- Beranda
- Stories from the Heart
PENDONGENG CINTA DAN HANTU-HANTU
...
TS
wignyaharsono
PENDONGENG CINTA DAN HANTU-HANTU
Selamat Datang di Thread Gue yang Lain.
Thread ini berisi kumpulan dongeng-dongeng tentang cinta dan hantu-hantu. Di sini gue akan update dongeng-dongeng seru tentang rasa jatuh cinta, patah hati, tentang hantu, tentang kamu.
Updatenya tergantung kapan cerita itu muncul di kepala. Aku selalu percaya kalo setiap cerita membutuhkan inspirasi yang luar biasa dari kehidupan nyata. Aku mendapatkan inspirasi dari cerita teman, dari sosial media, dari kucing yang sedang berjalan, dari seorang penjual bunga.
Semoga kalian suka
Salam Ndongeng,
WH
Thread ini berisi kumpulan dongeng-dongeng tentang cinta dan hantu-hantu. Di sini gue akan update dongeng-dongeng seru tentang rasa jatuh cinta, patah hati, tentang hantu, tentang kamu.
Updatenya tergantung kapan cerita itu muncul di kepala. Aku selalu percaya kalo setiap cerita membutuhkan inspirasi yang luar biasa dari kehidupan nyata. Aku mendapatkan inspirasi dari cerita teman, dari sosial media, dari kucing yang sedang berjalan, dari seorang penjual bunga.
Semoga kalian suka

Salam Ndongeng,
WH
Quote:
Original Posted By wignyaharsono►
1. LELAKI YANG SERING PATAH HATI (Part 1)
2. LELAKI YANG SERING PATAH HATI (part 2)
3. LELAKI YANG SERING PATAH HATI (part 3)
INDEX CERITA
1. LELAKI YANG SERING PATAH HATI (Part 1)
2. LELAKI YANG SERING PATAH HATI (part 2)
3. LELAKI YANG SERING PATAH HATI (part 3)
Diubah oleh wignyaharsono 10-05-2015 22:21
anasabila memberi reputasi
1
2.5K
Kutip
10
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wignyaharsono
#3
LELAKI YANG SERING PATAH HATI (part 3)
Spoiler for LELAKI YANG SERING PATAH HATI (part 3):
Mungkin patah hati bukan hanya urusan hati dengan seorang wanita. Mungkin patah hati bisa menjadi urusan semua orang. Dasarnya adalah kecewa, kecewa karena cintamu tak bergayung sambut. Kecewa karena apa yang kamu inginkan tak menjadi kenyataan. Kecewa karena merasa dikhianati. Kecewa karena merasa dibohongi. Itu semua pangkal-pangkal patah hati.
Teori tentang hormon kortisol dan ephinephrine yang tak bisa lari dari tubuh dan menimbulkan rasa sesak di dada karena rasa kecewa, sakit hati, amarah kini menghampiriku. Dia menyusup perlahan ke relung dada dan bersemayam di sana.
Aku kembali limbung oleh perasaan patah hati, bukan lagi oleh mantan kekasihku yang mendadak jadian dengan teman kampus. Semua teori August yang ia paparkan seminggu ini seakan seperti alkohol yang kutuangkan di atas telapak tangan. Langsung lenyap, menimbulkan efek dingin lalu sedikit panas. Panas, itulah yang kurasakan di dalam dadaku kini. Panas yang mendidihkan kortisol di dada.
Dan ini semua karena August. Dia tahu tentang semua yang terjadi di hidupku. Tentang ibuku. Tentang ayahku.
Aku sendiri tak pernah mengenal siapa orang tuaku. Hanya dongeng eyang yang selalu kudengar tentang mereka berdua. Hanya eyang yang selalu meyakinkanku bahwa aku memiliki orang tua yang hebat. Selama hampir delapan belas tahun ini, aku mempercayai semua cerita eyang. Karena aku tak pernah bertemu dengan ibu, karena aku tak pernah bertemu dengan ayah.
