- Beranda
- Stories from the Heart
MATA RANTAI - THE GHOST HUNTER
...
TS
wignyaharsono
MATA RANTAI - THE GHOST HUNTER
Halo Agan-agan Semua

Selamat datang di Thread MATA RANTAI. Thread ini berisi cerita seri (serial dongeng) tentang seorang lelaki bernama JUNA JANUARDO yang diberi titah untuk meneruskan sebuah perusahaan supranatural. Ide ceritanya gue ambil dari beberapa film dan gue gabung-gabung. Inilah beberapa film yang menginspirasi gue.
1. Kingsman
2. Harry Potter
3. Hunger Games
4. Don Jon
5. Fifty Shade of Grey
7. Insidious
8. The Conjuring
Gabungan inspirasi kedelapan film itu menghasilkan sebuah plot cerita novel yang rencananya sekitar 40an BAB dengan judul MATA RANTAI.
Semoga berkenan dan selamat membaca. Just info, cerita ini juga aku muat di blog pribadi (www.wignyawirasana.com)
Salam Ndongeng,
WH

Selamat datang di Thread MATA RANTAI. Thread ini berisi cerita seri (serial dongeng) tentang seorang lelaki bernama JUNA JANUARDO yang diberi titah untuk meneruskan sebuah perusahaan supranatural. Ide ceritanya gue ambil dari beberapa film dan gue gabung-gabung. Inilah beberapa film yang menginspirasi gue.
1. Kingsman
2. Harry Potter
3. Hunger Games
4. Don Jon
5. Fifty Shade of Grey
7. Insidious
8. The Conjuring
Gabungan inspirasi kedelapan film itu menghasilkan sebuah plot cerita novel yang rencananya sekitar 40an BAB dengan judul MATA RANTAI.
Semoga berkenan dan selamat membaca. Just info, cerita ini juga aku muat di blog pribadi (www.wignyawirasana.com)
Salam Ndongeng,
WH
Quote:
Original Posted By wignyaharsono►
SINOPSIS
JUNA JANUARDO adalah seorang bisnisman yang sukses mengelola Digiforyou, sebuah perusahaan konsultan digital. Dia ganteng, kharismatik, dan semua wanita mendambakannya. Hidupnya baik-baik saja. Dia memilki keluarga yang bahagia, teman-teman menyenangkan, dan tentunya wanita-wanita yang mengantri untuk diajak jalan dengannya.
Hidupnya berubah dalam hitungan detik saat seseorang menghubunginya dan mengatakan bahwa Juna adalah generasi Mata Keempat yang akan memimpin Mata Rantai, Perusahaan Non Government yang dilegalkan untuk mengurusi kasus-kasus yang berhubungan dengan dunia gaib.
Ini adala kisah tentang perjuangan, ambisi, pengkhianatan, dan cinta yang dibumbui dengan dunia gaib dan teknologi.
INDEX
- PROLOG
- BAB 1
- BAB 2
- BAB 3
- BAB 4
- BAB 5
- BAB 6
- BAB 7
- BAB 8
- BAB 9
- BAB 10 (part 1)
- BAB 10 (part 2)
- BAB 11
- BAB 12
- BAB 13
- BAB 14
- BAB 15
- BAB 16
- BAB 17
- BAB 18 bagian pertama
- BAB 18 bagian kedua
- BAB 19
- BAB 20
- BAB 21
- BAB 22 bagian pertama
- BAB 22 bagian kedua
- BAB 23 bagian pertama
- BAB 23 bagian kedua
- BAB 24
- BAB 25 bagian pertama
- BAB 25 bagian kedua
- BAB 26
- BAB 27 bagian pertama
- BAB 27 bagian kedua
- BAB 28
- BAB 29
- BAB 30
- BAB 31
- BAB TERAKHIR
SINOPSIS
JUNA JANUARDO adalah seorang bisnisman yang sukses mengelola Digiforyou, sebuah perusahaan konsultan digital. Dia ganteng, kharismatik, dan semua wanita mendambakannya. Hidupnya baik-baik saja. Dia memilki keluarga yang bahagia, teman-teman menyenangkan, dan tentunya wanita-wanita yang mengantri untuk diajak jalan dengannya.
