- Beranda
- Stories from the Heart
Hujan, Janji, dan Wanita yang singgah
...
TS
kabelrol
Hujan, Janji, dan Wanita yang singgah
Selamat datang di trit gue yang super sederhana ini
Di trit ini, gue mencoba berbagi soal cerita-cerita cinta semasa sekolah. Lucunya, gara-gara trit ini, kisah-kisah itu ada yang berlanjut dan itu sangat mengejutkan, buat gue
Kisah yang pengen gue tulis udah tamat. Eh, tapi karena ada kisah lanjutan yang disebabkan gue nulis trit ini, sekalian gue tulis kisah lanjutan itu dimari, eh, ceritanya malah jadi kepanjangan
ada 97 part, semoga agan ngga bosen baca kisah ane ini sampe tamat

Makasih buat juragan-juraganwati yang sudah meluangkan waktunya untuk mengirimkan cendol, rate, dan subcribe. Semoga cerita gue, seengganya, bisa ngingetin pembaca sekalian, soalnya indahnya persoalan cinta di kalangan remaja.
Hujan adalah mesin waktu. Gue ngga bisa lagi lebih setuju soal ini. Gue nulis trit ini ketika musim hujan nempel di percuacaan kota gue. Ngeliat barisan hujan yang jatuh teratur, seakan ada yang menyuruh mereka supaya jatuh pada lintasannya dan ngga meleset sedikitpun, berhasil bikin gue kembali ke masa yang sangat gue sesalkan mereka ngga akan kembali.
Masa remaja.
Ya, mereka ngga bisa dan barangkali ngga akan bisa kembali. Tapi, hujan dan buku harian seengganya bisa bikin gue buat nyelamin hari-hari itu kembali. Hari-hari ketika gue mengumpulkan rasa suka, rasa sayang, rasa cinta ke dia.
Gue pernah jatuh cinta dan gue pernah menyesalinya. Tapi, gue sangat mengharap momen-momen seperti itu datang kembali.
pengenalan tokoh yang ikutan main di trit ane bisa ditengok di sini nih
cuma rekaan sih sob, sketsa, tapi mirip mirip lah
Selamat membaca
Di trit ini, gue mencoba berbagi soal cerita-cerita cinta semasa sekolah. Lucunya, gara-gara trit ini, kisah-kisah itu ada yang berlanjut dan itu sangat mengejutkan, buat gue
Kisah yang pengen gue tulis udah tamat. Eh, tapi karena ada kisah lanjutan yang disebabkan gue nulis trit ini, sekalian gue tulis kisah lanjutan itu dimari, eh, ceritanya malah jadi kepanjangan
ada 97 part, semoga agan ngga bosen baca kisah ane ini sampe tamat

Makasih buat juragan-juraganwati yang sudah meluangkan waktunya untuk mengirimkan cendol, rate, dan subcribe. Semoga cerita gue, seengganya, bisa ngingetin pembaca sekalian, soalnya indahnya persoalan cinta di kalangan remaja.
Spoiler for sampul:
Hujan adalah mesin waktu. Gue ngga bisa lagi lebih setuju soal ini. Gue nulis trit ini ketika musim hujan nempel di percuacaan kota gue. Ngeliat barisan hujan yang jatuh teratur, seakan ada yang menyuruh mereka supaya jatuh pada lintasannya dan ngga meleset sedikitpun, berhasil bikin gue kembali ke masa yang sangat gue sesalkan mereka ngga akan kembali.
Masa remaja.
Ya, mereka ngga bisa dan barangkali ngga akan bisa kembali. Tapi, hujan dan buku harian seengganya bisa bikin gue buat nyelamin hari-hari itu kembali. Hari-hari ketika gue mengumpulkan rasa suka, rasa sayang, rasa cinta ke dia.
Gue pernah jatuh cinta dan gue pernah menyesalinya. Tapi, gue sangat mengharap momen-momen seperti itu datang kembali.
pengenalan tokoh yang ikutan main di trit ane bisa ditengok di sini nih
cuma rekaan sih sob, sketsa, tapi mirip mirip lah

Selamat membaca

Spoiler for indeks:
Diubah oleh kabelrol 01-07-2015 15:17
chamelemon dan 24 lainnya memberi reputasi
25
188.2K
701
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kabelrol
#542
khawatir - khawatir
yep, sepanjang PP Indonesia - Jepang itu, gue ngerasa khawatiiir terus. Entahlah, apa karena kondisi lagi cocok waktu itu. Kondisinya kan gue belum lama nanem kapsul waktu, Haruki dateng, dan gue mencoba untuk move on. Atau barangkali, si kepala merah--Haruki--nyuruh gue buat move on, tapi sendirinya belum bisa move on dari Yuki. Tapi, mau bagaimana gue khawatir, mau bagaimana gue maksa untuk move on, gue tetep ketemu hari itu.
