- Beranda
- Stories from the Heart
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
...
TS
reloaded0101
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
Judul thread ini ane ganti, sekarang tidak semua cerpennya mengisahkan cinta. Tetapi temanya lebih umum, ada detektif,sci-fi,horor,thriller,drama dan lain-lain yang tidak selalu melibatkan percintaan antar karakternya.
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
Spoiler for :
Quote:
INDEX
RUMAH SERIBU JENDELA DI POST INI
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Spoiler for :
RUMAH SERIBU JENDELA
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
end
Diubah oleh reloaded0101 15-05-2020 14:17
indrag057 dan 37 lainnya memberi reputasi
34
190.6K
Kutip
1.1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
reloaded0101
#765
FEAR
Spoiler for :
Batu nisan baru selesai dipasang. Gundukan tanah merah masih basah oleh guyuran air kembang dan cangkul-cangkul yang menguruknya tersandar di pohon-pohon kamboja. Pemilik cangkul-cangkul itu-termasuk aku, sedang duduk lesehan sambil minum teh,kopi dan kue-kue ala kadarnya yang disediakan oleh keluarga dan tetangga almarhum.
“Saudara ini apanya Bang Rhino?”
“Teman, tepatnya teman baru.”
“Teman baru?”
“Iya, baru kenalan semalam di fly over. Saya ditodong orang pakai golok tapi beda dengan pengguna jalan yang lain. tanpa rasa takut Rhino langsung berlari mendekat dan nolonginsaya.”
BRAK
Para penodongku tersungkur di aspal. ada yang rahangnya terhantam lutut, Hidung patah terlempar helm, gegar otak terpukul tinju dan yang terakhir terbanting hingga golok yang ada di tangannya terlepas.
“Sebentar, saya teleponkan ambulan.” Katanya sambil merogoh saku celana.
“Tidak apa-apa kok saya. Oh ya terima kasih Mas...”
“Rhino,”
“Jodi.”
Kami berkenalan lalu sebagai wujud terima kasih kutraktir Rhino makan di restoran. Awalnya menolak tapi akhirnya mau juga meskipun ia hanya minum kopi tanpa gula tidak mau makan nasi. Disana kami tukar-tukaran kontak, mulai nomor telepon hingga alamat rumah.
“Kamu berani juga ya No, padahal kan tadi bahaya banget.”
“Memang.”
“Apa kamu sebelumnya sudah pernah bertarung tangan kosong melawan empat orang bergolok atau punya keahlian bela diri khusus.....”
“Sama sekali tidak, tadi itu yang pertama Jo.”
“Gila....kalau kamu mati bagaimana?”
“Ya dikubur.” Sahutnya singkat acuh tak acuh.
“Kenapa sesantai itu jawabnya? Malah terkesan sok berani. Sok berani sama berani kan beda No. Biasanya yang sok berani itu justru yang paling penakut”
“Kalau kubilang kalau aku sebenarnya penakut, kamu percaya tidak Jo?”
“Dari yang kulihat tadi, tentu saja tidak percaya.”
“Harusnya kamu percaya, kenyataannya memang seperti itu. Aku ini penakut.”
“Kalau memang benar, berarti kamu ini orang yang mampu mengendalikan rasa takut.”
“Belum sampai taraf mampu, masih level belajar, berusaha mengendalikannya.”
“Jaid untuk melawan rasa takut...”
“Yang harus dilakukan adalah menghadapinya. Kata orang sih begitu, aku cuma berusaha membuktikannya saja.”
“Dan apakah terbukti?”
“Dari lima percobaan, semuanya berhasil. Dulu takut ketinggian tetapi setelah coba bungee jumping sekarang tidak. Takut ular, kubeli akuarium aku isi ular banyak-banyak dan letakkan di kamar, dan masih banyak lagi.”
“Kalau sama hantu?”
“Bagaimana bisa nyoba kalau ada atau tidaknya saja belum bisa dibuktikan.”
“Aku pernah dengar, tak jauh dari bukit itu sering teredengar suara perempuan tertawa tapi tidak ada wujudnya...” Kataku menunjuk puncak bukit
“Yang disana itu?”
“Tepatnya di sebuah villa yang katanya berhantu.”
