Kaskus

Food & Travel

yogiyogiyogiAvatar border
TS
yogiyogiyogi
[FR] 31 DAYS EURO TRIP (23/3/15- 23/4/15) - 9 COUNTRIES, 16 DESTINATIONS!
Halo agan-agan sekalian, pada kali ini, saya akan membagi pengalaman Euro Trip saya selama 1 bulan dalam format Backpacker ke pada agan-agan kaskus.

Sebenarnya tulisan ini sudah saya muat di blog saya (yang juga terbilang masih baru) di:
docpacker.wordpress.com
Namun, alangkah senangnya jika saya bisa secara personal berbagi cerita perjalanan ini kepada agan-agan sekalian. Selama satu bulan (23 Maret-23 April 2015), saya dan 3 orang teman mencoba backpacking ke 9 negara dan 13 destinasi di Eropa, yang diantaranya adalah:
1. Amsterdam, The Netherland
Part 1 - Colder Weather, Vibrant City
Part 2 - I Amsterdam
2. Brussels, Belgium
Pis and Bomb
3. Bruges, Belgium
Get Lost in The Fairytale
4. Paris, France
Part 1 - City of Light, City of Love (Part 1)
Part 1 - City of Light, City of Love (Part 2-End)
Part 2 - A Day for A Bucketlist (Part. 1)
Part 2 - A Day For a Bucketlist (Part 2-End)
Part 3 - Vacancy With the Dead
Part 4 - How To End Paris?
5. Barcelona, Spain
Part 1 - Diamond In Southern Europe
6. Athens, Greece
7. Santorini, Greece
8. Rome, Italy
9. Pisa, Italy
10. Cinque Terre, Italy
11. Verona, Italy
12. Milan, Italy
13. Venice, Italy
14. Ljubljana and Lake Bled, Slovenia
15. Budapest, Hungary
16. Prague, Czech Republic


Tulisan saya lebih bersifat naratif dan personal, bukan semata-mata laporan mengenai biaya, destinasi, dan sebagainya. Saya berusaha memberikan perspektif dalam tulisan saya sehingga lebih berkesan dan mungkin berbeda dengan tulisan report lainnya. Untuk agan-agan yang ingin bertanya lebih lanjut soal teknis perjalanan dipersilahkan dan saya akan menjawab dengan senang hati emoticon-Malu (S)

Untuk pertama, saya akan berbagi dulu mengenai pengantar mengapa saya memilih untuk backpacking selama sebulan di Eropa, check it out guys emoticon-Malu (S) emoticon-Malu (S)
Polling
0 suara
Tulisan Perjalanan di kota mana yang paling ingin agan baca?
Diubah oleh yogiyogiyogi 20-08-2015 16:30
tata604Avatar border
tata604 memberi reputasi
1
35.4K
148
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Cerita Pejalan Mancanegara
Cerita Pejalan Mancanegara
KASKUS Official
862Thread2.6KAnggota
Tampilkan semua post
yogiyogiyogiAvatar border
TS
yogiyogiyogi
#74
PROJECT EUROPE: PARIS PART. 1- CITY OF LIGHT, CITY OF LOVE (Part.1)
PROJECT EUROPE: PARIS PART. 1- CITY OF LIGHT, CITY OF LOVE.

kaskus-image

“If you are lucky enough to have lived in Paris as a young man, then wherever you go for the rest of your life, it stays with you, for Paris is a moveable feast.” – Ernest Hemingway