"Nih, Har, kenalin. Ari,"
Gue senyum tipis lantas menyambut salaman dari pria yang nyodorin tangannya duluan itu. Salamannya mantap, hangatnya terasa. Gue cuma seklias aja ngeliat Widya di sore itu. Gue buang muka dengan sengaja dan natap Ari
eeh, ngga maho kok gan
"Harsya," gue senyum ke calon kapten pesawat itu. "dan... eh, kenalin, nih, temen SMA gue.. Haruki,"
Haruki nongol dari belakang gue. Kemudian, satu-satu Haruki ngenalin dirinya ke pasangan calon pengantin itu. Kondisinya, waktu itu rambut Haruki udah berubah ke item, balik lagi. Ya, iyalah, dia kan tinggal di rumah gue. Bisa heboh se-RW kalo di rumah gue ada orang yang kepalanya merah gitu huehehe
Sekali lagi, gue ngga ngeliat gimana muka Widya waktu itu. Gue cuma mereka-reka, apa yang bakal Widya bilang, atau seengga-engganya dia pikir, soal gue bawa Haruki sore ini.
".. gue sama Haruki partneran, dia temen SMA gue. sebangku 2 tahun. Dia jago masak loh. hehe" --padahal gue ngga pernah tau Haruki bisa masak, yang gue tau, Haruki jago ngudek semen.
Maksud gue bilang begitu, selain bikin suasana cair, gue pengen mengakomodir ekspektasi-ekspektasi negatif Widya ke gue atau ke Haruki. Misalnya, "Oh, jadi ini cewek baru lo? Hebat juga, lho. Katanya, di pantai cinta sama gue, tapi lo pacaran ama Gadis. Katanya lo barusan putus, sekarang udah jadian lagi ya? Wih, hebat" dan semacamnya, semacamnya.
"Wah, bagus dong kalo lo jadiin partner hidup lo. Hehe"
Jegeer!! Maksud Ari memang baik, menjodohkan. Kalau saja kondisinya Widya bukan siapa-siapa gueeeh hahaha. Gue sekali lagi, terlalu habis keberanian gue untuk mandang Widya, walaupun sekilas.
"Ayok, ayok pada duduk. Mbaak! Pesen lagi!"
Kita pun duduk di kursi masing-masing. Gue baru ngeh pas nulis ini, gue mesen minuman yang sama pas gue ketemu Widya habis nguntit dia di Januari kemaren itu. Tiramisu. Aaah, gue ngarep semoga Widya ngga nyangka gue ngga bermaksud apa-apa mesen tiramisu itu.
"Iya, Ri. Gue denger Juni. Dimajuin bener?" gue mencoba beramah-tamah untuk masuk ke inti pertemuan ini.
"Iya, bro. Bapak gue udah kebelet banget gue kimpoi. Yaa, bapak gue juga lagi sakit, sih. Kebeneran ada temen gue yang pengen kimpoi, tapi satu-dua hal gagal, padahal udah bayar DP gedung. Curhat ke gue. Terus gue coba iseng ngomong ke bapak gue sama Widya. Eh, mereka berdua iya. Yaah, sekalian bantuin temen. Untung pas nego ke gedungnya, mereka sih bisa aja kalo pindah ke gue. Yaudah, deh, lagian Juni puasa juga."
Hmmm.. kalo gue perhatiin-perhatiin, Ari ini ramah bener. Jauh banget dari ekspektasi Widya yang selama ini bikin gue terpapar informasi kalo penerbang itu begini dan begitu. Beneran deh. Ari ramaah bener. Dan pasti dia tegap, duduknya tegak, dan ngga ada gumpalan buncit di perut kek gue
Satu hal yang gue ngga nyaman ketika dia mulai ngeluarin rokok. Gue yang masih kaku gimana gitu, ngga bisa bilang ngga untuk ngirup asep racun itu.
