Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
When Music Unites Us
When Music Unites Us


Sinopsis:
Dalam lintas waktu yang terus berjalan, perlahan aku terus menyadari bahwa sebuah nada yang telah tergores tak bisa hilang. Bermula dari sebuah sebuah nada progresif yang mengalun, nada-nada ini bercerita mengenai bagaimana musik mempengaruhi kehidupan seorang remaja biasa bernama Iman yang menjalani masa mudanya sebagai pecinta musik, juga sebagai pemain musik.

Musik sebagai bahasa universal menyatukan hati para individu penyuka nada serupa, hingga akhirnya mereka saling terkoneksi karena adanya musik.

Satu dua patah kata awal untuk mengantarkanmu ke duniaku; Satu dua nada untuk membawa jiwamu menembus dimensi lain!

Teruntuk:
Tahun-tahun paling menyenangkan di masa remaja;
Teman-teman dan sahabat-sahabatku;
Penulis-penulis favoritku dan penulis yang membantu memperbaiki tulisanku;
Juga dosen bahasa Inggris-ku dan komunikasi massa yang selalu memberikan semangat;
Hingga untuk kamu yang membuat cerita ini ada.
Kalian adalah referensi musik terbaik dalam hidupku.



P.S : Part-part awal sedang masa konstruksi lagi, gue tulis ulang. Mohon maaf jika jadi agak belang gitu bacanya emoticon-Malu (S)

Quote:


Quote:


Quote:
Diubah oleh Polyamorous 10-09-2017 13:23
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
46.5K
445
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Tampilkan semua post
PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
#353
Partitur no. 66 : 15 in 16


Setidak sukaku kepada hujan di bulan Januari yang ekstrem itu, tetap ada hal yang membuatku masih mencintai bulan Januari. Hal ini tak lain karena Januari adalah bulan kelahiranku.

Tahun lalu adalah kali pertamanya ada seseorang yang spesial (selain keluarga tentunya) datang dan menemaniku di hari spesialku ini. Walaupun ia tak datang tepat pada hari ulang tahunku, ia memberikan kejutan keesokan harinya. Sayangnya, mungkin seseorang itu tak bisa menemaniku lagi pada hari spesialku ini.

Sebagai gantinya, ia mengirimkan dua buah foto hasil editannya sendiri. Keduanya memiliki konsep yang mirip—bertemakan dua perayaan ditanggal enam belas. Yang pertama ia kirimkan adalah sebuah gabungan foto-fotoku yang mungkin ia ambil dari facebook, mulai dari aku kecil hingga berumur tepat delapan belas tahun hari ini. Ditambah sebuah komentar disisi kiri foto tersebut. Dan satunya lagi adalah foto kami berdua mengenakan kaos paramore yang pernah kubelikan untuknya dulu. Tulisan “Special day in January!”dan "15 in 16" menghiasi kedua foto tersebut.

“Nanti mau makan-makan di mana, Man?” tanya Bundaku melalui WhatsApp.

“Enaknya di mana, ya? Iman pengen di tempat sushi yang biasa aja, tapi kalo pada mau yang lain ya nggak apa-apa..” jawabku.

“Yaudah, tanyain Harrys deh, soalnya dia yang paling susah kalo diajak pergi.” Balas Bundaku. Dan memang benar saja, entah sejak kapan, Harrys mulai susah untuk diajak kemana-mana. Terlebih, ia memang susah untuk makan, meskipun badannya sudah kurus kering.
Untungnya, Harrys setuju saja ketika kubilang kami akan makan di restoran sushi favorit kami. “Jam berapa jalannya?” tanyanya kemudian.

“Nunggu Bunda sama Ayah pulang kerja..” Harrys pun mengangguk mengerti dan kebali asyik dengan dunianya sendiri.

Saat itu pukul lima sore, ketika hujan deras yang kembali menyapu bumi Jakarta itu sudah reda, aku terbangun dari tidur nyenyak ini. Tersadar bahwa aku terbangun di sore hari—di mana aku belum menyadari itu pukul berapa—sehingga aku beranggapan bahwa acara makan-makan setahun sekali itu batal. Aku menyalahi diriku karena tertidur nyenyak dari siang hari itu. Lalu, mengapa Harrys tak membangunkanku jika sudah pada datang?

Dengan agak kesal, aku menuju kamar Harrys yang tepat di dekat teras itu. Aku masih kesal sampai aku terkaget-kaget bahwa Bundaku baru pulang kerja dan membawa seseorang yang tak kuduga kehadirannya. Ia sudah bilang tak bisa datang—walaupun kembali kuajak untuk mengikuti acara makan malam ini—dan tiba-tiba ia hadir dengan Bundaku. Saat kubujuk lagi untuk ikut, ia tetap menolaknya dengan halus. Walaupun agak kecewa, tapi aku tetap memakluminya.

