Kaskus

Story

PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
When Music Unites Us
When Music Unites Us


Sinopsis:
Dalam lintas waktu yang terus berjalan, perlahan aku terus menyadari bahwa sebuah nada yang telah tergores tak bisa hilang. Bermula dari sebuah sebuah nada progresif yang mengalun, nada-nada ini bercerita mengenai bagaimana musik mempengaruhi kehidupan seorang remaja biasa bernama Iman yang menjalani masa mudanya sebagai pecinta musik, juga sebagai pemain musik.

Musik sebagai bahasa universal menyatukan hati para individu penyuka nada serupa, hingga akhirnya mereka saling terkoneksi karena adanya musik.

Satu dua patah kata awal untuk mengantarkanmu ke duniaku; Satu dua nada untuk membawa jiwamu menembus dimensi lain!

Teruntuk:
Tahun-tahun paling menyenangkan di masa remaja;
Teman-teman dan sahabat-sahabatku;
Penulis-penulis favoritku dan penulis yang membantu memperbaiki tulisanku;
Juga dosen bahasa Inggris-ku dan komunikasi massa yang selalu memberikan semangat;
Hingga untuk kamu yang membuat cerita ini ada.
Kalian adalah referensi musik terbaik dalam hidupku.



P.S : Part-part awal sedang masa konstruksi lagi, gue tulis ulang. Mohon maaf jika jadi agak belang gitu bacanya emoticon-Malu (S)

Quote:


Quote:


Quote:
Diubah oleh Polyamorous 10-09-2017 20:23
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
47K
445
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52.1KAnggota
Tampilkan semua post
PolyamorousAvatar border
TS
Polyamorous
#320
Partitur no. 62


Jika bisa dibilang, tahun 2012 adalah tahun favorit dalam hidupku—Tahun itu memberikan secercah cahaya harapan baru bagi kegelapan bayangan masa depan. Tahun itu kujalani dengan berbagai macam kejadian yang selalu membuatku bisa menikmati setiap detik atau setiap kejadian yang kualami. Baru pertama kali dalam hidupku itu, ada seseorang yang bersedia dengan setia tanpa mengeluh untuk saling berbagi. Ya, akhirnya, aku menemukan seseorang untuk berbagi. Ia berbagi kebahagiaan denganku selama setahun penuh.

Sayangnya, sisa akhir tahun itu kujalani tanpa kehadiran sosok seseorang yang periang dan selalu gembira itu, membuatku rindu kepadanya. Aku tak bisa berbuat banyak, selain ikut berduka bersama dalam kejauhan—terpisahkan jarak dan waktu.

Sisa hari libur itu harus kumanfaatkan sebaik-baiknya untuk melakukan sesuatu, setidaknya aku tidak melamun saja di depan monitor. Soleh mengajakku bersepeda di pagi hari—tetapi lebih sering dimalam hari sampai tengah malam, dan setelah selesai bersepeda, kami menyisakan uang kami untuk membeli jajanan di sebuah supermarket yang menyediakan tempat untuk berkumpul itu. Karena supermarket yang berada di dekat Kp. Melayu itu buka 24 jam, aku dan Soleh biasa berada di sana sampai pukul satu pagi. Kalau sudah capek sekali, jam sebelas malam juga sudah pulang. Tentunya jika mau bersepeda harus membawa kunci rumah agar tidak terkunci dari luar. Jika kami lupa, kami harus memanjat pintu depan yang cukup tinggi—karena pintu depan rumah kami jauh lebih tinggi.

Sekali-sekali, Hamim ikut bergabung bersepeda bersama kami dan menginap di rumahku. Kami bercerita banyak hal tentang hidup kami—di mana Hamim sedari dulu menyukai salah satu perempuan terpintar di kelas—eh tidak, mungkin diangkatan kami. Lalu Soleh yang masih betah menjomblo, dan ia sangat tertarik dengan cerita mengapa aku bisa mempunyai hubungan dengan Tasya.

Ketika kami sedang saling bertukar bercerita di dalam kamarku, Soleh dengan santainya menyetel sebuah lagu pelan dari Guns ‘N Roses yang menjadi favoritnya—favorit kami juga—menemani malam kami itu, menemani hujan deras di malam hari yang datang terus menerus.