Hidupnya berubah dalam hitungan detik saat seseorang menghubunginya dan mengatakan bahwa Juna adalah generasi Mata Keempat yang akan memimpin Mata Rantai, Perusahaan Non Government yang dilegalkan untuk mengurusi kasus-kasus yang berhubungan dengan dunia gaib.
Ini adala kisah tentang perjuangan, ambisi, pengkhianatan, dan cinta yang dibumbui dengan dunia gaib dan teknologi.
INDEX
- PROLOG
- BAB 1
- BAB 2
- BAB 3
- BAB 4
- BAB 5
- BAB 6
- BAB 7
- BAB 8
- BAB 9
- BAB 10 (part 1)
- BAB 10 (part 2)
- BAB 11
- BAB 12
- BAB 13
- BAB 14
- BAB 15
- BAB 16
- BAB 17
- BAB 18 bagian pertama
- BAB 18 bagian kedua
- BAB 19
- BAB 20
- BAB 21
- BAB 22 bagian pertama
- BAB 22 bagian kedua
- BAB 23 bagian pertama
- BAB 23 bagian kedua
- BAB 24
- BAB 25 bagian pertama
- BAB 25 bagian kedua
- BAB 26
- BAB 27 bagian pertama
- BAB 27 bagian kedua
- BAB 28
- BAB 29
- BAB 30
- BAB 31
- BAB TERAKHIR
Diubah oleh wignyaharsono 08-11-2015 02:11
cumibakar217 dan 18 lainnya memberi reputasi
15
63.1K
Kutip
448
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
wignyaharsono
#6
BAB 4
Spoiler for BAB 4:
Juna Mata sudah bilang bahwa dia tak perlu dijemput di Changi Airport kepada maminya. Dia bisa berangkat sendiri ke apartemen maminya itu. Tetapi, seperti biasa, Nyonya Raya tidak pernah akan membiarkan putera pertamanya datang tanpa sambutan darinya. Siang ini, berbalut gaun warna merah metalik dengan sepatu warna merah juga, Nyonya Raya menjemput Juna seorang diri. Di usianya yang hampir berkepala enam, Nyonya Raya masih terlihat enerjik dan fashionable.
“Bukankah sudah kubilang, Mami nggak perlu menjemputku,” ucap Juna kepada maminya di dalam mobil.
“Dan bukankah sudah kubilang juga, Mommy tidak rela melihat anak kesayangan mami terlantar di bandara.”
“Mam, Juna sudah puluhan kali ke Singapore kali. Mengapa mami masih menganggapku seperti anak kecil.”
“Oh Dear, mami tidak pernah menganggapmu anak kecil.” Nyonya Raya mengusap rambut Juna.
“Hentikan Mam, kamu bisa merusak rambutku.”
Nyonya Raya terkekeh kecil. “Kamu memang tidak pernah berubah, Juna. Kita mau makan dulu, atau….”
“Ke apartemen langsung. Juna tidak punya banyak waktu sini. Besok harus kembali ke Jakarta.”
“Oh Dear, kamu tidak kangen sama mami?”
Juna tak menjawab. Sudah hampir sebulan lebih dia memang tidak mengunjungi maminya di Singapura. Hal itu bukan tanpa alasan. Kerjaannya memang sedang gila-gilaan di Jakarta.
“Papi ada?” tanya Juna kemudian.
Dia memandangi jalanan tanpa menoleh ke arah maminya yang sedang melihat ponsel. Dia masih heran, mengapa negara sekecil ini bisa makmur dan jalanannya tidak seruwet Jakarta. Juna kadang merasa tidak betah tinggal di Jakarta. Tetapi dia tidak mungkin juga pindah bersama mami dan papinya. Juna bukan tipe orang seperti itu. Ditempa dikeluarga seorang profesor dan bisnisman menjadikan dia sangat mandiri. Termasuk untuk urusan uang.
Robert Harjoko, papinya, adalah seorang profesor di universitas. Sedangkan maminya adalah seorang pebisnis yang sukses dengan butiknya. Paduan ini menghasilkan seorang Juna yang perfeksionis dan disiplin untuk urusan pekerjaan.
“Masih mengajar. Mengapa? Ada yang perlu kamu ceritakan kepadanya?”
“Oh, tidak. Justru aku berharap dia tidak ada.”
Nyonya Raya melihat ke arah puteranya. “Apakah kamu menghamili gadis orang?”