Sekarang, orang itu hadir dengan anggunnya dan berteriak, “Surprise!” tak kusangka, aku melihatnya mengenakan baju kantor lagi—yang
membuatnya terlihat feminim. Entah harus ketawa atau bagaimana, tapi melihatnya berpakaian seperti itu seperti bukan Tasya yang kukenal. Tapi, tetap saja lucu.

“Tante ganti baju dulu ya, Sya..” kata Bunda sambil menuju kamarnya yang persis depan teras—tempat Harrys biasa bermain komputer.

“Iya, tante..” ujar Tasya sambil tersenyum.

“Kok kamu bisa disini?” tanyaku keheranan.

“Kan judulnya surprise?” jawabnya meledek. “Kalo aku bilang dari awal ikut kan nggak seru, mendingan surprise kayak gini.” Ia menampakkan ekspresi senangnya yang terkadang seperti meledekku.

“Yah..” kataku tak bersemangat.

“Kok yah? Kamu nggak seneng ya ada aku?” ekspresi mukanya berubah cemberut.

“Bukan gitu, tadinya kalo kamu nggak ikut, jatah makanan kamu kan bisa aku ambil..”

“Dasar wapol!” katanya sambil mencubit perutku.

“Aw!”

“Yaudah, ganti baju dulu sana!” kata Tasya menyuruhku.

Segera setelah Tasya menyuruhku, aku mencari-cari baju yang sekiranya pas untuk kukenakan malam itu. Baju yang tak begitu terkesan formal, cocok untuk santai. Setelah mencari yang sekiranya cocok, baju itu langsung kukenakan dan langsung menuju teras untuk menemui Tasya.

“Gimana, udah keren belum?” dengan nada sok keren aku hadir di depan Tasya.

“Emang kamu pernah keren?” ledeknya.

“Pernah, itu buktinya kamu mau sama aku?” balasku meledeknya.

“Siapa yang mau sama kamu?” jawabnya. “Kecoa?”

“Bukan, permen susu yang mau sama aku.” Seakan tak mau kalah dengan Tasya, aku juga meledeknya dengan hal yang paling ia takuti: permen susu alias pocong. Entah mengapa, ia memanggilnya permen susu. Mungkin itu panggilan sayang dari Tasya agar tak terlihat menakutkan.

***


Kami pun akhirnya berangkat menuju tempat makan sushi menggunakan mobil budeku yang dipinjam oleh ayahku menuju sekitaran bundaran HI—tempat dekat mall yang sangat besar itu. Ayahku memilih mall di sebelahnya, karena tempat itu tak seramai mall yang besarnya, apalagi kami berangkat lewat dari pulang kerja yang pasti sangat macet dan penuh dengan orang-orang.

“Ini beneran nggak apa-apa aku ikut?” bisik Tasya kepadaku. Rupanya, ia masih malu-malu. Aku pun mengangguk mantap. “Aku jadi nggak enak nih.. Apa aku pulang aja, ya?”

“Masa udah ditengah jalan gini mau pulang?” kataku.

Ditengah tak enakan Tasya kala itu, untungnya Bunda mengajaknya mengobrol seputar dunia pekerjaan, dan seputar suasana kantor. Aku menyimaknya dengan sangat seru. Sampai, Bundaku menceritakan hal memalukan seputar diriku yang masih kecil itu.

“Tau nggak, Sya, dulu Iman tuh gendut banget..” kupingku terasa panas karenanya.

“Mana, Tante? Saya mau liat, dong..” katanya tersenyum licik kepadaku. Bundaku pun memperlihatkan fotoku waktu kecil itu kepada Tasya. Ada tiga foto yang diperlihatkannya kepada Tasya; yang pertama fotoku sedang berbibir sangat merah—seperti mengenakan lipstick, padahal tidak, lalu fotoku sedang dibagasi mobil yang memang gendut itu, lalu yang terakhir foto ketika aku terlihat seperti keturunan Tionghoa, atau tepatnya seperti koh-koh. Terlebih, kacamataku kala itu mendukung kesan China pada diriku, walaupun aku tak merasa seperti itu. “Lucu ya Iman dulu..” komentarnya setelah melihat foto tersebut.

“Terus, ini guling favoritnya Iman dulu, nyampe kelas 5 SD dia masih meluk guling ini, lho!” kata Bundaku seperti membuka kotak pandora.

“Yang ini ngapain diceritain sih, Nda!” ketusku kepada Bunda.

“Terus tau nggak, Sya, walaupun keliatannya pendiem gitu, sebenernya Iman itu bawel banget di rumah. Dia...”

“Ssst, udah, Nda, bentar lagi mau nyampe, nih!” kataku memotong omongan.

“Iih kamu tuh, ya, orangtua lagi ngomong jangan dipotong-potong!” Tasya memancarkan senyum kemenangan karena rahasia-rahasiaku sedang dibongkar oleh Bunda. Bunda hanya menampakkan senyum liciknya yang tak kalah licik dengan Tasya.

