Kaskus

Story

PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
When Music Unites Us
When Music Unites Us


Sinopsis:
Dalam lintas waktu yang terus berjalan, perlahan aku terus menyadari bahwa sebuah nada yang telah tergores tak bisa hilang. Bermula dari sebuah sebuah nada progresif yang mengalun, nada-nada ini bercerita mengenai bagaimana musik mempengaruhi kehidupan seorang remaja biasa bernama Iman yang menjalani masa mudanya sebagai pecinta musik, juga sebagai pemain musik.

Musik sebagai bahasa universal menyatukan hati para individu penyuka nada serupa, hingga akhirnya mereka saling terkoneksi karena adanya musik.

Satu dua patah kata awal untuk mengantarkanmu ke duniaku; Satu dua nada untuk membawa jiwamu menembus dimensi lain!

Teruntuk:
Tahun-tahun paling menyenangkan di masa remaja;
Teman-teman dan sahabat-sahabatku;
Penulis-penulis favoritku dan penulis yang membantu memperbaiki tulisanku;
Juga dosen bahasa Inggris-ku dan komunikasi massa yang selalu memberikan semangat;
Hingga untuk kamu yang membuat cerita ini ada.
Kalian adalah referensi musik terbaik dalam hidupku.



P.S : Part-part awal sedang masa konstruksi lagi, gue tulis ulang. Mohon maaf jika jadi agak belang gitu bacanya emoticon-Malu (S)

Quote:


Quote:


Quote:
Diubah oleh Polyamorous 10-09-2017 20:23
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
47K
445
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
#390
Partitur no. 72


Dalam mimpiku, aku hanya melihat diriku menyendiri menatap kegelapan malam. Aku mengambil handphoneku, bersiap memotret gradasi warna langit yang segera akan benar-benar gelap gulita.

Bintang. Aku bisa melihat bintang pada gradasi warna langit itu. Ia juga memancarkan sinarnya dengan sangat terang. Seperti bintang sirius. Aku sangat menyukai bintang sirius.

Perlahan, bintang itu pergi menjauh. Aku mengejarnya sambil berteriak seakan tidak mau semuanya itu terjadi. Keberadaannya semakin menjauh.

Spoiler for trivia:


Aku mendengar banyak suara di sekelilingku. Ada orang mengobrol, ada juga yang sedang menangis. Udara memang sangat dingin saat itu, tapi tak lantas membuatku takut. Aku sangat lelah. Suhu tubuhku yang tinggi membuatku mengigau dan terbangun dari mimpiku itu. Mimpi di dalam mimpi.

“Di mana ini?” tanyaku ketika terbangun secara tiba-tiba dari mimpi yang aneh. Ya, ternyata tadi hanya mimpi. Aku melihat keadaan sekitar. Rupanya ini kamarku. Bagaimana aku bisa sampai ke sini? Tasya yang masih menangis itu terkaget ketika sedang mengompres kepalaku.

“Akhirnya kamu bangun..” kata Tasya sambil mengusap air matanya. Ternyata ia masih ada di sini.

“Kok aku bisa ada di sini? Bukannya tadi ada di dalem bus?” aku masih terheran-heran. “Tadi aku kenapa?”

“Udah nggak usah dibahas lagi..” ia lanjut memeras air dalam handuk kecil untuk mengopresi kepalaku. Rupanya ia merawatku sedari tadi. “Tadi kamu lucu, lho, manggil nama aku.” tawanya itu seolah menghapus kesedihan yang tadi ada di wajahnya. “Yaudah, tiduran lagi, gih..”

“Masa, sih?” aku pun merebahkan kembali diriku itu. Kepalaku masih terasa sangat sakit.

Jadi, begini ya, rasanya benar-benar dicintai oleh orang lain? Begitu indahkah rasanya ternyata aku mempunyai arti tersendiri untuk orang lain? Merasa dicintai itu enak. Baru kali ini aku merasakan hal yang sama selain rasa cinta keluargaku.

“Maafin aku, ya..” katanya tiba-tiba.

“Maafin untuk apa?”

“Semua salah aku, karena nggak seharusnya kamu kuajak ke sana..” ia kembali menangis tersedu-sedu. “Gara-gara aku, kamu jadi begini..”

“Sayang, jangan selalu nyalahin diri kamu sendiri, dong.. Kamu nggak salah apa-apa..”

“Kalo aku nggak salah, kamu nggak bakal begini..” ia kembali berusaha tegar.