A moveable feast…Semua orang tentu tidak asing dengan nama Paris, dengan sungai Seine nya yang membelah di tiap penjuru, menara Eiffel-nya yang tegak berdiri sebagai salah satu landmark yang paling sering terpampang di lembar-lembar majalah, tontonan di televisi, dekorasi ruang kafe, hingga hal-hal kecil seperti kertas kado dan kertas binder. Tak ada benda yang tak terjamah atau paling tidak terinspirasi oleh invasi kecantikan landmark-landmark Paris yang familiar di mata. Paris adalah primadona bagi mereka yang bermimpi untuk menginjakkan kaki di benua biru. Reputasinya sudah tak terelakkan sebagai salah satu kota yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan di seluruh dunia, mulai dari para pengembara yang mencari peruntungan, para penjelajah yang telah lama bermimpi, para pemimpi yang getol membayangkan romantismenya, hingga para seniman yang mengincar inspirasi dari tiap sudutnya. Paris adalah sebuah nama yang tenar dibicarakan, ramai diinginkan. Begitu pula dengan saya, mimpi tentang paris telah tumbuh sejak saya pertama kali mampu berargumentasi di usia kanak. Paris adalah sebuah kata yang menumbuhkan cita-cita saya untuk menjelajah Eropa, untuk tidak berhenti bermimpi. Paris adalah simply, paris, tidak terbantahkan, tidak ambigu, tidak terelakkan. Kota yang menyimpan harta karun sejarah dunia ini begitu tinggi posisinya di kotak mimpi saya, berada di runut satu bucket list yang sejak kecil mulai ditulis dengan iseng. Hingga ketika akhirnya saya menapakkan kaki di The City of Light, saya masih sulit percaya, adrenalin yang memompa, mengeksitasi tiap sel tubuh saya. Inilah momen ketika mimpi saya pun menjadi nyata.

Perkenalan kami dengan Paris sayangnya dimulai dengan tidak ramah, tiap traveler di jalan yang kami jumpai marak memberi komentar negatif mengenai kota yang memiliki reputasi tinggi di bumi ini. Lin, seorang backpacker profesional asal Kanada di Bruges berkomentar “Paris is dirty, and it’s expensive”, Sarah, seorang Volunter UNICEF asal Italia yang kami temui di Bus dari Brussels ke Paris berkomentar “Paris is extremely pricey and exhausting, a week in Paris.. i spent more than a month in Italy”, Joao, seorang solo backpacker asal Brazil, sembari meneguk Bir di sebuah Bar sewaktu di Amsterdam juga berkomentar “People on Paris are rude to foreigner, and there’s a lot of scams too, watch your back dude”, serta tidak lupa banjiran pernyataan-pernyataan negatif di seluruh sudut Google mengenai negativisme pengalaman melancong di Paris, mulai dari warganya yang enggan berbahasa Inggris dengan orang asing, hingga maraknya kriminalitas yang terjadi pada para pelancong yang sedang sial. Apalagi belum lama ini, terjadi insiden penembakan di Charlie Hebdo Paris yang sempat menjadi kasus panas di tingkat global, yang gosipnya meningkatkan tendensi islamophobia di Paris. Berbekal seluruh stigma negatif ini, sedikit rasa takut menghempas excitement saya ketika mencapai Paris. Kami mulai mencoba berkenalan dengannya, dan tampaknya, Paris memang sulit untuk berkenalan dengan para pengelana baru.

Apartemen kecil yang kami sewa selama 5 hari di Paris terletak di pinggir kota, berada di area Max Dormoy yang ternyata merupakan daerah dengan populasi imigran yang cukup tinggi di Paris. Keluar dari stasiun metro, kami sudah disambut dengan perkelahian antar beberapa imigran di seberang jalan, membuat kami was-was dan bergidik seraya cepat-cepat berjalan mencari lokasi apartemen yang sebelumnya telah diberitahukan oleh si empunya apartemen. Jalanan yang gelap dan kotor kami lewati, di kejauhan terdengar suara pecahan kaca dari perkelahian tadi, entah apa yang sedang terjadi disana, saya tak berani membayangkan. Apartemen pun akhirnya kami temukan, sederhana dan sempit, kesan pertama kami. Maklum, untuk harga sekitar 290 Euro selama 5 hari tinggal, kami harus puas dengan akomodasi yang kami dapatkan di kota yang memang memiliki biaya tinggal sangat mahal seperti Paris. Maka, lelah mengakhiri hari, terlindung dan aman didalam bilik apartemen, kami pun terlelap. Siap untuk mengarungi Paris keesokan harinya, untuk mencoba menggalinya, mengenalinya lebih dalam lagi.