"Rokok, Har?"
"Sori, gue ngga ngerokok, Ri,"
"Wah, oke."
Pertemuan berjalan lancar. Gue menawarkan beberapa pilihan. Gue dan Ari yang mendominasi obrolan ini. Haruki dan Widya cuma diem aja. Cuma sekilas kalo ditanya Ari:
"Menurut kamu gimana, ay?"
"Eh? eng.."
seperti itulah.
Tapi, percakapan cukup maju. Intinya sih penawaran. Pembicaraan cukup disitu. Mereka akan memikirkan dan seterusnya. Gue dan Haruki pun pamit pulang.
"Har,"
"Apa, Ki?"
"Widya cantik, ya..."
Gue cuma senyum tipis aja sambil ngangguk. Gue garuk rambut yang sebenernya ngga gatel.
"...kalo dia ngga cemberut kayak gitu. Dia ngga suka, ya, sama aku?"
Gue berhenti dari jalan gue. Motor yang gue parkirin tinggal beberapa meter di depan padahal. Tapi, entah ada apa. Gue berhenti.
"Kok lo bisa mikir gitu, Ki?"
"Atau dia lagi sakit?"
"Ah, mungkin emang lagi ngga enak badan, Ki,"
Gue pun meneruskan jalan gue. Entah kenapa, gue punya firasat, waktu itu gue lagi diliatin Widya atau semacamnya. Haruki jalan di belakang gue, ngga sebelah-sebelahan. Tapi, entah kenapa, gue kayak diliatin dan itu cara ngeliat yang ngga enak. Ah, sudahlah, mungkin gue aja yang ke-GR-an, pikir gue waktu itu.
"Ki,"
"Apa, Har?"
"dibanding Widya...,"
"ya? ya?"
"lo masih lebih cantik tau,"
diem.
"Haruki, kok diem? hahahaha malu lo? hahahahaha. Bercandaa kaliii hahahaha"
Haruki emang bukan Widya. Gue ngga mendapat gebukan atau tonjokan atau cubitan. Dia cuma cemberut. Dan begitulah yang bikin lo tambah cantik, Ki
Malam di hari itu juga, gue barusan beli sesuatu ke toko buku Gr*media, bareng Haruki tentunya. Tetiba, wassap itu datang seperti teenlit.
"Har, lagi di mall (suatu mall di kota gue) ya?"
"Iya, napa Wid?"
"mampir dong ke (suatu kedai kopi di mall itu)"
"ok"
Gue ber-wassap-an sama dia udah kayak rekan bisnis emang. Tanpa emoticon dan kata-kata yang panjang misal "okeeee,". Gue ngga ngajak Haruki, gue langsung ngegeret dia menuju TKP. Haruki pasrah dan ngga ngelawan ketika tangannya secara paksa gue tarik. Secara teknis, kita emang lagi gandengan sih. Yah, gue ngegandeng tanpa perasaan apa-apa. sama sekali. yesmas.
Gue sampe di tempat yang dimaksud. Haruki bingung gue mau ngapain disana. Dan gue menangkap sosok Widya--sendiri duduk di salah satu pojok--lagi asik main gadgetnya.
"Ei, ada apa?"
"eh, lo. Duduk,"
Suasana yang agak kurang enak dulu disana. Haruki celingukan ngga jelas. Gue juga. Gue yang tadi sore berasa ngga berani natap Widya di kafe itu, berani aja diajak ketemu di sini. Entahlah, mungkin semacam alam bawah sadar gue yang ngelangkahin kaki gue.
"Ngga sama Ari, Wid?"
gue mencoba memecah dinginnya suasana diantara kepulan minuman panas gue sama Haruki yang baru datang.
Widya ngegeleng doang. Gue semacam menangkap ada yang aneh disini.
"Lo kenapa, Wid?"
lantas kebayang kekhawatiran-kekhawatiran tentang berapa lama pernikahan membuat pasangan bahagia menjadi kurang bahagia. Gue juga curiga kalo Haruki ngga ada disitu, Widya udah nangis.
"Kamu ngga suka ya Wid aku disini?"
Haruki si anak ceplas-ceplos yes banget. Intinya banget. Gue neguk ludah. Seriusan, ini ngga enak banget suasanya.
