- Beranda
- Stories from the Heart
MATA RANTAI - THE GHOST HUNTER
...
TS
wignyaharsono
MATA RANTAI - THE GHOST HUNTER
Halo Agan-agan Semua

Selamat datang di Thread MATA RANTAI. Thread ini berisi cerita seri (serial dongeng) tentang seorang lelaki bernama JUNA JANUARDO yang diberi titah untuk meneruskan sebuah perusahaan supranatural. Ide ceritanya gue ambil dari beberapa film dan gue gabung-gabung. Inilah beberapa film yang menginspirasi gue.
1. Kingsman
2. Harry Potter
3. Hunger Games
4. Don Jon
5. Fifty Shade of Grey
7. Insidious
8. The Conjuring
Gabungan inspirasi kedelapan film itu menghasilkan sebuah plot cerita novel yang rencananya sekitar 40an BAB dengan judul MATA RANTAI.
Semoga berkenan dan selamat membaca. Just info, cerita ini juga aku muat di blog pribadi (www.wignyawirasana.com)
Salam Ndongeng,
WH

Selamat datang di Thread MATA RANTAI. Thread ini berisi cerita seri (serial dongeng) tentang seorang lelaki bernama JUNA JANUARDO yang diberi titah untuk meneruskan sebuah perusahaan supranatural. Ide ceritanya gue ambil dari beberapa film dan gue gabung-gabung. Inilah beberapa film yang menginspirasi gue.
1. Kingsman
2. Harry Potter
3. Hunger Games
4. Don Jon
5. Fifty Shade of Grey
7. Insidious
8. The Conjuring
Gabungan inspirasi kedelapan film itu menghasilkan sebuah plot cerita novel yang rencananya sekitar 40an BAB dengan judul MATA RANTAI.
Semoga berkenan dan selamat membaca. Just info, cerita ini juga aku muat di blog pribadi (www.wignyawirasana.com)
Salam Ndongeng,
WH
Quote:
Original Posted By wignyaharsono►
SINOPSIS
JUNA JANUARDO adalah seorang bisnisman yang sukses mengelola Digiforyou, sebuah perusahaan konsultan digital. Dia ganteng, kharismatik, dan semua wanita mendambakannya. Hidupnya baik-baik saja. Dia memilki keluarga yang bahagia, teman-teman menyenangkan, dan tentunya wanita-wanita yang mengantri untuk diajak jalan dengannya.
Hidupnya berubah dalam hitungan detik saat seseorang menghubunginya dan mengatakan bahwa Juna adalah generasi Mata Keempat yang akan memimpin Mata Rantai, Perusahaan Non Government yang dilegalkan untuk mengurusi kasus-kasus yang berhubungan dengan dunia gaib.
Ini adala kisah tentang perjuangan, ambisi, pengkhianatan, dan cinta yang dibumbui dengan dunia gaib dan teknologi.
INDEX
- PROLOG
- BAB 1
- BAB 2
- BAB 3
- BAB 4
- BAB 5
- BAB 6
- BAB 7
- BAB 8
- BAB 9
- BAB 10 (part 1)
- BAB 10 (part 2)
- BAB 11
- BAB 12
- BAB 13
- BAB 14
- BAB 15
- BAB 16
- BAB 17
- BAB 18 bagian pertama
- BAB 18 bagian kedua
- BAB 19
- BAB 20
- BAB 21
- BAB 22 bagian pertama
- BAB 22 bagian kedua
- BAB 23 bagian pertama
- BAB 23 bagian kedua
- BAB 24
- BAB 25 bagian pertama
- BAB 25 bagian kedua
- BAB 26
- BAB 27 bagian pertama
- BAB 27 bagian kedua
- BAB 28
- BAB 29
- BAB 30
- BAB 31
- BAB TERAKHIR
SINOPSIS
JUNA JANUARDO adalah seorang bisnisman yang sukses mengelola Digiforyou, sebuah perusahaan konsultan digital. Dia ganteng, kharismatik, dan semua wanita mendambakannya. Hidupnya baik-baik saja. Dia memilki keluarga yang bahagia, teman-teman menyenangkan, dan tentunya wanita-wanita yang mengantri untuk diajak jalan dengannya.
Hidupnya berubah dalam hitungan detik saat seseorang menghubunginya dan mengatakan bahwa Juna adalah generasi Mata Keempat yang akan memimpin Mata Rantai, Perusahaan Non Government yang dilegalkan untuk mengurusi kasus-kasus yang berhubungan dengan dunia gaib.
Ini adala kisah tentang perjuangan, ambisi, pengkhianatan, dan cinta yang dibumbui dengan dunia gaib dan teknologi.
INDEX
- PROLOG
- BAB 1
- BAB 2
- BAB 3
- BAB 4
- BAB 5
- BAB 6
- BAB 7
- BAB 8
- BAB 9
- BAB 10 (part 1)
- BAB 10 (part 2)
- BAB 11
- BAB 12
- BAB 13
- BAB 14
- BAB 15
- BAB 16
- BAB 17
- BAB 18 bagian pertama
- BAB 18 bagian kedua
- BAB 19
- BAB 20
- BAB 21
- BAB 22 bagian pertama
- BAB 22 bagian kedua
- BAB 23 bagian pertama
- BAB 23 bagian kedua
- BAB 24
- BAB 25 bagian pertama
- BAB 25 bagian kedua
- BAB 26
- BAB 27 bagian pertama
- BAB 27 bagian kedua
- BAB 28
- BAB 29
- BAB 30
- BAB 31
- BAB TERAKHIR
Diubah oleh wignyaharsono 08-11-2015 02:11
cumibakar217 dan 18 lainnya memberi reputasi
15
63.1K
Kutip
448
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wignyaharsono
#20
BAB 6
Spoiler for BAB 6:
Pesta berlangsung hingga tengah malam. Suara musik menggema di rungan bulat berdinding kaca. Lantai dansa masih penuh dengan para karyawan Mata Rantai. Besok hari minggu dan tidak ada kerjaan yang menuntut untuk datang pagi. Jadi mereka lebih memilih berpesta sampai pagi. Tapi tidak untuk Juna Mata. Kepalanya mendadak pusing kembali dan dia memilih untuk menepi dari keramaian.
Orang-orang tak menyadari kepergian Juna. Dia melewati lorong panjang. Lift berada di ujung lorong, namun dia berbelok ke kiri, menuju pintu darurat. Setelah menuruni beberapa anak tangga, dia meraba dinding di depannya. Tanda garis biru mengelilingi pergelangan tangannya.
