TS
simamats
[Orifict] Naqoyqatsi
Terinspirasi dari peristiwa Revolusi Prancis dan Lushan Rebellion di Dinasti Tang (plus science fiction time machine?), gw persembahkan *sound effect trompet* :
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga
Naqoyqatsi: Life as War
![[Orifict] Naqoyqatsi](https://s.kaskus.id/images/2017/05/09/3277891_20170509010516.jpg)
Genre: Seinen, Action, Psychological, Tragedy, Supranatural, Historical.
Spoiler for Sinopsis:
Lushan merupakan seorang pembrontak yang menjunjung tinggi kebebasan atas masyarakatnya yang tertindas dibawah kekuasaan dinasti Tang. Visinya semakin buyar dan di penuhi oleh tragedi yang membuatnya kehilangan banyak hal, istri, sahabat, dan semua hal yang disayanginya untuk meraih impian tersebut. Kehilangan pijakan, Lushan seperti api yang berkobar menghancurkan segala hal, bertranformasi menjadi monster. Ketika tinggal satu langkah lagi bagi Lushan untuk mendapatkan impiannya, dia terbunuh oleh orang terdekatnya, darah dagingnya sendiri yang menganggap ayahnya sudah dibutakan oleh ambisi. Ketika itu, dia diberi kesempatan oleh kekuatan misterius untuk memperbaiki kesalahannya dimasa lalu.
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
*Naqoyqatsi merupakan bahasa suku Hopi yang berarti Hidup sebagai perang (Qatsi-Hidup, Naqoy-Perang), terinspirasi dari dokumenter eksperimental Godfrey Reggio
Spoiler for Index:
Prolog - There is No Liberty With Blood Below Your Feet :
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Prouloge (part 1)
Prouloge part 2
Chapter 1 - A Land Without God
Chapter 1 (Part 1)
Chapter 1 (Part 2)
Chapter 1 (Part 2) Lanjutan
Chapter 1 (Part 3)
Chapter 2 - Roxanne (part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 2 (Part 1)
Chapter 3 - Roxanne (part 2)
Chapter 3 (Part 1)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 3 (Part 2)
Chapter 4 - The Devil
Chapter 4 (Part 1)
Chapter 4 (Part 2)
Chapter 5 - The Mirror
Chapter 5
Chapter 6 - In Balthiq Eyes part 1
Chapter 6
Chapter 7 - In Balthiq Eyes part 2
Chapter 7
Chapter 8 - Eating
Chapter 8
Chapter 9 - In Balthiq Eyes part 3
Chapter 9
Sangat di mohon komentar, saran dan kritikannya karena penulis yang masih newbie ini sangat membutuhkan bimbingan kalian para pembaca/kawan penulis juga

Diubah oleh simamats 09-05-2017 01:06
0
13.6K
Kutip
83
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Fanstuff
1.9KThread•343Anggota
Tampilkan semua post
TS
simamats
#34
Pas lagi ngereview chapter-chapter terdahulu, ternyata baru sadar seharusnya chapter 1 dibagi jadi 3 part (dan di depan cuman 2 part doang). Terdapat 1 part yang menceritakan masa lalu versi sesungguhnya. Kekuatan konsep cerita chapter 1 yang ane mau tonjolin adalah realita lama vs realita baru, jadi tensi ceritanya chapter 1 gak sesuai visi ane kalo gak dibaca sesuai urutan, dan karena dibuat setahun yang lalu mungkin ada perubahan gaya cerita, atau sebagainya yang kurang enak dibaca (gw dah revisi kebiasaan kesalahan EYD 'di' pada cerita lama gw, semoga part 2 ini enak dibaca).
Gw pikir ada baiknya chapter ini dibaca untuk pemahaman cerita, beberapa kejelasan peristiwa, dan pendalaman karakter walau dah terlanjur baca part 3nya
Gw pikir ada baiknya chapter ini dibaca untuk pemahaman cerita, beberapa kejelasan peristiwa, dan pendalaman karakter walau dah terlanjur baca part 3nya
Spoiler for Chapter 1 : A Land Without God (part 2):
Aku begitu ingat momen-momen diriku di kereta kuda ini yang jelas sangat berbeda dengan apa yang tengah terjadi barusan. Aku dan ibuku saat itu melanjutkan pertikaian panas diantara kita tadi malam tentang marga yang kupakai dimana aku bersikeras memakai marga Kang milik ayahku dulu, dan ibu memaksaku untuk memakai marga An dari ayah baruku. Hal ini menjadikan alasan mengapa dia menyiapkan pipa opiumnya, perdebatannya dengan anaknya pasti sangat membuatnya depresi.
"Ingat Lushan, dengan memakai marga mereka secara otomatis kau akan dianggap sebagai bangsawan! Aku menikahinya demi kesempatan ini, apalagi mengingat dia tidak memiliki anak laki-laki.. Masa depanmu dikeluarga ini begitu cerah Lushan!"