Dari kecil aku merindukan sosok mereka di sampingku. Sosok yang akan menggantikan popokku karena aku ngompol di malam hari, sosok yang mengantarkanku ke gerbang pintu sekolah, sosok yang memarahiku karena aku mencoba-coba rokok dan main tak ada aturan. Tak ada sosok itu. Yang ada hanyalah eyang yang selalu di sampingku.
Justru August yang mengetahui semuanya. Dia yang tinggal di samping kos-kosan. Yang awalnya tak sedikitpun aku ingin tahu dan peduli. Aku tak pernah mengenalnya. Aku yang tak pernah berhubungan dengannya. Dan seminggu yang lalu gerbang pertemuan itu menyatukan aku dengan dia. Seminggu yang lalu aku datang ke rumahnya dengan segudang cerita tentang patah hatiku dan dia dengan leluasa memberikan saran-saran terbaiknya. Dialah lelaki yang sering patah hati yang kemudian menjadi seorang mentor bagiku untuk kembali menjalani hidup sebagai manusia normal.
Dan itu hampir saja berhasil jikalau aku tak melihat lukisan itu di kamar August.
Tak ada yang spesial dengan lukisan itu. Ia dilukis oleh tangan August karena di pojok kanan bawah ada namanya. Lukisan itu digores dengan cat minyak yang penuh perasaan, dihaluskan oleh kuas dengan kenangan. Aku yakin August tak main-main membuatnya dan mungkin itu karya masterpiece-nya selama ia mengalami depresi patah hati.
Aku hampir-hampir tak mengenali sosok itu. Lalu ingatanku membayang ke semua memori di album foto di rumah.
Perempuan yang dilukis oleh August itu adalah wanita yang telah ia campakkan dan membuatnya menerima karma cinta bertubi-tubi selama ia hidup.
Dan wanita dalam lukisan itu adalah ibuku.
Rangkaian listrik yang kubuat ruwet dan gagal di Praktikum Rangkaian Listrik 1. Akibatnya aku mendapatkan nilai C- dan harus mengulang praktikum minggu depan. Ruwetnya rangkaian itu selaras dengan ruwetnya kehidupanku beberapa minggu ini. Mantan pacar semakin memperkeruh keadaan dengan bermesraan sepanjang praktikum dan aku muak dengan itu.
Ketika aku menyusun resistor, kapasitor, induktor, dan tor-tor yang lain, pikiranku tak pernah bisa terfokus. Kabel menjadi melilit-lilit, lampu tak ada yang nyala, robot nggak jalan, dan yang lebih parah aku tiba-tiba lupa fungsi ON dan OFF. Akibatnya robot yang kubikin mengeluarkan asap dan api. Bukan karena aku menciptakan ULTRAMAN yang mengeluarkan jurus ASAP PENEMBUS MAUT, bukan. Tapi karena memang rangkaian di dalam robot itu yang kacau.
Aku lebih terfokus pada setiap detail lukisan di kamar August. Bagaimana bisa perempuan di dalam lukisan itu adalah ibuku. Aku belum pernah benar-benar melihat ibuku, kecuali ketika aku masih bayi. Ibu hanya bisa kukenali lewat album-album foto di rumah eyang. Ibu memang berparas ayu, berambut panjang, dengan bibir merah merekah alami. Tapi aku memang belum pernah berbicara dan bercerita langsung padanya.
Sedangkan ayah? Kata eyang, ayah meninggal karena kecelakaan. Walaupun sampai detik ini, eyang tak pernah menunjukkan foto dan makam beliau. Tapi aku percaya, eyang punya alasan tersendiri merahasiakan ini semua. Akupun enggan untuk bertanya. Dan hal ini akan terjawab saat aku pulang besok.
Jadi August adalah lelaki yang mencampakkan ibu dan aku? Jadi dia adalah...ayahku? Selama ini dia berbohong padaku, seminggu ini dia tahu kalau aku adalah anaknya?