Juna menarik tangan dan menyisakan lubang kecil yang mengeluarkan sinar laser warna biru, hijau, dan merah. Seperti ketika akan masuk ke ruang-ruang lain di gedung ini, laser itu mendeteksi retina mata dan lekuk tubuh.
Akses diterima. Selamat Datang Tuan Juna Mata.
Dinding terbuka. Sebuah lift. Ketika mengajaknya ke lift ini kemarin, Ariana bilang bahwa ini lift khusus ke lantai 13, angka lantai yang tidak pernah ada di lift umum gedung. Letak pintunya tersembunyi dan hanya 4 orang yang tahu keberadaannya. Ariana, Arya, Janero, dan pemilik ruangan istimewa di lantai 13. Dan kini, Junalah si pemilik ruangan itu. Ruangan 13 lebih tepat disebut sebagai rumah.
Lift terbuka dan Juna disambut oleh ruang tamu besar dengan sofa-sofa berbahan lembut. Permadani warna merah marun menutupi lantai marmer warna cokelat tua. Di belakang ruang tamu adalah ruang santai, dapur bersih, kamar mandi tamu, dan dua kamar. Satu kamar milik Arya, asisten utama di Mata Rantai. Dan satu lagi adalah milik Tuan Mata, yang kini menjadi milik Juna.
Awalnya Juna menolak tinggal di tempat ini. Sendiri, di dalam gedung yang masih terasa asing, akan membuatnya mati kebosanan. Namun, setelah memasuki kamarnya, dia seperti tersihir untuk menempatinya. Kamarnya hanya diisi oleh kamar tidur berukuran besar, sebuah meja kerja, dan kursi goyang di dekat jendela super besar berukir naga. Di belakang tempat tidur, ada lukisan besar seorang lelaki tampan. Lukisan Tuan Mata yang tampak gagah. Lukisan itu seolah-olah selalu mengikuti arah gerak siapapun yang datang ke kamar ini.
Juna seharusnya takut.
Tapi tidak, dia tidak takut sama sekali. Sama tidak takutnya, saat ia memutuskan untuk menerima tawaran Arya dan bergabung dengan Mata Rantai. Ia sendiri belum terlalu mengenal Tuan Mata. Mamanya sudah cerita bahwa Tuan Mata memang ayah kandungnya. Sampai detik ini, dia belum percaya. Walaupun di jurang hati kecilnya, ia mengakuinya. Sedikit.
Mengapa dia menerima tawaran Arya? Sesorean mengobrol dengan ibunya seperti membuka hatinya. Nyonya Raya bercerita, sesekali menangis. Menceritakan kisah cintanya yang kandas karena profesi Tuan Mata sebagai seorang paranormal. Kakek Juna tak setuju, mungkin siapapun tak setuju memiliki menantu dukun.
Apakah ini keputusan tepat? Juna tak mengerti. Ia hanya ingin membuktikan sendiri. Jika memang benar, Tuan Mata adalah ayahnya, tentu ada sesuatu yang diwariskan kepada dirinya. Bukan harta, bukan tahta. Mungkin sesuatu yang lebih personal. Ia ingin mengenal lebih dekat dengan dia.
Dan tentunya, ingin mengembalikan Mata Rantai menjadi perusahaan yang luar biasa.
Juna menghempaskan tubuhnya ke kasur. Rasa pusing kepalanya sedikit menghilang. Arya tentu masih berhutang satu cerita, mengapa dia selalu pusing seperti itu.
Dia melepas jas yang membuatnya kegerahan. Ada sesuatu yang mengganjal di saku jasnya. Sebuah undangan.
Grand Opening Galeri Mahakarya. Undangan dari Alexa Crain. Juna mengembuskan napas kecil. Mungkin dia memang harus segera bertindak, mempelajari semua hal tentang organisasi yang tidak sama sekali ia mengerti ini. Mengenal semua orang baik-baik. Termasuk datang ke acara-acara penting, seperti grand opening galeri ini.
Juna meletakkan undangan itu di meja kecil di samping tempat tidur. Di sana juga ada remote, seperti remote TV. Saat datang ke kamar ini untuk pertama kalinya bersama Ariana kemarin, dia diajari untuk menggunakan alat itu.
Juna menekan tombol merah. Dinding kamar di depannya berubah terang, seperti sebuah layar LED besar. Juna kembali memencet tombol lagi, angka 1. Dan kini layar itu menampakkan keadaan ruang di lantai satu. Dia mengganti ke angka 17 dan dia melihat ruang pesta yang masih tampak ramai. Satu-satunya tempat yang tidak ada di tombol itu adalah toilet. Jadi, Juna bisa memonitor semua hal yang ada di gedung ini.
Di pojok kanan atas, ada lambang pesan yang belum terbaca. Juna menekan tanda pesan itu. Pesan dari Ariana.
Hi, Tuan.
Ready for your first training on Monday?
06.00 – 07.00 : Swimming
07.00 – 08.00 : Makan pagi
08.00 – 10.00 : Meeting bersama para asisten
10.00 – 12.00 : Pembukuan Organisasi bersama Aryanda Putera
12.00 – 13.00 : Makan siang
13.00 – 15.00 : Pengenalan dasar-dasar ilmu gaib bersama Dodo dan Dede
15.00 – 17.00 : Fitting baju bersama Eva
17.00 – 19.00 : Istirahat
19.00 – 21.00 : Makan malam bersama pemerintahan
21.00 – 24.00 : Persiapan untuk praktik pengujian diri
24.00 – 03.00 : Praktik Ilmu Gaib
Juna mendelik melihat jadwalnya untuk Senin besok. Dia menekan tombol telepon warna hijau di layar. Lalu mencari nama Mrs. Ariana di daftar kontak.
“Hai, Tuan.” Muka Ariana muncul di layar itu. Wajahnya terlihat lelah. Juna tahu bahwa gadis itu masih ada di ruang pesta.
“Masih ada di ruang pesta?”
“Ya, menemani beberapa kolega. Tuan sudah ada di kamar sepertinya?”
“Cepatlah kembali ke apartemenmu, hari sudah mau pagi. Apa yang akan orang katakan kalau tahu kamu pulang sepagi ini?” Juna melihat ke jam dinding. Hampir jam dua pagi.
“Astaga, mengapa Tuan mendadak cerewet seperti itu?”