"Peduli demi diriku? Lalu bagaimana dengan ayah? Bagaimana aku bisa menghormati almarhum ayah yang telah merawatku ketika kau pergi bertahun-tahun demi pekerjaanmu? Lihat istrinya kini, setahun di tinggal mati, lalu dia menikah lagi dengan seorang lelaki yang di tengahi alasan murahan seperti itu!"
"Jaga omonganmu anak durhaka!"
Ibu menamparku dengan begitu keras dengan mata yang di penuhi air mata, karena itu juga make-upnya yang sudah berjam-jam dia persiapkan kini luntur membuat mukanya begitu mengerikan.
Mengenai alasan kemarahanku, ibu karena sumpahnya sebagai klan Ashide di haruskan mengabdi pada kaisar Dinasti Tang semeninggal ibunya yang dulu juga mengurus perserikatan penyihir. Ketika itu dia meninggalkan keluarganya, dan tak pernah sekalipun pulang, bahkan beberapa tahun kemudian berhenti mengirim surat.
Perginya ibuku membuat aku dan kakak begitu bergantung pada Ayahku, Kang Ushan, yang merupakan rakyat biasa yang mengajari dan merawat kami hingga dewasa, dan bahkan kematiannya berkaitan dengan betapa susah payahnya dia dalam merawat kami. Saat itu ibuku akhirnya pulang ketika ajal sudah begitu dekat menghampirinya.
Ibu yang menjenguk saat itu dibentak oleh ayah walau dia sudah begitu lemah. Ibu terlihat begitu sedih ketika ayah tidak menerimanya masuk kedalam kamarnya lagi, dan saat ayah meninggal, kami begitu enggan untuk tinggal bersama ibu yang cuti dari tugasnya. Namun setelah setahun bersamanya, kami akhirnya mencoba mengerti dan bahkan kakak sudah mulai menyukainya karena ibu begitu rajin mengajarkan sihir kepadanya.
Tentunya ketika mendengar dia ingin menikah lagi, semua itu menghancurkan segala hal yang ia ingin bangun kepada anak-anaknya.
"Aku begitu mencintai ayahmu.. tapi kini semuanya sudah sangat berbeda, dunia bukan lagi soal impian-impian muda tersebut. Kau akan mengetahuinya Lushan, bahwa harapan muda seperti cinta, dan semacamnya akan sirna di depan matamu.."
Ketika itu aku tidak menghiraukan pembicaraannya, dan fokus membaca bukuku. Dia menatapku sedih, dan segera ia keluarkan pipa opiumnya walau dia tahu menghirup opium merupakan hal terlarang sebelum upacara pernikahan.
...
Setelah perdebatan itu, suasana di kereta kuda ini menjadi bagitu sunyi. Aku hanyut dalam bukuku, dan ibu hanya terdiam sambil menghirup opiumnya. Kakak saat itu terlihat bosan, dan segera ia buka jendela kereta kuda dan menatap keluar, ketika itu ia berpikir tentang apa yang mau ia omongkan dari suasana tanah Tujue yang kini sedang kita lewati.
"Ibu, bukankah lucu ketika kita memakai kereta kuda yang begitu mewah dengan penjagaan ksatria-kstaria yang memiliki kuda-kuda yang gagah, namun orang-orang di tanah ini begitu miskin dan kumuh.. Seperti permata di antara kotoran-kotoran."
Saat itu perkataan kakak memang ironis, tapi saat itu memang wajar jika hal ini terjadi. Kesenjangan antara si miskin dan si kaya begitu terlihat, terutama masyarakat dengan para bangsawan. Mereka masyarakat selalu tidak diuntungkan, apalagi di tempat ini dengan pajak yang tinggi, dan tanah yag tandus di Tujue ini membuat kesejahteraan mereka ambruk. Sudah ditelanjangi alam, mereka ditusuk oleh pemerintahan yang busuk.
Kemudian kereta kuda memasuki pemukiman, dan kuda akhirnya melambat. Ketika itu banyak anak-anak yang mengejar kereta kuda sambil meminta-minta, yang tentunya diusir oleh penjaga kami.
Orang-orang sekitar melihat kami dengan sinis, mereka pasti muak dengan perilaku bangsawan yang mendapatkan kemewahan di atas susah payahnya mereka dalam mencari makan. Mereka merasa telah dirampok oleh pemerintahan, namun dengan kata yang lebih lembut dari itu, yaitu 'pajak' yang kini mencekik mereka perlahan untuk mati kelelahan ataupun mati kelaparan.
Tak sengaja kereta kami melindas mayat seseorang di jalan, dan tak ada satupun orang yang menganggapinya serius seakan hal tersebut merupakan hal yang biasa.
"Disini bahkan lebih buruk dari tempat tinggal kita dulu Lushan.. Mayat yang bergelatakan karena gejala kelaparan, dan orang-orang yang tinggal disini seperti sudah terbiasa dengan bau busuk, sehingga mereka tidak sama sekali menguburkannya.."
"Tidak Balthiq, itu adalah kepercayaan disini. Mereka menganggap bahwa dengan membiarkan mayat bergelatakan akan mendapatkan simpati tuhan yang mungkin melewati tanah ini."
