan luarnya sebatas tali jemuran dan rumput hijau yang tumbuh liar menghampar di atas tanah.
Yup, itulah sekilas gambaran kamar di lantai dasar asrama yang waktu itu aku tempati. Nantinya aku akan bertetangga dengan mahluk-mahluk jenaka yang bernama Ervan, Deden, Haris, Agus, Umar, dan Uki. Kenapa semuanya laki-laki? Jelas semua laki-laki karena kisahku bermula di asrama laki-laki.
Pada saatnya nanti aku juga akan menceritakan kisah asmara terpendamku dengan perempuan nomer 2 paling cantik di asrama yang bernama Joana
yang dibumbui pertemuanku dengan Hantu Gaun Merah penunggu asrama UI Depok.Sosok yang begitu dihindari kehadirannya oleh seluruh penghuni asrama, bahkan yang rajin mengaji sekalipun
.Diubah oleh gerryish 26-07-2015 01:24
tien212700 dan anasabila memberi reputasi
3
98.2K
Kutip
390
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
gerryish
#8
PART 2
Quote:
Berselang satu hari setelah Ervan menceritakan kisah hantu gaun merah itu, ia mengunjungi saudaranya di daerah Bogor. Haris, Umar dan Uki sudah pergi meninggalkan asrama jauh hari sebelum keberangkatan Ervan. Tinggallah aku sendiri bersama Agus yang kebetulan tidak kemana-mana di hari Sabtu pagi ini.
"Gus, kau tidak kemana-mana kan hari ini?" tanyaku.
"Mungkin agak siang nanti aku mau mengunjungi saudaraku di Tangerang. Memangnya kenapa Put?" dia balik bertanya padaku.
"Tidak apa-apa. Berarti malam ini aku harus tidur sendirian di lantai dasar asrama. Hampir semua mahasiswa lain mengunjungi rumah saudaranya. Hmm..."
"Bukankah kau punya saudara di Bekasi? Kenapa tidak ke sana saja?"
"Aku agak malas ke sana. Selain jauh, aku tidak enak selalu merepotkan mereka semenjak aku kuliah di Depok."
"Janganlah kau berpikir seperti itu kawan. Saudara tidak pernah merasa direpotkan."
"Memang benar tapi aku yang merasa tidak enak. Tidak apa-apa lah aku sendirian malam ini. Toh hari Senin kalian pasti sudah balik ke sini."
"Kau takut ya jika bertemu hantu gaun merah?" ia tertawa menggodaku.
"Kata siapa? Aku tidak takut dengannya. Malah aku ingin sesekali melihatnya." jawabku dengan yakin.
"Serius kau malah ingin melihat seperti apa hantu gaun merah? Bukankah kita seringkali mendengar kisah betapa seramnya wajah si hantu gaun merah dari para senior?"
Siang itu Agus meninggalkanku seorang diri di lantai dasar asrama. Tak lupa ia menitipkan jemuran bajunya padaku kalau-kalau turun hujan meski beberapa hari ini cuaca panas terik.
Kuhabiskan setengah hari hanya dengan berdiam diri di kamar sambil membaca buku yang aku bawa dari rumah. Sisanya adalah sholat dan pergi ke kantin asrama untuk membeli makan siang.
Saat sedang asyik membaca, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. "Siapa?" tanyaku dari dalam.
Tak ada jawaban sama sekali.
Ketukan itu terdengar kembali namun lebih kencang dan mendesakku untuk turun dari ranjang dan membuka pintu.
"Ya sebentar." balasku pada suara ketukan itu.
Dan ketika kubuka pintu ternyata tidak ada seorang pun dibalik pintu kamarku. Lengang seolah tidak pernah dilewati oleh siapapun. "Siapa sih yang usil begini di siang hari? Awas saja sampai balik lagi ke sini!" ujarku lirih berbicara seorang diri.
Baru saja kututup pintu dan berbaring di atas kasur, ketukan itu kembali terdengar. Dengan sigap disertai perasaan geram, segera kubuka pintu kamar sambil sebelah tanganku ingin mengayun buku itu ke wajah orang iseng tersebut.