Juna tertegun. Menyadari apa yang seharusnya tidak ia katakan. “Lupakan. Yang jelas aku ingin menanyakan jadwal saya di hari Senin. Mengapa jadi sepadat itu? Dan apa itu....pengenalan dasar ilmu gaib? Training macam apa itu? Dan satu lagi, di sini mengapa jadi kamu yang jadi banyak mengatur jadwal. Saya yang bosnya, bukankah seperti itu?”
“Oh, ternyata memang Tuan cerewet sekali. Arya yang memintaku menyusun jadwal seperti itu untuk kebaikan Tuan. Seharusnya Tuan mengerti.”
Juna mendengus sebal. Wanita yang ada di layar itu tersenyum kecil sambil terus ngomong. Dan untuk pertama kalinya, Juna memilih untuk mendengarkan seorang wanita. Hal yang tidak pernah ia lakukan. Baginya selama ini, auranya sudah bisa menaklukkan semua wanita. Tapi ternyata tidak untuk Ariana.
Setelah Ariana tidak berada di layar, Juna melempar remotenya di atas kasur. Meski rasa pusingnya berangsur hilang, namun dia tidak bisa membayangkan betapa menyebalkannya hari Senin besok.
Hari Senin Juna dimulai dengan pertengkaran kecil dengan Ariana. Juna memilih untuk tidak berenang dan langsung mau makan. Dia juga langsung memajukan meeting dengan para asisten. Di sanalah Juna mulai mendengarkan satu persatu penjelasan tentang jalannya perusahaan ini. Juna langsung memanggil Kepala Departemen terkait. Meminta mereka untuk menjabarkan secara detail apa yang mereka kerjakan. Hadiah buat Juna adalah setumpuk buku neraca keuangan dan laporan bisnis. Meeting yang dijadwalkan hanya dua jam, molor sampai makan siang.
Ariana tak berkutik ketika Juna memutar balikkan jadwal. Dia memilih untuk fitting baju bersama si Eva terlebih dahulu. Beberapa stelan jas dan kemeja sudah dibuatkan Eva. Juna juga memilih beberapa baju santai, sepatu, dan aksesoris.
“Saya seharusnya tidak perlu banyak bekerja, Bos,” ucap Eva kepada Juna. Satu-satunya orang yang memanggilnya Bos hanyalah dirinya.
“Maksudmu?”
“Kamu sudah terlalu tampan, memiliki bentuk badan yang proporsional, bentuk wajah tirus yang sangat indah. Bahkan pacarku saja tidak seperti itu,” Eva tertawa cekikikan sambil melirik seorang brondong yang duduk di sofa. Secara penampilan terlihat sangat oke.
Menurut Ariana, Gerry, cowok itu, adalah pacar yang setia. Umurnya memang lima tahun di bawah Eva. Dan sudah satu setengah tahun ini mereka pacaran.
“Mereka gay?” tanya Juna kepada Ariana pelan saat Eva tak lagi di dekatnya.
“Tidak. Mereka hanya tidak tahu caranya membedakan jenis kelamin lelaki dan perempuan. Bagiku itu sah-sah saja,” jelas Ariana kepada Juna.
Setelah dua jam memilih baju dan aksesoris dengan Eva, sesekali diselingi dengan canda tawa bersama Gerry, mereka mengakhiri sesi itu. Juna ditarik oleh Ariana keluar dari ruang kerja Eva di lantai 5 dan segera menuju lantai 3, tempat Dodo dan Dede berada.
Sesi latihan bersama dua orang itu cukup menyenangkan. Mereka adalah penggemar berat teknologi dan juga alam gaib. Bersama mereka, Juna diajarkan bermacam-macam jenis kasus yang pernah mereka tangani. Kuntilanak, genderuwo, pocong, rumah berhantu. Sampai pada titik ketika mereka menjelaskan tentang rasa pusing yang sering diderita oleh Juna.
“Tuan Juna tak perlu khawatir. Itu efek dari penglihatan untuk alam gaib yang semakin tinggi. Nantinya tak hanya bisa melihat, kamu juga akan bisa berpindah ke altar yang lain. Kehidupan antara dunia dan alam akhir. Di mana orang-orang yang matinya penasaran berada di sana. Mengalami penyiksaan batin. Itu karena kamu punya indera ketujuh Tuan.” Dede menjelaskan kepada Juna. “Rasa pusing itu nanti akan berangsur-angsur hilang kok. Begitulah yang dialami orang-orang yang memiliki indera ketujuh.”
Juna hanya menelan ludah memandangi kedua asistennya itu. Tidak perlu mencari penjelasan dari Arya. Penjelasan mereka sudah cukup.
Selain menjelaskan berbagai hal tentang alam gaib, Juna juga diajak bermain-main dengan beberapa aplikasi ciptaan mereka di tabs. Misalnya, games menangkap tuyul yang lucu namun bertugas untuk mencuri uang-uang di rumah. Juna dibuat kesal oleh tingkah laku tuyul yang ternyata lebih sangat menyebalkan karena licik dan lincah. Nama permainannya Tangkap Tuyul.
“Kalo ini apa?” tanya Juna sembari menunjuk satu aplikasi yang diberi judul Jejak Hantu.
Dodo mendekati Juna. “Oh itu, itu adalah alat pendeteksi jejak hantu. Aku yang menciptakannya.”
“Aku yang mengusulkan idenya,” sambung Dodo tak mau kalah.
Juna menekan simbol aplikasi berupa pocong yang di bawahnya bertuliskan Jejak Hantu.
“Jangan sekarang praktiknya. Nanti saja malam saja, Tuan.” Dede merebut paksa tabs dari tangan Juna, seolah dia merebut dari temannya, bukan atasannya.
“I’m your Boss, right?” Juna pura-pura galak.
“Tapi sekarang sudah hampir jam setengah empat. Sudah waktunya kita melihat konser di TV. Sorry.” Dodo menyalakan televisi LED.
“Do, coba kamu panggil Gordon dulu. Dia pasti juga tak ingin ketinggalan.”
Gordon tiba lima menit setelah Dodo menghubunginya. Sejak tadi dia berada di pos satpam, menanti panggilan untuk bertugas. Tapi ternyata Juna tidak pergi keluar kantor, jadi tidak membutuhkan penjagaan.
Dodo, Dede, dan Gordon tampak langsung duduk di depan televisi tanpa memedulikan Juna yang ada di belakang mereka. Pukul 16.30 tepat, layar televisi menampilkan panggung raksasa dengan jutaan penggemar ada di depannya yang berteriak-teriak. Mereka bertiga sudah ikutan berteriak saat personel SNSD keluar dengan lagu pertama mereka.