Ibu akhirnya membalas omongan kakak. Dia masih berbicara lancar walaupun kini tengah dipengaruhi opium.
"Tapi mencari perhatian tuhan.. bukankah itu begitu ironis ibu? Seakan tanah ini tidak memiliki perhatian tuhan.."
"Itu cara mereka untuk hidup, dan tanpa harapan akan adanya tuhan, mereka akan mati menggorok leher mereka sendiri. Mereka kini terjebak di tanah gersang ini, dicekik oleh pajak, dan banyak dari mereka yang mati karena penyakit dan rasa lapar. Disini.. bahkan matipun lebih baik dari hidup.. Tak ada cara lain selain menelan bulat-bulat omongan pemuka agama yang menjual harapan tersebut."
Ketika itu muncul kegelisahan di muka ibu. Tanah Tujue ini adalah tanah milik keluarga An yang akan dinikahi ibu, dan ibu pasti risau dengan kemiskinan serta ancaman dari tanah Tujue ini. Walau demikian, sebenarnya keluarga An sendiri tidak memiliki pilihan ketika kaisar secara asal menaruh keluarga bangsawan di tanah-tanahnya yang baru ia jajah, dan keluarga An tidak bisa menolak karena mereka tetap merasakan kemewahan di tanah manapun yang mereka tempati.
"Ibu apa kau pikir.. bahwa tidak ada tuhan ditanah ini?"
"Kakak! Tuhan itu maha melihat sesuatu, dia pasti memiliki alasan tersendiri mengapa tanah ini mendapati nasib demikian"
Aku saat itu merupakan orang yang begitu mempercayai tuhan. Ayah sendiri yang sering mengajariku ajaran kebaikan, dan tuhanlah yang menciptakan ajaran-ajaran kebaikan tersebut. Ketika terdapat keraguan akan tuhan dari seseorang, entah mengapa kita yang begitu percaya akan keberadaan tuhan akan segera mencoba menjaga kepercayaan tersebut.
"Mungkin lebih baik kita berpikir demikian Balthiq. Di sini.. ugh.. moral sudah begitu jatuh, pembunuhan, perampokan, dan bahkan pemerkosaan. Walau mereka masih terkekang oleh agama, sudah separah itulah tanah ini.."
Omongan ibu mulai terlihat tidak jelas, dia seakan mendukung argumentasiku, tapi kemudian berbicara tentang moral yang cenderung mendukung pemikiran kakakku. Saat itu efek opium sepertinya sudah mulai mempengaruhi cara berpikir maupun bicaranya.
...
Akhirnya kereta keluar dari pemukiman, dan kakak sudah sepertinya sudah tidak mendapatkan bahan omongannya setelah keluar dari pemukiman tersebut. Kita kembali terjebak dalam suasana bisu yang aneh.
"Sepi sekali.. padahal sebentar lagi diriku akan jarang bertemu kalian lagi.."
Kakak saat itu berusaha menjaga hubungan baik antar keluarga ini karena dia akan segera memasuki akademi sihir di ibukota Luoyang. Ibu sempat menjelaskan bahwa akademi sihir merupakan tempat yang memiliki aturan yang ketat dan kakak akan susah bertemu diriku maupun ibu karena peraturan yang tidak membolehkan mereka yang belajar untuk pulang kecuali jika kakak sudah menaiki tingkatan yang baru. Itupun menurut ibu perlu bertahun-tahun untuk satu tingkatannya.
Kakak merenung sedih, dia kini mendekatiku dan memebisikkanku sesuatu.
"Ini semua salahmu Lushan! Kau pikir bangsawan sinting mana yang mau menikahi bangsa bar-bar seperti kita. Kita mendapatkan gelar dan marga bangsawan seperti ini merupakan anugrah.. Dibandingkan hidup bersama ayah.. aku tak mau lagi hidup seperti itu.."
Walau demikian dia memiliki kebiasan buruk dalam memakai kata-kata tanpa memikirkannya terlebih dahulu suasana maupun situasi, dan seringkali aku bertengkar karenanya.
"Aku akan memukulmu walau kau perempuan dan kakakku sendiri.."
"Ugh.. baik aku diam! Dasar adik keras kepala!!"
Kakak memang terlihat menyebalkan, tapi di antara marahku terkadang muncul sebuah senyuman.
Sudah 17 umurnya, kecantikannya sudah mulai muncul dengan mata birunya yang menawan, dan umur yang cukup untuk menikahi seseorang. Sayangnya dia masih memiliki perilaku kekakanak-kanakan..
Walau begitu dialah yang menjaga ayah dikala sakit, dan menemani juga menghidupi diriku yang saat itu terlalu lemah untuk pekerjaan laki-laki di lingkunganku yang kebanyakan merupakan pekerjaan kuli. Di antara sifat kekanak-kanakannya, aku bisa melihat rasa optimis hidup, semangat, dan kasih sayang terhadapku maupun pada ibuku yang dulu meninggalkannya bertahun-tahun.
Tapi tetap, semua kebaikan dari kakakku tertutupi oleh sifat buruknya ini.
"Eh bukankah kereta kuda ini berjalan begitu cepat?"