“Boleh juga kalau dicoba. Saatnya mengetahui aku ini takut sama hantu atau tidak.”
Kami meluncur ke villa kosong yang dimaksud. Menunggu sampai tengah malam tapi hantu yang ditunggu tak datang juga. Akhirnya aku pamit dan kutinggalkan Rhino sendirian di tempat itu. Pagi harinya waktu lewat di depan rumahnya kulihat ada bendera putih denagn tanda silang hitam. Ternyata Rhino sudah meninggal.
“Oh jadi begitu ceritanya. Serem juga ya Mas.”
“Berarti Rhino dibunuh hantu.”
“Entahlah, menurut hasil otopsi katanya serangan jantung.”
“Oh...”
Pembicaraan dan gosip-menggosip pun berlanjut. Aku pamit dan pulang ke rumah tetapi baru saja memasukkan cangkul ke bagasi belakang tiba-tiba ponselku berbunyi.
“Halo.”
“Jo.”
“Rhino?”
“Iya, singkat saja ya, sekarang cuma bisa komunikasi lewat gelombang radio.”
“Kamu kan sudah...”
“Mati? Benar. ”
Iapun bercerita apa yang terjadi semalam setelah kupergi. Hantu wanita bercakar penunggu villa datang dan mengunci semua pintu. Rhino tidak bisa keluar dan
“Hantu itu kupukul tembus, kutendang nggak bisa, kumaki juga cuma tertawa. Akhirnya aku punya ide, bagaimana kalau biarkan saja hantu itu membunuhku?”
“Lalu.....”
“Dan dia memang melakukannya. Aku dibunuh. Waktu ajal tiba aku heran mengapa bisa merasakan ketakutan yang luar biasa, tapi akhirnya aku sadar kalau hantu itu punya semacam medan energi yang dapat melipatgandakan rasa takut, seperti amplifier di radio. Hasilnya aku kena serangan jantung dan mati.”
“Gila!”
“Ya, dia membunuhku. Disitu letak kesalahan hantu itu. Karena aku hantu juga, jadinya kami ada di dimensi yang sama jadi...”
“Tolong...tolong sakit jangan jangan pukul lagi...Aduh....”
Terdengar suara perempuan kesakitan di background percakapan telepon kami.
“Aku bisa menghajarnya 24 jam non stop dan kau pasti merasa geli lihat ada hantu ketakutan Jo.”
“Gila!”
Teleponpun ditutup dan aku kembali melanjutkan perjalanan. Semenjak saat itu orang-orang tak lagi mendengar suara tawa tanpa wujud dari villa angker itu, yang terdengar setiap malam hanya suara hantu yang menangis ketakutan.
“Saudara ini apanya Bang Rhino?”
“Teman, tepatnya teman baru.”
“Teman baru?”
“Iya, baru kenalan semalam di fly over. Saya ditodong orang pakai golok tapi beda dengan pengguna jalan yang lain. tanpa rasa takut Rhino langsung berlari mendekat dan nolonginsaya.”
BRAK
Para penodongku tersungkur di aspal. ada yang rahangnya terhantam lutut, Hidung patah terlempar helm, gegar otak terpukul tinju dan yang terakhir terbanting hingga golok yang ada di tangannya terlepas.
“Sebentar, saya teleponkan ambulan.” Katanya sambil merogoh saku celana.
“Tidak apa-apa kok saya. Oh ya terima kasih Mas...”
“Rhino,”
“Jodi.”
Kami berkenalan lalu sebagai wujud terima kasih kutraktir Rhino makan di restoran. Awalnya menolak tapi akhirnya mau juga meskipun ia hanya minum kopi tanpa gula tidak mau makan nasi. Disana kami tukar-tukaran kontak, mulai nomor telepon hingga alamat rumah.
“Kamu berani juga ya No, padahal kan tadi bahaya banget.”
“Memang.”
“Apa kamu sebelumnya sudah pernah bertarung tangan kosong melawan empat orang bergolok atau punya keahlian bela diri khusus.....”
“Sama sekali tidak, tadi itu yang pertama Jo.”
“Gila....kalau kamu mati bagaimana?”
“Ya dikubur.” Sahutnya singkat acuh tak acuh.