Tepat pukul 21.00, Juna dijemput di lantai 13 oleh Ariana. Tak ada penjelasan apapun dari Ariana. Namun, melihat jadwalnya, malam ini adalah praktik pengujian alam gaib. Juna belum tahu, apa yang akan terjadi nanti. Bayangannya, dia akan menghadapi makhluk gaib, seperti pocong atau genderuwo.
Sial, mengapa mendadak Juna merasa takut. Dia memilih diam sepanjang perjalanan dari kamar lantai 13 ke lobi.
“Kamu takut, Tuan?” tanya Ariana.
Juna tak menjawab dan hanya menggeleng. Dia tak mungkin berterus terang di depan asisten wanitanya itu.
Di lobi, mereka berdua disambut oleh Dodo, Dede, Janero, dan Gordon. Dodo dan Dede menyambut dengan jabat erat sambil tertawa. Sementara Janero hanya diam cuek. Sejak mendengar percakapan Janero dan seseorang di toilet kemarin, Juna merasa bahwa Janero seperti sebuah ancaman di sini.
Tanpa percakapan yang banyak, Juna diajak naik mobil. Di dalam mobil, Dodo dan Dede masih membicarakan tentang konser SNSD yang sore tadi diputar di televisi di bangku pertama. Dodo yang menyetir, sementara Dede berada di sampingnya. Sesekali mereka berdebat, siapakah tadi yang menyanyinya paling bagus. Lalu mereka mengomentari pakaian yang dipakai di lagu pertama hingga terakhir. Sementara Gordon yang berada di baris belakang tak banyak komentar. Lelaki sangar itu memang tak terlalu banyak bicara.
Di bangku kedua, Ariana diapit oleh Juna dan Janero. Janero tak banyak cakap seperti waktu pertama kali bertemu. Dia memilih memandangi kerlip lampu jalan. Ariana sesekali masih menanggapi ketika Juna bertanya. Namun, dia tak memberitahu ke manakah mereka akan pergi.
Mobil berhenti di sebuah jalan sepi. Mereka semua keluar.
Juna Mata mengamati keadaan sekitar. Di kanan kiri jalan adalah pohon-pohon menjulang tinggi dengan daun-daun besar. Jalanan tak beraspal dan sedikit becek. Pantas saja tadi di dalam mobil serasa bergoyang-goyang. Dan sepertinya mereka sudah keluar dari wilayah Jakarta.
Mata Juna berakhir pada papan setinggi dua meter bercat putih. Sebenarnya catnya sudah mulai memudar dan mulai berubah cokelat. Namun, warna cokelatnya tidak menutupi tulisan hitam yang ada di sana.
MAKAM SEKARJATI, DEPOK.
“Apa yang akan kita lakukan di sini?” tanya Juna setelah dia dan yang lain berada di dalam makam.
Tak ada cahaya di sana. Satu-satunya cahaya berasal dari senter yang dibawa oleh Ariana. Tetapi cahaya senter itu justru menambah aura mistis. Beberapa kali cahayanya mengenai batu nisan berwarna putih. Atau makam baru yang masih beraroma mawar dan melati yang segar. Wangi kamboja bercampur dengan tanah basah terkadang tercium juga.
“Nonton film,” jawab Janero sambil melirik Juna. Sepertinya dia lupa bahwa Juna nanti akan menjadi atasannya.
“Janero, apakah kamu akan terus bercanda? Ingat kan Juna nanti akan menjadi....”
“Bos kita, right?” Janero memandang Ariana. Ariana bersikap tak acuh dan kembali berjalan tanpa memedulikan yang lain. Sementara Janero mengikutinya dari belakang.
“Perjuangannya masih patut diacungi jempol, kan?” Dede terkekeh kecil. Dodo mengimbanginya dengan semburan tawa yang membuat Ariana menoleh dan mendelik ke arah keduanya. Dodo dan Dede menutup mulut mereka bersamaan.
“Apa yang kalian sembunyikan tentang mereka?” tanya Juna yang berdiri di baris belakang bersama Dodo dan Dede. Ariana dan Janero berada dua meter di depan mereka. Suaranya sangat pelan, namun masih bisa terdengar oleh kedua asistennya itu.
“Kisah cinta klasik. Si pangeran masih mengharapkan sang puteri menerima cintanya. Meski sudah dibawakan bunga mawar setruk, tetapi sang puteri tetap tidak menerima cinta pangeran.”
Dodo bersikap sok unyu menimpali ucapan Dodo. “Oh, mirip kisah drama korea.”
Juna ikut terkekeh. Tebakannya benar. Janero pasti menyukai Ariana.
Perjalanan mereka berujung di tengah makam. Kamboja semakin melepaskan aromanya. Menusuk hidung. Menebarkan wangi khas yang membuat bulu kuduk berdiri.
Dodo mengeluarkan sebuah baskom kecil dari dalam tasnya. Sementara Dede menggelar tikar dan menempatkan meja kecil di atasnya.
“Ayo duduk,” ajak Ariana kepada semua orang.
Keenam orang itu duduk melingkari meja. Di atas meja kini terdapat baskom berisi air, pensil, kertas warna putih beberapa lembar, dan racikan bunga tujuh rupa. Dede mengeluarkan tabs dari dalam tasnya, menghidupkan aplikasi Jejak Hantu.
“Saatnya menguji aplikasi kita nih, Do.” Dede mengerlingkan mata ke arah Dodo. Dodo mengangguk.
Dari kelima orang itu, hanya Juna yang tak paham dengan apa yang akan terjadi. Jika ini adalah pengujian alam gaib, apakah mereka akan meninggalkannya sendiri di sini? Di tengah makam menyeramkan ini. Mungkin dia harus menjaga lilin agar tetap menyala, atau yang lebih ekstrem dia harus menunggui hantu-hantu yang ingin minum air kembang.
Jujur, selama ini Juna belum pernah melihat hantu. Walaupun belakangan ini, dia sering melihat bayangan-bayangan aneh yang berseliweran di sekitarnya, tetapi secara kasat mata dia belum pernah melihat. Dan sangat menjengkelkan sekali jika malam ini dia dipaksa untuk ‘melihat’.
“Tuan,”panggil Ariana. Juna menoleh ke arah gadis yang belakangan ini membuat jantungnya beberapa kali berhenti berdetak. “Apakah Tuan sudah diceritakan oleh Arya atau ibu kamu, bahwa kamu....”
Juna langsung menyambar ucapan Ariana. “Indera ketujuh. Mereka yang cerita tadi.” Juna menunjuk Dodo dan Dede.