Sore itu, disambut dengan hujan dan petir, aku memaki August keras-keras. Setelah seminggu aku menghormatinya dengan mendengar semua saran dan ceritanya, sore itu amarahku meledak. Ada semacam dorongan dalam diri untuk mengeluarkan semua kata-kata paling buruk di dunia ini. Aku memberontak sebagai seorang lelaki dan dia berusaha untuk menenangkanku. Tapi terlambat, aku tak gampang untuk dibujuk. Maka, kudorong dia sekuat tenaga, kubanting pintu kamarnya, kuterobos hujan lebat, dan aku masuk kamar dengan perasaan berkecamuk.
Aku marah. Aku marah pada diriku sendiri, pada keadaan, dan kepada August. Cermin di kamar menjadi pelampiasan amarahku sore itu.
August mencoba mendekat. Dia menungguku di depan kosan, mencoba mengirim pesan, menelepon, datang ke kampus. Aku seperti seorang pecinta sesama jenis yang dikejar om-om gila berondong. Ini memuakkan. Dan aku membentengi diri dengan atmosfer tebal agar dia tidak berani ada di sekelilingku.
Aku keluar kamar kos dengan perasaan gamang. Aku mempercepat kepulanganku ke Jakarta satu hari. Sepertinya aku harus segera bertemu dengan eyang. Dan penjelasan ini semua tak mungkin bisa hanya via telepon. August masih berusaha menghubungiku, tapi aku masih tak ingin bicara dengannya. Ini terlalu tak masuk akal bagiku.
Kupakai New Balance dengan tergesa. Masih ada waktu sejam untuk datang ke Stasiun Tugu. Kereta berangkat pukul delapan malam.
“Hei, Lian. Kamu mau balik ke Jakarta?” Rian berdiri di pintu kamarnya yang ada di depan kamarku.
“Ya, ada urusan. Nanti tugas aku nanya kamu, Yan.”
“No problem.” Rian mendekat ke arahku. “Kulihat belakangan ini kamu seperti tidak bersemangat.” Dia menatapku. “Ada yang bisa kubantu?”
Jika seorang lelaki seperti Rian—yang biasanya lebih sering main games online daripada pergi nongkrong bareng teman—bisa mengetahui betapa berantakannya hidupku akhir-akhir ini, berarti aku memang sudah diambang batas waras.
“Tak ada. Maksudku, aku baik-baik saja, Kawan.” Aku mencoba tersenyum. “Kamu tahu aku, kan?” aku tertawa kecil.
“Ya, aku tahu. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk cerita.”
Aku mengangguk. “Aku cabut dulu.”
“Tunggu.” Rian menyodorkan amplop putih kepadaku. “Ini bukan surat cinta dariku.” Dia tertawa mengejek. “Ada orang yang menitipkannya padaku.” Aku mengernyitkan kening. “August,” ujarnya pendek.
Kupandangi amplop itu, lalu tangan kananku meraihnya. “Thanks,”
Tengah malam, eyang membangunkanku dengan kue kecil berhias angka satu dan delapan. Aku tersenyum dan mencium penuh sayang kedua pipi orang yang selalu merawat dan menyemangatiku sejak kecil.
“Thanks, Eyang. I’ll always love you,” ucapku pelan dengan rasa haru.
“Ini kado dari eyang.” Eyang memberikan sebuah bungkusan kecil. “Kamu harus membukanya sendiri.”
Sekali lagi kucium sayang pipi eyang. “You’re still the best, Eyang. Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan hidupku jika nggak ada Eyang.”
Eyang mengelus pipiku. “Kamu sudah dewasa, Lian.”
“Dan sudah waktunya Lian tahu apa yang sebenarnya, Eyang.”
Eyang sepertinya mengetahui arah pembicaraanku. Dia mengangguk-angguk kecil. Dia berdiri dan menyerahkan kotak yang sejak tadi dia bawa.