Jika siang menjelang sore esok hari tak hujan, kami berencana untuk berkeliling dengan sepeda sampai sekitaran bundaran HI, dan mengajak Adnan yang juga menyukai bersepeda. Kudengar, ia baru putus dengan kekasihnya yang juga memiliki selera musik yang menurutku cukup bagus, Nabilah namanya. Ia dua tahun lebih muda dari kami. Kabarnya juga ia ingin pindah Sekolah karena tak tahan dengan bully-an di angkatannya pada semester dua nanti.

***


Siang itu tak hujan, juga tak ada sinar terik matahari yang menyengat menyinari bumi layaknya musim kemarau. Matahari bisa dibilang masih malu untuk menampakkan wujudnya. Melihat cuaca itu, kami segera berangkat pada siang harinya untuk bertemu dengan Adnan di sebuah Supermarket persis berada di sebelah Taman Menteng.

Hari itu Hamim tak menginap di rumahku, sehingga kami harus menjemputnya di rumahnya yang juga tak jauh dari kisaran daerah Menteng, karena ia mengajak untuk berjalan bersama menuju tempat janjian dengan Adnan. Soleh tak berani masuk ke dalam rumah Hamim karena di rumahnya ada anjing penjaga—yang terkadang membuatku takut juga (sampai-sampai ia pernah lari dan memelukku ketika ia belum tahu ada anjing di dalam rumah itu!).

Kami pun segera menuju ke tempat Adnan yang masih menunggu di Supermarket tersebut. Suasana yang kusuka dari daerah ini adalah suasananya yang tenang sekali, entah mengapa—mungkin karena banyak tanaman yang mengelilinginya, terkadang membuatku teringat tentang Tasya ketika kami mampir ke tempat ini merayakan satu tahunnya hubungan kami ini (yang terkesan pendek, namun hari-hari dalam menjalaninya penuh dengan hal tak terduga).

Kebetulan kami sampai ke Supermarket itu ketika hujan turun dengan derasnya sehingga kami harus menunggu di lantai atas—melihat hujan dari balik kaca yang basah dan berembun karena terkena hujan. Kejadian itu semakin membuatku rindu kepada Tasya. Ah, sudahlah—mungkin ia perlu meluangkan waktu sendirinya untuk berduka.

Adnan sedang mengutak-atik Photoshopdi laptop-nya ketika kami sampai di Supermarket tersebut. Ia memperlihatkan hobi barunya itu kepadaku, tepatnya kepada kami—untuk apa yang telah ia kerjakan. Aku juga tertarik belajar Photoshop bersamanya. Ia juga memintaku terus menerus untuk Ayahku mengajarinya Photoshop lebih mendalam.

“Lo selama ini belajar Photoshop di mana, Nan?” tanya Soleh sambil memperhatikan Adnan dengan serius. “Lumayan buat posting di Kaskus kan kalo gw edit Photoshop, kali aja jadi Hot Thread.”

“Gw belajar sendiri, Leh.” Jawab Adnan sambil masih menatap layar laptopnya. “Lumayan buat nambah-nambah pelajaran TIK nantinya.”

“Ayo, Man, kita belajar sama Bokap lo!” seru Hamim.

“Nanti gw tanyain lagi kalo Bokap lagi nggak sibuk..” kataku yang masih menatap kosong keluar. “Eh, ini udah reda ujannya. Jalan yuk, keburu ujan lagi.” Usulku. Ternyata hujan itu hanya mengamuk sebentar, dan bisa meredam amarahnya lagi.

“Yuk deh.” Kata Adnan sambil mematikan laptop yang ia bawa.

Kami pun segera menuruni tangga itu, segera mengambil sepeda masing-masing, membayar parkir, dan tentunya siap untuk melaju jalan! Ternyata Adnan membawa sepeda lipat miliknya, berbeda dengan kami yang membawa sepeda biasa—kecuali Hamim yang membawa sepeda fixie yang sedang ramai sekali dipakai kala itu.

Entah—suasana kala itu tak begitu padat dengan kendaraan bermotor, sehingga sangat cocok untuk bersepeda. “Mungkin banyak yang sedang berlibur di luar kota” kataku dalam hati. Kami memacu sepeda kami dengan cepat, terkadang pelan juga ketika kami melintasi tempat-tempat yang sangat nyaman—seperti lingkungan gedung SMP ku, yang juga Tasya sangat sukai.