“Ya, tepat sekali. Indera keenam hanya bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata awam. Sementara indera ketujuh, bisa melihat, merasakan, bahkan bisa berada di alam lain. Alam antara kehidupan bumi dan alam kematian.”
“Kamu takut?” Janero bertanya kepada Juna.
Juna menggeleng. “Akan lebih takut jika ditolak seorang wanita.”
Dodo dan Dede tersedak. Hampir saja mereka tertawa jika tidak segera ingat bahwa mereka masih berada di tengah-tengah makam. Janero memandang tajam ke arah Juna yang dibalas dengan tatapan sinis.
“Malam ini, kita akan melatih indera keenam dan ketujuh kamu, Tuan Mata.”
Lampu senter di matikan. Tersisa nyala lilin kecil. Angin semilir pelan yang membuat api lilin berkibar-kibar. Beberapa kali mati. Lalu dihidupkan lagi oleh Ariana.
“Mereka datang,” ucap Dede lirih sambil melihat titik-titik merah mendekat ke lingkaran hitam sebagai penanda keberadaan mereka di aplikasinya. Tabsnya berbunyi tut tut tut beberapa kali.
“Siapa kalian?” tanya Janero, entah kepada siapa.
Pensil di atas meja tiba-tiba bergerak sendiri. Menulis sesuatu di atas kertas. Tetapi anehnya, tulisan itu tidak terlihat. Sepertinya pensil itu khusus yang diciptakan oleh Dodo dan Dede. Saat pensil itu berhenti menulis, Ariana mengambil kertasnya dan memasukkan ke dalam baskom yang berisi air.
Dan tulisannya terlihat.
AKU MULYADI.
Bulu kuduk Juna mendadak berdiri. Dia melihat ke kanan dan ke kiri. Lalu pandangannya kembali pada Janero yang bertanya secara cepat entah kepada siapa. Pensil bergerak lagi di atas kertas, Ariana mengambil kertasnya lalu memasukkan ke dalam baskom. Begitu seterusnya sampai beberapa kali.
Juna merasakan kepalanya pening. Ada suara-suara yang berbisik-bisik kepadanya. Pandangannya mengabur. Dia memegangi kepala. Rasanya sakit sekali. Suara itu semakin lama semakin keras dan mengacaukan telinga. Gendang telinga seakan dipukul-pukul.
Indera ketujuh akan semakin terasah di umurmu yang kedua puluh delapan
Suara mama Juna sore itu menggema kembali.
Umur dua puluh delapan adalah umur yang matang untuk menerima ilmu ini.
Ilmu penglihatan.
Ilmu pendengaran.
Suara mamanya semakin keras.
Kamu memang darah mata.
Telinganya sakit. Juna menjerit. Matanya perih. Pandangannya kabur. Dan saat ia membuka mata, dia melihat hantu di mana-mana. Di belakang Ariana, di dekat tanah kuburan baru, di atas pohon. Semua bermacam-macam bentuknya.
Dan Juna pun pingsan.
Orang-orang tak menyadari kepergian Juna. Dia melewati lorong panjang. Lift berada di ujung lorong, namun dia berbelok ke kiri, menuju pintu darurat. Setelah menuruni beberapa anak tangga, dia meraba dinding di depannya. Tanda garis biru mengelilingi pergelangan tangannya.
Juna menarik tangan dan menyisakan lubang kecil yang mengeluarkan sinar laser warna biru, hijau, dan merah. Seperti ketika akan masuk ke ruang-ruang lain di gedung ini, laser itu mendeteksi retina mata dan lekuk tubuh.
Akses diterima. Selamat Datang Tuan Juna Mata.
Dinding terbuka. Sebuah lift. Ketika mengajaknya ke lift ini kemarin, Ariana bilang bahwa ini lift khusus ke lantai 13, angka lantai yang tidak pernah ada di lift umum gedung. Letak pintunya tersembunyi dan hanya 4 orang yang tahu keberadaannya. Ariana, Arya, Janero, dan pemilik ruangan istimewa di lantai 13. Dan kini, Junalah si pemilik ruangan itu. Ruangan 13 lebih tepat disebut sebagai rumah.
Lift terbuka dan Juna disambut oleh ruang tamu besar dengan sofa-sofa berbahan lembut. Permadani warna merah marun menutupi lantai marmer warna cokelat tua. Di belakang ruang tamu adalah ruang santai, dapur bersih, kamar mandi tamu, dan dua kamar. Satu kamar milik Arya, asisten utama di Mata Rantai. Dan satu lagi adalah milik Tuan Mata, yang kini menjadi milik Juna.
Awalnya Juna menolak tinggal di tempat ini. Sendiri, di dalam gedung yang masih terasa asing, akan membuatnya mati kebosanan. Namun, setelah memasuki kamarnya, dia seperti tersihir untuk menempatinya. Kamarnya hanya diisi oleh kamar tidur berukuran besar, sebuah meja kerja, dan kursi goyang di dekat jendela super besar berukir naga. Di belakang tempat tidur, ada lukisan besar seorang lelaki tampan. Lukisan Tuan Mata yang tampak gagah. Lukisan itu seolah-olah selalu mengikuti arah gerak siapapun yang datang ke kamar ini.
Juna seharusnya takut.
Tapi tidak, dia tidak takut sama sekali. Sama tidak takutnya, saat ia memutuskan untuk menerima tawaran Arya dan bergabung dengan Mata Rantai. Ia sendiri belum terlalu mengenal Tuan Mata. Mamanya sudah cerita bahwa Tuan Mata memang ayah kandungnya. Sampai detik ini, dia belum percaya. Walaupun di jurang hati kecilnya, ia mengakuinya. Sedikit.
Mengapa dia menerima tawaran Arya? Sesorean mengobrol dengan ibunya seperti membuka hatinya. Nyonya Raya bercerita, sesekali menangis. Menceritakan kisah cintanya yang kandas karena profesi Tuan Mata sebagai seorang paranormal. Kakek Juna tak setuju, mungkin siapapun tak setuju memiliki menantu dukun.
Apakah ini keputusan tepat? Juna tak mengerti. Ia hanya ingin membuktikan sendiri. Jika memang benar, Tuan Mata adalah ayahnya, tentu ada sesuatu yang diwariskan kepada dirinya. Bukan harta, bukan tahta. Mungkin sesuatu yang lebih personal. Ia ingin mengenal lebih dekat dengan dia.