Juna mendelik. Pertanyaan macam apa ini? “Mom, plis. Jangan berangan yang tidak jelas. Aku masih putera Tuan Robert dan Nyonya Raya yang baik.”
“Oh tidak Dear, kata Fernando, kamu selalu berganti-ganti pasangan di Jakarta.”
Fernando adalah asisten Juna di kantor. Dia adalah orang kepercayaan Juna dan Nyonya Raya.
“Ah, terkutuklah Fernando menyebar gosip yang tidak jelas seperti ini.”
“Darling, sudah waktunya kamu…”
Juna memilih pura-pura menutup telinga dan tidak mendengarkan nasihat Nyonya soal ‘Memilih Pasangan Hidup’. Nasihat itu sudah berulang kali dia dengar dan isinya selalu sama. Bahwa dia sudah waktunya untuk menikah, memiliki anak, mau mencari apalagi. Bukankah dia sudah memiliki karier yang bagus. Begitu kira-kira isi ceramah Nyonya Raya kepada anaknya. Nasihat yang sama dari ibu-ibu di negara manapun. Dan bagi Juna, hidupnya masih terlalu muda untuk memikirkan rumah tangga. Dia masih 28 tahun dan masih ingin mengembangkan perusahaan Digital Consultant-nya.
Jadi, Juna memilih kembali menatap jalan yang seolah-olah berair. Fatamorgana.
Tunggu…mengapa ada Tuan Mata di pinggiran jalan? Juna menoleh ke belakang. Orang itu masih berdiri di pinggir jalan mengenakan jas warna hitam. Persis seperti orang yang ia temui di lobi perusahaan Mata Rantai.
Oh tidak-tidak. Pasti ini hanyalah halusinasi.
Untuk saat ini, Juna lebih memilih mendengarkan maminya daripada melihat hal-hal yang aneh lagi.
“Jun…”
“Ya?” Juna menoleh ke arah maminya.
“Jadi kamu mau mami jodohkan dengan anak gadis teman mami? Cantik, kok?”
Oh shit…
Juna akhirnya meminta supir mami menghentikan mobil di sebuah restoran masakan cina. Dia sudah tidak tahan dengan nasihat-nasihat mami tentang pernikahan. Lebih parahnya, Nyonya Raya menunjukkan beberapa foto anak gadis temannya kepada Juna. Hal itu semakin membuat Juna muak.
Jadi di sinilah mereka kini. Restoran masakan cina di kawasan Marina Bay.
“Mom, plis stop membicarakan pernikahan. Nanti secepatnya akan aku bawakan gadis cantik ke hadapan mami dan papi. Sekarang ada hal yang lebih penting yang harus Juna bicarakan.”
“Promise Me.”
Juna mengacungkan tulunjuk dan jari tengahnya sambil berkata suer. Setidaknya maminya tak akan membicarakan tentang gadis-gadis itu lagi.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nyonya Raya setelah mereka duduk di dalam restoran.
Pelayan sudah datang untuk menanyakan pesanan. Setelah pelayan itu pergi, Juna langsung akan bercerita kepada maminya.
Juna menarik nafas panjang.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Singapura tadi, dia sudah memikirkan apa yang harus ia tanyakan kepada Nyonya Raya. Sepulangnya dari Mata Rantai kemarin, Juna tidak bisa tidur. Dia terus menerus dihantui oleh Mata Rantai. Warisan Mata Rantai kepada dirinya seperti sebuah bom atom. Cepat atau lambat akan meledak jika tidak ia bereskan. Di hati kecilnya yang terdalam, memang ada sedikit rasa percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arya.
Isi surat wasiat itu jelas, dia adalah pewaris tunggal Mata Rantai. Dia akan menggantikan Tuan Mata untuk memimpin perusahaan itu. Tetapi masalahnya, perusahaan itu berusuran dengan hal-hal gaib. Dan itu yang tak ia suka.
“Apakah mami kenal dengan Haryan N. Juliandro?” tanya Juna perlahan.
Nyonya Raya tampak terkejut dengan pertanyaan puteranya. Namun, dia bisa menenangkan dirinya. Nyonya Raya kembali anggun seperti biasa.
“Tidak,” jawab Nyonya Raya. Ekor matanya tidak menatap Juna.
“Mami yakin?”
“Kamu tak percaya?”