"Aku pergi dulu, ya, Wid. Mungkin, kalian mau bicara berdua aja,"
enjiiir, drama banget emang waktu itu hahahaha. yah, emang salah gue sih langsung narik begitu aja Haruki ke tempat ini.
"ngga usah pergi, Har. Lo sini aja. Kalo lo cabut, gue juga cabut. Nah, sekarang ada apa Wid lo manggil gue kesini?"
Diam cukup lama. Sampai akhirnya, air mata Widya yang ngebuka percakapannya waktu itu. Buat gue, suasana begitu sumpek, sampe-sampe rasanya air mata gue mau meleleh juga.
catatan, Widya ngomong itu sambil nangis ketahan-tahan. Gue sama Haruki bengong liat dia dramatis abis. Hmmm.. Gue rasa dia terlalu banyak nonton korea, atau semasa SMP dulu, dia suka novel teenlit. Agak lama sampe tangis Widya agak reda. Tangis yang dia tutupin pake poninya itu. Haruki nyenggol gue berkali-kali tanda supaya gue meluruskan sesuatu. Gue senggol balik dia. Gue tau, tapi harus di posisi yang pas, misalnya ketika Widya buang ingusnya yang super meler kalo lagi nangis itu hehehee.
"Eeng, gini ya Wid.. Haruki emang lagi tinggal di tempat gue. Tapi, dia bukan pacar gue. Gue malah ngga tau deh kalo Haruki pernah pacaran hahaha. Dia baru resign dari kerjaannya. Sampe dia punya rencana selanjutnya, dia nebeng di gue sambil bantu-bantu usaha gue.
Ohya, kita emang deket banget. Waktu SMA, gue sebangku sama dia kelas dua ama kelas tiga. Dia murid pindahan dan gue temen pertamanya. Orang tua kita juga udah kayak sodara. Gue ngga ada kepikiran buat macarin si Haruki ini hahaha. Adanya gue malah tempat sampah curhat soal sodaranya hahaha. Gitu juga, Haruki juga jadi tempat sampah curhat gue selama ini hahaha."
Gue berharap Widya semacam kecele terus nonjok gue kayak biasanya. Dia seka air mata sama ingusnya. Terus senyum maksa banget.
"Gue tambah lega kalo begitu. Hubungan lo udah lebih daripada sekadar pacaran. Bagusnya langsung aja lo nikah juga. Apa kita barengan aja nikahnya? hahahah"
Gue dan Haruki bengong. Kayaknya si Widya ini salah nangkep atau gimana. Gue gagal paham
Habis itu, Widya seruput minumannya yang pastinya udah lebih dingin duluan terus keluarin sejumlah uang, terus taro uangnya di meja.
"Nah, ini gue bagian gue ya. Ohya, gue cabut dulu ya. Kan calon manten ngga boleh pulang terlalu malem. Balik ya guys. dah"
habis itu Widya cabut begitu aja. Gue bingung dengan sangat. Apakah yang terjadi ini
Gue liatin Haruki. Dia juga begitu. Kita pandang-pandangan. Dan ini jadi topik kita serius malam ini. Gue sampe mesen dua gelas lagi.
Ini dia notulen diskusi--lebih tepatnya perdebatan gue sama Haruki soal keanehan Widya yang barusan
dan gue sama Haruk diusir karena jam tutup toko udah datang. Pertanyaan besar begitu menggantung. Apa sebab Widya begitu tadi ya? hmmmmm.
"Duh, Har, tunggu sebentar. Sepatu aku mau copot,"
"Yoo,"
Haruki berdiri satu kaki, tangannya megang lengan atas gue... Gue diem, gue malu-malu begitulah
Rasanya perasaan gue ke Haruki semakin dalem waktu itu......
"Nih, Har, kenalin. Ari,"
Gue senyum tipis lantas menyambut salaman dari pria yang nyodorin tangannya duluan itu. Salamannya mantap, hangatnya terasa. Gue cuma seklias aja ngeliat Widya di sore itu. Gue buang muka dengan sengaja dan natap Ari
eeh, ngga maho kok gan
"Harsya," gue senyum ke calon kapten pesawat itu. "dan... eh, kenalin, nih, temen SMA gue.. Haruki,"
Haruki nongol dari belakang gue. Kemudian, satu-satu Haruki ngenalin dirinya ke pasangan calon pengantin itu. Kondisinya, waktu itu rambut Haruki udah berubah ke item, balik lagi. Ya, iyalah, dia kan tinggal di rumah gue. Bisa heboh se-RW kalo di rumah gue ada orang yang kepalanya merah gitu huehehe
Sekali lagi, gue ngga ngeliat gimana muka Widya waktu itu. Gue cuma mereka-reka, apa yang bakal Widya bilang, atau seengga-engganya dia pikir, soal gue bawa Haruki sore ini.