Ketika itu kakak mulai memegang pegangan di dekat kursinya. Terdengar suara panik di luar..
Ya, tepat seperti tadi, pemandangan kepala yang tertembus panah, suara trompet dari atas bukit, kereta yang terpental, dan pertarungan di luar dengan kereta kuda yang kini menimpa kami, kemudian membuat kami terjebak didalamnya, semuanya sama dengan apa yang terjadi barusan..
...
Tepat ketika suara sudah mulai sunyi dan tidak terdengar suara langkah maupun orang-orang yang berbicara, tiba-tiba ada yang memegang pundakku yang sedang ketakutan akan nasib yg akan menimpa kami jika saja para ksatria kalah melawan serangan tiba-tiba tadi.
"Lushan, kau tidak apa-apa?"
Kakak saat itu sudah sadarkan diri, dan segera ia ambil korek dari gaun ibu yang kini masih tidak sadarkan diri untuk menyinari diantara kegelapan ini.
"Kakak.."
"Kau terluka lushan!"
Kakak panik dan segera memotong gaunnya, dan mengikatnya di kepalaku. Darah masih mengalir dari kepalaku, dan kakak sepertinya semakin khawatir dengan keadaanku saat itu.
"Apa mereka sudah selesai bertarung? kenapa tidak ada suara dari mereka? Ah.. yang penting kita keluar dari sini dulu Lushan!"
Kakak segera memusatkan sihir di tangannya dan membuat lubang untuk jalan keluar. Segera cahaya keluar, dan terdapat beberapa kaki di depan kita. Kakak langsung merangkak keluar termakan harapan bahwa kaki itu milik para penjaga, namun tiba-tiba sebuah tangan menariknya.
"Lushan!!"
"Kakak!"
"Hei masih ada seseorang di dalam!"
Ketika itu sebuah tangan yang panjang memasuki lubang tersebut, dan memegang kakiku kemudian menyeretku keluar.
"Jangan sampai kau apa-apakan adikku dasar kalian bajingan!"
"Hei-hei, galak juga gadis yang baru mekar ini!"
Ketika itu begitu banyak bandit yang mengepung kereta kuda, dan terdapat anak muda di antara mereka yang mungkin masih berumur berkisar 8 sampai 13 tahun. Kini sebagian dari mereka sedang menyeret mayat-mayat penjaga, dan juga berusaha membongkar lubang yang kami buat.
"Kau pegangi anak itu! Sekarang Suo Yan sini, kau belum pernah merasakan tubuh wanita bukan?"
Anak kecil tersebut keluar dari keremunan anak-anak muda lainnya, mungkin dia yang paling muda di antara mereka. Mukanya begitu polos, dan rasanya tidak mungkin anak kecil seperti ini menjadi pelaku kejahatan.
"Kau mau apakan kakakku bandit brengsek!"
"Hei, hei.. Kita disuruh untuk menghancurkan kereta kuda yang akan lewat kejalan ini, dan mengetahui kalian selamat dari ranjau tersebut tidak boleh menjadi kesempatan yang sia-sia, apalagi isinya hanyalah bocah dan gadis cantik ini.."
Dia mulai meraba kakakku, dan saat itu muka kakak memerah.
"Jika kau teruskan, aku berjanji nyawamu akan melayang.."
"Heh, maksudmu seperti ini?"
Dia kini memasukan tangannya ke gaun kakakku, dan kini kakakku benar-benar marah.
"Oh..dewa.."
"Eh?!"
Kakak membisikan mantra, dan tiba-tiba suara petir bergerumuh di atasnya. Laki-laki tersebut yang mengetahui indentitas asli kakakku yang merupakan seorang penyihir, dia segera menjauhi kakakku dan mengambil pedangnya yang tertancap di salah satu badan penjaga.
"Pemanah cepat serang wanita tersebut selagi dia belum selesai mengucapkan mantranya!"
"Kakak!!"
Ketika panah menyerang kakak, sebuah petir menyambar panah tersebut hingga hilang menjadi abu. Ketika itu kakak memakai mantra yang membuat dewa petir menjaganya, dan membuatnya dalam kendali kakak.
"Dewa.. mereka yang telah mengotoriku dan mengancam nyawa saudaraku!! Berilah hukuman pada mereka semua!!"
Ketika kakak menunjukan tangannya, seketika petir menyambar semua orang yang mengelilingi kakak. Bau daging terbakar seketika memenuhi udara, dan kakak kemudian terjatuh seperti kehilangan semua energinya.
"Kakak.. kau tidak apa?"
Aku segera mendekatinya, dan kakak berusaha memberdirikan kakinya yang sudah begitu lemas.
"Aku tidak apa Lushan.. kau di sana saja.. dan Hei kau bocah..!"
"Eh! Ampun.."
Tiba-tiba mataku tertuju pada bocah yang kakak tunjuk. Di antara mayat teman-temannya dia terduduk lemas dengan air seni yang membasahi celananya. Matanya dipenuhi oleh air mata ketakutan.