“Beberapa hari yang lalu, Juna didatangi oleh seseorang. Dia berkata bahwa dia adalah utusan Tuan Mata atau Tuan Haryan N. Juliandro. Aku dibawa olehnya ke daerah Sudirman di Jakarta. Ke sebuah perusahaan yang aku sendiri sampai sekarang tidak tahu keberadaannya. Mata Rantai, mami pernah dengar?”
Nyonya Raya menyeruput ocha panas yang tersaji di depannya. “Apa yang kamu bicarakan, Jun?”
“Dia juga bilang bahwa aku adalah pewaris tunggal Mata Rantai. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia bilang aku adalah anak kandung Tuan Haryan.”
Nyonya Raya tersedak. Ada air yang menyembur dari mulutnya. Buru-buru dia mengambil tisue di meja dan menyeka bibirnya yang basah. Juna terdiam. Dia beranggapan bahwa maminya memang tahu tentang apa yang ia katakan.
“Kamu bicara apa…”
“Aku berharap mami bisa menjelaskan tentang hal ini. Karena beberapa hari ini, tiba-tiba aku sering merasa pusing dan melihat hal-hal aneh.”
Nyonya Raya terdiam.
“Dan perlu mami ketahui, Tuan Haryan N. Juliandro telah meninggal beberapa minggu yang lalu.”
“Apa?” suara Nyonya Raya meninggi.
“Aku asumsikan, pertanyaan itu menandakan mami tahu hal ini.”
“Seharusnya kita tidak bicara di sini,” Nyonya Raya berdiri dan meraih tasnya. “Ayo, akan mami jelaskan. Mungkin memang sudah saatnya kamu tahu.”
Album foto itu tampak usang. Juna membolak-balik halaman demi halaman dengan tatapan tak percaya. Di sana, banyak sekali foto maminya saat masih muda.
Sepulang dari restoran cina tadi, Nyonya Raya mengajak Juna ke butik. Di ruangan kerjanya, mami Juna mengeluarkan kotak berwarna merah dari dalam almari. Di dalamnya berisi album foto dan beberapa benda yang tak Juna mengerti.
Album itu cukup menjelaskan pertanyaan Juna. Tidak ada foto papinya di sana. Yang ada hanyalah foto seorang pria bertubuh tegap dan bersisir rapi. Dia seperti melihat dirinya dalam foto itu.
“Dia Haryan,” kata Nyonya Raya. “Ayah kandungmu,” ujarnya pelan.
Juna tak bergeming. Dia tak meminta penjelasan banyak. Foto-foto itu sudah cukup menjelaskan.
Nyonya Raya mengambil pensil dan sebuah kertas berukuran A3 yang berada di samping printer. Dia membentangkan kertas itu di meja, lalu dia menggambar sesuatu. Seperti sebuah silsilah. Juna tak mengerti.
“Mata Rantai adalah perusahaan yang didirikan oleh eyang buyutmu. Generasi pertama Mata. Dia diusir oleh keluarga besar karena dianggap menyimpang. Dia bisa melihat hal-hal gaib dan suka bersikap aneh. Oleh Haryan Pamungkas, ayahnya, dia dititipkan ke seorang sahabat. Sahabatnya itu seorang pebisnis ulung. Olehnya, Eyang buyutmu diajari cara berbisnis. Lahirlah Mata Rantai dari tangannya.
Mata Rantai tumbuh menjadi perusahaan besar sampai generasi ketiga yang dipimpin oleh ayahmu. Seperti pemimpin yang lain, ayahmu memiliki tangan dingin untuk urusan bisnis. Dia membesarkan Mata Rantai sampai memiliki aset trilyunan. Nasibnya sangatlah baik, namun tidak untuk urusan cinta.
Ayahmu jatuh cinta pada mami. Pun dengan mami. Kami memiliki cinta yang besar. Waktu itu, mami tidak tahu kalau ternyata ayahmu sudah memiliki seorang istri dan anak. Mami terlanjur jatuh hati padanya dan tidak peduli ketika mami tahu bahwa dia tak lagi sendiri. Kami menikah diam-diam, lalu lahirlah kamu. Sampai di satu titik, keluarga mami mengetahui kebenarannya. Ayah kamu yang sudah beristri dan bisnis alam gaib yang menurut mereka tidak wajar. Nenek kakek kamu, memaksa agar mami meninggalkan ayahmu. Jika tidak, mami tidak akan dianggap sebagai anak lagi. Saat itu, mami bingung harus berbuat apa. Tetapi akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan ayahmu. Bagaimanapun, mami tetap harus berbakti kepada orang tua. Mami lalu bertemu dengan Robert, dan akhirnya kami menikah dan dikaruniai anak perempuan. Adikmu, Vee."