“Mungkin bukan eyang yang akan menjelaskan ini semua. Ibumu sendiri yang akan menjelaskannya.” Eyang tampak sedang menahan rasa haru. “Bukalah!” Eyang menyeka air matanya yang tiba-tiba keluar. “Ini ditulis oleh ibumu sehari sebelum dia diangkat kanker rahimnya oleh Dokter, namun gagal.”
Eyang membiarkanku sendiri membaca surat dari ibu di dalam kamar. Surat itu terdiri dari 10 halaman kertas folio bergaris yang ditulis tangan oleh ibu. Aku benar-benar menyiapkan mental untuk membaca kata demi kata di setiap halamannya.
Dua halaman pertama, ibu lebih banyak bercerita tentang kecintaannya kepadaku, rasa penyesalannya karena tak bisa mendampingiku hingga dewasa, dan hal-hal kecil lain seperti rasa senangnya dia saat mengandung diriku. Meski tanpa suami. Eyang mendukung penuh kehamilan ibu walaupun dengan satu syarat, dia tak boleh menikah dengan ayah—maksudku August.
Lima halaman berikutnya, ibu bercerita banyak tentang August. Tentang pertemuan mereka berdua, tentang reputasi August sebagai seorang playboy, dan tentang rasa cintanya ibu dengan August.
Dia orang baik, Varlian. Jika tidak, ibu tak akan jatuh cinta kepadanya. Keputusan keluarga besar untuk menentang August menjadi suami ibu karena dia ketahuan sedang menjalin hubungan dengan mantannya. Jujur, ibu sakit hati. Tapi ibu yakin, dia tetap memilih ibu. Suatu malam hujan lebat dan dia datang ke rumah untuk meminta maaf. Ibu hanya bisa melihatnya dari balkon atas kamar karena eyang dan keluarga tak memperbolehkan dia masuk. Hati ibu benar-benar hancur. Tapi dalam hati kecil ibu, ibu masih mencintai dia walaupun dia sudah berkhianat. Untuk apa ibu menyerahkan kesucian ibu jika ibu tak mencintainya. Karena ibu yakin, dia adalah yang Tuhan kirimkan untuk ibu.
Ibu mencintai August sepenuh hati setelah lelaki itu mengkhianatinya? Sebelum aku membaca kelanjutan surat ibu, aku sempat marah. Tapi halaman berikutnya, mempertegas jawaban ibu.
Ibu terkena kanker rahim pasca melahirkan kamu. Untung kamu selamat, Lian. Tapi ibu tak kuat lagi menahan penyakit ini hingga kamu berumur 3 tahun. Kondisi ibu semakin lemah. Tapi di luar itu, August masih sering menghubungi ibu dan dia selalu ada di samping ibu meskipun secara diam-diam tanpa sepengetahuan eyang dan keluarga. Ini mempertegas bahwa rasa penyesalannya begitu dalam dan ia ingin kembali kepada ibu.
Hingga suatu ketika, kamu tiba-tiba masuk ke rumah sakit.
Tunggu, aku pernah masuk rumah sakit waktu kecil? Mungkin, hanya masalah sepele seperti demam atau....
Sejak lahir ternyata kamu hanya punya satu ginjal yang berfungsi, ginjalmu yang satu mengalami kelainan. Untung saja, dokter segera mengetahuinya setelah kami membawamu ke rumah sakit karena kamu demam tinggi dan sering muntah. Kondisimu semakin lemah. Kukira itu hanya demam biasa, tapi ternyata tidak. Fungsi ginjalmu semakin menurun dan memerlukan penanganan yang serius, salah satunya adalah transplantasi.
Aku menelan ludah. Ini tidak mungkin.
Jika suatu saat kamu bertemu dengan August, ibu mohon kamu jangan membencinya. Dia memang pernah mengkhianati ibu. Namun, rasa penyesalannya telah mengembalikan kepercayaan ibu sepenuhnya. Meskipun sampai sekarang, mungkin, eyang tidak akan menyetujui hubungan kami.