Dan tentunya, ingin mengembalikan Mata Rantai menjadi perusahaan yang luar biasa.
Juna menghempaskan tubuhnya ke kasur. Rasa pusing kepalanya sedikit menghilang. Arya tentu masih berhutang satu cerita, mengapa dia selalu pusing seperti itu.
Dia melepas jas yang membuatnya kegerahan. Ada sesuatu yang mengganjal di saku jasnya. Sebuah undangan.
Grand Opening Galeri Mahakarya. Undangan dari Alexa Crain. Juna mengembuskan napas kecil. Mungkin dia memang harus segera bertindak, mempelajari semua hal tentang organisasi yang tidak sama sekali ia mengerti ini. Mengenal semua orang baik-baik. Termasuk datang ke acara-acara penting, seperti grand opening galeri ini.
Juna meletakkan undangan itu di meja kecil di samping tempat tidur. Di sana juga ada remote, seperti remote TV. Saat datang ke kamar ini untuk pertama kalinya bersama Ariana kemarin, dia diajari untuk menggunakan alat itu.
Juna menekan tombol merah. Dinding kamar di depannya berubah terang, seperti sebuah layar LED besar. Juna kembali memencet tombol lagi, angka 1. Dan kini layar itu menampakkan keadaan ruang di lantai satu. Dia mengganti ke angka 17 dan dia melihat ruang pesta yang masih tampak ramai. Satu-satunya tempat yang tidak ada di tombol itu adalah toilet. Jadi, Juna bisa memonitor semua hal yang ada di gedung ini.
Di pojok kanan atas, ada lambang pesan yang belum terbaca. Juna menekan tanda pesan itu. Pesan dari Ariana.
Hi, Tuan.
Ready for your first training on Monday?
06.00 – 07.00 : Swimming
07.00 – 08.00 : Makan pagi
08.00 – 10.00 : Meeting bersama para asisten
10.00 – 12.00 : Pembukuan Organisasi bersama Aryanda Putera
12.00 – 13.00 : Makan siang
13.00 – 15.00 : Pengenalan dasar-dasar ilmu gaib bersama Dodo dan Dede
15.00 – 17.00 : Fitting baju bersama Eva
17.00 – 19.00 : Istirahat
19.00 – 21.00 : Makan malam bersama pemerintahan
21.00 – 24.00 : Persiapan untuk praktik pengujian diri
24.00 – 03.00 : Praktik Ilmu Gaib
Juna mendelik melihat jadwalnya untuk Senin besok. Dia menekan tombol telepon warna hijau di layar. Lalu mencari nama Mrs. Ariana di daftar kontak.
“Hai, Tuan.” Muka Ariana muncul di layar itu. Wajahnya terlihat lelah. Juna tahu bahwa gadis itu masih ada di ruang pesta.
“Masih ada di ruang pesta?”
“Ya, menemani beberapa kolega. Tuan sudah ada di kamar sepertinya?”
“Cepatlah kembali ke apartemenmu, hari sudah mau pagi. Apa yang akan orang katakan kalau tahu kamu pulang sepagi ini?” Juna melihat ke jam dinding. Hampir jam dua pagi.
“Astaga, mengapa Tuan mendadak cerewet seperti itu?”
Juna tertegun. Menyadari apa yang seharusnya tidak ia katakan. “Lupakan. Yang jelas aku ingin menanyakan jadwal saya di hari Senin. Mengapa jadi sepadat itu? Dan apa itu....pengenalan dasar ilmu gaib? Training macam apa itu? Dan satu lagi, di sini mengapa jadi kamu yang jadi banyak mengatur jadwal. Saya yang bosnya, bukankah seperti itu?”
“Oh, ternyata memang Tuan cerewet sekali. Arya yang memintaku menyusun jadwal seperti itu untuk kebaikan Tuan. Seharusnya Tuan mengerti.”
Juna mendengus sebal. Wanita yang ada di layar itu tersenyum kecil sambil terus ngomong. Dan untuk pertama kalinya, Juna memilih untuk mendengarkan seorang wanita. Hal yang tidak pernah ia lakukan. Baginya selama ini, auranya sudah bisa menaklukkan semua wanita. Tapi ternyata tidak untuk Ariana.
Setelah Ariana tidak berada di layar, Juna melempar remotenya di atas kasur. Meski rasa pusingnya berangsur hilang, namun dia tidak bisa membayangkan betapa menyebalkannya hari Senin besok.
# # #
Hari Senin Juna dimulai dengan pertengkaran kecil dengan Ariana. Juna memilih untuk tidak berenang dan langsung mau makan. Dia juga langsung memajukan meeting dengan para asisten. Di sanalah Juna mulai mendengarkan satu persatu penjelasan tentang jalannya perusahaan ini. Juna langsung memanggil Kepala Departemen terkait. Meminta mereka untuk menjabarkan secara detail apa yang mereka kerjakan. Hadiah buat Juna adalah setumpuk buku neraca keuangan dan laporan bisnis. Meeting yang dijadwalkan hanya dua jam, molor sampai makan siang.
Ariana tak berkutik ketika Juna memutar balikkan jadwal. Dia memilih untuk fitting baju bersama si Eva terlebih dahulu. Beberapa stelan jas dan kemeja sudah dibuatkan Eva. Juna juga memilih beberapa baju santai, sepatu, dan aksesoris.
“Saya seharusnya tidak perlu banyak bekerja, Bos,” ucap Eva kepada Juna. Satu-satunya orang yang memanggilnya Bos hanyalah dirinya.
“Maksudmu?”
“Kamu sudah terlalu tampan, memiliki bentuk badan yang proporsional, bentuk wajah tirus yang sangat indah. Bahkan pacarku saja tidak seperti itu,” Eva tertawa cekikikan sambil melirik seorang brondong yang duduk di sofa. Secara penampilan terlihat sangat oke.
Menurut Ariana, Gerry, cowok itu, adalah pacar yang setia. Umurnya memang lima tahun di bawah Eva. Dan sudah satu setengah tahun ini mereka pacaran.
“Mereka gay?” tanya Juna kepada Ariana pelan saat Eva tak lagi di dekatnya.
“Tidak. Mereka hanya tidak tahu caranya membedakan jenis kelamin lelaki dan perempuan. Bagiku itu sah-sah saja,” jelas Ariana kepada Juna.
Setelah dua jam memilih baju dan aksesoris dengan Eva, sesekali diselingi dengan canda tawa bersama Gerry, mereka mengakhiri sesi itu. Juna ditarik oleh Ariana keluar dari ruang kerja Eva di lantai 5 dan segera menuju lantai 3, tempat Dodo dan Dede berada.