"Cepat pergi dari sini, dan jangan berani lagi kau melakukan hal tidak terpuji seperti ini! atau aku.. akan membunuhmu seperti teman-temanmu ini.."
"Hii!!"
Dia kemudian berlari menjauhi mayat-mayat temannya. Ketika itu kakak tersenyum melihat anak tersebut, seakan rasa ampunnya memperlihatkan secercah harapan bahwa anak tersebut tidak jatuh kedalam jurang yang sama.
"Lushan cepat kau ambil kembang api di mayat para penjaga, dan tembakan keudara, tentara keluarga An akan segera kesini melihat kembang api tersebut.."
Kakak melemparkan korek ibu kepadaku dan kemudian terduduk lemas sambil menghela nafas. Saat itu aku melihat mata kakak yang seakan berubah 180 derajat. Dia terlihat begitu dewasa dengan tatapan dinginnya melihat begitu banyak nyawa yang ia ambil.
"Kakak, bagaimana rasanya membunuh seseorang ?"
Aku bertanya sambil mengecek mayat penjaga yang tertumpuk. Ketika itu kakak seperti begitu lama berpikir untuk menjawab pertanyaanku tersebut.
"Aku tidak merasakan apa-apa Lushan.. Kita semua pasti mati, cepat atau lambat. Mengingat kematian adalah proses yang pasti akan berlangsung.. ditambah lagi demi hidupku, hidupmu, dan juga hidup ibu. Ketika berpikir demikian, aku tidak ragu untuk membunuh mereka."
Ketika itu kakak mengucapkan pembenarannya dengan nada yang dipenuhi dengan keraguan, dan aku bisa melihat air mata mengalir dari matanya.
"Lalu kenapa kau menangis kakak?"
"Eh?"
Kakak segera mengelap tangisnya, namun tiba-tiba sesuatu menembus dadanya.
"Lushan.."
Seketika mulutnya terucapkan namaku sambil darah mengalir dari bibirnya, beberapa anak panah menusuk lagi badannya dengan cepat, di akhiri dengan menembusnya panah menuju kepalanya. Seketika kakak terjatuh ketanah, dan aku sama sekali tidak sadar apa yang terjadi saat itu, seakan apa yang baru saja kulihat adalah khayalanku.. Tapi yang berada di hadapanku saat itu benar-benar kakak, dan panah sudah menembus badannya.
"Ingat Lushan, dengan memakai marga mereka secara otomatis kau akan dianggap sebagai bangsawan! Aku menikahinya demi kesempatan ini, apalagi mengingat dia tidak memiliki anak laki-laki.. Masa depanmu dikeluarga ini begitu cerah Lushan!"
"Peduli demi diriku? Lalu bagaimana dengan ayah? Bagaimana aku bisa menghormati almarhum ayah yang telah merawatku ketika kau pergi bertahun-tahun demi pekerjaanmu? Lihat istrinya kini, setahun di tinggal mati, lalu dia menikah lagi dengan seorang lelaki yang di tengahi alasan murahan seperti itu!"
"Jaga omonganmu anak durhaka!"
Ibu menamparku dengan begitu keras dengan mata yang di penuhi air mata, karena itu juga make-upnya yang sudah berjam-jam dia persiapkan kini luntur membuat mukanya begitu mengerikan.
Mengenai alasan kemarahanku, ibu karena sumpahnya sebagai klan Ashide di haruskan mengabdi pada kaisar Dinasti Tang semeninggal ibunya yang dulu juga mengurus perserikatan penyihir. Ketika itu dia meninggalkan keluarganya, dan tak pernah sekalipun pulang, bahkan beberapa tahun kemudian berhenti mengirim surat.
Perginya ibuku membuat aku dan kakak begitu bergantung pada Ayahku, Kang Ushan, yang merupakan rakyat biasa yang mengajari dan merawat kami hingga dewasa, dan bahkan kematiannya berkaitan dengan betapa susah payahnya dia dalam merawat kami. Saat itu ibuku akhirnya pulang ketika ajal sudah begitu dekat menghampirinya.
Ibu yang menjenguk saat itu dibentak oleh ayah walau dia sudah begitu lemah. Ibu terlihat begitu sedih ketika ayah tidak menerimanya masuk kedalam kamarnya lagi, dan saat ayah meninggal, kami begitu enggan untuk tinggal bersama ibu yang cuti dari tugasnya. Namun setelah setahun bersamanya, kami akhirnya mencoba mengerti dan bahkan kakak sudah mulai menyukainya karena ibu begitu rajin mengajarkan sihir kepadanya.
Tentunya ketika mendengar dia ingin menikah lagi, semua itu menghancurkan segala hal yang ia ingin bangun kepada anak-anaknya.
"Aku begitu mencintai ayahmu.. tapi kini semuanya sudah sangat berbeda, dunia bukan lagi soal impian-impian muda tersebut. Kau akan mengetahuinya Lushan, bahwa harapan muda seperti cinta, dan semacamnya akan sirna di depan matamu.."
Ketika itu aku tidak menghiraukan pembicaraannya, dan fokus membaca bukuku. Dia menatapku sedih, dan segera ia keluarkan pipa opiumnya walau dia tahu menghirup opium merupakan hal terlarang sebelum upacara pernikahan.