Jangan pernah membenci dia, ayahmu. Meskipun sampai ibu pergi, kami berdua belum ada ikatan pernikahan.
Ibu tahu dia juga menderita. Jangan bebani hidupnya dengan kebencianmu. Jika kamu bertemu dengannya, sampaikan salam ibu kepadanya.
Ibu akan selalu mencintainya. Dan ucapkan terima kasih, karena dia telah memberikan satu ginjalnya untukmu.
Dear Varlian,
Saya tahu, setelah tahu bahwa saya yang mengkhianati ibumu, kamu akan membenci saya sepenuhnya. Maafkan ayahmu ini, Lian. Ayah telah meninggalkanmu. Ini sebuah pilihan. Satu-satunya cara agar bisa dekat dengan kamu adalah tinggal tak jauh dari kamu. Di Jakarta sejak kamu kecil, saya sudah tinggal di dekat rumahmu. Di Jogja saya tinggal di sebelah kos-kosan kamu. Memperhatikan kamu tertawa, menyanyi di balkon, berteriak, kadang marah, dan juga patah hati karena cewek.
Meskipun awalnya, ayah tak ingin mengenalkan diri ayah. Karena ayah tahu, suatu saat kamu tahu tentang saya, kamu akan marah.
Tapi ayah hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Maafkan ayah.
August,
Teori tentang hormon kortisol dan ephinephrine yang tak bisa lari dari tubuh dan menimbulkan rasa sesak di dada karena rasa kecewa, sakit hati, amarah kini menghampiriku. Dia menyusup perlahan ke relung dada dan bersemayam di sana.
Aku kembali limbung oleh perasaan patah hati, bukan lagi oleh mantan kekasihku yang mendadak jadian dengan teman kampus. Semua teori August yang ia paparkan seminggu ini seakan seperti alkohol yang kutuangkan di atas telapak tangan. Langsung lenyap, menimbulkan efek dingin lalu sedikit panas. Panas, itulah yang kurasakan di dalam dadaku kini. Panas yang mendidihkan kortisol di dada.
Dan ini semua karena August. Dia tahu tentang semua yang terjadi di hidupku. Tentang ibuku. Tentang ayahku.
Aku sendiri tak pernah mengenal siapa orang tuaku. Hanya dongeng eyang yang selalu kudengar tentang mereka berdua. Hanya eyang yang selalu meyakinkanku bahwa aku memiliki orang tua yang hebat. Selama hampir delapan belas tahun ini, aku mempercayai semua cerita eyang. Karena aku tak pernah bertemu dengan ibu, karena aku tak pernah bertemu dengan ayah.
Dari kecil aku merindukan sosok mereka di sampingku. Sosok yang akan menggantikan popokku karena aku ngompol di malam hari, sosok yang mengantarkanku ke gerbang pintu sekolah, sosok yang memarahiku karena aku mencoba-coba rokok dan main tak ada aturan. Tak ada sosok itu. Yang ada hanyalah eyang yang selalu di sampingku.
Justru August yang mengetahui semuanya. Dia yang tinggal di samping kos-kosan. Yang awalnya tak sedikitpun aku ingin tahu dan peduli. Aku tak pernah mengenalnya. Aku yang tak pernah berhubungan dengannya. Dan seminggu yang lalu gerbang pertemuan itu menyatukan aku dengan dia. Seminggu yang lalu aku datang ke rumahnya dengan segudang cerita tentang patah hatiku dan dia dengan leluasa memberikan saran-saran terbaiknya. Dialah lelaki yang sering patah hati yang kemudian menjadi seorang mentor bagiku untuk kembali menjalani hidup sebagai manusia normal.
Dan itu hampir saja berhasil jikalau aku tak melihat lukisan itu di kamar August.
Tak ada yang spesial dengan lukisan itu. Ia dilukis oleh tangan August karena di pojok kanan bawah ada namanya. Lukisan itu digores dengan cat minyak yang penuh perasaan, dihaluskan oleh kuas dengan kenangan. Aku yakin August tak main-main membuatnya dan mungkin itu karya masterpiece-nya selama ia mengalami depresi patah hati.
