- Beranda
- Stories from the Heart
You Are My Happiness
...
TS
jayanagari
You Are My Happiness

Sebelumnya gue permisi dulu kepada Moderator dan Penghuni forum Stories From The Heart Kaskus 
Gue akhir-akhir ini banyak membaca cerita-cerita penghuni SFTH dan gue merasa sangat terinspirasi dari tulisan sesepuh-sesepuh sekalian
Karena itu gue memberanikan diri untuk berbagi kisah nyata gue, yang sampe detik ini masih menjadi kisah terbesar di hidup gue.
Mohon maaf kalo tulisan gue ini masih amburadul dan kaku, karena gue baru pertama kali join kaskus dan menulis sebuah cerita.
Dan demi kenyamanan dan privasi, nama tokoh-tokoh di cerita ini gue samarkan

Gue akhir-akhir ini banyak membaca cerita-cerita penghuni SFTH dan gue merasa sangat terinspirasi dari tulisan sesepuh-sesepuh sekalian

Karena itu gue memberanikan diri untuk berbagi kisah nyata gue, yang sampe detik ini masih menjadi kisah terbesar di hidup gue.
Mohon maaf kalo tulisan gue ini masih amburadul dan kaku, karena gue baru pertama kali join kaskus dan menulis sebuah cerita.
Dan demi kenyamanan dan privasi, nama tokoh-tokoh di cerita ini gue samarkan

