- Beranda
- Stories from the Heart
You Are My Happiness
...
TS
jayanagari
You Are My Happiness

Sebelumnya gue permisi dulu kepada Moderator dan Penghuni forum Stories From The Heart Kaskus 
Gue akhir-akhir ini banyak membaca cerita-cerita penghuni SFTH dan gue merasa sangat terinspirasi dari tulisan sesepuh-sesepuh sekalian
Karena itu gue memberanikan diri untuk berbagi kisah nyata gue, yang sampe detik ini masih menjadi kisah terbesar di hidup gue.
Mohon maaf kalo tulisan gue ini masih amburadul dan kaku, karena gue baru pertama kali join kaskus dan menulis sebuah cerita.
Dan demi kenyamanan dan privasi, nama tokoh-tokoh di cerita ini gue samarkan

Gue akhir-akhir ini banyak membaca cerita-cerita penghuni SFTH dan gue merasa sangat terinspirasi dari tulisan sesepuh-sesepuh sekalian

Karena itu gue memberanikan diri untuk berbagi kisah nyata gue, yang sampe detik ini masih menjadi kisah terbesar di hidup gue.
Mohon maaf kalo tulisan gue ini masih amburadul dan kaku, karena gue baru pertama kali join kaskus dan menulis sebuah cerita.
Dan demi kenyamanan dan privasi, nama tokoh-tokoh di cerita ini gue samarkan

Orang bilang, kebahagiaan paling tulus adalah saat melihat orang lain bahagia karena kita. Tapi terkadang, kebahagiaan orang itu juga menyakitkan bagi kita.
Gue egois? Mungkin.
Nama gue Baskoro, dan ini kisah gue.
Gue egois? Mungkin.
Nama gue Baskoro, dan ini kisah gue.
Quote:
Quote:
Diubah oleh jayanagari 11-08-2015 11:18
gebby2412210 dan 49 lainnya memberi reputasi
48
2.2M
5.1K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jayanagari
#4943
Episode 3 : The Gambler
Kadangkala gue bertanya kepada Tuhan, apakah gue diperbolehkan sedikit mengetahui rencana-Nya terhadap hidup gue. Pikiran seorang fana ini tentulah sangat jauh bedanya dengan pikiran-Nya. Betapa kita bukanlah apa-apa dihadapan-Nya. Sesaat kemudian gue merasa malu karena gue berani berpikir seperti itu, tapi ego gue sebagai manusia kembali menyangkal bahwa pemikiran gue itu salah. Ego dan logika sering berbeda arah, bukan? Opposites do attract.
“Lo pernah ngebayangin gak, Pir, hidup lo akan jadi seperti ini sekarang?”
Gue menoleh ke arah sumber suara, sambil menggaruk pipi sendiri dengan jari. Gue menatap sosok yang bertanya barusan, kemudian tertawa pelan sambil mengalihkan pandangan ke arah TV. Gue menggeleng.
“Enggak Cum, mana taulah gue kalo gue bakal menempuh jalan ini. Sejam lagi gue mau ngapain aja gue belum tau,” sahut gue pelan.
“Tapi seenggaknya lo punya rencana kan?”
“Rencana sih pasti punya, tapi entah gimana nanti jadinya,” gue menoleh sambil tersenyum, “ada kalanya gue lelah untuk berencana, dan memilih untuk mengikuti kemana takdir membawa gue.”
“Berencana lah, biar lo tau kemana lo harus melangkah,” jawabnya sambil memainkan bantal di pangkuannya.
“Gue kadang-kadang capek untuk kecewa.”
“Kecewa karena apa? Karena hidup lo gak sesuai ekspektasi?”
Gue mengangguk pelan, “Yah seperti itulah.”
“Nikmati aja hidup lo. Seperti gue selalu menikmati setiap detiknya bersama lo.”
Gue tertawa sambil tetap memandangi TV, “Ya, gue tau kok kalo lo selalu menikmati bersama gue. Seenggaknya buat beberapa waktu.”