Memacu sepeda bersama sahabat-sahabatku ini sama sekali tak membuatku lelah. Kami sudah berpacu melewati Taman Menteng, Suropati, Bundaran HI, Masjid Sunda Kelapa, dan tempat-tempat lainnya, sampai sebuah kejadian yang cukup buruk menimpaku.

Waktu itu sedang lampu merah, menunggu lampu kuning berganti—di mana kami seharusnya sudah berjalan menjelajah Jakarta Pusat lebih dalam—karena kesalahanku juga, sepeda yang menggunakan gigi itu tidak bisa berjalan. Karena panik—walaupun tak ada mobil ataupun motor yang begitu banyak, aku segera meminggirkan sepedaku itu. Teman-temanku segera menyadari kejadian itu. Setelah kami lihat-lihat, rantai itu lepas dari tempatnya.

Dulu, aku pernah membetulkan hal seperti ini, walaupun bukan dengan sepeda yang menggunakan gigi. Dengan kesoktahuanku yang berlebih itu, aku mencoba membalikan rantai itu seperti dulu aku pernah membenarkan sepedaku seperti biasa, namun tetap saja tak bisa. Kami mencoba mengutak-atik sepeda itu sampai pukul tujuh malam, tepat di depan Masjid Sunda Kelapa.

Karena sudah pasrah, aku menuntun sepeda itu sambil ditemani teman-temanku itu dengan sabar—mencari-cari bengkel sepeda yang sekiranya buka disekitar itu. Kami menemukan sebuah bengkel tambal ban, walaupun sebenarnya itu bengkel untuk sepeda motor, tapi tak ada salahnya mencoba.

“Mas, di sini bisa benerin rantai sepeda ini, nggak?” tanyaku kepada salah satu pegawai bengkel tambal ban itu.

“Wah, nggak bisa, Dek.” Jawab pegawai itu langsung pesimis ketika aku menanyakannya, padahal ia saja belum melihat ke arah sepedaku. Karena pasrah, kami pun meninggalkan bengkel tersebut, mencoba mencari bengkel lain yang tak jauh dari tempat itu. Namun hasilnya sama saja: mereka tak mau, bahkan tanpa melihat ke arahku!

Malam itu cukup dingin, ditambah rasa letih itu mulai terasa ketika aku menuntun sepedaku entah berapa jauhnya. Kami beristirahat disebuah warung, dan aku berusaha berpikir jernih untuk mencari solusi masalah dikala itu, namun tetap saja, kepanikanku kala itu membuat akal sehatku hilang. Masalah dari semua masalah sebenarnya adalah itu sepeda milik Harrys, bukan sepeda milikku. Aku memiliki sepeda, tapi dipakai Soleh. Kakakku memiliki sepeda, tapi sama sekali tak berani kusentuh sepeda itu. Sementara Harrys dengan baik hati mau meminjamkan sepeda itu.

Karena tahu Harrys pasti akan kecewa, aku tetap berniat untuk mencari bengkel sepeda yang tak jauh dari situ, walau teman-temanku sepertinya sudah kelelahan. “Besok aja gimana, Man?” tanya Adnan yang sudah kecapekkan.

“Wah, gak bisa, Nan.” Jawabku. “Kalo lo mau balik duluan nggak apa-apa, kok.” Usulku kepada Adnan.

“Bener nggak apa-apa, Man?” aku pun mengangguk, menandakan mengiyakan pertanyaan Adnan tersebut. “Yaudah, gw duluan ya. Sorry..” ia pun berpamitan kepada kami yang tersisa.

Setelah Adnan pulang, kesunyian semakin terasa di warung itu. Kami sama-sama memikirkan jalan keluarnya.

“Lo ke rumah gw dulu aja mau, Man?” usul Hamim. “Gw bisa bantu lo kayaknya.”

Mendengar pernyataan Hamim itu membuat secercah cahaya muncul begitu saja, menggantikan kegelapan yang berada di kepalaku.

“Serius, Mim? Lo mau bantu gw?”

“Iya, Man.” Jawabnya dengan pelan-pelan. “Kita liat lebih detail lagi, kali aja—kali aja, lho, gw bisa bantu.”

“Makasih banyak, Mim!” kataku dengan senang. Kami segera menuntun sepeda kami ke rumah Hamim yang ternyata dekat dari warung tersebut.