Buku di tanganku memukul udara kosong, dan kulihat seorang pemuda yang belum pernah kujumpai sebelumnya sedang berdiri di depan kamar Ervan. Ternyata sedari tadi yang diketuknya adalah pintu kamar Ervan, bukan pintu kamarku. Untuk menutupi rasa malu, aku pura-pura bertanya padanya, "Cari siapa ya Mas?"
"Oh anu. Ervan ada di kamar apa tidak ya? Tadi saya sempat ke sini dan mengetuk pintu. Karena tidak kunjung dijawab saya mencoba menelponnya, tapi tidak juga diangkat." jawab pemuda itu sambil tersenyum.
"Ervannya lagi tidak ada di tempat Mas. Ia sedang mengunjungi saudaranya di daerah Bogor."
"Kira-kira pulangnya kapan ya Mas?"
"Mungkin Minggu sore sudah pulang." jawabku singkat. "Oh iya, kenalkan saya Putra. Teman sebelah kamarnya Ervan."
"Oh ya, saya Wendra teman satu jurusan Ervan." sahutnya sambil menjabat tanganku.
"Nanti saya sampaikan ke Ervan kalau Mas Wendra datang berkunjung ke sini."
"Tidak usah repot-repot Mas. Biar nanti saya yang SMS ke handphone Ervan. Saya ke sini cuma ingin meminjam buku kuliah saja. Terima kasih ya Mas. Mari.." dia berpamitan lalu kembali meninggalkan aku seorang diri di kamarku.
Aku sedikit lega mengetahui bahwa ketukan itu berasal dari seorang manusia bernama Wendra. Bukan dari mahluk halus yang seringkali dibicarakan anak asrama. Perempuan yang konon adalah korban pembunuhan yang sebelumnya sempat dirudapaksa dan disiksa oleh beberapa laki-laki tak bermoral, lalu mayatnya ditemukan di sungai kecil bawah jembatan dengan gaun yang berlumuran darah.
Namun rasa lega itu tidak bertahan lama ketika adzan Maghrib berkumandang. Aku merasa bulu kudukku sedikit merinding dan entah kenapa tiba-tiba saja aku ingin mengunjungi saudaraku di Bekasi.
Daripada bertahan di kamar dengan rasa takut, aku memilih untuk salat Maghrib berjamaah di mushola asrama. Setelah itu aku makan malam di kantin asrama, berharap bisa bertemu dengan teman-teman lainnya. Kenyataannya, kantin asrama begitu sepi dan beberapa konter juga tutup. Mau tidak mau aku kembali ke kamarku selepas menyelesaikan makan malam.
Sunyi sepi dan hening yang merambati kulit adalah suasana yang kurasakan saat pertama kali memasuki lorong kamarku. Sambil berjalan tadi kuperhatikan kamar teman-temanku di lantai atas yang kebanyakan kosong tak berpenghuni. Sedih bercampur kesepian menggelayuti pikiranku.
Kubuka pintu kamar dan merebahkan diri di ranjang. Belum lama aku duduk di sana, kaca jendela kamarku diketuk cukup kencang dari arah luar. Seperti diketuk dengan uang logam persis seperti yang diceritakan oleh Ervan.
"Astaghfirullah al'adzim. Siapa itu?!" tanyaku yang kaget setengah mati.
Ketukan itu tak lagi terdengar. Secara spontan aku mulai membaca ayat-ayat suci, berharap sosok itu tidak menggangguku lagi. Kali ini terasa beda, aku begitu yakin itu bukan ulah mahasiswa lainnya.
Tek..tek..tek..
Secepat kilat aku membuka tirai jendela kamarku. Tidak ada apa-apa.
"Kalau kau berani, tunjukkan wujudmu!" ujarku dengan nada tinggi lalu kembali menutup tirainya.
Karena merasa jengkel, kumatikan saja lampu kamarku. Hanya cahaya samar lampu dari lantai 2 seberang kamarku yang menjadi penerangan saat itu. Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan. Aku melihat bayangan hitam berdiri di luar jendela. Rasa takut yang dikalahkan oleh rasa penasaran membuatku kembali menyibakkan tirai dengan kasar. Lagi-lagi aku tak menemukan seorangpun yang berdiri di depan jendela.