...
Setelah perdebatan itu, suasana di kereta kuda ini menjadi bagitu sunyi. Aku hanyut dalam bukuku, dan ibu hanya terdiam sambil menghirup opiumnya. Kakak saat itu terlihat bosan, dan segera ia buka jendela kereta kuda dan menatap keluar, ketika itu ia berpikir tentang apa yang mau ia omongkan dari suasana tanah Tujue yang kini sedang kita lewati.
"Ibu, bukankah lucu ketika kita memakai kereta kuda yang begitu mewah dengan penjagaan ksatria-kstaria yang memiliki kuda-kuda yang gagah, namun orang-orang di tanah ini begitu miskin dan kumuh.. Seperti permata di antara kotoran-kotoran."
Saat itu perkataan kakak memang ironis, tapi saat itu memang wajar jika hal ini terjadi. Kesenjangan antara si miskin dan si kaya begitu terlihat, terutama masyarakat dengan para bangsawan. Mereka masyarakat selalu tidak diuntungkan, apalagi di tempat ini dengan pajak yang tinggi, dan tanah yag tandus di Tujue ini membuat kesejahteraan mereka ambruk. Sudah ditelanjangi alam, mereka ditusuk oleh pemerintahan yang busuk.
Kemudian kereta kuda memasuki pemukiman, dan kuda akhirnya melambat. Ketika itu banyak anak-anak yang mengejar kereta kuda sambil meminta-minta, yang tentunya diusir oleh penjaga kami.
Orang-orang sekitar melihat kami dengan sinis, mereka pasti muak dengan perilaku bangsawan yang mendapatkan kemewahan di atas susah payahnya mereka dalam mencari makan. Mereka merasa telah dirampok oleh pemerintahan, namun dengan kata yang lebih lembut dari itu, yaitu 'pajak' yang kini mencekik mereka perlahan untuk mati kelelahan ataupun mati kelaparan.
Tak sengaja kereta kami melindas mayat seseorang di jalan, dan tak ada satupun orang yang menganggapinya serius seakan hal tersebut merupakan hal yang biasa.
"Disini bahkan lebih buruk dari tempat tinggal kita dulu Lushan.. Mayat yang bergelatakan karena gejala kelaparan, dan orang-orang yang tinggal disini seperti sudah terbiasa dengan bau busuk, sehingga mereka tidak sama sekali menguburkannya.."
"Tidak Balthiq, itu adalah kepercayaan disini. Mereka menganggap bahwa dengan membiarkan mayat bergelatakan akan mendapatkan simpati tuhan yang mungkin melewati tanah ini."
Ibu akhirnya membalas omongan kakak. Dia masih berbicara lancar walaupun kini tengah dipengaruhi opium.
"Tapi mencari perhatian tuhan.. bukankah itu begitu ironis ibu? Seakan tanah ini tidak memiliki perhatian tuhan.."
"Itu cara mereka untuk hidup, dan tanpa harapan akan adanya tuhan, mereka akan mati menggorok leher mereka sendiri. Mereka kini terjebak di tanah gersang ini, dicekik oleh pajak, dan banyak dari mereka yang mati karena penyakit dan rasa lapar. Disini.. bahkan matipun lebih baik dari hidup.. Tak ada cara lain selain menelan bulat-bulat omongan pemuka agama yang menjual harapan tersebut."
Ketika itu muncul kegelisahan di muka ibu. Tanah Tujue ini adalah tanah milik keluarga An yang akan dinikahi ibu, dan ibu pasti risau dengan kemiskinan serta ancaman dari tanah Tujue ini. Walau demikian, sebenarnya keluarga An sendiri tidak memiliki pilihan ketika kaisar secara asal menaruh keluarga bangsawan di tanah-tanahnya yang baru ia jajah, dan keluarga An tidak bisa menolak karena mereka tetap merasakan kemewahan di tanah manapun yang mereka tempati.
"Ibu apa kau pikir.. bahwa tidak ada tuhan ditanah ini?"
"Kakak! Tuhan itu maha melihat sesuatu, dia pasti memiliki alasan tersendiri mengapa tanah ini mendapati nasib demikian"
Aku saat itu merupakan orang yang begitu mempercayai tuhan. Ayah sendiri yang sering mengajariku ajaran kebaikan, dan tuhanlah yang menciptakan ajaran-ajaran kebaikan tersebut. Ketika terdapat keraguan akan tuhan dari seseorang, entah mengapa kita yang begitu percaya akan keberadaan tuhan akan segera mencoba menjaga kepercayaan tersebut.
"Mungkin lebih baik kita berpikir demikian Balthiq. Di sini.. ugh.. moral sudah begitu jatuh, pembunuhan, perampokan, dan bahkan pemerkosaan. Walau mereka masih terkekang oleh agama, sudah separah itulah tanah ini.."
Omongan ibu mulai terlihat tidak jelas, dia seakan mendukung argumentasiku, tapi kemudian berbicara tentang moral yang cenderung mendukung pemikiran kakakku. Saat itu efek opium sepertinya sudah mulai mempengaruhi cara berpikir maupun bicaranya.