".. gue sama Haruki partneran, dia temen SMA gue. sebangku 2 tahun. Dia jago masak loh. hehe" --padahal gue ngga pernah tau Haruki bisa masak, yang gue tau, Haruki jago ngudek semen.
Maksud gue bilang begitu, selain bikin suasana cair, gue pengen mengakomodir ekspektasi-ekspektasi negatif Widya ke gue atau ke Haruki. Misalnya, "Oh, jadi ini cewek baru lo? Hebat juga, lho. Katanya, di pantai cinta sama gue, tapi lo pacaran ama Gadis. Katanya lo barusan putus, sekarang udah jadian lagi ya? Wih, hebat" dan semacamnya, semacamnya.
"Wah, bagus dong kalo lo jadiin partner hidup lo. Hehe"
Jegeer!! Maksud Ari memang baik, menjodohkan. Kalau saja kondisinya Widya bukan siapa-siapa gueeeh hahaha. Gue sekali lagi, terlalu habis keberanian gue untuk mandang Widya, walaupun sekilas.
"Ayok, ayok pada duduk. Mbaak! Pesen lagi!"
Kita pun duduk di kursi masing-masing. Gue baru ngeh pas nulis ini, gue mesen minuman yang sama pas gue ketemu Widya habis nguntit dia di Januari kemaren itu. Tiramisu. Aaah, gue ngarep semoga Widya ngga nyangka gue ngga bermaksud apa-apa mesen tiramisu itu.
"Iya, Ri. Gue denger Juni. Dimajuin bener?" gue mencoba beramah-tamah untuk masuk ke inti pertemuan ini.
"Iya, bro. Bapak gue udah kebelet banget gue kimpoi. Yaa, bapak gue juga lagi sakit, sih. Kebeneran ada temen gue yang pengen kimpoi, tapi satu-dua hal gagal, padahal udah bayar DP gedung. Curhat ke gue. Terus gue coba iseng ngomong ke bapak gue sama Widya. Eh, mereka berdua iya. Yaah, sekalian bantuin temen. Untung pas nego ke gedungnya, mereka sih bisa aja kalo pindah ke gue. Yaudah, deh, lagian Juni puasa juga."
Hmmm.. kalo gue perhatiin-perhatiin, Ari ini ramah bener. Jauh banget dari ekspektasi Widya yang selama ini bikin gue terpapar informasi kalo penerbang itu begini dan begitu. Beneran deh. Ari ramaah bener. Dan pasti dia tegap, duduknya tegak, dan ngga ada gumpalan buncit di perut kek gue
Satu hal yang gue ngga nyaman ketika dia mulai ngeluarin rokok. Gue yang masih kaku gimana gitu, ngga bisa bilang ngga untuk ngirup asep racun itu.
"Rokok, Har?"
"Sori, gue ngga ngerokok, Ri,"
"Wah, oke."
Pertemuan berjalan lancar. Gue menawarkan beberapa pilihan. Gue dan Ari yang mendominasi obrolan ini. Haruki dan Widya cuma diem aja. Cuma sekilas kalo ditanya Ari:
"Menurut kamu gimana, ay?"
"Eh? eng.."
seperti itulah.
Tapi, percakapan cukup maju. Intinya sih penawaran. Pembicaraan cukup disitu. Mereka akan memikirkan dan seterusnya. Gue dan Haruki pun pamit pulang.
***
"Har,"
"Apa, Ki?"
"Widya cantik, ya..."
Gue cuma senyum tipis aja sambil ngangguk. Gue garuk rambut yang sebenernya ngga gatel.
"...kalo dia ngga cemberut kayak gitu. Dia ngga suka, ya, sama aku?"
Gue berhenti dari jalan gue. Motor yang gue parkirin tinggal beberapa meter di depan padahal. Tapi, entah ada apa. Gue berhenti.
"Kok lo bisa mikir gitu, Ki?"