Aku hampir-hampir tak mengenali sosok itu. Lalu ingatanku membayang ke semua memori di album foto di rumah.
Perempuan yang dilukis oleh August itu adalah wanita yang telah ia campakkan dan membuatnya menerima karma cinta bertubi-tubi selama ia hidup.
Dan wanita dalam lukisan itu adalah ibuku.
# # #
Rangkaian listrik yang kubuat ruwet dan gagal di Praktikum Rangkaian Listrik 1. Akibatnya aku mendapatkan nilai C- dan harus mengulang praktikum minggu depan. Ruwetnya rangkaian itu selaras dengan ruwetnya kehidupanku beberapa minggu ini. Mantan pacar semakin memperkeruh keadaan dengan bermesraan sepanjang praktikum dan aku muak dengan itu.
Ketika aku menyusun resistor, kapasitor, induktor, dan tor-tor yang lain, pikiranku tak pernah bisa terfokus. Kabel menjadi melilit-lilit, lampu tak ada yang nyala, robot nggak jalan, dan yang lebih parah aku tiba-tiba lupa fungsi ON dan OFF. Akibatnya robot yang kubikin mengeluarkan asap dan api. Bukan karena aku menciptakan ULTRAMAN yang mengeluarkan jurus ASAP PENEMBUS MAUT, bukan. Tapi karena memang rangkaian di dalam robot itu yang kacau.
Aku lebih terfokus pada setiap detail lukisan di kamar August. Bagaimana bisa perempuan di dalam lukisan itu adalah ibuku. Aku belum pernah benar-benar melihat ibuku, kecuali ketika aku masih bayi. Ibu hanya bisa kukenali lewat album-album foto di rumah eyang. Ibu memang berparas ayu, berambut panjang, dengan bibir merah merekah alami. Tapi aku memang belum pernah berbicara dan bercerita langsung padanya.
Sedangkan ayah? Kata eyang, ayah meninggal karena kecelakaan. Walaupun sampai detik ini, eyang tak pernah menunjukkan foto dan makam beliau. Tapi aku percaya, eyang punya alasan tersendiri merahasiakan ini semua. Akupun enggan untuk bertanya. Dan hal ini akan terjawab saat aku pulang besok.
Jadi August adalah lelaki yang mencampakkan ibu dan aku? Jadi dia adalah...ayahku? Selama ini dia berbohong padaku, seminggu ini dia tahu kalau aku adalah anaknya?
Sore itu, disambut dengan hujan dan petir, aku memaki August keras-keras. Setelah seminggu aku menghormatinya dengan mendengar semua saran dan ceritanya, sore itu amarahku meledak. Ada semacam dorongan dalam diri untuk mengeluarkan semua kata-kata paling buruk di dunia ini. Aku memberontak sebagai seorang lelaki dan dia berusaha untuk menenangkanku. Tapi terlambat, aku tak gampang untuk dibujuk. Maka, kudorong dia sekuat tenaga, kubanting pintu kamarnya, kuterobos hujan lebat, dan aku masuk kamar dengan perasaan berkecamuk.
Aku marah. Aku marah pada diriku sendiri, pada keadaan, dan kepada August. Cermin di kamar menjadi pelampiasan amarahku sore itu.
August mencoba mendekat. Dia menungguku di depan kosan, mencoba mengirim pesan, menelepon, datang ke kampus. Aku seperti seorang pecinta sesama jenis yang dikejar om-om gila berondong. Ini memuakkan. Dan aku membentengi diri dengan atmosfer tebal agar dia tidak berani ada di sekelilingku.
# # #
Aku keluar kamar kos dengan perasaan gamang. Aku mempercepat kepulanganku ke Jakarta satu hari. Sepertinya aku harus segera bertemu dengan eyang. Dan penjelasan ini semua tak mungkin bisa hanya via telepon. August masih berusaha menghubungiku, tapi aku masih tak ingin bicara dengannya. Ini terlalu tak masuk akal bagiku.