Selama berapa lama, ia terus tenggelam dalam tangisnya. Aku tak bisa membuatnya berhenti menangis. Mungkin, mendiamkannya lebih baik. Tiba-tiba, seseorang mengetuk dan membuka pintu kamarku. Ternyata itu Bunda dan Ayahku. “Eh, Tasya.. Maaf ya ngerepotin..” kata Bundaku.

“Nggak apa-apa kok, Tante..” mereka berdua berpelukan.

“Iman kenapa?” tanya Ayahku.

“Nggak kok, mungkin cuma demam biasa..” kataku.

“Tadi Tasya mau bawa ke dokter, tapi Iman nya nggak mau..” ia tak menjelaskan bahwa aku sempat tak sadarkan diri.

“Yaudah, sekarang Tasya pulang aja, biar Tante yang ngurusin Iman.. Sekarang udah malem banget soalnya..” pinta Bundaku.

“Om cariin taksi, ya..”

“Makasih banyak, Om..” Tasya menggenggam tangan Ayahku untuk salim.

“Aku pulang dulu ya, sayang.. Cepet sembuh..” pamit Tasya kepadaku.

“Makasih banyak ya, sayang..” jawabku. “Jangan terus salahin diri kamu atas sesuatu yang memang bukan salah kamu..” ia menatapku sekilas dan tersenyum sebelum akhirnya meninggalkan kamarku. Suasana di kamarku kembali sunyi.

“Iman kenapa?” tanya Bundaku.

“Nggak tau, tiba-tiba aja badannya nggak enak, pusing, mual, sama badannya panas.. Padahal tadi nggak kenapa-kenapa, lho!” jelasku.

“Hoo, yaudah.. Besok periksa aja ke dokter sama Ayah.. Bunda juga ikut kalo bisa..” ujar Bunda.

“Tadi Tasya nyuruh Iman ke dokter, tapi Iman nggak mau..”

“Kenapa nggak mau?”

“Nggak enak lah, Nda..”

“Yaudah, nanti bilang ke Ayah besok mau ke dokter, ya.” Kata Bunda sambil memeriksa suhu tubuhku dan pergi kembali ke kamarnya.

“Iya, Nda.” Aku kembali sendirian di kamarku, sampai Asisten Rumah Tangga membawakan makanan hangat berupa bubur.

***


Keesokan harinya, Ayahku meminjam mobil milik Budeku untuk membawaku ke dokter. Bundaku juga ikut, meskipun harus mengorbankan jam kerjanya. Tubuhku kembali ditopang oleh kedua orangtuaku, untuk membawaku ke dalam mobil. Rasanya bumi ini benar-benar berputar, karena aku juga berputar bersamanya.

“Ini mau ke dokter mana?” tanyaku.

“Yang di Tebet aja mau?” ujar Bundaku menyarankan.

“Terserah, sih..”

“Jangan terserah-terserah aja!”

“Iya, yaudah. Iya di Tebet aja..”

Ketika sudah sampai di sebuah Rumah Sakit, Ayahku segera memarkirkan mobilnya di basement, sementara aku dan Bunda langsung turun di lobby. Menurutku, berlebihan bahwa hanya begini saja sampai di bawa ke Rumah Sakit.

“Atas nama siapa, Bu?”

“Iman, Mbak.” Ia menuliskan sesuatu. Dan data-data mengenaiku diminta olehnya.

“Sudah pernah dirawat di sini?” tanyanya.

“Belum, Mbak.”

Hah? Rawat? Tidak lagi!

Ia mengangguk. “Tunggu sebentar ya, Bu.” Ujar suster itu. “Nih,” ia memberikan sebuah kartu kepadaku sambil tersenyum.

Kartu Rumah Sakit. Koleksi kartu Rumah Sakit di dompetku akhirnya bertambah satu lagi. “Nanti namanya dipanggil ya, Bu, silahkan tunggu di sebelah sini..” suster itu menunjukan sebuah tempat duduk di dekat sebuah pintu ruangan UGD. Mengapa aku masuk ke UGD? Bukankah itu tak perlu?

Untuk menenangkan diriku karena tekanan di dalam rumah sakit itu, aku mengeluarkan game konsol yang kubawa dari rumah tadi untuk memainkan game favoritku ketika kecil hingga kini, Harvest Moon. Tapi ternyata tak berguna karena kepalaku masih terasa berguncang.

“Pak Iman?” seorang perawat laki-laki keluar dari ruangan yang tepat berada di sebelah kananku. “Pak Iman?” ia memanggil namaku dua kali. Aku pun mengangkat tanganku. “Silahkan masuk, Pak.” Katanya dengan ramah.