"Atau dia lagi sakit?"
"Ah, mungkin emang lagi ngga enak badan, Ki,"
Gue pun meneruskan jalan gue. Entah kenapa, gue punya firasat, waktu itu gue lagi diliatin Widya atau semacamnya. Haruki jalan di belakang gue, ngga sebelah-sebelahan. Tapi, entah kenapa, gue kayak diliatin dan itu cara ngeliat yang ngga enak. Ah, sudahlah, mungkin gue aja yang ke-GR-an, pikir gue waktu itu.
"Ki,"
"Apa, Har?"
"dibanding Widya...,"
"ya? ya?"
"lo masih lebih cantik tau,"
diem.
"Haruki, kok diem? hahahaha malu lo? hahahahaha. Bercandaa kaliii hahahaha"
Haruki emang bukan Widya. Gue ngga mendapat gebukan atau tonjokan atau cubitan. Dia cuma cemberut. Dan begitulah yang bikin lo tambah cantik, Ki

***
Malam di hari itu juga, gue barusan beli sesuatu ke toko buku Gr*media, bareng Haruki tentunya. Tetiba, wassap itu datang seperti teenlit.
"Har, lagi di mall (suatu mall di kota gue) ya?"
"Iya, napa Wid?"
"mampir dong ke (suatu kedai kopi di mall itu)"
"ok"
Gue ber-wassap-an sama dia udah kayak rekan bisnis emang. Tanpa emoticon dan kata-kata yang panjang misal "okeeee,". Gue ngga ngajak Haruki, gue langsung ngegeret dia menuju TKP. Haruki pasrah dan ngga ngelawan ketika tangannya secara paksa gue tarik. Secara teknis, kita emang lagi gandengan sih. Yah, gue ngegandeng tanpa perasaan apa-apa. sama sekali. yesmas.
Gue sampe di tempat yang dimaksud. Haruki bingung gue mau ngapain disana. Dan gue menangkap sosok Widya--sendiri duduk di salah satu pojok--lagi asik main gadgetnya.
"Ei, ada apa?"
"eh, lo. Duduk,"
Suasana yang agak kurang enak dulu disana. Haruki celingukan ngga jelas. Gue juga. Gue yang tadi sore berasa ngga berani natap Widya di kafe itu, berani aja diajak ketemu di sini. Entahlah, mungkin semacam alam bawah sadar gue yang ngelangkahin kaki gue.
"Ngga sama Ari, Wid?"
gue mencoba memecah dinginnya suasana diantara kepulan minuman panas gue sama Haruki yang baru datang.
Widya ngegeleng doang. Gue semacam menangkap ada yang aneh disini.
"Lo kenapa, Wid?"
lantas kebayang kekhawatiran-kekhawatiran tentang berapa lama pernikahan membuat pasangan bahagia menjadi kurang bahagia. Gue juga curiga kalo Haruki ngga ada disitu, Widya udah nangis.
"Kamu ngga suka ya Wid aku disini?"
Haruki si anak ceplas-ceplos yes banget. Intinya banget. Gue neguk ludah. Seriusan, ini ngga enak banget suasanya.
"Aku pergi dulu, ya, Wid. Mungkin, kalian mau bicara berdua aja,"
enjiiir, drama banget emang waktu itu hahahaha. yah, emang salah gue sih langsung narik begitu aja Haruki ke tempat ini.
"ngga usah pergi, Har. Lo sini aja. Kalo lo cabut, gue juga cabut. Nah, sekarang ada apa Wid lo manggil gue kesini?"
Diam cukup lama. Sampai akhirnya, air mata Widya yang ngebuka percakapannya waktu itu. Buat gue, suasana begitu sumpek, sampe-sampe rasanya air mata gue mau meleleh juga.
Quote:
catatan, Widya ngomong itu sambil nangis ketahan-tahan. Gue sama Haruki bengong liat dia dramatis abis. Hmmm.. Gue rasa dia terlalu banyak nonton korea, atau semasa SMP dulu, dia suka novel teenlit. Agak lama sampe tangis Widya agak reda. Tangis yang dia tutupin pake poninya itu. Haruki nyenggol gue berkali-kali tanda supaya gue meluruskan sesuatu. Gue senggol balik dia. Gue tau, tapi harus di posisi yang pas, misalnya ketika Widya buang ingusnya yang super meler kalo lagi nangis itu hehehee.