Kupakai New Balance dengan tergesa. Masih ada waktu sejam untuk datang ke Stasiun Tugu. Kereta berangkat pukul delapan malam.
“Hei, Lian. Kamu mau balik ke Jakarta?” Rian berdiri di pintu kamarnya yang ada di depan kamarku.
“Ya, ada urusan. Nanti tugas aku nanya kamu, Yan.”
“No problem.” Rian mendekat ke arahku. “Kulihat belakangan ini kamu seperti tidak bersemangat.” Dia menatapku. “Ada yang bisa kubantu?”
Jika seorang lelaki seperti Rian—yang biasanya lebih sering main games online daripada pergi nongkrong bareng teman—bisa mengetahui betapa berantakannya hidupku akhir-akhir ini, berarti aku memang sudah diambang batas waras.
“Tak ada. Maksudku, aku baik-baik saja, Kawan.” Aku mencoba tersenyum. “Kamu tahu aku, kan?” aku tertawa kecil.
“Ya, aku tahu. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk cerita.”
Aku mengangguk. “Aku cabut dulu.”
“Tunggu.” Rian menyodorkan amplop putih kepadaku. “Ini bukan surat cinta dariku.” Dia tertawa mengejek. “Ada orang yang menitipkannya padaku.” Aku mengernyitkan kening. “August,” ujarnya pendek.
Kupandangi amplop itu, lalu tangan kananku meraihnya. “Thanks,”
# # #
Tengah malam, eyang membangunkanku dengan kue kecil berhias angka satu dan delapan. Aku tersenyum dan mencium penuh sayang kedua pipi orang yang selalu merawat dan menyemangatiku sejak kecil.
“Thanks, Eyang. I’ll always love you,” ucapku pelan dengan rasa haru.
“Ini kado dari eyang.” Eyang memberikan sebuah bungkusan kecil. “Kamu harus membukanya sendiri.”
Sekali lagi kucium sayang pipi eyang. “You’re still the best, Eyang. Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan hidupku jika nggak ada Eyang.”
Eyang mengelus pipiku. “Kamu sudah dewasa, Lian.”
“Dan sudah waktunya Lian tahu apa yang sebenarnya, Eyang.”
Eyang sepertinya mengetahui arah pembicaraanku. Dia mengangguk-angguk kecil. Dia berdiri dan menyerahkan kotak yang sejak tadi dia bawa.
“Mungkin bukan eyang yang akan menjelaskan ini semua. Ibumu sendiri yang akan menjelaskannya.” Eyang tampak sedang menahan rasa haru. “Bukalah!” Eyang menyeka air matanya yang tiba-tiba keluar. “Ini ditulis oleh ibumu sehari sebelum dia diangkat kanker rahimnya oleh Dokter, namun gagal.”
# # #
Eyang membiarkanku sendiri membaca surat dari ibu di dalam kamar. Surat itu terdiri dari 10 halaman kertas folio bergaris yang ditulis tangan oleh ibu. Aku benar-benar menyiapkan mental untuk membaca kata demi kata di setiap halamannya.
Dua halaman pertama, ibu lebih banyak bercerita tentang kecintaannya kepadaku, rasa penyesalannya karena tak bisa mendampingiku hingga dewasa, dan hal-hal kecil lain seperti rasa senangnya dia saat mengandung diriku. Meski tanpa suami. Eyang mendukung penuh kehamilan ibu walaupun dengan satu syarat, dia tak boleh menikah dengan ayah—maksudku August.
Lima halaman berikutnya, ibu bercerita banyak tentang August. Tentang pertemuan mereka berdua, tentang reputasi August sebagai seorang playboy, dan tentang rasa cintanya ibu dengan August.