...
Akhirnya kereta keluar dari pemukiman, dan kakak sudah sepertinya sudah tidak mendapatkan bahan omongannya setelah keluar dari pemukiman tersebut. Kita kembali terjebak dalam suasana bisu yang aneh.
"Sepi sekali.. padahal sebentar lagi diriku akan jarang bertemu kalian lagi.."
Kakak saat itu berusaha menjaga hubungan baik antar keluarga ini karena dia akan segera memasuki akademi sihir di ibukota Luoyang. Ibu sempat menjelaskan bahwa akademi sihir merupakan tempat yang memiliki aturan yang ketat dan kakak akan susah bertemu diriku maupun ibu karena peraturan yang tidak membolehkan mereka yang belajar untuk pulang kecuali jika kakak sudah menaiki tingkatan yang baru. Itupun menurut ibu perlu bertahun-tahun untuk satu tingkatannya.
Kakak merenung sedih, dia kini mendekatiku dan memebisikkanku sesuatu.
"Ini semua salahmu Lushan! Kau pikir bangsawan sinting mana yang mau menikahi bangsa bar-bar seperti kita. Kita mendapatkan gelar dan marga bangsawan seperti ini merupakan anugrah.. Dibandingkan hidup bersama ayah.. aku tak mau lagi hidup seperti itu.."
Walau demikian dia memiliki kebiasan buruk dalam memakai kata-kata tanpa memikirkannya terlebih dahulu suasana maupun situasi, dan seringkali aku bertengkar karenanya.
"Aku akan memukulmu walau kau perempuan dan kakakku sendiri.."
"Ugh.. baik aku diam! Dasar adik keras kepala!!"
Kakak memang terlihat menyebalkan, tapi di antara marahku terkadang muncul sebuah senyuman.
Sudah 17 umurnya, kecantikannya sudah mulai muncul dengan mata birunya yang menawan, dan umur yang cukup untuk menikahi seseorang. Sayangnya dia masih memiliki perilaku kekakanak-kanakan..
Walau begitu dialah yang menjaga ayah dikala sakit, dan menemani juga menghidupi diriku yang saat itu terlalu lemah untuk pekerjaan laki-laki di lingkunganku yang kebanyakan merupakan pekerjaan kuli. Di antara sifat kekanak-kanakannya, aku bisa melihat rasa optimis hidup, semangat, dan kasih sayang terhadapku maupun pada ibuku yang dulu meninggalkannya bertahun-tahun.
Tapi tetap, semua kebaikan dari kakakku tertutupi oleh sifat buruknya ini.
"Eh bukankah kereta kuda ini berjalan begitu cepat?"
Ketika itu kakak mulai memegang pegangan di dekat kursinya. Terdengar suara panik di luar..
Ya, tepat seperti tadi, pemandangan kepala yang tertembus panah, suara trompet dari atas bukit, kereta yang terpental, dan pertarungan di luar dengan kereta kuda yang kini menimpa kami, kemudian membuat kami terjebak didalamnya, semuanya sama dengan apa yang terjadi barusan..
...
Tepat ketika suara sudah mulai sunyi dan tidak terdengar suara langkah maupun orang-orang yang berbicara, tiba-tiba ada yang memegang pundakku yang sedang ketakutan akan nasib yg akan menimpa kami jika saja para ksatria kalah melawan serangan tiba-tiba tadi.
"Lushan, kau tidak apa-apa?"
Kakak saat itu sudah sadarkan diri, dan segera ia ambil korek dari gaun ibu yang kini masih tidak sadarkan diri untuk menyinari diantara kegelapan ini.
"Kakak.."
"Kau terluka lushan!"
Kakak panik dan segera memotong gaunnya, dan mengikatnya di kepalaku. Darah masih mengalir dari kepalaku, dan kakak sepertinya semakin khawatir dengan keadaanku saat itu.
"Apa mereka sudah selesai bertarung? kenapa tidak ada suara dari mereka? Ah.. yang penting kita keluar dari sini dulu Lushan!"
Kakak segera memusatkan sihir di tangannya dan membuat lubang untuk jalan keluar. Segera cahaya keluar, dan terdapat beberapa kaki di depan kita. Kakak langsung merangkak keluar termakan harapan bahwa kaki itu milik para penjaga, namun tiba-tiba sebuah tangan menariknya.
"Lushan!!"
"Kakak!"
"Hei masih ada seseorang di dalam!"
Ketika itu sebuah tangan yang panjang memasuki lubang tersebut, dan memegang kakiku kemudian menyeretku keluar.
"Jangan sampai kau apa-apakan adikku dasar kalian bajingan!"
"Hei-hei, galak juga gadis yang baru mekar ini!"
Ketika itu begitu banyak bandit yang mengepung kereta kuda, dan terdapat anak muda di antara mereka yang mungkin masih berumur berkisar 8 sampai 13 tahun. Kini sebagian dari mereka sedang menyeret mayat-mayat penjaga, dan juga berusaha membongkar lubang yang kami buat.