"Eeng, gini ya Wid.. Haruki emang lagi tinggal di tempat gue. Tapi, dia bukan pacar gue. Gue malah ngga tau deh kalo Haruki pernah pacaran hahaha. Dia baru resign dari kerjaannya. Sampe dia punya rencana selanjutnya, dia nebeng di gue sambil bantu-bantu usaha gue.
Ohya, kita emang deket banget. Waktu SMA, gue sebangku sama dia kelas dua ama kelas tiga. Dia murid pindahan dan gue temen pertamanya. Orang tua kita juga udah kayak sodara. Gue ngga ada kepikiran buat macarin si Haruki ini hahaha. Adanya gue malah tempat sampah curhat soal sodaranya hahaha. Gitu juga, Haruki juga jadi tempat sampah curhat gue selama ini hahaha."
Gue berharap Widya semacam kecele terus nonjok gue kayak biasanya. Dia seka air mata sama ingusnya. Terus senyum maksa banget.
"Gue tambah lega kalo begitu. Hubungan lo udah lebih daripada sekadar pacaran. Bagusnya langsung aja lo nikah juga. Apa kita barengan aja nikahnya? hahahah"
Gue dan Haruki bengong. Kayaknya si Widya ini salah nangkep atau gimana. Gue gagal paham

Habis itu, Widya seruput minumannya yang pastinya udah lebih dingin duluan terus keluarin sejumlah uang, terus taro uangnya di meja.
"Nah, ini gue bagian gue ya. Ohya, gue cabut dulu ya. Kan calon manten ngga boleh pulang terlalu malem. Balik ya guys. dah"
habis itu Widya cabut begitu aja. Gue bingung dengan sangat. Apakah yang terjadi ini
Gue liatin Haruki. Dia juga begitu. Kita pandang-pandangan. Dan ini jadi topik kita serius malam ini. Gue sampe mesen dua gelas lagi.
Ini dia notulen diskusi--lebih tepatnya perdebatan gue sama Haruki soal keanehan Widya yang barusan
- Widya cemburu : ngga mungkin dia cemburu ama lo. Hahahaha : bisa jadi, kalian pernah main asmara kan? : ah, tapi masa segitunya : bisa aja Harsya, perasaan wanita begitu rapuh : aah, wanita mah sulit dimengerti : ets, aku wanita. ibumu wanita : makanya ya dirumah suka marah-marah. haruki cemberut. 1 : 0
- Widya lagi dapet kali : bisa jadi, galau bulanan emang parah yah hahaha : kamu ngga ngerasain sih : eh, emang lo ngerasain sakitnya disunat, Ki? : ngga, tapi aku bakal tau sakitnya ngelahirin. Katanya sakit banget loh itu. Ngga sesakit pas disunat : Ets, katanya masih lebih sakit kejepit resleting loh : ih, ngelahirin yang mempertaruhkan nyawa disamain sama kejepit resleting. ngga banget kamu, Har. Haruki cemberut. 2 : 0
- Widya cemburu? ngga mungkin, Ki. Dia udah mau nikah loh. Kenapa juga masih cemburu soal ini? : Sama, aku juga bingung Har
. Kita berdua cemberut bingung. 3 : 1
- Emang lo cantik, Ki. sekarang lo urus ya makan gue, baju kotor gue : dih, ogah, emang aku pembantu kamu apa? Gue cemberut. 3 :2.
- Mungkin dia deg-degan pra nikah, jadinya serba bete gitu dia : dih, bisa-bisanya lo ngira-ngira begitu, Ki. Pacaran aja belum pernah : Ya, udah, aku pacaran sama kamu aja gimana, Har? : Eh? Eh? yang bener, Ki? : Week, ngarepp. Gue cemberut lagi. 3 : 3.
dan gue sama Haruk diusir karena jam tutup toko udah datang. Pertanyaan besar begitu menggantung. Apa sebab Widya begitu tadi ya? hmmmmm.
"Duh, Har, tunggu sebentar. Sepatu aku mau copot,"
"Yoo,"
Haruki berdiri satu kaki, tangannya megang lengan atas gue... Gue diem, gue malu-malu begitulah
Rasanya perasaan gue ke Haruki semakin dalem waktu itu......vchiekun dan jentojento memberi reputasi
2