Dia orang baik, Varlian. Jika tidak, ibu tak akan jatuh cinta kepadanya. Keputusan keluarga besar untuk menentang August menjadi suami ibu karena dia ketahuan sedang menjalin hubungan dengan mantannya. Jujur, ibu sakit hati. Tapi ibu yakin, dia tetap memilih ibu. Suatu malam hujan lebat dan dia datang ke rumah untuk meminta maaf. Ibu hanya bisa melihatnya dari balkon atas kamar karena eyang dan keluarga tak memperbolehkan dia masuk. Hati ibu benar-benar hancur. Tapi dalam hati kecil ibu, ibu masih mencintai dia walaupun dia sudah berkhianat. Untuk apa ibu menyerahkan kesucian ibu jika ibu tak mencintainya. Karena ibu yakin, dia adalah yang Tuhan kirimkan untuk ibu.
Ibu mencintai August sepenuh hati setelah lelaki itu mengkhianatinya? Sebelum aku membaca kelanjutan surat ibu, aku sempat marah. Tapi halaman berikutnya, mempertegas jawaban ibu.
Ibu terkena kanker rahim pasca melahirkan kamu. Untung kamu selamat, Lian. Tapi ibu tak kuat lagi menahan penyakit ini hingga kamu berumur 3 tahun. Kondisi ibu semakin lemah. Tapi di luar itu, August masih sering menghubungi ibu dan dia selalu ada di samping ibu meskipun secara diam-diam tanpa sepengetahuan eyang dan keluarga. Ini mempertegas bahwa rasa penyesalannya begitu dalam dan ia ingin kembali kepada ibu.
Hingga suatu ketika, kamu tiba-tiba masuk ke rumah sakit.
Tunggu, aku pernah masuk rumah sakit waktu kecil? Mungkin, hanya masalah sepele seperti demam atau....
Sejak lahir ternyata kamu hanya punya satu ginjal yang berfungsi, ginjalmu yang satu mengalami kelainan. Untung saja, dokter segera mengetahuinya setelah kami membawamu ke rumah sakit karena kamu demam tinggi dan sering muntah. Kondisimu semakin lemah. Kukira itu hanya demam biasa, tapi ternyata tidak. Fungsi ginjalmu semakin menurun dan memerlukan penanganan yang serius, salah satunya adalah transplantasi.
Aku menelan ludah. Ini tidak mungkin.
Jika suatu saat kamu bertemu dengan August, ibu mohon kamu jangan membencinya. Dia memang pernah mengkhianati ibu. Namun, rasa penyesalannya telah mengembalikan kepercayaan ibu sepenuhnya. Meskipun sampai sekarang, mungkin, eyang tidak akan menyetujui hubungan kami.
Jangan pernah membenci dia, ayahmu. Meskipun sampai ibu pergi, kami berdua belum ada ikatan pernikahan.
Ibu tahu dia juga menderita. Jangan bebani hidupnya dengan kebencianmu. Jika kamu bertemu dengannya, sampaikan salam ibu kepadanya.
Ibu akan selalu mencintainya. Dan ucapkan terima kasih, karena dia telah memberikan satu ginjalnya untukmu.
# # #
Dear Varlian,
Saya tahu, setelah tahu bahwa saya yang mengkhianati ibumu, kamu akan membenci saya sepenuhnya. Maafkan ayahmu ini, Lian. Ayah telah meninggalkanmu. Ini sebuah pilihan. Satu-satunya cara agar bisa dekat dengan kamu adalah tinggal tak jauh dari kamu. Di Jakarta sejak kamu kecil, saya sudah tinggal di dekat rumahmu. Di Jogja saya tinggal di sebelah kos-kosan kamu. Memperhatikan kamu tertawa, menyanyi di balkon, berteriak, kadang marah, dan juga patah hati karena cewek.
Meskipun awalnya, ayah tak ingin mengenalkan diri ayah. Karena ayah tahu, suatu saat kamu tahu tentang saya, kamu akan marah.
Tapi ayah hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Maafkan ayah.
August,
TAMAT
0
Kutip
Balas