Sesampainya di sana, Soleh menunggu di luar rumah Hamim—sepertinya ia masih trauma bertemu dengan anjing itu. Di sana, sepeda itu di balikkan—rodanya berada di atas, dan dilihat secara teliti oleh Hamim. “Gimana, Mim?” tanyakku yang sedari tadi mondar-mandir.

“Kayaknya lo baru bisa ambil besok, Man.” Katanya sambil menatapku. “Gimana?”

“Ngg..” kataku masih bingung. “Boleh, deh. Tapi pasti selesai, kan?”

“Pasti kok, Man.” Jawabnya.

Ketika aku melihat lagi sepeda itu, Soleh masuk ke dalam rumah Hamim dengan sangat hati-hati. Ia melihat sekitar, seakan ia benar-benar berada dalam masalah. “Man, gw laper.” Katanya cepat-cepat masuk ke garasi itu.

“Mau gw bikinin mie nggak, Leh?” usul Hamim tiba-tiba.

“Nah, pas banget, Mim! Tau aja lo temen lagi laper. Hehe” jawab Soleh dengan cepat.

“Yaudah, tunggu di atas aja, yuk.” Kata Hamim sambil mencuci tangannya di garasi itu. Kami berdua pun mengikutinya mencuci tangan, dan naik ke atas tangga.

Karena rumah itu cukup luas, kami lebih memilih berada di beranda lantai atas rumah itu. Di beranda rumah itu, kami menatap ke atas langit, di mana bulan bersinar dengan terangnya malam hari itu dan bintang-bintang memancarkan cahaya indahnya itu. Melihat indahnya malam itu membuat kami tak sadar bahwa Hamim sudah selesai memasak mie kuahnya, yang dilengkapi dengan telur dan bahan-bahan yang lengkap.

“Wih, makasih, Mim!” kata Soleh.

“Ini lo yang buat?” tanyaku sambil memegang pelan-pelan mangkuk tersebut.

“Bareng nyokap sih buatnya,” jawabnya dengan malu-malu. “Gimana, enak nggak?”

“Enak kok, Mim!” ujar Soleh segera. “Selain gratis, bumbu-bumbunya juga lengkap banget.”

“Asal jangan lo pecahin aja mangkoknya, Leh. Cukup yang di rumah gw aja.” Ledekku kepada Soleh.

“Iya lah, Man!” katanya sambil tertawa.

Tak lama setelah makanan habis, kami mencuci piring itu bersama—lalu berpamitan karena rumahku cukup jauh dari tempat ini. “Lo pulang pake sepeda gw dulu aja, Man.” Hamim pun menawarkan bantuannya lagi kepadaku.

“Serius, nih?” tanyaku terkaget. Tadinya niatku adalah meminta orangtuaku menjemput atau naik kendaraan umum yang masih ada di malam hari.

“Iya, Man,” jawabnya. “Kan sepeda lo ada di gw, nah, buat jaminan sepeda gw ada di lo. Tapi besok lo harus kesini, ya.”

“Pasti lah, Mim!” kataku dengan senang. “Makasih banyak ya.. Gw pamit dulu, ya. Maaf ngerepotin.”

“Yoo, duluan ya, Mim!” ujar Soleh.

“Hati-hati ya, Mas Bro!” katanya sambil menunggu di depan gerbang rumahnya.

Kami sangat menikmati perjalanan pulang kami itu—salah satu alasan mengapa kami lebih menyukai bersepeda malam hari. Pemandangan yang jelas-jelas tak ada di siang hari itu, terlebih tak ada kemacetan di Ibu Kota ini.

***


Keesokan harinya, kami mendatangi rumah Hamim lagi—kali ini aku membawa Ayahku, yang penasaran mengapa sepeda itu bisa rusak. Harrys sudah tahu, untungnya ia tak marah mendengarnya.

Tapi, ketika kami sudah sampai, ternyata sepeda itu sudah benar. Nampaknya, Hamim benar-benar mengerjakannya semalaman. “Makasih banyak ya, Mim!” kataku sangat berterima kasih.

“Sama-sama, Man!” jawabnya.

“Mau sepedahan ke rumah gw lagi, nggak?” ajakku kepada Hamim.

“Boleh tuh, Man!” katanya segera mengambil sepedanya yang semalam ada padaku itu.


Quote:


Quote:
Diubah oleh Polyamorous 21-09-2015 22:22
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.