Sesi latihan bersama dua orang itu cukup menyenangkan. Mereka adalah penggemar berat teknologi dan juga alam gaib. Bersama mereka, Juna diajarkan bermacam-macam jenis kasus yang pernah mereka tangani. Kuntilanak, genderuwo, pocong, rumah berhantu. Sampai pada titik ketika mereka menjelaskan tentang rasa pusing yang sering diderita oleh Juna.
“Tuan Juna tak perlu khawatir. Itu efek dari penglihatan untuk alam gaib yang semakin tinggi. Nantinya tak hanya bisa melihat, kamu juga akan bisa berpindah ke altar yang lain. Kehidupan antara dunia dan alam akhir. Di mana orang-orang yang matinya penasaran berada di sana. Mengalami penyiksaan batin. Itu karena kamu punya indera ketujuh Tuan.” Dede menjelaskan kepada Juna. “Rasa pusing itu nanti akan berangsur-angsur hilang kok. Begitulah yang dialami orang-orang yang memiliki indera ketujuh.”
Juna hanya menelan ludah memandangi kedua asistennya itu. Tidak perlu mencari penjelasan dari Arya. Penjelasan mereka sudah cukup.
Selain menjelaskan berbagai hal tentang alam gaib, Juna juga diajak bermain-main dengan beberapa aplikasi ciptaan mereka di tabs. Misalnya, games menangkap tuyul yang lucu namun bertugas untuk mencuri uang-uang di rumah. Juna dibuat kesal oleh tingkah laku tuyul yang ternyata lebih sangat menyebalkan karena licik dan lincah. Nama permainannya Tangkap Tuyul.
“Kalo ini apa?” tanya Juna sembari menunjuk satu aplikasi yang diberi judul Jejak Hantu.
Dodo mendekati Juna. “Oh itu, itu adalah alat pendeteksi jejak hantu. Aku yang menciptakannya.”
“Aku yang mengusulkan idenya,” sambung Dodo tak mau kalah.
Juna menekan simbol aplikasi berupa pocong yang di bawahnya bertuliskan Jejak Hantu.
“Jangan sekarang praktiknya. Nanti saja malam saja, Tuan.” Dede merebut paksa tabs dari tangan Juna, seolah dia merebut dari temannya, bukan atasannya.
“I’m your Boss, right?” Juna pura-pura galak.
“Tapi sekarang sudah hampir jam setengah empat. Sudah waktunya kita melihat konser di TV. Sorry.” Dodo menyalakan televisi LED.
“Do, coba kamu panggil Gordon dulu. Dia pasti juga tak ingin ketinggalan.”
Gordon tiba lima menit setelah Dodo menghubunginya. Sejak tadi dia berada di pos satpam, menanti panggilan untuk bertugas. Tapi ternyata Juna tidak pergi keluar kantor, jadi tidak membutuhkan penjagaan.
Dodo, Dede, dan Gordon tampak langsung duduk di depan televisi tanpa memedulikan Juna yang ada di belakang mereka. Pukul 16.30 tepat, layar televisi menampilkan panggung raksasa dengan jutaan penggemar ada di depannya yang berteriak-teriak. Mereka bertiga sudah ikutan berteriak saat personel SNSD keluar dengan lagu pertama mereka.
# # #
Tepat pukul 21.00, Juna dijemput di lantai 13 oleh Ariana. Tak ada penjelasan apapun dari Ariana. Namun, melihat jadwalnya, malam ini adalah praktik pengujian alam gaib. Juna belum tahu, apa yang akan terjadi nanti. Bayangannya, dia akan menghadapi makhluk gaib, seperti pocong atau genderuwo.
Sial, mengapa mendadak Juna merasa takut. Dia memilih diam sepanjang perjalanan dari kamar lantai 13 ke lobi.
“Kamu takut, Tuan?” tanya Ariana.
Juna tak menjawab dan hanya menggeleng. Dia tak mungkin berterus terang di depan asisten wanitanya itu.
Di lobi, mereka berdua disambut oleh Dodo, Dede, Janero, dan Gordon. Dodo dan Dede menyambut dengan jabat erat sambil tertawa. Sementara Janero hanya diam cuek. Sejak mendengar percakapan Janero dan seseorang di toilet kemarin, Juna merasa bahwa Janero seperti sebuah ancaman di sini.
Tanpa percakapan yang banyak, Juna diajak naik mobil. Di dalam mobil, Dodo dan Dede masih membicarakan tentang konser SNSD yang sore tadi diputar di televisi di bangku pertama. Dodo yang menyetir, sementara Dede berada di sampingnya. Sesekali mereka berdebat, siapakah tadi yang menyanyinya paling bagus. Lalu mereka mengomentari pakaian yang dipakai di lagu pertama hingga terakhir. Sementara Gordon yang berada di baris belakang tak banyak komentar. Lelaki sangar itu memang tak terlalu banyak bicara.
Di bangku kedua, Ariana diapit oleh Juna dan Janero. Janero tak banyak cakap seperti waktu pertama kali bertemu. Dia memilih memandangi kerlip lampu jalan. Ariana sesekali masih menanggapi ketika Juna bertanya. Namun, dia tak memberitahu ke manakah mereka akan pergi.
Mobil berhenti di sebuah jalan sepi. Mereka semua keluar.
Juna Mata mengamati keadaan sekitar. Di kanan kiri jalan adalah pohon-pohon menjulang tinggi dengan daun-daun besar. Jalanan tak beraspal dan sedikit becek. Pantas saja tadi di dalam mobil serasa bergoyang-goyang. Dan sepertinya mereka sudah keluar dari wilayah Jakarta.
Mata Juna berakhir pada papan setinggi dua meter bercat putih. Sebenarnya catnya sudah mulai memudar dan mulai berubah cokelat. Namun, warna cokelatnya tidak menutupi tulisan hitam yang ada di sana.
MAKAM SEKARJATI, DEPOK.
# # #
“Apa yang akan kita lakukan di sini?” tanya Juna setelah dia dan yang lain berada di dalam makam.
Tak ada cahaya di sana. Satu-satunya cahaya berasal dari senter yang dibawa oleh Ariana. Tetapi cahaya senter itu justru menambah aura mistis. Beberapa kali cahayanya mengenai batu nisan berwarna putih. Atau makam baru yang masih beraroma mawar dan melati yang segar. Wangi kamboja bercampur dengan tanah basah terkadang tercium juga.