Penjajakan kami dengan Paris lagi-lagi dilalui dengan insiden yang kurang mengenakkan keesokan harinya. Kami memutuskan untuk memulai perjalanan hari ini dari Arc De Triomphe, salah satu monumen yang paling terkenal di Paris, yang tentu saja sudah tidak asing di telinga tiap individu di seluruh penjuru dunia. Arc De Triomphe terletak di tengah Place de L’Etoile, sebelah barat Champ Elysees, yang merupakan sebuah distrik utama dan pusat perbelanjaan paling elit di Paris. Arc de Triomphe yang dibangun pada tahun 1806 ini merupakan sebuah monumen bersejarah yang didirikan untuk mengapresiasi kemenangan perang Sang Napoleon, serta para pahlawan yang gugur pada perang tersebut. Arc de Triomphe berdiri dengan kokoh dan tegak, seperti tugu selamat datang bagi para wisatawan yang siap memulai perjalanan untuk meraup inspirasi di Paris. Ia kokoh berbalut dengan marmer dengan desain neoklasik yang dipenuhi dengan skulptur-skulptur yang menggambarkan perjuangan dan sejarah Paris, mulai dari Perang Napoleon hingga revolusi Perancis. Saya terpaku menghembus napas, berdiri ditempat ini seakan menggetar raga, membisikkan saya bahwa mimpi telah terwujud. Maka, saya tak melewatkan untuk mengambil kesempatan menyebrang ke sebuah spot persimpangan di tengah jalan yang tepat sejajar segaris dengan Arc De Triomphe, berfoto, dan bersikap tidak peduli dengan dentuman klakson dan imej-imej raut tidak ramah dari para pengemudi mobil yang lalu lalang memandangi turis norak yang dengan konyolnya tersenyum lebar, bersikap absurd melintang di tengah persimpangan. Puluhan turis mengikuti jejak saya untuk menyebrang ke tengah persimpangan, menyadarkan saya yang larut dalam percakapan batin dengan sang Arc. Lantas, dari kejauhan saya melihat Bayu sedang dikerumuni oleh beberapa remaja imigran yang membawa-bawa papan kertas, Bayu tampak kesal sehingga saya kemudian menhampirinya, mendapati bahwa sebuah scam yang sebelumnya memang marak ditemukan di Paris, sedang terjadi pada teman saya ini.

Spoiler for Standing in front of Arc De Triomphe, My dream comes true:


Gerombolan remaja imigran ini membawa papan-papan kertas yang seluruhnya tertulis dalam bahasa Perancis, menyuguhkannya pada turis-turis dan meminta kita untuk membubuhkan tanda tangan di kertas tersebut. Saya lupa memberi tahu Bayu sebelumnya, bahwa tindakan ini adalah sebuah scam yang berbahaya, sesungguhnya kertas tersebut berisi kontrak untuk memberi sumbangan senilai 100 euro pada mereka yang dengan polosnya membubuhkan tanda tangan disitu. Bayu akhirnya terlanjur membubuhkan tanda tangan di kertas jahanam tersebut, dan kemudian dikejar oleh kawanan ini ketika ia menolak untuk memberi uang. Bahkan, dengan nekatnya seorang dari mereka berani untuk merogoh isi kantong Bayu, berniat untuk mencopet dan mencuri uang, sehingga kami pun refleks geram dan menghindar, segera keluar dari area Arc ke arah Champ Elysees. Kawanan imigran ini dari kejauhan meneriakkan kata-kata kotor kepada kami, yang cukup kotor untuk membenarkan kami memberi bogem mentah diwajah remaja-remaja nekat ini, tapi for the greater good, kami memilih untuk meneruskan perjalanan ke Champ Elysees. Paris lagi-lagi tidak membiarkan kami untuk berkenalan dengan ramah, kesan awal yang buruk untuk membuat kami jatuh cinta dengan kota sang Napoleon ini.