Begitu memasuki ruangan, aku langsung bisa mencium bau Rumah Sakit, atau tepatnya bau obat yang dulu sering sekali kuhirup baunya. Di dalam ruangan itu, aku bukanlah satu-satunya pasien. Ada banyak pasien yang sedang tiduran di ranjang yang sudah disediakan. Suara anak kecil yang menangis karena disuntik membuatku pilu.

“Pak Iman, ya?” tanyanya.

“Iya, Dok..”

“Ada keluhan apa, Pak Iman?”

“Tiba-tiba aja saya mual, pusing, suhu badan saya panas, lidah saya pahit, Dok..” Dokter itu segera mencatat keluhan yang kuungkapkan tadi.

“Pak Iman pernah kena tifus?”

“Pernah, Dok.” Jawabku. Dokter itu kembali mencatat.

“Yuk, saya periksa dulu..” ujar Sang Dokter. Seorang suster pun membantuku berdiri untuk menuju ranjang periksa. Tapi, ternyata aku disuruh untuk mengukur berat badan dan tinggi badanku terlebih dahulu baru menuju ranjang periksa itu.

Stetoskop milik Dokter mulai mengarah ke arah badanku, memeriksanya dengan pelan dan perlahan. Sesekali nadi di tanganku dipengang olehnya selama beberapa detik. Dan sesekali ia mengentuk perutku dan menyuruhku membuka mulutku.

Dokter itu mengangguk dan mencatat lagi. Sementara pergelangan tanganku dipegang oleh seorang suster cantik dan melilitkan tanganku dengan alat untuk memeriksa tensi. Balon yang kembang kempis itu ternyata cukup membuatku sesekali merasa sesak nafas.

Suster itu pun tersenyum sambil membereskan alat tensi, dan terlihat seperti mengambil sesuatu yang lain. Mencium bau dan mengingat-ingat langkah yang selanjutnya akan dilakukan membuatku ngeri. Suntik! Meskipun aku sering sekali disuntik, tapi aku selalu jijik jika harus disuntik. Aku tak bisa membayangkan diriku ditusuk kembali oleh benda asing yang tajam itu.

Sebuah wangi dari sebuah benda basah diusap-usapkan di pergelangan tanganku, sambil sesekali mencari nadiku. Aku tak mau tahu apa yang terjadi setelah itu. Aku mengambil nafas panjang ketika akhirnya benda tajam mengerikan itu menusuk nadiku. Jarum itu cukup lama berada di pergerlangan tanganku. Dan ketika dicabut, suster itu langsung menutup luka tersebut dengan sebuah kapas yang wangi obat dan sebuah plester perekat.

Sang Suster pun segera pergi membawa darahku yang cukup banyak, dan datanglah suster yang lain. “Ini, Pak.” Ujarnya sambil mengulurkan sebuah botol kecil kepadaku.

“Buat apa, Mbak?” tanyaku. Karena aku belum pernah disuruh tes dengan botol kecil itu.

“Tes urin, Pak.” Jelasnya. Aku mengambil botol itu dengan hati-hati. “Sini saya bantu berdiri, Pak.” Sepertinya ia mengetahui bahwa aku sedang kewalahan atas kontrol diriku sendiri. Aku dibimbing oleh suster sampai di depan kamar mandi yang masih berada di dalam ruangan UGD ini.

Ketika aku sudah keluar, suster itu masih menunggu dengan sabar di depan pintu. “Ini, Sus..” kataku sambil memberikan botol kecil tersebut.

“Oke,” ia kembali membimbingku keluar ruangan, menunggu penelitian atas darah dan urinku selesai.

Kami menunggu cukup lama sampai kami dipersilahkan masuk kembali di dalam ruangan untuk bertemu dengan Dokter lagi. “Jadi, sakit apa ini, Dok?” tanyaku penasaran.

“Pacar Ibu positif terkena tifus kembali,” mendengar perkataan tersebut, aku terkaget-kaget, tapi ingin tertawa juga. “Gejala DBD dan tifus sekarang agak mirip, tapi setelah saya lihat lagi, memang positif terkena tifus dan...” aku kurang mendengar apa yang Dokter itu ucapkan. “Saya sarankan untuk dirawat.”

“Ini anak saya, Dok, bukan pacar saya!"
Diubah oleh Polyamorous 21-09-2015 22:38
0
Ikuti KASKUS di
© 2026 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.