Segera kubaringkan tubuhku meringkuk di atas kasur lalu mengenakan selimut hingga menutupi seluruh wajahku. Kuletakkan kedua tangan untuk menutup lubang telingaku. Sesekali aku masih mendengar suara ketukan di jendela tapi tak kuhiraukan sambil dalam hati membaca ayat suci.
Tak lama kemudian aku tertidur, dan ketika lewat tengah malam aku kembali terjaga dari tidurku. Kurasakan ada yang ingin mendesak keluar dari dalam tubuhku. Justru di tengah malam itulah peristiwa menakutkan ini makin menjadi-jadi.
"Gus, kau tidak kemana-mana kan hari ini?" tanyaku.
"Mungkin agak siang nanti aku mau mengunjungi saudaraku di Tangerang. Memangnya kenapa Put?" dia balik bertanya padaku.
"Tidak apa-apa. Berarti malam ini aku harus tidur sendirian di lantai dasar asrama. Hampir semua mahasiswa lain mengunjungi rumah saudaranya. Hmm..."
"Bukankah kau punya saudara di Bekasi? Kenapa tidak ke sana saja?"
"Aku agak malas ke sana. Selain jauh, aku tidak enak selalu merepotkan mereka semenjak aku kuliah di Depok."
"Janganlah kau berpikir seperti itu kawan. Saudara tidak pernah merasa direpotkan."
"Memang benar tapi aku yang merasa tidak enak. Tidak apa-apa lah aku sendirian malam ini. Toh hari Senin kalian pasti sudah balik ke sini."
"Kau takut ya jika bertemu hantu gaun merah?" ia tertawa menggodaku.
"Kata siapa? Aku tidak takut dengannya. Malah aku ingin sesekali melihatnya." jawabku dengan yakin.
"Serius kau malah ingin melihat seperti apa hantu gaun merah? Bukankah kita seringkali mendengar kisah betapa seramnya wajah si hantu gaun merah dari para senior?"
###
Siang itu Agus meninggalkanku seorang diri di lantai dasar asrama. Tak lupa ia menitipkan jemuran bajunya padaku kalau-kalau turun hujan meski beberapa hari ini cuaca panas terik.
Kuhabiskan setengah hari hanya dengan berdiam diri di kamar sambil membaca buku yang aku bawa dari rumah. Sisanya adalah sholat dan pergi ke kantin asrama untuk membeli makan siang.
Saat sedang asyik membaca, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. "Siapa?" tanyaku dari dalam.
Tak ada jawaban sama sekali.
Ketukan itu terdengar kembali namun lebih kencang dan mendesakku untuk turun dari ranjang dan membuka pintu.
"Ya sebentar." balasku pada suara ketukan itu.
Dan ketika kubuka pintu ternyata tidak ada seorang pun dibalik pintu kamarku. Lengang seolah tidak pernah dilewati oleh siapapun. "Siapa sih yang usil begini di siang hari? Awas saja sampai balik lagi ke sini!" ujarku lirih berbicara seorang diri.
Baru saja kututup pintu dan berbaring di atas kasur, ketukan itu kembali terdengar. Dengan sigap disertai perasaan geram, segera kubuka pintu kamar sambil sebelah tanganku ingin mengayun buku itu ke wajah orang iseng tersebut.
Buku di tanganku memukul udara kosong, dan kulihat seorang pemuda yang belum pernah kujumpai sebelumnya sedang berdiri di depan kamar Ervan. Ternyata sedari tadi yang diketuknya adalah pintu kamar Ervan, bukan pintu kamarku. Untuk menutupi rasa malu, aku pura-pura bertanya padanya, "Cari siapa ya Mas?"
"Oh anu. Ervan ada di kamar apa tidak ya? Tadi saya sempat ke sini dan mengetuk pintu. Karena tidak kunjung dijawab saya mencoba menelponnya, tapi tidak juga diangkat." jawab pemuda itu sambil tersenyum.
"Ervannya lagi tidak ada di tempat Mas. Ia sedang mengunjungi saudaranya di daerah Bogor."