Orang bilang, kebahagiaan paling tulus adalah saat melihat orang lain bahagia karena kita. Tapi terkadang, kebahagiaan orang itu juga menyakitkan bagi kita.
Gue egois? Mungkin.
Nama gue Baskoro, dan ini kisah gue.
Gue egois? Mungkin.
Nama gue Baskoro, dan ini kisah gue.
Quote:
Quote:
Diubah oleh jayanagari 11-08-2015 11:18
gebby2412210 dan 49 lainnya memberi reputasi
48
2.2M
5.1K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jayanagari
#4188
PART 131
Gue membuka mata, dan hal pertama yang gue liat adalah langit-langit berwarna kuning, yang diterangi cahaya lampu dari bawah. Gue mengerjap-kerjapkan mata, berusaha mengingat dimana gue berada, dan jam berapa sekarang. Gue mengangkat sebelah tangan, memandangi tangan gue sendiri, kemudian menyadari gue menggunakan sweater tebal berwarna biru tua.
Dimana gue?
Gue berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi usaha gue itu menemui kesulitan. Kepala gue begitu sakit ketika gue gerakkan untuk bangkit. Seluruh tubuh gue mulai merasakan lelah dan pegal-pegal yang luar biasa. Ketika akhirnya gue bisa duduk di tempat tidur, gue memandangi sekeliling, dan sebuah selimut tebal tetap menutupi setengah tubuh. Gue memicingkan mata, dan menemukan tas ransel kanvas gue yang kotor berada di sebuah sofa di seberang tempat tidur gue.
Gue kemudian menyibakkan selimut, dan turun dari tempat tidur. Gue baru menyadari kalo gue memakai celana panjang entah milik siapa, yang jelas bukan milik gue. Dengan kaku dan tertatih-tatih, gue berjalan menuju jendela, dan membuka tirai tebal yang menutupi sebagian jendela itu. Langit cukup gelap, tapi masih ada sinar matahari. Ini sore atau fajar, pikir gue bingung. Gue kemudian beranjak ke sofa, dan duduk di samping tas ransel gue, sambil memegang dahi, berusaha mengingat-ingat dimana gue, dan apa yang terjadi.
Gue kemudian mencari barang-barang pribadi gue, seperti dompet, handphone, paspor dan jam tangan, yang ternyata gue temukan itu semua ada di dalam tas ransel. Gue melihat jam, dan menunjukkan pukul 5.30. Kemudian gue melihat tanggal di jam gue. Tanggal 27. Ini sore atau fajar, pikir gue lagi. Gue kemudian menyalakan handphone yang kemudian gue tau ternyata itu mati karena lowbatt. Gue mencari charger, dan celingukan mencari colokan di sekitar situ.
Gue berjalan ke ruang sebelah, yang merupakan ruang tamu dan ruang makan. Langkah kaki gue nyaris tak terdengar, karena lantainya berlapis kayu tebal. Gue memandangi sekeliling, dan mata gue menemukan sesosok wanita yang sedang berdiri di salah satu sudut balkon. Gue menghampiri wanita itu, dan dia menoleh ke arah gue, kemudian tersenyum.
Anin.
Dia menggunakan sweater tebal berwarna hitam, dengan bagian lengan yang sedikit ditarik ke atas. Rambutnya yang coklat kemerahan itu mengembang dengan indah di punggung dan bahunya. Dia tampaknya memahami kebingungan gue. Dia tersenyum sambil sedikit memiringkan kepala.
Gue tersenyum, kemudian menggelengkan kepala, menertawakan diri sendiri. Gue berdiri di sebelah Anin, memandangi danau Geneva jauh di depan kami. Kerlip lampu kota Geneva dari kejauhan terasa sempurna ketika dipadu dengan cahaya keperakan dari langit fajar.
Anin yang berada dalam rangkulan gue, menoleh dan sedikit tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya dengan menggemaskan. Kali itu tandanya dia sedang berpikir sesuatu yang jahil. Wangi parfumnya menyeruak ketika tertiup angin.
Gue tertawa, dan kemudian memandangi danau lagi. Gue menikmati setiap detik dari suasana ini. Kemudian gue berbicara tanpa menoleh ke Anin.
Kemudian dengan Anin berada dalam rangkulan gue, kami berdua memandangi matahari terbit yang sangat indah di ujung cakrawala, dengan kilauan danau Geneva sebagai penghias. Hari itu, bersamaan dengan matahari terbit di ujung timur, kami memulai satu masa baru. Satu masa, yang kami harap penuh dengan keindahan di dalamnya. Satu masa dimana kami bisa merajut mimpi bersama hingga akhir.
Gue membuka mata, dan hal pertama yang gue liat adalah langit-langit berwarna kuning, yang diterangi cahaya lampu dari bawah. Gue mengerjap-kerjapkan mata, berusaha mengingat dimana gue berada, dan jam berapa sekarang. Gue mengangkat sebelah tangan, memandangi tangan gue sendiri, kemudian menyadari gue menggunakan sweater tebal berwarna biru tua.
Dimana gue?
Gue berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi usaha gue itu menemui kesulitan. Kepala gue begitu sakit ketika gue gerakkan untuk bangkit. Seluruh tubuh gue mulai merasakan lelah dan pegal-pegal yang luar biasa. Ketika akhirnya gue bisa duduk di tempat tidur, gue memandangi sekeliling, dan sebuah selimut tebal tetap menutupi setengah tubuh. Gue memicingkan mata, dan menemukan tas ransel kanvas gue yang kotor berada di sebuah sofa di seberang tempat tidur gue.
Gue kemudian menyibakkan selimut, dan turun dari tempat tidur. Gue baru menyadari kalo gue memakai celana panjang entah milik siapa, yang jelas bukan milik gue. Dengan kaku dan tertatih-tatih, gue berjalan menuju jendela, dan membuka tirai tebal yang menutupi sebagian jendela itu. Langit cukup gelap, tapi masih ada sinar matahari. Ini sore atau fajar, pikir gue bingung. Gue kemudian beranjak ke sofa, dan duduk di samping tas ransel gue, sambil memegang dahi, berusaha mengingat-ingat dimana gue, dan apa yang terjadi.
Gue kemudian mencari barang-barang pribadi gue, seperti dompet, handphone, paspor dan jam tangan, yang ternyata gue temukan itu semua ada di dalam tas ransel. Gue melihat jam, dan menunjukkan pukul 5.30. Kemudian gue melihat tanggal di jam gue. Tanggal 27. Ini sore atau fajar, pikir gue lagi. Gue kemudian menyalakan handphone yang kemudian gue tau ternyata itu mati karena lowbatt. Gue mencari charger, dan celingukan mencari colokan di sekitar situ.
Gue berjalan ke ruang sebelah, yang merupakan ruang tamu dan ruang makan. Langkah kaki gue nyaris tak terdengar, karena lantainya berlapis kayu tebal. Gue memandangi sekeliling, dan mata gue menemukan sesosok wanita yang sedang berdiri di salah satu sudut balkon. Gue menghampiri wanita itu, dan dia menoleh ke arah gue, kemudian tersenyum.
Anin.
Dia menggunakan sweater tebal berwarna hitam, dengan bagian lengan yang sedikit ditarik ke atas. Rambutnya yang coklat kemerahan itu mengembang dengan indah di punggung dan bahunya. Dia tampaknya memahami kebingungan gue. Dia tersenyum sambil sedikit memiringkan kepala.
Quote:
Gue tersenyum, kemudian menggelengkan kepala, menertawakan diri sendiri. Gue berdiri di sebelah Anin, memandangi danau Geneva jauh di depan kami. Kerlip lampu kota Geneva dari kejauhan terasa sempurna ketika dipadu dengan cahaya keperakan dari langit fajar.
Quote:
Anin yang berada dalam rangkulan gue, menoleh dan sedikit tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya dengan menggemaskan. Kali itu tandanya dia sedang berpikir sesuatu yang jahil. Wangi parfumnya menyeruak ketika tertiup angin.
Quote:
Gue tertawa, dan kemudian memandangi danau lagi. Gue menikmati setiap detik dari suasana ini. Kemudian gue berbicara tanpa menoleh ke Anin.
Quote:
Kemudian dengan Anin berada dalam rangkulan gue, kami berdua memandangi matahari terbit yang sangat indah di ujung cakrawala, dengan kilauan danau Geneva sebagai penghias. Hari itu, bersamaan dengan matahari terbit di ujung timur, kami memulai satu masa baru. Satu masa, yang kami harap penuh dengan keindahan di dalamnya. Satu masa dimana kami bisa merajut mimpi bersama hingga akhir.
Diubah oleh jayanagari 28-04-2015 23:14
chanry dan 3 lainnya memberi reputasi
4


: ini pagi apa sore?
: that’s my girl.
: siap LDR Jakarta – Mumbai lagi? Hehehe.