“Mami masih mencintai Tuan Mata?” tanya Juna.
Nyonya Raya mengangguk. “Kamu sangat mirip dengannya Juna. Sangat mirip. Tetapi mami takut, keluarga akan membenci kamu jika mami terus berhubungan dengan ayah.”
“Kenapa?”
“Saat itu umurmu masih empat tahun. Suatu sore, kamu hilang. Tak ada yang tahu ke mana perginya kamu. Sehabis jam enam petang, kamu ditemukan ada di sebuah pohon besar. Sedang menangis. Kamu bilang bahwa kamu sedang bermain dengan seorang anak. Anak itu lalu mengajakmu untuk pergi ke tempat dia di pohon itu.”
“Apa?”
“Kamu bisa pergi ke dunia lain. Dunia antara ada dan tiada. Sejak saat itu, mami yakin bahwa darah ayahmu mengalir ke kamu, Jun. Kamu bisa melihat makhluk-makhkluk tak kasat mata. Mami menanyakan itu kepada orang yang mengerti tentang hal seperti itu. Mereka pun berpendapat yang sama. Ilmu kamu akan semakin tinggi seiring dengan pertumbuhan usia kamu. Mami takut keluarga akan tahu tentang hal ini. Untung saja, ilmu itu tidak akan bisa digunakan sebelum kamu berumur 28 tahun. Selama ini, mami menyembunyikan hal ini dari keluarga, kecuali papimu. Dia tahu tentang hal ini.”
“Papi tahu?”
Nyonya mengangguk. “Tapi dia selalu support mami. Usiamu kini sudah 28 tahun. Mungkin, sudah waktunya ilmu itu digunakan Juna.”
Juna terdiam. Nyonya Raya mengambil nafas. Langit di luar sudah berubah gelap.
“Kamu memiliki darah Mata dan Indera ketujuh.”
Hanya semalam Juna berada di Singapura. Paginya, dia kembali ke Jakarta lagi.
Langit di Bandara Soekarno Hatta tampak menghitam. Mendung bergelayut. Hujan rintik mulai turun. Beberapa suara bergelegar tampak bergantian dengan deru suara pesawat.
Juna tampak berdiri di Terminal Kedatangan sembari menyeruput kopi hitam tanpa gula. Dia sangat mengantuk. Tadi malam dia tidak bisa tidur. Pun saat di pesawat tadi. Dia menunggu Fernando yang katanya sedang terkena macet di Tol Dalam Kota.
Pikirannya kalut. Penjelasan maminya memang tak masuk akal. Tetapi dia memercayai maminya sepenuh hati.
Juna merogoh Iphone 6-nya. Setelah menekan beberapa tombol, dia menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.
“Halo, Arya. Kapan aku bisa mulai?”
“Bukankah sudah kubilang, Mami nggak perlu menjemputku,” ucap Juna kepada maminya di dalam mobil.
“Dan bukankah sudah kubilang juga, Mommy tidak rela melihat anak kesayangan mami terlantar di bandara.”
“Mam, Juna sudah puluhan kali ke Singapore kali. Mengapa mami masih menganggapku seperti anak kecil.”
“Oh Dear, mami tidak pernah menganggapmu anak kecil.” Nyonya Raya mengusap rambut Juna.
“Hentikan Mam, kamu bisa merusak rambutku.”
Nyonya Raya terkekeh kecil. “Kamu memang tidak pernah berubah, Juna. Kita mau makan dulu, atau….”
“Ke apartemen langsung. Juna tidak punya banyak waktu sini. Besok harus kembali ke Jakarta.”
“Oh Dear, kamu tidak kangen sama mami?”
Juna tak menjawab. Sudah hampir sebulan lebih dia memang tidak mengunjungi maminya di Singapura. Hal itu bukan tanpa alasan. Kerjaannya memang sedang gila-gilaan di Jakarta.
“Papi ada?” tanya Juna kemudian.