Champs-Elysses yang merupakan salah satu kompleks jalanan paling terkenal di dunia ini melintang dengan elegan sejauh pelupuk memandang, mengejutkan bahwa hingga akhir abad ke 18, jalanan ini merupakan hanyalah sebuah lapangan yang dipenuhi dengan sapi dan pengembalanya. Kini, ratusan shopping outlet berjejer rapi di tiap sudutnya, seluruh brand fashion dari yang mampu merogoh kocek hingga bangkrut sampai yang terjangkau untuk para traveler melarat terpampang jelas di tiap sudut. Restoran, area resital dansa, hingga bioskop dengan gaya neoklasik juga tampak mentereng dan mengintimidasi para wisatawan yang berjalan disampingnya. Ribuan turis terhambur keluar masuk dari tiap toko, dengan outfit mewah menenteng belanjaan yang harganya mampu memberi makan satu desa di pedalaman Indonesia, konsumerisme tak kenal batas, pikirku. Kamipun memilih untuk sarapan terlebih dahulu di McDonald, yang juga penuh sesak dengan lalu lalang manusia meski masih pagi. Selain memesan burger, Saya mencoba Macaroons McDonald, kudapan manis beraneka rasa khas Perancis yang warna-warni dan berbentuk seperti burger mini, rasanya enak, meski tidak seautentik toko-toko Macaroons elit seperti La Duree yang harganya dua kali lipat. Disini, lagi-lagi kami dihampiri oleh beberapa pengemis (suprisingly, mereka bahkan tersebar hingga di dalam McD), yang mencoba meminta makanan dan uang pada kami. Para pengemis disini benar-benar agresif, membuat ngeri sekaligus pilu, mengingat Paris merupakan salah satu ibukota yang paling maju di Dunia. Or.. this is actually a normal problems across big city.. well..

Spoiler for McDonald Macaroons. Delicious!:


Puas menyantap sarapan, gadis-gadis memilih untuk masuk kedalam toko kosmetik Sephora di Champ Elysees, yang agaknya merupakan salah satu outlet Sephora terbesar di Paris. Ribuan perempuan rela berdesak-desakan mengeluarkan uang untuk produk-produk kosmetik yang kini menjadi sebuah lahan industri terbesar di dunia. Jutaan produk-produk kosmetik terpampang di etalase toko, memusingkan kepala saya, namun menggelapkan mata Ayu dan Fiska, yang sebelumnya berikrar untuk menjadi backpacker selama perjalanan kali ini. Mereka bahkan menghabiskan waktu sekitar satu jam didalam toko ini, membuat geram kami, pria-pria yang gusar dengan epitomi belanja kosmetik yang sangat konsumtif ini. Mereka pun akhirnya keluar dengan kantong-kantong belanja kosmetik kecil, tak henti-hentinya melirik kiri kanan di tiap etalase fashion outlet, dan beberapa kali terjerat untuk masuk kedalamnya. Dua jam total kami habiskan meladeni luapan belanja para gadis (yang kebanyakan waktunya keluar toko dengan tangan kosong dan hanya mampu berdalih menutup mata melihat harga produk-produk fashion yang luar biasa mahalnya), hingga akhirnya berhasil mencapai ujung pertigaan Rond Point dan Place de la concorde, yang dihiasi dengan taman-taman yang tertata rapi dengan pohon-pohon chesnut yang berjejer memberi kesan anggun nan cantik, kontras dengan area Max Dormoy tempat kami tinggal di pinggir kota.