“Kenapa sesantai itu jawabnya? Malah terkesan sok berani. Sok berani sama berani kan beda No. Biasanya yang sok berani itu justru yang paling penakut”
“Kalau kubilang kalau aku sebenarnya penakut, kamu percaya tidak Jo?”
“Dari yang kulihat tadi, tentu saja tidak percaya.”
“Harusnya kamu percaya, kenyataannya memang seperti itu. Aku ini penakut.”
“Kalau memang benar, berarti kamu ini orang yang mampu mengendalikan rasa takut.”
“Belum sampai taraf mampu, masih level belajar, berusaha mengendalikannya.”
“Jaid untuk melawan rasa takut...”
“Yang harus dilakukan adalah menghadapinya. Kata orang sih begitu, aku cuma berusaha membuktikannya saja.”
“Dan apakah terbukti?”
“Dari lima percobaan, semuanya berhasil. Dulu takut ketinggian tetapi setelah coba bungee jumping sekarang tidak. Takut ular, kubeli akuarium aku isi ular banyak-banyak dan letakkan di kamar, dan masih banyak lagi.”
“Kalau sama hantu?”
“Bagaimana bisa nyoba kalau ada atau tidaknya saja belum bisa dibuktikan.”
“Aku pernah dengar, tak jauh dari bukit itu sering teredengar suara perempuan tertawa tapi tidak ada wujudnya...” Kataku menunjuk puncak bukit
“Yang disana itu?”
“Tepatnya di sebuah villa yang katanya berhantu.”
“Boleh juga kalau dicoba. Saatnya mengetahui aku ini takut sama hantu atau tidak.”
Kami meluncur ke villa kosong yang dimaksud. Menunggu sampai tengah malam tapi hantu yang ditunggu tak datang juga. Akhirnya aku pamit dan kutinggalkan Rhino sendirian di tempat itu. Pagi harinya waktu lewat di depan rumahnya kulihat ada bendera putih denagn tanda silang hitam. Ternyata Rhino sudah meninggal.
“Oh jadi begitu ceritanya. Serem juga ya Mas.”
“Berarti Rhino dibunuh hantu.”
“Entahlah, menurut hasil otopsi katanya serangan jantung.”
“Oh...”
Pembicaraan dan gosip-menggosip pun berlanjut. Aku pamit dan pulang ke rumah tetapi baru saja memasukkan cangkul ke bagasi belakang tiba-tiba ponselku berbunyi.
“Halo.”
“Jo.”
“Rhino?”
“Iya, singkat saja ya, sekarang cuma bisa komunikasi lewat gelombang radio.”
“Kamu kan sudah...”
“Mati? Benar. ”
Iapun bercerita apa yang terjadi semalam setelah kupergi. Hantu wanita bercakar penunggu villa datang dan mengunci semua pintu. Rhino tidak bisa keluar dan
“Hantu itu kupukul tembus, kutendang nggak bisa, kumaki juga cuma tertawa. Akhirnya aku punya ide, bagaimana kalau biarkan saja hantu itu membunuhku?”
“Lalu.....”
“Dan dia memang melakukannya. Aku dibunuh. Waktu ajal tiba aku heran mengapa bisa merasakan ketakutan yang luar biasa, tapi akhirnya aku sadar kalau hantu itu punya semacam medan energi yang dapat melipatgandakan rasa takut, seperti amplifier di radio. Hasilnya aku kena serangan jantung dan mati.”
“Gila!”
“Ya, dia membunuhku. Disitu letak kesalahan hantu itu. Karena aku hantu juga, jadinya kami ada di dimensi yang sama jadi...”
“Tolong...tolong sakit jangan jangan pukul lagi...Aduh....”
Terdengar suara perempuan kesakitan di background percakapan telepon kami.
“Aku bisa menghajarnya 24 jam non stop dan kau pasti merasa geli lihat ada hantu ketakutan Jo.”
“Gila!”
Teleponpun ditutup dan aku kembali melanjutkan perjalanan. Semenjak saat itu orang-orang tak lagi mendengar suara tawa tanpa wujud dari villa angker itu, yang terdengar setiap malam hanya suara hantu yang menangis ketakutan.
THE END
0
Kutip
Balas