Dia memandangi jalanan tanpa menoleh ke arah maminya yang sedang melihat ponsel. Dia masih heran, mengapa negara sekecil ini bisa makmur dan jalanannya tidak seruwet Jakarta. Juna kadang merasa tidak betah tinggal di Jakarta. Tetapi dia tidak mungkin juga pindah bersama mami dan papinya. Juna bukan tipe orang seperti itu. Ditempa dikeluarga seorang profesor dan bisnisman menjadikan dia sangat mandiri. Termasuk untuk urusan uang.
Robert Harjoko, papinya, adalah seorang profesor di universitas. Sedangkan maminya adalah seorang pebisnis yang sukses dengan butiknya. Paduan ini menghasilkan seorang Juna yang perfeksionis dan disiplin untuk urusan pekerjaan.
“Masih mengajar. Mengapa? Ada yang perlu kamu ceritakan kepadanya?”
“Oh, tidak. Justru aku berharap dia tidak ada.”
Nyonya Raya melihat ke arah puteranya. “Apakah kamu menghamili gadis orang?”
Juna mendelik. Pertanyaan macam apa ini? “Mom, plis. Jangan berangan yang tidak jelas. Aku masih putera Tuan Robert dan Nyonya Raya yang baik.”
“Oh tidak Dear, kata Fernando, kamu selalu berganti-ganti pasangan di Jakarta.”
Fernando adalah asisten Juna di kantor. Dia adalah orang kepercayaan Juna dan Nyonya Raya.
“Ah, terkutuklah Fernando menyebar gosip yang tidak jelas seperti ini.”
“Darling, sudah waktunya kamu…”
Juna memilih pura-pura menutup telinga dan tidak mendengarkan nasihat Nyonya soal ‘Memilih Pasangan Hidup’. Nasihat itu sudah berulang kali dia dengar dan isinya selalu sama. Bahwa dia sudah waktunya untuk menikah, memiliki anak, mau mencari apalagi. Bukankah dia sudah memiliki karier yang bagus. Begitu kira-kira isi ceramah Nyonya Raya kepada anaknya. Nasihat yang sama dari ibu-ibu di negara manapun. Dan bagi Juna, hidupnya masih terlalu muda untuk memikirkan rumah tangga. Dia masih 28 tahun dan masih ingin mengembangkan perusahaan Digital Consultant-nya.
Jadi, Juna memilih kembali menatap jalan yang seolah-olah berair. Fatamorgana.
Tunggu…mengapa ada Tuan Mata di pinggiran jalan? Juna menoleh ke belakang. Orang itu masih berdiri di pinggir jalan mengenakan jas warna hitam. Persis seperti orang yang ia temui di lobi perusahaan Mata Rantai.
Oh tidak-tidak. Pasti ini hanyalah halusinasi.
Untuk saat ini, Juna lebih memilih mendengarkan maminya daripada melihat hal-hal yang aneh lagi.
“Jun…”
“Ya?” Juna menoleh ke arah maminya.
“Jadi kamu mau mami jodohkan dengan anak gadis teman mami? Cantik, kok?”
Oh shit…
# # #
Juna akhirnya meminta supir mami menghentikan mobil di sebuah restoran masakan cina. Dia sudah tidak tahan dengan nasihat-nasihat mami tentang pernikahan. Lebih parahnya, Nyonya Raya menunjukkan beberapa foto anak gadis temannya kepada Juna. Hal itu semakin membuat Juna muak.
Jadi di sinilah mereka kini. Restoran masakan cina di kawasan Marina Bay.
“Mom, plis stop membicarakan pernikahan. Nanti secepatnya akan aku bawakan gadis cantik ke hadapan mami dan papi. Sekarang ada hal yang lebih penting yang harus Juna bicarakan.”
“Promise Me.”
Juna mengacungkan tulunjuk dan jari tengahnya sambil berkata suer. Setidaknya maminya tak akan membicarakan tentang gadis-gadis itu lagi.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Nyonya Raya setelah mereka duduk di dalam restoran.
Pelayan sudah datang untuk menanyakan pesanan. Setelah pelayan itu pergi, Juna langsung akan bercerita kepada maminya.