Setelah itu yang ada hanyalah kebisuan diantara kami berdua. Pikiran gue melayang entah kemana, dan begitu pula dengannya. Gue gak memikirkan apapun tentang hidup gue, tapi justru melayang ke semesta yang lain. Entahlah, mungkin gue lagi kacau waktu itu.
“Lo udah bilang Anin kan kalo gue main kesini?,” tanyanya tiba-tiba.
“Udah, udah dari tadi pagi malah. Dia santai kok kalo gue udah bilang.”
“Dia bilang apa?”
“Cuma nanya aja, mau ngapain, trus jam berapa lo kesininya.”
Tami tersenyum, “Dia masih selalu dewasa seperti biasanya ya,” dan menghela napas panjang, “kapaaan gue bisa sedewasa dia.”
“Semua ada porsinya masing-masing. Don’t push it too far.”
“Gimana persiapan lo?”
“Entahlah, 80 persen mungkin. Tapi gue sekarang lagi capek, males mikirin itu dulu,” gue menoleh ke Tami, “lo tau, rasanya pingin naruh kepala trus diganti kepala yang lain yang lebih fresh? Ya gitu itu keadaan gue sekarang.”
“Lo kayaknya ga yakin. Kenapa?”
Gue terdiam, dan berpikir. Apa gue terlihat sebegitu banyak pikirannya ya?, pikir gue. Gue menghela napas panjang, dan menyandarkan kepala ke belakang sambil memejamkan mata. Gelombang beban pikiran itu justru membuat gue mengantuk.
“Begitu banyak hal-hal yang baru terpikirkan oleh gue tentang hidup setelah nikah. Jujur aja dulu gue sama sekali gak kepikiran, cuma akhir-akhir ini semuanya dateng satu per satu. Dan akhirnya gue menyimpulkan bahwa kehidupan setelah pernikahan itu justru kehidupan yang sebenernya,” jawab gue.
“Life begins at twenty fourdong kalo gitu?”, sahutnya sambil tertawa.
“Kecepetan ya kayaknya?”, tanya gue sambil tersenyum.
“Enggak ah, lo udah nyaris mendapatkan semuanya. Kerjaan udah mapan, calon istri juga udah ada, cantik lagi. Orang tua lo juga udah support. Keluarga dan temen-temen deket lo juga udah support. Trus apa lagi yang lo cari?”
“Ya, apa lagi yang gue cari....”, ucap gue mengulangi perlahan sambil menatap kosong.
“Lo masih takut kehilangan masa muda lo?”, tanyanya pelan.
“At some point, yes. Tapi semakin gue berpikir, semakin gue menyadari bahwa ada hal lain, yang bahkan gue belum tahu itu apa, yang jadi pikiran gue.”
Tami terdiam, sementara gue masih melamun memandangi TV di hadapan.
“Gue tahu kok, apa yang jadi pikiran lo.”, katanya pada akhirnya.
“Apa?”
“Lo masih belum yakin apakah nanti kehidupan lo setelah pernikahan bakal seindah yang lo bayangin kan? Dan apakah ini semua sepadan. Ya kan?”
“Kalo gue lebih menyebutnya gambling.”
“Kenapa gambling? Apakah lo gak yakin sama Anin? Atau yang lebih gawat lagi, lo gak yakin sama lo sendiri?”
“Dua-duanya, mungkin.”, sahut gue.
“Kalo Anin sih gue yakin bukan sebuah perjudian ya.”
“Kenapa gitu?”
“Karena dulu sekali, lo dateng kepadanya bukan sebagai apa-apa, cuma sebagai anak SMA ingusan yang belum bermodal apapun. Dan dia terima lo, bahkan dia mencintai lo selama 5 tahun. Kemarin, lo dateng sekali lagi kepadanya, sebagai lo yang sekarang, tapi justru gak memiliki apa-apa, like literally. Dan dia masih menerima lo.”, Tami tertawa, “bahkan dia masih mencintai lo seperti sebelumnya.”