"Kira-kira pulangnya kapan ya Mas?"
"Mungkin Minggu sore sudah pulang." jawabku singkat. "Oh iya, kenalkan saya Putra. Teman sebelah kamarnya Ervan."
"Oh ya, saya Wendra teman satu jurusan Ervan." sahutnya sambil menjabat tanganku.
"Nanti saya sampaikan ke Ervan kalau Mas Wendra datang berkunjung ke sini."
"Tidak usah repot-repot Mas. Biar nanti saya yang SMS ke handphone Ervan. Saya ke sini cuma ingin meminjam buku kuliah saja. Terima kasih ya Mas. Mari.." dia berpamitan lalu kembali meninggalkan aku seorang diri di kamarku.
Aku sedikit lega mengetahui bahwa ketukan itu berasal dari seorang manusia bernama Wendra. Bukan dari mahluk halus yang seringkali dibicarakan anak asrama. Perempuan yang konon adalah korban pembunuhan yang sebelumnya sempat dirudapaksa dan disiksa oleh beberapa laki-laki tak bermoral, lalu mayatnya ditemukan di sungai kecil bawah jembatan dengan gaun yang berlumuran darah.
Namun rasa lega itu tidak bertahan lama ketika adzan Maghrib berkumandang. Aku merasa bulu kudukku sedikit merinding dan entah kenapa tiba-tiba saja aku ingin mengunjungi saudaraku di Bekasi.
Daripada bertahan di kamar dengan rasa takut, aku memilih untuk salat Maghrib berjamaah di mushola asrama. Setelah itu aku makan malam di kantin asrama, berharap bisa bertemu dengan teman-teman lainnya. Kenyataannya, kantin asrama begitu sepi dan beberapa konter juga tutup. Mau tidak mau aku kembali ke kamarku selepas menyelesaikan makan malam.
Sunyi sepi dan hening yang merambati kulit adalah suasana yang kurasakan saat pertama kali memasuki lorong kamarku. Sambil berjalan tadi kuperhatikan kamar teman-temanku di lantai atas yang kebanyakan kosong tak berpenghuni. Sedih bercampur kesepian menggelayuti pikiranku.
Kubuka pintu kamar dan merebahkan diri di ranjang. Belum lama aku duduk di sana, kaca jendela kamarku diketuk cukup kencang dari arah luar. Seperti diketuk dengan uang logam persis seperti yang diceritakan oleh Ervan.
"Astaghfirullah al'adzim. Siapa itu?!" tanyaku yang kaget setengah mati.
Ketukan itu tak lagi terdengar. Secara spontan aku mulai membaca ayat-ayat suci, berharap sosok itu tidak menggangguku lagi. Kali ini terasa beda, aku begitu yakin itu bukan ulah mahasiswa lainnya.
Tek..tek..tek..
Secepat kilat aku membuka tirai jendela kamarku. Tidak ada apa-apa.
"Kalau kau berani, tunjukkan wujudmu!" ujarku dengan nada tinggi lalu kembali menutup tirainya.
Karena merasa jengkel, kumatikan saja lampu kamarku. Hanya cahaya samar lampu dari lantai 2 seberang kamarku yang menjadi penerangan saat itu. Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan. Aku melihat bayangan hitam berdiri di luar jendela. Rasa takut yang dikalahkan oleh rasa penasaran membuatku kembali menyibakkan tirai dengan kasar. Lagi-lagi aku tak menemukan seorangpun yang berdiri di depan jendela.
Segera kubaringkan tubuhku meringkuk di atas kasur lalu mengenakan selimut hingga menutupi seluruh wajahku. Kuletakkan kedua tangan untuk menutup lubang telingaku. Sesekali aku masih mendengar suara ketukan di jendela tapi tak kuhiraukan sambil dalam hati membaca ayat suci.
Tak lama kemudian aku tertidur, dan ketika lewat tengah malam aku kembali terjaga dari tidurku. Kurasakan ada yang ingin mendesak keluar dari dalam tubuhku. Justru di tengah malam itulah peristiwa menakutkan ini makin menjadi-jadi.
Diubah oleh gerryish 25-07-2015 22:53
0
Kutip
Balas