Juna menarik nafas panjang.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Singapura tadi, dia sudah memikirkan apa yang harus ia tanyakan kepada Nyonya Raya. Sepulangnya dari Mata Rantai kemarin, Juna tidak bisa tidur. Dia terus menerus dihantui oleh Mata Rantai. Warisan Mata Rantai kepada dirinya seperti sebuah bom atom. Cepat atau lambat akan meledak jika tidak ia bereskan. Di hati kecilnya yang terdalam, memang ada sedikit rasa percaya dengan apa yang dikatakan oleh Arya.
Isi surat wasiat itu jelas, dia adalah pewaris tunggal Mata Rantai. Dia akan menggantikan Tuan Mata untuk memimpin perusahaan itu. Tetapi masalahnya, perusahaan itu berusuran dengan hal-hal gaib. Dan itu yang tak ia suka.
“Apakah mami kenal dengan Haryan N. Juliandro?” tanya Juna perlahan.
Nyonya Raya tampak terkejut dengan pertanyaan puteranya. Namun, dia bisa menenangkan dirinya. Nyonya Raya kembali anggun seperti biasa.
“Tidak,” jawab Nyonya Raya. Ekor matanya tidak menatap Juna.
“Mami yakin?”
“Kamu tak percaya?”
“Beberapa hari yang lalu, Juna didatangi oleh seseorang. Dia berkata bahwa dia adalah utusan Tuan Mata atau Tuan Haryan N. Juliandro. Aku dibawa olehnya ke daerah Sudirman di Jakarta. Ke sebuah perusahaan yang aku sendiri sampai sekarang tidak tahu keberadaannya. Mata Rantai, mami pernah dengar?”
Nyonya Raya menyeruput ocha panas yang tersaji di depannya. “Apa yang kamu bicarakan, Jun?”
“Dia juga bilang bahwa aku adalah pewaris tunggal Mata Rantai. Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia bilang aku adalah anak kandung Tuan Haryan.”
Nyonya Raya tersedak. Ada air yang menyembur dari mulutnya. Buru-buru dia mengambil tisue di meja dan menyeka bibirnya yang basah. Juna terdiam. Dia beranggapan bahwa maminya memang tahu tentang apa yang ia katakan.
“Kamu bicara apa…”
“Aku berharap mami bisa menjelaskan tentang hal ini. Karena beberapa hari ini, tiba-tiba aku sering merasa pusing dan melihat hal-hal aneh.”
Nyonya Raya terdiam.
“Dan perlu mami ketahui, Tuan Haryan N. Juliandro telah meninggal beberapa minggu yang lalu.”
“Apa?” suara Nyonya Raya meninggi.
“Aku asumsikan, pertanyaan itu menandakan mami tahu hal ini.”
“Seharusnya kita tidak bicara di sini,” Nyonya Raya berdiri dan meraih tasnya. “Ayo, akan mami jelaskan. Mungkin memang sudah saatnya kamu tahu.”
# # #
Album foto itu tampak usang. Juna membolak-balik halaman demi halaman dengan tatapan tak percaya. Di sana, banyak sekali foto maminya saat masih muda.
Sepulang dari restoran cina tadi, Nyonya Raya mengajak Juna ke butik. Di ruangan kerjanya, mami Juna mengeluarkan kotak berwarna merah dari dalam almari. Di dalamnya berisi album foto dan beberapa benda yang tak Juna mengerti.
Album itu cukup menjelaskan pertanyaan Juna. Tidak ada foto papinya di sana. Yang ada hanyalah foto seorang pria bertubuh tegap dan bersisir rapi. Dia seperti melihat dirinya dalam foto itu.
“Dia Haryan,” kata Nyonya Raya. “Ayah kandungmu,” ujarnya pelan.
Juna tak bergeming. Dia tak meminta penjelasan banyak. Foto-foto itu sudah cukup menjelaskan.
Nyonya Raya mengambil pensil dan sebuah kertas berukuran A3 yang berada di samping printer. Dia membentangkan kertas itu di meja, lalu dia menggambar sesuatu. Seperti sebuah silsilah. Juna tak mengerti.
“Mata Rantai adalah perusahaan yang didirikan oleh eyang buyutmu. Generasi pertama Mata. Dia diusir oleh keluarga besar karena dianggap menyimpang. Dia bisa melihat hal-hal gaib dan suka bersikap aneh. Oleh Haryan Pamungkas, ayahnya, dia dititipkan ke seorang sahabat. Sahabatnya itu seorang pebisnis ulung. Olehnya, Eyang buyutmu diajari cara berbisnis. Lahirlah Mata Rantai dari tangannya.