“Terus sebenernya Iman tuh penakut banget, sama gampang banget kebawa suasana orangnya..”

“Pantes waktu nonton kemaren dia nangis, Tante!” ledek Tasya. Rasanya hampir seluruh aibku telah dibuka oleh Bundaku sendiri. Ayahku dan Harrys hanya tertawa saja di depan—sementara aku yang di tengah ini sengsara.

“Oh, ya?” kata Bunda penasaran. “Gimana...”

“Udah jangan dibahas lagi!” kataku memotong pembicaraan.

***


Sesampainya di sana, kami langsung memesan banyak makanan untuk berlima—karena pasti datangnya lama, jadi kami memesan sekaligus, agar bisa langsung dimakan. Kami memilih tempat duduk yang pas untuk berlima—walaupun sebenarnya cukup untuk berenam. Bunda duduk dengan Harrys, aku duduk dengan Tasya—bersebrangan dengan Bunda, dan Ayahku duduk di tengah, sebelah Bunda dan Tasya persis. Seharusnya Kang Naufal bisa bergabung dengan kami, namun apa daya, ia sedang terkena penyakit.

“Kamu emang wapol, ya, yang mesen paling banyak kamu doang...” katanya melihatku dengan gemasnya.

“Tapi kan makanannya buat bareng-bareng juga, Uciiing..” aku melakukan pembenaran terhadap ucapan itu—walaupun memang benar kami memesan untuk ramai-ramai.

Tasya sepertinya memang terasa tertekan disitu. Bagaimana tidak, ia makan malam dengan keluargaku. Mungkin yang ia rasakan sama ketika aku menjenguk Papanya Tasya ketika kecelakaan beberapa bulan lalu, di mana rumahnya Tasya penuh dengan sanak saudara keluarga besar. Walaupun Tasya tak menampakkan itu, tapi aku mengetahuinya.

Ia menjaga dirinya tetap seperti orang berwibawa, walaupun biasanya kalau bersama Bundaku ia terasa lebih santai.

“Tasya kerja di kantornya Bunda?” ujar ayahku untuk berbasa-basi, sambil menunggu makanan kami datang.

“Iya, Om.. Hehe” jawabnya malu-malu.

“Bagian apa?” tanya ayahku lagi.

“Administrasi, Om..” katanya dengan ramah. Ayahku mengangguk mengerti. Sepertinya, ia mulai menyukai pembawaan diri Tasya yang bisa menyesuaikan keadaan.

Aku yang duduk di sebelahnya pun hanya senyam-senyum saja melihatnya, karena itu yang ia lakukan ketika aku bertemu dengan keluarganya. Tak lama, makanan itu pun satu per satu datang—menghentikan perbincangan Tasya dan Bunda yang sedang asyik membahas suasana di Kantor.

Perasaanku saat itu sangat senang. Belum pernah rasanya sebahagia hari ini. Karena orang yang kusayang bergabung satu meja bersama orang yang kusayang lainnya menemani hari ulang tahunku—terlebih makan malam dengan menu makanan favoritku. Makan malam sederhana di tempat sushi ini tak akan kulupakan selama aku masih bisa mengingat. Yang terpenting adalah bukan makanannya, tapi momen bersama orang spesial di mana kamu menikmati makanan itu.

Harrys juga terlihat semakin akrab dengan Tasya, meskipun mereka berdua memang sangat akrab. Ayahku juga seperti mengetahui sisi lain dari Tasya. Semua terasa lengkap, hanya saja, sayangnya Kang Naufal tak bisa ikut merasakan keseruan dan suasana kehangatan pada hari ini.

Menurut banyak orang, makan malam adalah salah satu momen penting dalam keseharian hidup mereka. Dari yang diberitahu guru bahasa Perancis ku, makanan adalah bagian dari interaksi sosial mereka.

Walau kebahagiaan di atas meja makan itu dibatasi oleh waktu karena Tasya harus segera pulang ketika sudah larut malam, tapi kenangan momen malam itu tak akan pernah bisa dibatasi oleh waktu.

Rumahku sedang mati listrik ketika kami sampai di rumah—menambah kesan horror rumah tua ini. Tasya yang kebingungan serta ketakutan
itu langsung kubawa ke depan rumah sambil mencari-cari taksi yang sekiranya lewat.

“Gimana malem ini?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Nggak bakal aku lupain!” jawabnya dengan senang. “Kadonya nyusul tapi, ya..”

“Hehe kamu dateng hari ini aja aku udah seneng banget, kok..” balasku.

“Seneng bisa jadi salah satu bagian dari hidup kamu..” ucapan perpisahan yang manis tersebut menutup malam yang dingin itu menjadi malam yang hangat dan romantis.
Diubah oleh Polyamorous 21-09-2015 15:34
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.