"Kau pegangi anak itu! Sekarang Suo Yan sini, kau belum pernah merasakan tubuh wanita bukan?"
Anak kecil tersebut keluar dari keremunan anak-anak muda lainnya, mungkin dia yang paling muda di antara mereka. Mukanya begitu polos, dan rasanya tidak mungkin anak kecil seperti ini menjadi pelaku kejahatan.
"Kau mau apakan kakakku bandit brengsek!"
"Hei, hei.. Kita disuruh untuk menghancurkan kereta kuda yang akan lewat kejalan ini, dan mengetahui kalian selamat dari ranjau tersebut tidak boleh menjadi kesempatan yang sia-sia, apalagi isinya hanyalah bocah dan gadis cantik ini.."
Dia mulai meraba kakakku, dan saat itu muka kakak memerah.
"Jika kau teruskan, aku berjanji nyawamu akan melayang.."
"Heh, maksudmu seperti ini?"
Dia kini memasukan tangannya ke gaun kakakku, dan kini kakakku benar-benar marah.
"Oh..dewa.."
"Eh?!"
Kakak membisikan mantra, dan tiba-tiba suara petir bergerumuh di atasnya. Laki-laki tersebut yang mengetahui indentitas asli kakakku yang merupakan seorang penyihir, dia segera menjauhi kakakku dan mengambil pedangnya yang tertancap di salah satu badan penjaga.
"Pemanah cepat serang wanita tersebut selagi dia belum selesai mengucapkan mantranya!"
"Kakak!!"
Ketika panah menyerang kakak, sebuah petir menyambar panah tersebut hingga hilang menjadi abu. Ketika itu kakak memakai mantra yang membuat dewa petir menjaganya, dan membuatnya dalam kendali kakak.
"Dewa.. mereka yang telah mengotoriku dan mengancam nyawa saudaraku!! Berilah hukuman pada mereka semua!!"
Ketika kakak menunjukan tangannya, seketika petir menyambar semua orang yang mengelilingi kakak. Bau daging terbakar seketika memenuhi udara, dan kakak kemudian terjatuh seperti kehilangan semua energinya.
"Kakak.. kau tidak apa?"
Aku segera mendekatinya, dan kakak berusaha memberdirikan kakinya yang sudah begitu lemas.
"Aku tidak apa Lushan.. kau di sana saja.. dan Hei kau bocah..!"
"Eh! Ampun.."
Tiba-tiba mataku tertuju pada bocah yang kakak tunjuk. Di antara mayat teman-temannya dia terduduk lemas dengan air seni yang membasahi celananya. Matanya dipenuhi oleh air mata ketakutan.
"Cepat pergi dari sini, dan jangan berani lagi kau melakukan hal tidak terpuji seperti ini! atau aku.. akan membunuhmu seperti teman-temanmu ini.."
"Hii!!"
Dia kemudian berlari menjauhi mayat-mayat temannya. Ketika itu kakak tersenyum melihat anak tersebut, seakan rasa ampunnya memperlihatkan secercah harapan bahwa anak tersebut tidak jatuh kedalam jurang yang sama.
"Lushan cepat kau ambil kembang api di mayat para penjaga, dan tembakan keudara, tentara keluarga An akan segera kesini melihat kembang api tersebut.."
Kakak melemparkan korek ibu kepadaku dan kemudian terduduk lemas sambil menghela nafas. Saat itu aku melihat mata kakak yang seakan berubah 180 derajat. Dia terlihat begitu dewasa dengan tatapan dinginnya melihat begitu banyak nyawa yang ia ambil.
"Kakak, bagaimana rasanya membunuh seseorang ?"
Aku bertanya sambil mengecek mayat penjaga yang tertumpuk. Ketika itu kakak seperti begitu lama berpikir untuk menjawab pertanyaanku tersebut.
"Aku tidak merasakan apa-apa Lushan.. Kita semua pasti mati, cepat atau lambat. Mengingat kematian adalah proses yang pasti akan berlangsung.. ditambah lagi demi hidupku, hidupmu, dan juga hidup ibu. Ketika berpikir demikian, aku tidak ragu untuk membunuh mereka."
Ketika itu kakak mengucapkan pembenarannya dengan nada yang dipenuhi dengan keraguan, dan aku bisa melihat air mata mengalir dari matanya.
"Lalu kenapa kau menangis kakak?"
"Eh?"
Kakak segera mengelap tangisnya, namun tiba-tiba sesuatu menembus dadanya.
"Lushan.."
Seketika mulutnya terucapkan namaku sambil darah mengalir dari bibirnya, beberapa anak panah menusuk lagi badannya dengan cepat, di akhiri dengan menembusnya panah menuju kepalanya. Seketika kakak terjatuh ketanah, dan aku sama sekali tidak sadar apa yang terjadi saat itu, seakan apa yang baru saja kulihat adalah khayalanku.. Tapi yang berada di hadapanku saat itu benar-benar kakak, dan panah sudah menembus badannya.
Diubah oleh simamats 16-05-2015 21:35
0
Kutip
Balas