Mata Rantai tumbuh menjadi perusahaan besar sampai generasi ketiga yang dipimpin oleh ayahmu. Seperti pemimpin yang lain, ayahmu memiliki tangan dingin untuk urusan bisnis. Dia membesarkan Mata Rantai sampai memiliki aset trilyunan. Nasibnya sangatlah baik, namun tidak untuk urusan cinta.
Ayahmu jatuh cinta pada mami. Pun dengan mami. Kami memiliki cinta yang besar. Waktu itu, mami tidak tahu kalau ternyata ayahmu sudah memiliki seorang istri dan anak. Mami terlanjur jatuh hati padanya dan tidak peduli ketika mami tahu bahwa dia tak lagi sendiri. Kami menikah diam-diam, lalu lahirlah kamu. Sampai di satu titik, keluarga mami mengetahui kebenarannya. Ayah kamu yang sudah beristri dan bisnis alam gaib yang menurut mereka tidak wajar. Nenek kakek kamu, memaksa agar mami meninggalkan ayahmu. Jika tidak, mami tidak akan dianggap sebagai anak lagi. Saat itu, mami bingung harus berbuat apa. Tetapi akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan ayahmu. Bagaimanapun, mami tetap harus berbakti kepada orang tua. Mami lalu bertemu dengan Robert, dan akhirnya kami menikah dan dikaruniai anak perempuan. Adikmu, Vee."
“Mami masih mencintai Tuan Mata?” tanya Juna.
Nyonya Raya mengangguk. “Kamu sangat mirip dengannya Juna. Sangat mirip. Tetapi mami takut, keluarga akan membenci kamu jika mami terus berhubungan dengan ayah.”
“Kenapa?”
“Saat itu umurmu masih empat tahun. Suatu sore, kamu hilang. Tak ada yang tahu ke mana perginya kamu. Sehabis jam enam petang, kamu ditemukan ada di sebuah pohon besar. Sedang menangis. Kamu bilang bahwa kamu sedang bermain dengan seorang anak. Anak itu lalu mengajakmu untuk pergi ke tempat dia di pohon itu.”
“Apa?”
“Kamu bisa pergi ke dunia lain. Dunia antara ada dan tiada. Sejak saat itu, mami yakin bahwa darah ayahmu mengalir ke kamu, Jun. Kamu bisa melihat makhluk-makhkluk tak kasat mata. Mami menanyakan itu kepada orang yang mengerti tentang hal seperti itu. Mereka pun berpendapat yang sama. Ilmu kamu akan semakin tinggi seiring dengan pertumbuhan usia kamu. Mami takut keluarga akan tahu tentang hal ini. Untung saja, ilmu itu tidak akan bisa digunakan sebelum kamu berumur 28 tahun. Selama ini, mami menyembunyikan hal ini dari keluarga, kecuali papimu. Dia tahu tentang hal ini.”
“Papi tahu?”
Nyonya mengangguk. “Tapi dia selalu support mami. Usiamu kini sudah 28 tahun. Mungkin, sudah waktunya ilmu itu digunakan Juna.”
Juna terdiam. Nyonya Raya mengambil nafas. Langit di luar sudah berubah gelap.
“Kamu memiliki darah Mata dan Indera ketujuh.”
# # #
Hanya semalam Juna berada di Singapura. Paginya, dia kembali ke Jakarta lagi.
Langit di Bandara Soekarno Hatta tampak menghitam. Mendung bergelayut. Hujan rintik mulai turun. Beberapa suara bergelegar tampak bergantian dengan deru suara pesawat.
Juna tampak berdiri di Terminal Kedatangan sembari menyeruput kopi hitam tanpa gula. Dia sangat mengantuk. Tadi malam dia tidak bisa tidur. Pun saat di pesawat tadi. Dia menunggu Fernando yang katanya sedang terkena macet di Tol Dalam Kota.
Pikirannya kalut. Penjelasan maminya memang tak masuk akal. Tetapi dia memercayai maminya sepenuh hati.
Juna merogoh Iphone 6-nya. Setelah menekan beberapa tombol, dia menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.
“Halo, Arya. Kapan aku bisa mulai?”
# # #
Diubah oleh wignyaharsono 20-06-2015 12:18
1
Kutip
Balas