Spoiler for Me, Strolling around the Champs:

Spoiler for Kerumunan orang di Champ Elyssees:

Spoiler for Sephora, where thousands transactions made on a single day!..:


Kami memilih untuk berjalan kaki di sepanjang historic axis (L’axe Historique) yang membentang sejauh 4km dari Arc De Triomphe hingga Louvre Palaceyang terkenal dengan museumnya (yang rencannya akan kami masuki di keesokan harinya). Cuaca yang berawan dan sejuk sungguh membuat tenang dan relaks, apalagi setelah kekisruhan di awal perjalanan tadi. Pedestrian jalan tertata dengan rapi dan elegan, dihiasi bangunan-bangunan neoklasik Renaissance yang cantik membuka mata. Kami melewati berbagai bangunan-bangunan penting seperti Grand Palais dan Petit Palais yang saat itu sedang ramai dibuka untuk acara Paris Art Fair yang urung kami masuki mengingat harga tiketnya yang mahal (18 euro) dan waktu yang tidak banyak tersedia. Terdapat pula pameran mobil mewah disepanjang jalan yang membuat iri hati anak rantau, serta lalu lalang para warga lokal yang enggan tersenyum, apalagi singgah sebentar untuk membantu memberi tahu arah jalan pada kami yang mencoba membawa keramahan dan kearifan lokal budaya timur apabila tidak mulai bertanya dengan “excusez moi”, benar-benar tipikal Parisian.

Spoiler for Gran Palais of Paris, yang saat ini sedang digunakan untuk Paris Art Fair:

Spoiler for Bunch of Maserati, park like a boss..:


Beberapa lama berjalan, tibalah kami di ujung sungai Seine yang membentang luas membelah Paris, dihubungkan oleh sebuah jembatan besar dengan arsitektur menawan penuh dengan ukiran patung serta lampu-lampu vintage yang rasanya familiar. Ternyata jembatan ini adalah jembatan Pont Alexandre III, yang menjadi set pada film Midnight in Paris karya Woody Allen, dan tentunya familiar bagi kami yang pernah menonton video klip Someone like youmilik Adele yang diambil di sepanjang jembatan ini. Wow! Kami tertegun dengan takjub seraya menyusuri jembatan dengan perlahan, menikmati tiap detil patung-patung Nymph, Cherubs, dan Pegasus yang menghiasi tiap sudut jembatan. Hamparan sungai Seine dengan luas membuka diri pada kami, memamerkan daya tarik keindahannya, mencoba membuat kami jatuh cinta dengan Paris sekali lagi. Fiska mulai melantunkan lagu lawas “La Seine” milik Vanessa Paradis,

She’s resplendent, so confident

La Seine, La Seine, La Seine I realize,

I’m hypnotized La Seine, La Seine, La Seine


ya, kami terhipnotis dengan gemulai penuh percaya diri dari sungai terpenting di wilayah Perancis ini, seperti arteri untuk jantung kota Paris yang anggun, tampak beberapa cruise berlayar melewati sungai membawa para wisatawan yang juga sedang mengagumi lekuk ruang The City of Love.

Spoiler for jembatan Pont Alexandre III, yang menjadi set pada film Midnight in Paris karya Woody Allen:

Spoiler for Fiska, strolling like a Parisian:

Spoiler for Me, reenacting Adele's someone like you:

Dari kejauhan saya melihat sebuah landmark yang berdiri dengan janggal namun tidak asing di kota Paris, Luxor Obelisk, tegak ditengah-tengah kota dengan janggalnya memberi atmosfir mesir kuno di kota yang seharusnya bergaya French Noveauklasik. Saya sendiri sebagai seorang penggemar konspirasi sudah tidak asing dengan kejanggalan ini, senyum tersimpul sambil berpikir apakah benar obelisk ini dibangun dengan tujuan okultisme dan kabbalah, memiliki hubungan dengan illuminati yang seru untuk diperbincangkan di waktu senggang. Seperti melakukan napak tilas konspirasi, saya menyusuri tiap lekuk obelisk melihat ukiran-ukiran hielogryph mesir kuno yang entah berarti apa. Pengaruh mesir kuno tidak hanya sampai disitu, di area Place de la Concorde ini, dibangun air mancur, The Fountain of River Commerce and Navigation, yang dihiasi dengan patung-patung triton kuno dan arsitektur yang juga berbau mesir kuno. Absurditas ini menambah kemolekan dan misteri dari Paris, yang semakin menampakkan misterinya di hari pertama ini.
Spoiler for Luxor Obelisk di Place de la Concorde:

Spoiler for A dad, staring at The Fountain of River Commerce and Navigation, yang dihiasi dengan patung-patung triton kuno dan arsitektur yang juga berbau mesir kuno:

Spoiler for Mickey, Minny, and Obelisk:


Akhirnya, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di Jardin de Tuileries, taman publik seluas 28 hektar yang membentang menghubungkan Place de La Concordedengan kompleks Louvre, kamipun bersantai di pinggir air mancur utama yang menyediakan puluhan kursi-kursi yang melingkar mengelilingi, dipenuhi oleh warga lokal yang duduk-duduk menghabiskan waktu, dari membaca buku hingga menyantap makan siang. Sayangnya, taman yang luar biasa luas ini masih gundul, bunga-bunga baru mulai bertumbuh, menandakan musim semi yang mulai datang menyapa penduduk. Taman dibangun dengan sangat simetris, lagi-lagi dipenuhi oleh patung-patung seni yang mempesona, Paris benar-benar merupakan kota untuk para seniman. Duduk-duduk berkelakar disini seharian saya rasa mampu memberi inspirasi untuk menggambar pun menulis. I wish i could stay longer. Akhirnya, puas bersantai, kami pun kembali berjalan ke ujung taman, tiba di Arc de Triomphe de Carrousel, versi kecil dari Arc de Triomphe di Champ Elysses, menandakan ujung dari Historical Axis yang kami jalani di siang hari berawan ini. Di kejauhan tampak Musee de louvre dipadati oleh antrian pengunjung yang jumlahnya luar biasa banyak, namun kami urung untuk masuk, berencana menyisakan Louvre untuk esok hari.

Spoiler for Bersantai di Jardin de Tuileries:

Spoiler for Patung Queen Catherine:

Spoiler for Panorama jardin de Tuileries:

Menyingkap Paris, menurut kami harus dilakukan dengan cara terbaik, yakni dengan menyusuri Seine River dengan Cruise Ship. Maka, meski waktu sudah menjelang sore, kami memilih untuk tetap berjalan sesuai dengan direktoriLonely Planet ke arah sisi sungai di sebelah Musee de Orsay, yang merupakan tempat untuk lepas landas kapal-kapal untuk sightseeing cruise di Paris. Sayang sekali, sewaktu kami tiba di pinggir sungai, etalase tiket sudah masuk ke closing hours, kami diarahkan untuk membeli tiket di depan tepi sungai di area Menara Eiffel, yang jaraknya sekitar 8 kilometer dari posisi kami saat ini. Kecewa dan kelelahan, kaki mulai ngilu, kami pun pasrah duduk terlentang di pinggir sungai, mengamati para warga lokal yang jogging di sore hari, bersiap untuk french marathon yang akan dilaksanakan minggu depan. Lama kami tertegun mempertimbangkan opsi, sesungguhnya kunjungan ke eiffel baru akan kami mulai di hari ketiga nanti, sementara keinginan untuk menyusuri Seine sudah memenuhi isi kepala. Maka kami mulai mengais energi, mengambil tram untuk lanjut ke Champ de Marse.

Spoiler for Best place to sit around with locals.:

To be continued below..
Diubah oleh yogiyogiyogi 07-06-2015 11:22
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.