“Nonton film,” jawab Janero sambil melirik Juna. Sepertinya dia lupa bahwa Juna nanti akan menjadi atasannya.
“Janero, apakah kamu akan terus bercanda? Ingat kan Juna nanti akan menjadi....”
“Bos kita, right?” Janero memandang Ariana. Ariana bersikap tak acuh dan kembali berjalan tanpa memedulikan yang lain. Sementara Janero mengikutinya dari belakang.
“Perjuangannya masih patut diacungi jempol, kan?” Dede terkekeh kecil. Dodo mengimbanginya dengan semburan tawa yang membuat Ariana menoleh dan mendelik ke arah keduanya. Dodo dan Dede menutup mulut mereka bersamaan.
“Apa yang kalian sembunyikan tentang mereka?” tanya Juna yang berdiri di baris belakang bersama Dodo dan Dede. Ariana dan Janero berada dua meter di depan mereka. Suaranya sangat pelan, namun masih bisa terdengar oleh kedua asistennya itu.
“Kisah cinta klasik. Si pangeran masih mengharapkan sang puteri menerima cintanya. Meski sudah dibawakan bunga mawar setruk, tetapi sang puteri tetap tidak menerima cinta pangeran.”
Dodo bersikap sok unyu menimpali ucapan Dodo. “Oh, mirip kisah drama korea.”
Juna ikut terkekeh. Tebakannya benar. Janero pasti menyukai Ariana.
Perjalanan mereka berujung di tengah makam. Kamboja semakin melepaskan aromanya. Menusuk hidung. Menebarkan wangi khas yang membuat bulu kuduk berdiri.
Dodo mengeluarkan sebuah baskom kecil dari dalam tasnya. Sementara Dede menggelar tikar dan menempatkan meja kecil di atasnya.
“Ayo duduk,” ajak Ariana kepada semua orang.
Keenam orang itu duduk melingkari meja. Di atas meja kini terdapat baskom berisi air, pensil, kertas warna putih beberapa lembar, dan racikan bunga tujuh rupa. Dede mengeluarkan tabs dari dalam tasnya, menghidupkan aplikasi Jejak Hantu.
“Saatnya menguji aplikasi kita nih, Do.” Dede mengerlingkan mata ke arah Dodo. Dodo mengangguk.
Dari kelima orang itu, hanya Juna yang tak paham dengan apa yang akan terjadi. Jika ini adalah pengujian alam gaib, apakah mereka akan meninggalkannya sendiri di sini? Di tengah makam menyeramkan ini. Mungkin dia harus menjaga lilin agar tetap menyala, atau yang lebih ekstrem dia harus menunggui hantu-hantu yang ingin minum air kembang.
Jujur, selama ini Juna belum pernah melihat hantu. Walaupun belakangan ini, dia sering melihat bayangan-bayangan aneh yang berseliweran di sekitarnya, tetapi secara kasat mata dia belum pernah melihat. Dan sangat menjengkelkan sekali jika malam ini dia dipaksa untuk ‘melihat’.
“Tuan,”panggil Ariana. Juna menoleh ke arah gadis yang belakangan ini membuat jantungnya beberapa kali berhenti berdetak. “Apakah Tuan sudah diceritakan oleh Arya atau ibu kamu, bahwa kamu....”
Juna langsung menyambar ucapan Ariana. “Indera ketujuh. Mereka yang cerita tadi.” Juna menunjuk Dodo dan Dede.
“Ya, tepat sekali. Indera keenam hanya bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata awam. Sementara indera ketujuh, bisa melihat, merasakan, bahkan bisa berada di alam lain. Alam antara kehidupan bumi dan alam kematian.”
“Kamu takut?” Janero bertanya kepada Juna.
Juna menggeleng. “Akan lebih takut jika ditolak seorang wanita.”
Dodo dan Dede tersedak. Hampir saja mereka tertawa jika tidak segera ingat bahwa mereka masih berada di tengah-tengah makam. Janero memandang tajam ke arah Juna yang dibalas dengan tatapan sinis.
“Malam ini, kita akan melatih indera keenam dan ketujuh kamu, Tuan Mata.”
Lampu senter di matikan. Tersisa nyala lilin kecil. Angin semilir pelan yang membuat api lilin berkibar-kibar. Beberapa kali mati. Lalu dihidupkan lagi oleh Ariana.
“Mereka datang,” ucap Dede lirih sambil melihat titik-titik merah mendekat ke lingkaran hitam sebagai penanda keberadaan mereka di aplikasinya. Tabsnya berbunyi tut tut tut beberapa kali.
“Siapa kalian?” tanya Janero, entah kepada siapa.
Pensil di atas meja tiba-tiba bergerak sendiri. Menulis sesuatu di atas kertas. Tetapi anehnya, tulisan itu tidak terlihat. Sepertinya pensil itu khusus yang diciptakan oleh Dodo dan Dede. Saat pensil itu berhenti menulis, Ariana mengambil kertasnya dan memasukkan ke dalam baskom yang berisi air.
Dan tulisannya terlihat.
AKU MULYADI.
Bulu kuduk Juna mendadak berdiri. Dia melihat ke kanan dan ke kiri. Lalu pandangannya kembali pada Janero yang bertanya secara cepat entah kepada siapa. Pensil bergerak lagi di atas kertas, Ariana mengambil kertasnya lalu memasukkan ke dalam baskom. Begitu seterusnya sampai beberapa kali.
Juna merasakan kepalanya pening. Ada suara-suara yang berbisik-bisik kepadanya. Pandangannya mengabur. Dia memegangi kepala. Rasanya sakit sekali. Suara itu semakin lama semakin keras dan mengacaukan telinga. Gendang telinga seakan dipukul-pukul.
Indera ketujuh akan semakin terasah di umurmu yang kedua puluh delapan
Suara mama Juna sore itu menggema kembali.
Umur dua puluh delapan adalah umur yang matang untuk menerima ilmu ini.
Ilmu penglihatan.
Ilmu pendengaran.
Suara mamanya semakin keras.
Kamu memang darah mata.
Telinganya sakit. Juna menjerit. Matanya perih. Pandangannya kabur. Dan saat ia membuka mata, dia melihat hantu di mana-mana. Di belakang Ariana, di dekat tanah kuburan baru, di atas pohon. Semua bermacam-macam bentuknya.
Dan Juna pun pingsan.
# # #
Diubah oleh wignyaharsono 08-05-2015 21:53
princebanditt memberi reputasi
1
Kutip
Balas