“Berarti yang jadi masalah itu justru gue-nya ya?”, ujar gue sambil tersenyum menggigit bibir.
“Bukan lo-nya, tapi ketidakyakinan lo ke diri lo sendiri.”
Gue terdiam cukup lama, dan dia juga mengikuti kebisuan gue. Pikiran gue berkecamuk, dan penuh kebimbangan. Barangkali ada benarnya juga, gue lah yang belum yakin dengan diri gue sendiri. Gue menutup mata dengan kedua punggung tangan, sambil tetap bersandar ke sofa.
“Pir...”, panggilnya.
Gue menurunkan tangan dan menoleh, “Ya?”
“Gambling isn’t that bad kok. Selalu ada yang baik menyertai yang buruk, and vice versa. Dan gue yakin lo bisa memilih mana yang baik dan yang buruk. Jalani aja apa yang harus lo jalani, do good, and good will come to you.”
Gue tersenyum, memejamkan mata dan mengangguk perlahan.
Kadangkala gue bertanya kepada Tuhan, apakah gue diperbolehkan sedikit mengetahui rencana-Nya terhadap hidup gue. Pikiran seorang fana ini tentulah sangat jauh bedanya dengan pikiran-Nya. Betapa kita bukanlah apa-apa dihadapan-Nya. Sesaat kemudian gue merasa malu karena gue berani berpikir seperti itu, tapi ego gue sebagai manusia kembali menyangkal bahwa pemikiran gue itu salah. Ego dan logika sering berbeda arah, bukan? Opposites do attract.
* * *
“Lo pernah ngebayangin gak, Pir, hidup lo akan jadi seperti ini sekarang?”
Gue menoleh ke arah sumber suara, sambil menggaruk pipi sendiri dengan jari. Gue menatap sosok yang bertanya barusan, kemudian tertawa pelan sambil mengalihkan pandangan ke arah TV. Gue menggeleng.
“Enggak Cum, mana taulah gue kalo gue bakal menempuh jalan ini. Sejam lagi gue mau ngapain aja gue belum tau,” sahut gue pelan.
“Tapi seenggaknya lo punya rencana kan?”
“Rencana sih pasti punya, tapi entah gimana nanti jadinya,” gue menoleh sambil tersenyum, “ada kalanya gue lelah untuk berencana, dan memilih untuk mengikuti kemana takdir membawa gue.”
“Berencana lah, biar lo tau kemana lo harus melangkah,” jawabnya sambil memainkan bantal di pangkuannya.
“Gue kadang-kadang capek untuk kecewa.”
“Kecewa karena apa? Karena hidup lo gak sesuai ekspektasi?”
Gue mengangguk pelan, “Yah seperti itulah.”
“Nikmati aja hidup lo. Seperti gue selalu menikmati setiap detiknya bersama lo.”
Gue tertawa sambil tetap memandangi TV, “Ya, gue tau kok kalo lo selalu menikmati bersama gue. Seenggaknya buat beberapa waktu.”
Setelah itu yang ada hanyalah kebisuan diantara kami berdua. Pikiran gue melayang entah kemana, dan begitu pula dengannya. Gue gak memikirkan apapun tentang hidup gue, tapi justru melayang ke semesta yang lain. Entahlah, mungkin gue lagi kacau waktu itu.
“Lo udah bilang Anin kan kalo gue main kesini?,” tanyanya tiba-tiba.
“Udah, udah dari tadi pagi malah. Dia santai kok kalo gue udah bilang.”
“Dia bilang apa?”
“Cuma nanya aja, mau ngapain, trus jam berapa lo kesininya.”
Tami tersenyum, “Dia masih selalu dewasa seperti biasanya ya,” dan menghela napas panjang, “kapaaan gue bisa sedewasa dia.”
“Semua ada porsinya masing-masing. Don’t push it too far.”
“Gimana persiapan lo?”
“Entahlah, 80 persen mungkin. Tapi gue sekarang lagi capek, males mikirin itu dulu,” gue menoleh ke Tami, “lo tau, rasanya pingin naruh kepala trus diganti kepala yang lain yang lebih fresh? Ya gitu itu keadaan gue sekarang.”
“Lo kayaknya ga yakin. Kenapa?”
Gue terdiam, dan berpikir. Apa gue terlihat sebegitu banyak pikirannya ya?, pikir gue. Gue menghela napas panjang, dan menyandarkan kepala ke belakang sambil memejamkan mata. Gelombang beban pikiran itu justru membuat gue mengantuk.
“Begitu banyak hal-hal yang baru terpikirkan oleh gue tentang hidup setelah nikah. Jujur aja dulu gue sama sekali gak kepikiran, cuma akhir-akhir ini semuanya dateng satu per satu. Dan akhirnya gue menyimpulkan bahwa kehidupan setelah pernikahan itu justru kehidupan yang sebenernya,” jawab gue.
“Life begins at twenty fourdong kalo gitu?”, sahutnya sambil tertawa.
“Kecepetan ya kayaknya?”, tanya gue sambil tersenyum.
“Enggak ah, lo udah nyaris mendapatkan semuanya. Kerjaan udah mapan, calon istri juga udah ada, cantik lagi. Orang tua lo juga udah support. Keluarga dan temen-temen deket lo juga udah support. Trus apa lagi yang lo cari?”
“Ya, apa lagi yang gue cari....”, ucap gue mengulangi perlahan sambil menatap kosong.
“Lo masih takut kehilangan masa muda lo?”, tanyanya pelan.
“At some point, yes. Tapi semakin gue berpikir, semakin gue menyadari bahwa ada hal lain, yang bahkan gue belum tahu itu apa, yang jadi pikiran gue.”
Tami terdiam, sementara gue masih melamun memandangi TV di hadapan.
“Gue tahu kok, apa yang jadi pikiran lo.”, katanya pada akhirnya.
“Apa?”
“Lo masih belum yakin apakah nanti kehidupan lo setelah pernikahan bakal seindah yang lo bayangin kan? Dan apakah ini semua sepadan. Ya kan?”
“Kalo gue lebih menyebutnya gambling.”
“Kenapa gambling? Apakah lo gak yakin sama Anin? Atau yang lebih gawat lagi, lo gak yakin sama lo sendiri?”
“Dua-duanya, mungkin.”, sahut gue.
“Kalo Anin sih gue yakin bukan sebuah perjudian ya.”
“Kenapa gitu?”
“Karena dulu sekali, lo dateng kepadanya bukan sebagai apa-apa, cuma sebagai anak SMA ingusan yang belum bermodal apapun. Dan dia terima lo, bahkan dia mencintai lo selama 5 tahun. Kemarin, lo dateng sekali lagi kepadanya, sebagai lo yang sekarang, tapi justru gak memiliki apa-apa, like literally. Dan dia masih menerima lo.”, Tami tertawa, “bahkan dia masih mencintai lo seperti sebelumnya.”
“Berarti yang jadi masalah itu justru gue-nya ya?”, ujar gue sambil tersenyum menggigit bibir.
“Bukan lo-nya, tapi ketidakyakinan lo ke diri lo sendiri.”
Gue terdiam cukup lama, dan dia juga mengikuti kebisuan gue. Pikiran gue berkecamuk, dan penuh kebimbangan. Barangkali ada benarnya juga, gue lah yang belum yakin dengan diri gue sendiri. Gue menutup mata dengan kedua punggung tangan, sambil tetap bersandar ke sofa.
“Pir...”, panggilnya.
Gue menurunkan tangan dan menoleh, “Ya?”
“Gambling isn’t that bad kok. Selalu ada yang baik menyertai yang buruk, and vice versa. Dan gue yakin lo bisa memilih mana yang baik dan yang buruk. Jalani aja apa yang harus lo jalani, do good, and good will come to you.”
Gue tersenyum, memejamkan mata dan mengangguk perlahan.
Diubah oleh jayanagari 07-07-2015 11:54
prakas17 memberi reputasi
-1

